SO PRECIOUS (PART COMPLETE)

By nonameformacity

8.6K 1.3K 1.1K

Cinta itu sebenarnya identik dengan kata 'EGOIS. Sama seperti kamu. ~Veily Seirania ----- Karena egoku yang t... More

Prologue
(1) Tentang Dia Yang Tak Ku Kenal
(2) Tentang Dia Yang Tak Ku Kenal <II>
(3) Realita
(4) Realita <II>
(5) Mencoba Melupakan
(6) Luka
(7) Perasaan Iba
(8) Semangat Baru
(9) Gejolak Hati
(10) Tanda Tanya
(11) Perubahan
(12) Ketika Hati Tak Berdaya
(13) Bertahan
(14) Gundah
(15) Apa Tindakanku Benar?
(16) Apa Yang Harus Ku Lakukan?
(17) Permintaan Pertama dan Terakhir
(18) Bersamamu
(19) Seperti Mimpi
(20) Haruskah?
(21) Kebohongan Yang Terungkap
(22) Kebohongan Yang Terungkap <II>
(23) Alasan Sesungguhnya
(24) Mauku Apa Sih?
(25) Kamu Mencintaiku, Atau Tidak?
(26) Ketetapan Hati
(27) Penyesalan
(28) Jadilah Milikku!
(29) Rayhan POV~ (Bagaimana Cintaku Bermula Lalu Ku Akhiri)
(30) Sisi lain dari Rayhan
(31) Surprise?
(32) Surprise? <II>
(33) Keraguan
(34) Belenggu
(35) Aku Harus Sembuh
(36) Restu Papa
(37) Restu Papa <II>
(38) Keputusan
(39) Frustasi
(40) Aku Harus Pergi
(41) Accident
(42) Kamu Telah Pergi
(43) Memulai Hidup Baru
(44) Hal Tak Terduga
(46) Benci (BBC II) <END>
(+++)

(45) Benci (Benar-benar Cinta)

113 17 15
By nonameformacity

Mengucapkan sebuah keyakinan
itu mudah, sangat mudah.
Tapi melakukan seperti apa yang kita ucapkan dan yakini,
Di situlah letak kesulitannya.

Kita harus benar-benar bisa mengubah mindset kita untuk tetap bertahan pada keputusan itu.

***
Happy Reading
***

"Mas Rayhan? Kamu?"

Betapa terkejutnya diriku saat mengetahui rupa wajah lelaki bertopi hitam yang sudah lancang memelukku itu?

Dengan tampang polos tanpa dosanya itu, berani-beraninya dia tersenyum padaku setelah apa yang telah dilakukannya. Apa dia tak merasa bersalah sama sekali?

"Hai Vei. Bagaimana kabarmu?" ucapnya kemudian.

Spontan tubuhku mundur menjauhinya. Aku berbalik arah. Lalu tanpa menjawab pertanyaannya, aku menerobos beberapa orang di depanku untuk meminta pada sopir bus agar segera menurunkanku di sini.

"Pak, kiri."

"Nggak bisa neng, tunggu halte berikutnya, sebentar lagi."

Sopir itu menolak halus permintaanku dan aku tak bisa memaksakan aturan yang ada. Seketika emosiku kembali berkobar. Melihat wajah orang itu--Rayhan, membuatku teringat akan masa lalu yang sangat ingin ku lupakan.

"Yaudah cepetan ya Pak!" pintaku menggebu-gebu.

"Baik neng."

Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba dia kembali ke sini. Ku pikir dia sudah mati. Setelah tak memberiku kabar selama enam bulan berturut-turut, ku kira kejadian buruk telah meninmpanya. Jadi aku tak mau lagi mengharapkan lebih tentang dia.

Tapi tiba-tiba dia muncul. Seperti sekarang, tiba-tiba saja dia menarik tanganku dan berkata, "Vei, ku mohon dengarkan dulu penjelasanku. Ada hal penting yang ingin ku sampaikan padamu."

Tentu saja aku tak mau mendengarkan perintahnya. "Lepasin Mas, aku sudah tidak ada urusan lagi denganmu," ucapku penuh amarah.


Dia melepaskan genggamannya. Lalu ketika bus berhenti, aku pun segera turun meninggalkannya yang tengah mematung di tempat setelah mendengar penuturanku.

