Aisha

By msulasmaya

8K 552 324

Rafa yang dibesarkan penuh kemewahan dipertemukan dengan Aisha gadis desa yang lugu. Mereka saling menyayangi... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24

Bagian 25

458 26 28
By msulasmaya

"Woaaaah...ini desanya Aisha?" kata Chiko takjub setelah mobil berhenti di sebuah bangunan. Di depan bangunan itu tertancap papan besar bertuliskan huruf balok nama sebuah desa. "Segar..." katanya lagi sambil membentangkan kedua tangannya dan menghirup nafas dalam-dalam.

"Kok sepi ya?" tanya Chiko. Ia melihat bangunan di belakangnya, "itu kantor desa kan?"

"Betul Den."

"Memang sampai jam berapa pulangnya? kok sepi banget?"

"Iya Den. Mungkin sudah mau jam dua belas."

"Memang pulangnya jam dua belas ya?"

"Kurang tahu tapi biasanya ada shalat dzuhur jadi bersiap ke masjid mungkin Den," jawab Pak Yanto mencoba menerangkan. "Namanya juga di kampung Den, ini sudah mau dzuhur biasanya sudah pada pulang, siap-siap shalat dzuhur Den."

"Harusnya gitu ya, kita di kota terlalu serius," timpal Rafa.

Chiko mengangguk-angguk.

"Tapi benar desa ini?" tanya Rafa ingin memastikan.

"Menurut petunjuk Papanya Den Rafa benar di sini Den," kata Pak Yanto.

Ketiganya telah turun, celingak-celinguk mencari orang. Jam baru beranjak ke angka dua belas. Desa tampak lengang.

"Permisi..." kata Pak Yanto sambil berlari ke arah seorang perempuan tengah baya menggunakan cetok semacam penutup kepala lebar berbentuk setengah lingkaran. Rupanya ibu ini dalam perjalanan pulang dari sawah.

"Kumaha?" tanyanya dalam bahasa sunda dan tidak lupa melempar senyum ketika orang yang memanggil telah sampai di dekatnya.

"Begini Bu, mau tanya rumahnya Mba Aisha di sebelah mana?"

"Mba Aisha? Saha?" tanyanya lagi belum jelas. "Aisha di sini teh banyak, Aisha nu mana?"

Pak Yanto mulai bingung. "Den?"

"Itu Bu yang kerudungnya lebar!" celetuk Chiko yang dijawab dengan kernyitan tanda masih bingung.

Rafa melirik ke arah Chiko seakan mengatakan, emang yang kerudungnya lebar hanya Aisha yang kita kenal. Lagian kerudung lebar harusnya tidak jadi penanda satu orang perempuan. Itu terlalu umum karena semua perempuan kan memang seharusnya begitu. "Mmm itu Bu putrinya Pak Ahmad almarhum."

"Oh Aisha Pak Ahmad, hayu atuh sakantenan"

"Eh?" kata Rafa tak mengerti.

"Saya antar sekalian pulang."

"Oh," disambut anggukan yang lain.

Ketiganya mengikuti ibu itu berjalan kaki, beriringan.

"Setau saya rumah yang mereka tinggali sudah dijual. Tapi katanya masih boleh ditinggali. Baik yah orang kota yang beli itu," kata si Ibu itu mulai bercerita sambil terus berjalan.

"Oh!" Rafa berseru. Kalimatnya mengingatkan pada masa SMA dulu. Benar, padahal dia sudah lupa. "Kok ibu bisa tahu?"

"Itu mah berita heboh, jadi omongan di mana-mana A," katanya lagi bersemangat seakan api yang baru disiram bensin. "Karena suaminya kan baru meninggal eh, rumahnya dijual ke orang kota yang jadi aneh adalah boleh ditempati kembali. Asa lucu da! jadi pada curiga masyarakat di kampung. Maklum orang kampung A, berita sekecil apapun biasanya langsung pada tau."

Rafa dan yang lainnya mengangguk-angguk. Untuk ini Rafa merasa sangat bersalah. Ia menyesal telah membuat keluarga Aisha menjadi bahan gosip sekampung.

"Siapa emang Bu yang beli?" sambut Chiko penasaran.

"Ah, Lu mah mau tau sampai detil gitu Chik, kayak emak-emak Lo!" Sergah Rafa. Ia takut andai saja ibu ini tahu si pembeli rumah keluarga Aisha.

Ibu itu tersenyum melihat tingkah Chiko dan Rafa. "Namanya disembunyikan sama bibi na Neng Aisha. Ah, paling juga orang Jakarta A tempat mereka dulu tinggal."

"Siapa?" Chiko malah tambah penasaran. Jakarta tempat dulu mereka tinggal? kan pernah di tempat Rafa, pikirnya sambil melirik curiga ke arah Rafa.

"Itu tuh rumahnya," kata si ibu itu sambil menunjuk sebuah rumah sederhana bercat kuning dengan halaman luas yang ditumbuhi berbagai bunga dan tanaman herbal sepertinya.

Rafa dan kedua teman pengantarnya berhenti.

"Sudah atuh ya, atau mau saya panggilkan juga Neng Aisha nya? Biasanya jam segini ummanya ada di dapur memasak," tawarnya ramah.

"Oh, terima kasih Bu, tidak usah biar kami saja," kata Rafa kemudian.

Ibu itu pamit dan berlalu menuju rumahnya yang entah di sebelah mana. Ia berjalan lincah dengan pakaian kotor yang biasa.

"Fa, ayo..." dorong Chiko melihat kawannya mematung. Pak Yanto sendiri berdiri berjarak di belakang Chiko dan Rafa.

"Tunggu dong," katanya tak jelas. Hatinya benar-benar berdegup dalam irama satu dua yang cepat. Kenapa juga, pikirnya. Padahal belum sebulan tidak bertemu Aisha rasanya sudah lebih dari tiga tahun. Kali ini beda. Karena mungkin ada misi. Apa dia lelaki sejati yang bertanggung jawab dengan dirinya sendiri dan diri orang lain? Sudah cukup bermain-main dengan hati. Mari kita selesaikan! Tekadnya kini mulai membaja.

Chiko heran melihat sahabatnya. "Udah Fa, ayo, pegel nih..." katanya memberi alasan agar segera masuk.

Rafa masih memandang rumah bercat kuning tersebut. Rumahnya. Rumah yang kini ditinggali Aisha. Tidak ada yang tahu kecuali orang-orang yang dulu membantunya. Rafa merasa aneh dengan semua kejadian tak terduga ini. Ia bagai didorong harus bertemu dan melihat Aisha dalam kehidupannya. Dulu ke Bogor sekarang ke Sukabumi..

"Ya, ya udah yuk!"

Rafa mulai mengucapkan salam. Di dalam rumah rapi dan bersih. Angin mengelus mesra setiap perabotan di dalam rumah. Tenang. Perabotannya tidak banyak dan sederhana. Di ruang tamu malah hanya ada kursi dan meja, tidak ada yang lain, bahkan tempelan hiasan di tembok pun tidak ada. Antara ruang tamu dan ruang selanjutnya dibatasi oleh tembok. Pintu penghubung antaranya hanya selembar kain gorden tipis tapi bersih berwarna biru muda. Disanalah mungkin Aisha kini berada.

"Assalamu'alaykum..." salam ketiganya kali ini disertai ketukan di pintu.

Seseorang terdengar berjalan ke arah ruang tamu sambil menjawab salam dan berkata, "tunggu..." Suaranya lembut dan khas yang hanya dimiliki seseorang di dunia ini membuat dada Rafa semakin berdetak kencang tak karuan. Ia berdiri tegang mematung di ambang pintu. Chiko santai menemaninya.

"Aisha Fa...!" bisik Chiko yang tak digubris Rafa.

Dan gorden pun terbuka. Benar saja dia datang dalam gerakan lambat di pandangan Rafa. Kemudian matanya yang bulat hitam indah dihiasi bulu mata lentik alami bertemu dengan mata Rafa, keduanya bertatapan kaget. Apa ini? pikir Rafa. Bukankah belum juga sebulan mereka tidak bertemu? Lagi-lagi ia mempertanyakan hal yang sama.

"Rafa..." bisiknya. Langkahnya terhenti di ambang pintu antara ruang tamu dan ruang tengah. Bagai dugaannya selama ini menjadi kenyataan. Aisha menatap sosok di depannya tak percaya. Rafa memang akan datang. Sekeras apapun penolakan. Dia lebih keras kepala.

Pertemuan ini lebih mendebarkan ketimbang kemarin dulu ketika mereka pertama kali bertemu setelah tiga tahun lamanya. Selain status, juga karena ada harapan yang disimpan masing-masing secara tersirat tapi keduanya mengetahui. Aisha sedang dikhitbah seseorang tentu sangat lain posisinya kecuali Aisha telah memutuskan.

"Aisah..." kata Rafa pelan.

Chiko kebingungan diantara sikap keduanya. Ia menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Kemudian ia memutuskan diam karena tidak ada juga yang bisa ia lakukan kecuali menunggu. Menunggu Rafa dan Aisha dengan hatinya masing-masing, dengan situasi keterkejutan, kebingungan, dan entah situasi apa yang tercipta karena ada rasa haru dan mendebarkan bagi Chiko yang turut hadir.

"Aisah...mmm," Rafa mencoba berbicara. Ia sendiri bingung harus bagaimana. Ia memalingkan pandangannya. Aisha terlalu anggun dan mengagumkan untuk terus dipandang. Kerudungnya yang berwarna putih membuat Aisha terlihat sederhana dan bersinar. Matanya semakin jelas hitam bulat menatap tajam ke arahnya. Tak kuasa, Rafa mengalah menunduk dan berpaling ke arah lain.

"Aisha?" Ummanya menghampiri karena tiba-tiba saja hening. Padahal jelas tadi ada suara orang mengucap salam. "Nak Rafa?" Ummanya lebih kaget lagi. Segera ia melintasi Aisha yang kini menunduk masih di tempat yang sama. "Nak Chiko juga ke sini, ayo, ayo, duduk...Sudah lama tidak melihat kalian. Bagaimana kabarnya?" katanya berentet karena terakhir bertemu itu tiga tahun yang lalu. Ummanya bingung, ia melihat antara Aisha dan Rafa yang begitu saja. Tapi cepat ia menguasai diri, "ayo Umma kangen juga dengan kalian. Duduk duduk..." katanya sumringah dan sangat ramah, jujur dengan kebahagiaannya.

"Iya Umma. Umma juga apa kabar dengan Airin? Oh iya Airin sekarang kelas berapa?" kata Chiko. Chiko sudah mulai duduk sementara Pak Yanto kembali ke kantor desa untuk mengambil mobil. Chiko sadar Rafa masih berdiri mematung di tempatnya. Pemandangan ini sungguh aneh di mana ia telah duduk dengan tenang dan nyaman sementara sahabatnya itu dan semua orang di sana masih berdiri.