Mungkin dia shock atau terkejut. Apa dia berpikir aku masih mau menerimanya lagi setelah dia pergi meninggalkanku seperti itu?

Aku sudah lelah menunggunya selama itu, kalau mati ya mati saja. Kalau pergi ya pergi saja. Aku sudah tidak peduli. Kenapa sekarang datang lagi? Aku bahkan telah mencoba untuk melupakannya dan mengubur semua masa laluku yang pahit sedalam-dalamnya.

Dia seolah telah mempermainkanku. Ini bahkan sudah satu tahun berlalu. Bukankah jika dirinya tengah berdiri di sini artinya dia sudah sembuh dari beberapa bulan yang lalu? Mengapa dia tak memberiku kabar? Kenapa dia membuatku menunggunya lebih lama? Kenapa? Kenapa dia setega itu membuatku setengah mati mengkhawatirkannya?

Aku membencinya. Sungguh sangat membencinya. Aku tak mau lagi bertemu dengannya. Bagiku, dia sudah ku anggap mati enam bulan yang lalu.

Awalnya aku masih bersedia menunggunya seperti apa yang dia inginkan di dalam surat yang ditulisnya. Aku menimbang kembali keputusanku untuk tetap bertahan. Tapi setelah enam bulan berlalu, dia tak datang padaku. Meski aku terus menunggu dan menunggu sampai pikiran pesimis ku buang jauh-jauh dari otakku, dia tetap tak datang menemuiku.

Bahkan mengabariku lewat telepon saja tidak. Jangankan telepon, sepucuk surat atau setidaknya pemberitahuan melalui Ramana yang masih bisa pulang ke Indonesia saja tidak.

Rayhan dan keluarganya seolah telah berpindah planet lalu tersesat di angkasa raya sana. Jejaknya menghilang membuatku terus mencarinya hingga kelelahan. Kini, aku tak mau bertindak bodoh seperti itu lagi. Aku sudah muak. Rasa benciku padanya sudah melampaui rasa cintaku terhadapnya.

"Vei tunggu Vei!" Rayhan dengan cepat menyusulku turun.

Meski aku berlari secepat kilat dia tetap bisa mengejarku dengan langkah lebarnya itu. Dia lalu menghadang dan mencegatku.

"Please! Beri aku waktu lima meniiitt saja untuk menjelaskan!" pintanya dengan wajah memelas. Manik matanya seolah memancarkan cahaya yang berkaca-kaca.

"Setelah itu aku akan pergi. Ku mohon! Dengarkan aku kali ini saja!" lanjutnya memohon dengan tatapan sendu, membuatku tak tega lantas terpaksa mengabulkan permintaannya itu.

"Hanya lima menit," ucapku ketus sembari memalingkan wajah.

Tapi tetap, meski model penjelasan yang ia berikan cukup memberiku alasan untuk memaafkannya, aku tidak akan terpengaruh untuk kembali lagi padanya.

Lalu setelah mendengar keputusanku, Rayhan pun tersenyum senang. "Terima kasih."

***

Kini kami duduk berdua di kursi taman dekat daerah rumahku dengan jarak cukup berjauhan. Aku duduk di pojok kiri kursi dan Rayhan di pojok kanan kursi. Dia pun tak berani mendekat setelah aku membatasi jaraknya. Kami berdua menjadi kikuk dan terdiam cukup lama dalam pikiran masing-masing.

"Cepat katakan! Aku tidak punya waktu lagi," Aku pun mengingatkan Rayhan yang tengah gusar memikirkan hal yang akan di ucapkannya.

"Emm. Baiklah. Tapi aku tidak tau harus memulainya dari mana," jawab Rayhan seadanya.

"Ku mulai waktunya dari sekarang!" Aku menekankan.

"Aku mencintaimu. Aku sangat merindukanmu. Dan aku sudah sembuh. Aku ingin kamu menikah denganku!" ucap Rayhan gelagapan. Seolah aku benar-benar memasang bom waktu, dia mengucapkannya spontan dan cepat.

Aku cukup terkejut mendengar ungkapannya. Dari balik wajahku yang ku palingkan dari arah Rayhan, tanpa sadar pipiku mengeluarkan semburat merah jambu. Jantungku berdetak tak karuan saat ini. Namun tak ingin dia menyadarinya, cepat-cepat ku tenangkan diriku agar tampak bersikap biasa saja di hadapannya.