"Nak Rafa...?"

"Eh! i iya Umma," Rafa tersadar dari keterkejutan sekaligus kekagumannya. Di sini di desa Aisha lebih terlihat bersinar. Keanggunannya seakan menyatu dengan alam.

"Duduk Nak Rafa."

"I iya Umma."

"Airin sudah SMP Nak Chiko."

"Sudah besar Umma," jawab Chiko kembali.

Umma Aisha mengangguk dan tersenyum ke arah Chiko. "Aisha, ada teman-teman kok malah diam saja, ayo duduk, ngobrol-ngobrol, Umma bawakan minuman sebentar, pasti kelelahan dan haus setelah perjalanan jauh," katanya melihat Aisha masih terpaku.

"Halo Aisha," kata Chiko ingin membantu umma nya Aisha agar suasana bisa mencair.

Aisha mengangguk dan tersenyum yang dipaksakan ke arah Chiko. Ia masih bingung dan ini adalah hal yang tidak ia harapkan, benarkah? Atau sebenarnya sebaliknya namun ia tidak siap menerima kenyataan ini. Bagaimana nanti kakeknya Rafa mengetahui cucu tersayangnya kembali menemui dirinya? Seharusnya Rafa berhenti saja. Lupakan.

Aisha kemudian duduk tepat di depan Rafa. Chiko berada diantara keduanya. Tiba-tiba saja ide aneh muncul di kepala Chiko, ia serasa menjadi penghulu! Plak! Ia memukul kepalanya sendiri.

"Ehm!" Rafa mendeham. Ia mencoba bersuara, berbicara sesuatu. Bukankah ia ke sini untuk menanyai Aisha.

Aisha mengangkat wajahnya melihat ke arah Rafa. Kembali pandangannya bertemu dengan Rafa. Aisha cepat-cepat kembali menunduk.

Angga adalah orang yang baik. Baik juga agamanya. Ia termasuk mahasiswa yang rajin. Tidak hanya rajin mengejar nilai akademis tetapi ia pun rajin di kegiatan kampus. Ia paling aktif di kegiatan kerohanian kampus karena ia adalah ketuanya. Ia juga kemungkinan besar orang yang bertanggung jawab. Buktinya ia berani datang kepada keluarga Aisha. Lantas seperti itu apa hendak ditolak? Aisha menunduk semakin dalam. Kemudian Aisha merasa sangat bersalah karena secara tidak langsung jauh di lubuk hati ia membandingkan Angga dan Rafa. Tapi kenapa, ketika Rafa datang semua hal yang baik tentang lelaki manapun serasa tertutupi? Seperti hanya dialah seorang di dunia. Ini salah karena Rafa belum pernah meminangnya. Rasanya, setelah mengenal Rafa, cerita hidupnya hanya berputar di sekitar Rafa. Begitupun ketika kuliah. Padahal ia tidak juga bertemu tapi serasa ada, melihatnya, menunggunya, menagih janji. Bagaimana bisa ia hidup dengan Angga sementara sejarah hatinya kelam begini?

Kemudian Umma Aisha kembali datang dengan senampan gelas-gelas teh hangat dan setoples camilan.

"Mangga atuh Nak Rafa, Nak Chiko minum dulu. Gimana jauh ya rumah Aisha?"

"Jauh banget Umma," jawab Chiko sambil mengulurkan tangan mengambil secangkir teh hangat. Walaupun matahari sedang tepat di atas kepala tapi ketika masuk ke dalam rumah malah jadi adem dan segelas teh hangat menjadi sangat pas.

Rafa mengangguk saja membenarkan perkataan Chiko.

Rupanya Ummanya Aisha curiga. Ia merasa ada yang lain dengan sikap Rafa. Ia tidak biasanya bersikap malu-malu seperti ini. Dia biasanya frontal malah lebih ke tidak tahu malu.

"Nak Rafa apa kabar papa dan mamanya? Umma dengar mamanya Nak Rafa sempat sakit?"

"Eh, iya Umma, alhamdulillah papa sama mama sekarang baik. Kemarin kecapekan jadi harus istirahat total Umma."

"Alhamdulillah. Semoga lekas sembuh ya Nak Rafa."

"Aamiin, insyaAlloh Umma."

Kemudian ada jeda ragu. Keraguan tentang apa lagi yang harus dibicarakan. Ini agak aneh bagi Umma Aisha. Mungkin karena ia menduga. Kemarin roman Aisha ketika kedatangan Angga sangat aneh. Bukan karena keterkejutannya dengan lamaran tapi seperti ada hal lain yang ia pikirkan. Mungkinkah dia sudah berjanji dengan seseorang sehingga membuat ragu?

"Nak Rafa, Nak Chiko, kuliahnya di mana? Masih di Jakarta?"

"Anu di Amerika Umma. Chiko di Australia," jawab Rafa.

Umma Aisha terbelalak mendengar nama tempat yang menurutnya sangat jauh dan tak pernah terpikir orang yang dikenalnya akan sampai ke tempat itu. "Amerika? Australia?" Rafa dan Chiko kompak mengangguk. "Jauh sekali Nak."

"Iya Umma. Maunya kita sih di sini saja yang deket tapi mau keluarga ke sana. Katanya sih kualitas tapi entahlah Umm," jawab Chiko berusaha terus menyambung perbincangan karena takut, kalau berhenti mereka seperti menonton adegan jodoh yang tak kunjung sampai. Pikirnya kemudian ia nyengir, merasa geli dengan pikirannya sendiri.

Umma Aisha mengangguk-angguk mencoba mengerti karena toh kondisi keuangan mereka berdua jauh dengan dirinya jadi, itu bukan hal yang mustahil. "Ayo Nak Rafa diminum." Ia melihat daritadi Rafa terlalu banyak diam tidak seperti Rafa yang dulu ia kenal.

Rafa masih diam.

Apa yang harus gue katakan? pikirnya. Tidak mungkin kan di depan ummanya Aisha.

"Mm anu Umma. Di sini adem ya," tanyanya random saja.

"Iya Nak Rafa, tidak seperti di Jakarta. Makanya Umma lebih senang kembali ke sini."

"Aku juga bakal senang tinggal di sini," celetuknya yang membuat hatinya malah tambah berdegup kencang.

"Boleh kalau lagi penat di Jakarta mampir saja ke sini."

Aisha mengangkat wajahnya. Kali ini ia benar-benar bicara. "Mm, maaf ya Rafa, kemarin saya tidak sempat pamit sama kamu," katanya lega akhirnya bisa mengucapkan sesuatu. Ia melirik Chiko sekilas berharap alasannya ke Sukabumi belum sampai ke Rafa. Chiko tersenyum ke arahnya.

"Eh?" Rafa malah kaget mendengarnya. "Eh, iya, iya, tapi lain kali bilang dulu ya."

"Lain kali?"

"Mm, iya lain kali..." jawab Rafa bingung. Memangnya ada lain kali? Ada proyek lain? Sampai detik ini tentu tidak ada, toh dia juga harus balik kuliah.

"Lain kali kalo kalian sudah jadi suami istri maksudnya, iya kan?" timpal Chiko menggoda, melirik ke arah Rafa dengan tampang mesem-mesem.

Aisha sontak kaget. Ia salah tingkah. Begitu pula dengan ummanya.

"Nak Rafa..." 

"Umma..." Aisha takut ummanya akan bicara soalan Angga.

"Aisha...," kata ummanya sambil menganggukan kepala ke arah Aisha. "Aisha Kamu harus menyelesaikan semuanya. Kalau seperti ini sampai kapanpun, baik kamu maupun Nak Rafa akan selalu ragu untuk melangkah. Maaf ya umma hanya menduga. Dan candaan seperti Nak Chiko tadi sebenarnya sangat mengganggu umma. Karena, maaf Nak Rafa, Nak Chiko, Aisha ini kan tidak pernah bercanda yang menjurus ke sana, jadi, maaf kalo umma menduga dan sedikit terganggu," katanya panjang lebar. Satu sisi takut karena dugaannya ternyata salah, malah akan membuat malu saja. Tapi tidak, hal seperti ini memang tidak seharusnya dijadikan bahan bercanda apalagi di depan orang tuanya si gadis. Lagipula Rafa jauh-jauh menemui Aisha ke Sukabumi untuk apa? Dulu ketika di Jakarta sikap dan perhatiannya ke Aisha sudah cukup bukti untuk menduga. Terlebih Aisha pernah bilang juga.

"Nak Rafa," Umma Aisha memulai lagi. "Nak, rasanya Umma harus mengatakan ini sekarang," katanya lagi sambil menghirup nafas dalam-dalam. "Ini teh tentang Aisha dan Kamu."

Rafa tertegun begitu pula dengan Chiko.

Chiko menarik nafas dan melihat ke arah Rafa kemudian Aisha. Ia merasa sedikit bersalah dengan perkataannya tadi. "Maaf Umma buka maksud saya..."

"Tidak Nak Chiko, umma memang harus mengatakan ini demi kebaikan Aisha dan Rafa selanjutnya, insyaAlloh."

Aisha terdiam. Ia menyerah. Memilih menyerahkan semuanya kepada ummanya.

"Nak Rafa mohon maaf jika umma lancang menanyakan ini karena sudah sering umma tanya ke Aisha tapi tidak pernah ada jawaban yang pasti. Ini penting karena biar kalian bisa sama-sama mantap melangkah."

Hal ini membuat Chiko serasa tak seharusnya di sini. Ia melirik ke arah Rafa yang kini bak terdakwa yang sedang menunggu putusan sidang atas apa yang belum sempat dilakukannya. Setahu Chiko Rafa memang belum pernah secara gamblang bicara kepada Aisha. Benar saja dulu yang dibilang Arga kalau Rafa ini masih sangat cetek ilmu tentang perempuan. Seharusnya dia mengikuti saran Arga, pikirnya menerawang ke hari-hari dulu. Kini ia memandang Rafa sedikit mengasihani. Bagaimana jika penolakan yang ia terima, bisa hancur nih anak, pikirnya lagi.

"Iya Umma," jawab Rafa ke arah Ummanya Aisha. Ia melihat sejurus ke arah Aisha yang sedang menunduk. Apapun, pikirnya, ia siap.

"Nak Rafa, apa yang terjadi dengan kalian berdua?" tanya Ummanya karena ia tahu kalau ditanga hubungan pasti jawabannya tidak ada hubungan apapun selain pertemanan.