"Ngo-ngomong apa sih? Nggak nyambung tau nggak? Itu penjelasan yang ingin kamu katakan?" kataku tajam.

"Ah, ma-maaf. Bukan itu maksudku," ralatnya sembari merutuki dirinya-sendiri karena telah salah bicara.

Rayhan terlihat tengah menelan ludahnya kasar. Ekor mataku menangkap, kalau ia tengah menarik napasnya panjang-panjang. Mungkin dia gugup dan takut? Apa dia takut penjelasannya akan ku tolak mentah-mentah adanya?

"Aku telat kembali karena aku tengah melakukan tahap pemulihan dan penyesuaian setelah operasi cangkok hati yang ku terima. Karena sempat ada penolakan yang terjadi pada organ tubuhku yang lain.

"Aku tak memberimu kabar karena aku takut dengan penjelasan Dokter yang mengatakan bahwa penolakan kecocokan hati si pendonor dalam tubuhku akan membahayakan diriku lagi."

Rayhan lalu mengambil napas sejenak sebelum mengakhiri ucapannya, "Maafkan aku Vei karena telah bersikap egois dan meninggalkanmu tanpa kabar."

Wajahnya tampak tertunduk menyesal. Dia sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan fatal yang mungkin tak termaafkan.

Aku tercenung. Hatiku sedikit tersentil dan terenyuh mendengar penjelasannya. Aku ikut sedih mengetahui hal itu. Aku mengerti kondisinya, tapi aku tak boleh luluh begitu saja. Aku masih belum bisa memaklumi keadaannya atau pun memaafkannya. Tetap saja, dia egois. Dan aku tak menyukai sikap egoisnya itu.

"Sudah? Hanya itu kan yang ingin kamu katakan? Kalau begitu aku pulang," ucapku datar seraya bangkit membelakanginya.

Ekspresi Rayhan pun tampak tersentak sekilas mendengar respons negatif dariku. Apa yang dia takutkan sepertinya telah menjadi kenyataan. Aku tak berani berbalik arah menatapnya. Aku takut jika bola mata itu memancarkan kesedihan, aku akan kembali terperdaya. Aku membutuhkan waktu untuk menerima semua keadaan ini.

Sedetik kemudian Rayhan tersadar lalu mengangguk pasrah. "Emm. Terima kasih sudah mau mendengarkan penjelasanku. Aku memang salah, kamu berhak marah dan membenciku."

"Yasudah, bagus Mas Rayhan mengerti," putusku mengakhirinya dengan sinis lalu pergi meninggalkannya.

Jarak rumahku sudah dekat, aku hanya perlu berjalan lima ratus meter lagi sampai di depan gerbang.

Rayhan tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa merenung dan menerima perlakuan kejamku dengan lapang dada. Ia menghela berat, meraup wajahnya kasar lalu menyenderkan punggungnya pada kursi taman.

***
"Hai Vei."

Pagi yang cerah kembali menyapa. Tiba-tiba saja Rayhan sudah duduk manis di teras rumahku sembari menyeruput teh panasnya dan berbincang ria dengan ayahku. Mendadak ekspresi wajahku berubah masam. Melihat pemandangan itu membuat seketika udara di rumah ini menjadi tak nyaman tuk ku hirup.

"Hei sayang, sudah bangun? Sini, ada Rayhan," sapa ayahku mengajakku ikut duduk bersamanya.

"Enggak Pa. Veily mau masuk aja," tolakku mencoba selembut mungkin. Senyum ku paksakan, hanya karena tak ingin menampakkan kekesalanku di depan ayahku.

Ayahku mungkin tersentak, ia tak menyangka aku akan menolak bertemu dengan Rayhan. Bukankah selama ini yang diketahuinya aku tengah merindukan Rayhan? Hal sekecil itu mungkin cukup untuk membuat ayahku bertanya-tanya karena keheranan.

Dahinya kini mengerut. Lalu tak ingin mengira-ngira. Ayahku pun bertanya pada Rayhan, "Ray, kamu sudah bertemu Veily? Apa kamu sudah menjelaskan semuanya padanya?"

Setelah mendengar pertanyaan itu, aku tak menggubris mereka lagi. Aku lebih memilih masuk tanpa menghiraukan kehadiran mereka.