"Eh?!" Mau tidak mau Rafa kaget juga mendengar pertanyaan frontal ini. Bahkan ketika pikirannya sudah menduga arah pembicaraan ummanya Aisha. Tetap saja hal seperti ini membuat Rafa khawatir.

"Maaf Nak. Umma lihat Aisha terlihat sangat ragu dan mencemaskan sesuatu. Walaupun Aisha tidak berkata apapun kepada umma tapi umma tahu ada sesuatu. Hanya saja umma tidak jelas apa sesuatu itu sampai hari ini. Kalian berdua sungguh aneh, aneh..."

Rafa melihat ke arah Aisha yang masih menunduk. "Aisah, kamu meletakkan sesuatu di sana?"

Pertanyaan Rafa membuat Chiko dan Umma Aisha tertegun penuh tanda tanya. Meletakan apa? Di mana? Bukannya menjawab pertanyaan Rafa malah memainkan teka-teki.

Aisha masih diam. Ia ragu untuk menjawab. Ia kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba Rafa. Haruskan ia menjawab? sementara seharusnya Rafa menjawab pertanyaan ummanya.

"Aisah?" kembali Rafa bertanya. Ia ingin segera mendengar jawabannya karena jawaban Aisha adalah jawabannya untuk Umma.

Dan kini percakapan pun serasa antara mereka berdua. Di luar itu menjadi blur tidak jelas. Keduanya hanya melihat satu sama lain.

"Benar Kamu telah dilamar seseorang?" Aisha tetap diam. "Kamu pasti ragu, tidak bisa memberikan jawaban apapun. Karena Kamu telah terlanjur ke tempat itu dan menaruh sesuatu di sana," katanya lagi kali ini diakhiri dengan senyum puas. Ia yakin Aisha telah melakukannya. Aisha tahu tempat itu bukan? Buat apa kalau tidak untuk yang ia tulis di surat?

Aisha benar-benar dibuat salah tingkah. Skakmat! dalam satu langkah.

"Maaf Nak Rafa, Umma menyela. Rupanya teh kalian berdua telah sama-sama berjanji? Benar? Umma teh sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Nak Rafa."

"Eh, Umma anu, itu..." Rafa berpikir sejenak melihat tajam ke arah Aisha. Ia memperkirakan gestur Aisha untuk membenarkan dugaannya karena Aisha bergeming. Tapi satu hal, jelas bagi Rafa Aisha sangat salah tingkah. "Kemungkinan besar benar Umma..."

"Aisha?" Ummanya kini balik tanya kepada Aisha.

"Assalamu'alaykum..."

Seseorang mengucapkan salam dari arah dapur. Tak ayal membuat lega Aisha. Ia seakan diberi kelonggaran waktu. Semua menjawab salam itu dengan kecepatan berbeda sesuai tingkat kekagetan masing-masing.

"Lebet Bi," kata Ummanya Aisha sambil mendongak ke arah pintu. Rupanya yang mengucapkan salam adalah Bi Entin.

"Eh ada tamu," katanya ceria seperti biasa. Kemudian menyalami satu persatu tamunya sambil memperkenalkan diri.

"Rafa."

"Bi Entin, bibinya Aisha. Namanya Rafa, yang pasti bukan Rafa Tjandra kan?" Katanya tersenyum menggoda. Ia ingat betul nama ini. Tapi kemungkinan besar bukan orang yang kini di depannya. Ia tidak mungkin ke sini, buat apa? Anak orang terkaya berkunjung ke rumah sederhana di kampung pula. Ah! Itu di luar jangkauannya.

"Rafa Pradipta Tjandra," kata Rafa mengulang kali ini lebih lengkap.

"Ya itu maksud saya," katanya lagi kali ini menepuk tangan Rafa. Bi Entin mengira tamunya yang sedang disalaminya sekarang sedang menegaskan bahwa dirinya bukan Rafa yang Bi Entin pernah dengar. "Tapi, saha nu teu kenal nya ka Rafa eta," katanya dalam bahasa sunda sambil tertawa.

Chiko mengernyit melihat tingkah perempuan di depannya ini.

"Ini Rafa Pradipta Tjandra Bi, Nak Rafa anaknya Pak Bagas teman Almarhum abinya Aisha," kata Ummanya Aisha.

Sontak Bi Entin terperanjat. Ia kaget sekaget-kagetnya. Apa yang dilakukannya di sini? pikirnya.

"Maaf ya Den, sepertinya dulu Pak Bagas membolehkan keluarga Neng Aisha tetap tinggal di sini," kata Bi Entin tanpa hujan tanpa angin langsung nyerocos tak dimengerti seorang pun. Hal pertama yang ia ingat adalah rumah dan keluarga Aisha.

"Maksud Bibi?" tanya Rafa heran.

"Eh, ke sini bukan karena itu kan? Maksud bibi menyuruh Neng Aisha dan keluarganya keluar dari rumah ini?" Kata Bi Entin polos.

Aisha melongo mendengar Bibinya begitu pula yang lainnya.

"Fa, jangan-jangan?" tanya Chiko mulai faham.

"Apa sih Lo..." kata Rafa. Ia masih mengelak. Apa yang akan terjadi jika Aisha tahu? Ia tidak bisa membayangkan jika Aisha malah akan balik membencinya. Tapi, ah! Kekanak-kanakan sekali, pikirnya. Toh pada akhirnya semua harus tahu.

Rafa mendeham.

"Nak Rafa? Maksud Bi Entin bagaimana? Kok Umma jadi takut begini."

"Euceu tidak usah takut. Mereka keluarga Pak Bagas ini baik. Rumah ini atas nama Rafa apa tadi Tjandra. Dulu yang beli keluarga Pak Bagas atas nama anaknya. Tadi Bibi pikir anaknya mau nyuruh kalian keluar, nya atuh barangkali rek dijadikeun villa. Makana Bibi tadi rada khawatir."

"Ja jadi?" dalam keadaan melongo Aisha mencoba menjelaskan semuanya. "Kamu..."

Rafa terdiam. Ia tidak punya ide untuk menjelaskan. Rupanya terbongkar sudah kelakuannya dulu. Rumah ini miliknya. Milik Rafa Pradipta Tjandra. Tanpa sepengetahuan Aisha selama ini memang hidupnya tidak pernah lepas dari dirinya, Rafa.

"Kok bisa begini?" tanya Aisha minta penjelasan Rafa.

"Anu..." Rafa bingung.

Chiko melihat ke arah sahabatnya itu. Dia tahu, mungkin. "Karena Rafa dari dulu sudah menyukai Aisha. Dia tidak mau jauh dari Kamu. Makanga ketika Kamu mau pindah. Mungkin, yah gue yakin, si Rafa ini membeli rumah Lo di Sukabumi agar Lo bisa tetap di Jakarta. Dan Lo tahu sendiri akhirnya Lo tinggal di rumahnya Rafa. Gue yakin karena itu. Maafkan dia Sha. Dia terlalu menyayangi Kamu."

Rafa tertunduk lebih dalam.

Bi Entin shocked ia terduduk dan menimbulkan bunyi bulk! Ia tidak bisa membayangkan salah satu keluarganya, keponakannya disukai seorang Rafa keluarga Tjandra yang tersohor ke mana-mana. Ia juga tidak pernah menduga sedikitpun ketika Pak Bagas menghubunginya untuk membeli rumah ini. Ternyata masalahnya hanya itu. Hanya ingin dekat dengan Aisha! Hanya soal anak yang pada waktu itu bahkan masih sangat muda. Di desa kecil ini di mana Bagas dulu pernah tinggal. Keluarga Tjandra mungkin semut pun tahu. Ia melotot melihat ke arah Aisha kemudian kakak iparnya. "Kang Ahmad..." bisiknya memanggil nama kakaknya yang telah tiada.

Aisha kembali melihat ke arah Rafa. Ia tersenyum tapi sedih. Rafa..., bisiknya dalam hati. Ia tidak pernah tahu begitu dalam perasaan yang dipendam Rafa. Kini air matanya tidak bisa tertahan, mengalir begitu saja. Rafa si anak angkuh, keras kepala ternyata sangat melankolis. Bagaimana ia bisa marah? Penderitaannya bersama keluarganya ketika tinggal di rumah Rafa dan semua tragedi sesudahnya kini bagai air yang membasahi gurun. Entah kenapa Aisha hanya melihat ketulusan Rafa. Mungkin ini alasan kenapa hidupnya tidak bisa lepas dari seorang Rafa yang jaraknya antara langit dan bumi. Kebiasaannya sangat jauh dengan Rafa. Banyak hal yang membuat keduanya sangat berbeda tapi, Dia memiliki rencana.

"Ma maafkan aku Aisha, Umma, karena keegoisan seorang Rafa kalian banyak menderita di Jakarta dulu. Mungkin benar sebaiknya Aisha, kita tidak kembali bertemu. Benar hanya kelukaan dan kesedihan saja bagi kamu. Maafkan. Tapi..." Rafa terdiam memandang ke arah Aisha. "Tapi gue tidak bisa melepaskan Kamu, Aisah..."

Ia tetap seperti itu, bisik Aisha dalam hati kemudian di antara air matanya ia tersenyum melihat tingkah Rafa. Ia masih kepala batu dan mau menang sendiri. Apa jadinya bersamanya? senyumnya lebih ke menertawakan diri sendiri.

"Rafa...," bisik Aisha bergetar.

"Biarkan si keras kepala ini menyelesaikannya Aisah. Gue yakin Lo ke sana. Gue yakin Lo juga sayang sama gue. Kan gue dulu pernah bilang. Baru-baru ini juga sering. Ditambah Kamu ke tempat itu dan meletakkan sesuatu di situ terus kamu ragu, itu sudah cukup bagi gue Aisah. Kamu ragu menerima pinangan yang lain kan? Gue sudah pernah bilang, tunggu gue Aisha! Apa Kamu tidak percaya?"

"Karena kamu belum pernah datang ke umma dan minta baik-baik," jawab Aisha kemudian mulai bisa mengendalikan diri. Ia mengusap pipinya hingga kering tapi sembab tak bisa ia hilangkan begitu saja. Hidungnya pun tak bisa tidak memerah.

Rafa berhenti dari gerakan-gerakan anehnya yang dibuat ketika ia merasa kebingungan. "Ah! Gue sudah tahu makanya hari ini gue di sini," katanya. Kemudian dengan cuek ia duduk kembali seperti mengomando semuanya untuk duduk.

"Ehm!" dehemnya membuat semuanya bergerak perlahan mencari kursi. "Umma," katanya memulai ketika semua telah mendapatkan kursinya masing-masing, kecuali Bi Entin yang dari tadi terduduk lemas saking terkejut dengan pengakuan Rafa. "Harusnya aku ke sini sama papa tapi Kamu tahu Aisah, mama masih tahap penyembuhan dan kakek," ia berhenti sebentar. "Yah, Kamu tahu sendiri. Karena itu gue, aku memberanikan ke sini dulu sendiri," katanya mengambil jeda mengumpulkan keberanian.