------
***

Mereka--Rayhan dan Dimas, tampak memperhatikan punggung Veily yang masuk tanpa menoleh lagi ke hadapan mereka.

Menilik kejadian tadi, Dimas pun semakin terheran. Ia mengulang kembali pertanyaan yang belum Rayhan jawab. "Ray ada apa dengan Veily? Kamu sudah bertemu dia? Sudah kamu jelaskan semuanya padanya?

Raut wajah Rayhan tampak murung, ia mengangguk lemah. "Emm."

"Lalu Veily menolakmu dan tak mau memaafkanmu?"

Rayhan mengangguk lagi. Rasanya lidahnya sudah kelu untuk berucap hal yang sia-sia.

"Kalau begitu kejar! Kenapa kamu diam saja di sini? Bukankah selama ini kamu sudah menahan deritamu sendirian? Ini saatnya kamu bahagia anakku." Dimas berucap lagi. Dia mencoba menyadarkan Rayhan dan memberi dukungan padanya.

Rayhan terhenyak, matanya membelalak tak percaya. Dia tak menyangka Dimas akan mengatakan hal seperti itu.

Lampu hijau. Bukankah ini pertanda bahwa beliau telah menyetujui hubungannya dengan Veily? Ukiran senyum tiba-tiba terlukis indah di bibirnya untuk sejenak. Namun sedetik kemudian senyumnya kembali pudar.

"Tapi, bagaimana kalau dia tetap tak mau?" timpalnya bertanya tak yakin.

"Kamu sudah mencobanya? Setau Om, Veily masih mencintaimu," sanggah Dimas menekankan.

"Tapi dia bilang dia membenciku Om."

Dimas pun geram sendiri mendengar jawaban Rayhan yang sangat polos itu. Memangnya dia anak kecil yang mudah menyerah begitu saja? Bukankah Rayhan harus berusaha lebih keras lagi jika ingin mendapatkan hati anaknya kembali? Sulit memang mengubah pikiran seseorang yang sudah terlanjur pesimis untuk kembali bangkit.

"Tidak Ray. Dia bohong. Dia mencintaimu. Om yakin dia tidak benar-benar membencimu." Dimas pun kembali meyakinkan Rayhan sekali lagi.

Dan sepertinya kali ini berhasil. Rayhan tampak tersentak dengan satu kata yang Dimas ucapkan. 'Bohong'.

Ya, bisa saja Veily berbohong. Dia hanya marah namun tak membenciku.

Rayhan akhirnya tersadar. Dia bangkit lalu berlari menyusul Veily ke dalam rumah. Tapi ia berbalik lagi, dia melupakan sesuatu.

"Om, makasih banyak sudah memberi saya semangat." Wajah Rayhan mendadak berseri-seri. Dia pun spontan memeluk Dimas kegirangan.

"Rayhan mencintai Om. Doakan Rayhan berhasil ya Om. Daaa." Lalu kembali bergegas menuju rumah.

Dimas tercengang. Dia tak menyangka Rayhan memilik sifat yang seperti itu. Lalu tak lama kemudian dia tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir.

***

"Vei," panggil Rayhan cepat. Napasnya sedikit memburu sebab rasa senangnya yang menggebu-gebu. Jantungnya pun serasa mau meledak karena berdetak tak beraturan.

Veily terlihat menyelidikinya. Menatapnya dari atas ke bawah dengan satu alis terangkat. "Mau ngapain lagi Mas Rayhan ke sini?" Lalu lanjut menyantap sarapannya meski rasanya kini tak berselera.

"Ku mohon. Berikan aku kesempatan kedua!"

Rayhan mendekat kearah Veily. Tanpa mempedulikan tatapan sinis yang gadis itu lemparkan padanya. Dia tetap mendekat lalu meraih satu tangan kosongnya kemudian berlutut di samping kursi yang sangat berhimpit dengan meja makan di depan gadis itu.

"Ini yang terakhir kalinya Vei. Aku berjanji akan membuatmu bahagia. Aku janji nggak akan pergi lagi ninggalin kamu. Aku janji...

"Ku mohon beri aku kesempatan. Aku akan selalu berusaha membuatmu tersenyum di sisiku."





Bersambung.....
Veily mau nggak ya?? :D

Continue Reading

You'll Also Like

721K 67.5K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
523K 21.3K 37
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
1.2M 57.8K 67
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
5.8M 307K 58
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...