"Umma...jauh-jauh seorang Rafa ke desa ini untuk apa? Satu, sengaja datang ke sini, benar untuk mendapat jawaban apakah Aisha dilamar seseorang dan akan menikah? Karena aku gak bisa membiarkan itu terjadi. Aisah, Aisah, Aisah aku aku pun hendak melamarnya umma dan menjadikannya istri, itu inti selanjutnya Umma. Benar dugaan-dugaan umma itu, maka tolong izinkanlah," katanya menunggu sejenak. "Umma, semoga umma mengerti. Aku tidak bisa berkata lebih baik dari ini. Tapi, aku, aku sangat menyayangi Aisah. Biarkan ia menjadi istriku umma..." katanya melemah.

Aisha tidak terkejut. Ia cukup tenang dan damai. Menyimak semua yang dikatakan Rafa dengan harap-harap cemas.

Umma Aisha dan Bi Entin terbengong-bengong. Keduanya kaget bukan kepalang mendengar perkataan Rafa, anak terkaya di negeri ini menginginkan gadis kampung yang insyaAlloh soleha, pintar, dan penyayang seperti Aisha tapi dia miskin harta. Bagaimana Aisha akan masuk ke dalam keluarga Rafa? Hal yang sulit dipikirkan Bi Entin dan Ummanya. Bi Entin tambah terkejut, rasa-rasanya ia tidak sanggup bicara apapun. Harusnya suaminya mendengar ini semua, ke mana dia?

"Aisha mimpi apa semalam?" kata Bi Entin lamat-lamat dalam keterkejutannya. Ia masih tidak percaya. Seorang Rafa anak Bagas yang dikenal seluruh kampung, tidak! Ia dikenal seantero negeri. Tapi ini mungkin yang orang katakan sebagai sejarah kembali terulang. Karena papanya Rafa dulu juga orang kampung ini.

"Tapi Nak Rafa, Aisha harus memutuskan lamaran sebelumnya sebelum menjawab lamaran Nak Rafa. Tunggulah seminggu lagi," kata ummanya bijak. "Dan lagi datanglah dengan orang tua. Karena Aisha anak pertama umma. Umma ingin seyakin-yakinnya bahwa Aisha dapat diterima di keluarga Nak Rafa. Lagipula abi nya almarhum akan senang jika yang datang melamar itu orang tua Nak Rafa. Umma pun tidak tahu keputusan Aisha akan lamaran pertamanya. Jadi, bersabarlah."

Rafa memandang ke arah Aisha. "Tapi Umma, dalam hal ini secara tidak langsung Aisha telah mengikat janji dengan aku. Saya telah lebih dahulu melanarnya walaupun tidak melalui umma," kata Rafa kemudian tidak mau menunggu. Ia harus berangkat dan ia tidak mau digantung.

"Iya Nak Rafa, umma mengerti tapi Aisha masih gadis belum pernah menikah. Jadi, masih menjadi tanggung jawab orang tuanya dalam hal ini umma dan pamannya yang nanti menjadi wali menggantikan abinya. Nak Rafa harus melamarnya secara baik-baik bukan dengan cara seperti tadi yang mana umma juga tidak mengerti bagaimana akhirnya kalian bisa berjanji satu dengan yang lainnya," kata ummanya Aisha lemah lembut.

"Aisha Kamu insyaAlloh paham maksud umma. Selesaikan dulu dengan Nak Angga. Putuskan jawabanmu."

"Angga? Angga Umma?"

"Iya. Nak Rafa kenal?"

Rafa mengangguk pelan. Ia melihat ke arah Aisha. Dia merasa sangat terganggu dengan nama ini. Benar Aisha, kamu rela melepas pinangan Angga demi gue? Gue yang tidak ada apa-apa nya dibanding Angga? Gue yang belum menjanjikan apa-apa tentang akhirat yang selalu engkau bicarakan dan takutkan. Aisha...Rafa menunduk dan menghela nafas dalam-dalam.

"Aisah?" ujarnya seakan menyuruh Aisha untuk berpikir, ini Angga Aisha tapi... "Gue tau Angga. Gue siap menerima apapun demi kebahagiaan Lo. Gue, aku... ah, Angga terlalu jauh bagi gue," katanya sambil tersenyum , tertawa, menertawakan diri sendiri.

Sontak semua kaget mendengar ucapan Rafa. Ke mana-mana menurut penglihatan harfiah mereka, Rafa jauh unggul dibanding Angga. Semua saling pandang. Mereka mulai cemas dengan keputusan Aisha.

Aisha mengangguk ke arah Rafa. Hal ini malah membuat semuanya bingung. Anggukan itu bisa berarti banyak. Tapi, bagi Rafa ia tahu Aisha akan memutuskan yang terbaik. Sebagaimana Chelsea ia pun harus menyelesaikan urusan hati. Tidak peduli akhirnya tapi jika itu membuat orang yang kita kasihi bahagia, bukankah itu level tertinggi dari cara mengasihi seseorang. Ah, apakah dirinya bisa seperti Chelsea?

Tidak terasa waktu dzuhur akan segera pergi dan Rafa beserta yang lain belum menunaikannya. Sehingga dengan terpaksa pertemuanpun bubar dengan sendirinya. Rafa kemudian pamit dan akan segera kembali apapun keputusan Aisha.

"Fa, yang bener saja kok gitu, Elu itu yah, walaupun baru belajar agama tapi perkembangannya pesat men...Jangan merendah ah, bukan Rafa yang gue kenal," kata Chiko ketika di perjalanan pulang. "Gue sudah menemani Elu sejak pertama Lo suka dengan Aisha. Dari mobil silver, biru, dan sekarang ditemani Pak Yanto. Gue tidak mau perjuangan Lo sia-sia," kata Chiko gereget dengan tingkah Rafa.

"Chik jodoh di tangan Alloh SWT, yang penting gue sudah berusaha, urusan hasil gue serahkan semuanya pada Alloh. Lo sahabat gue Chik, akan selalu ada buat gue," jawab Rafa sambil melihat ke arah jendela dan tersenyum dengan semua yang telah dilewatinya. Benar ini pedih Chels, katanya dalam hati. Lo akan mendapatkan yang baik buat Lo Chels.

***

Dua hari kemudian.

Angga tidak pernah datang kembali ke rumah Aisha di Sukabumi. Ia tidak perlu datang. Semua telah jelas. Aisha gadis yang didambakannya telah sangat dengan baik melalui kata-katanya yang manis tapi kenapa sangat menusuk hati. Tapi, itulah, semua laki-laki harus tahu risiko. Ini tidak akan membuatnya mundur untuk kembali berta'aruf dengan akhwat lainnya. Angga yakin jodoh sudah diatur oleh Alloh SWT. Jadi, jika memang bukan Aisha maka di depan ada yang lebih tepat untuknya. Aisha mungkin gadis baik tapi dia bukan perempuan yang tepat untuknya tapi untuk yang lain.

"Kamu sudah yakin dengan keputusan itu Teh? tanya Airin yang didengarkan ummanya di ujung hari. Baru saja Aisha menelpoon Angga dan memutuskan hal besar dalam hidupnya. Airin dan ummanya menunggu.

"InsyaAlloh Airin, Umma," katanya sambil melihat ke arah keduanya. "Angga adalah pemuda yang baik. Aisha pasti telah melakukan kesalahan besar telah menolaknya, tapi Umma, Airin, Teteh akan jauh merasa bersalah jika harus menerimanya."

"Kenapa Teh?" tanya Airin penasaran.

"Karena dari pertama kali Teteh mengenal Rafa semuanya hanya tentang dia. Mulai dari teteh sedih, marah, dan bahagia, semuanya dia. Teteh mungkin bisa bahagia, tertawa dengan teman dan sahabat teteh tapi teteh hanya menangis bersedih dan marah kepada Rafa. Teteh tidak mau mengorbankan Angga hanya karena Angga terlihat lebih baik dibanding Rafa. Karena Teteh tahu hati ini tidak bisa berbohong. Teteh tidak bisa melihat Rafa bersedih, jatuh tak berdaya, teteh bisa marah kepadanya, mengingatkannya, dan sebaliknya. Tapi, Angga dia mungkin jauh lebih baik tapi Teteh takut jika nantinya malah hanya akan mengkhawatirkan Rafa saja. Bagaimana perasaan Angga? InsyaAlloh ini yang terbaik."

"Airin juga merasa Teteh akan lebih tepat dengan Ka Rafa. Mmm, karena walaupun Ka Rafa seperti itu tapi dia selalu tulus. Bahkan ketika harus marah, Airin melihatnya dia tulus Teh. Karena tidak ingin Tetah mendapat hal yang tidak baik. Tetah, Airin akan selalu mendukung Teteh apapun keputusannya. Semoga Teteh selalu dilindungi oleh Alloh SWT, aamiin," yang disambut ucapan aamiin ummanya.

"Umma?"

Ummanya kemudian memeluknya. "Apapun nanti yang akan kamu hadapi bersabarlah Nak. Kehidupan kita dengan Nak Rafa sangat jauh berbeda, jadi, bersiaplah, umma yakin insyaAlloh kamu bisa."

***

"Tulisan apa ini?" kata Rafa membaca tulisan Aisha yang merupakan balasan suratnya dulu tiga tahun yang lalu. "Kamu pasti susah payah sampai di sini, kamu sendirian kan?"

Aisha mengangguk kemudian tersenyum.

Tiga tahun yang lalu dalam surat yang ditulis oleh Rafa, Aisha diminta menyimpan sesuatu yang dimasukkan ke dalam kapsul andai Aisha mau menunggunya. Rafa tidak yakin dengan cara ini tapi satu hal yang ia tahu: Aisha akan datang. Entahlah waktu itu ia sangat yakin. Tidak masalah Aisha tidak melepas keberangkatannya ke US cukup datang ke tempat ini dan meletakkan sesutua itu lebih dari cukup karena semua derita dan kesedihan akan hilang dengan sendirinya.

"Aisha tetaplah di sisiku selamanya..."

Aisha kembali tersenyum.

Kapsul yang berisi surat Aisha kembali ditanam dekat pohon tengah kolam. "Biarkan ia di sana," kata Rafa sambil mensekopi tanah untuk membuka ruang menyimpan kapsul.

"Tidakkah ini kekanak-kanakan?" kata Aisha sambil tertawa pelan.

"Bukankah kata kamu, hidup ini soalan kita bermain dan anak-anaklah juaranya. Kenapa tidak kita menjadi anak-anak?" jawabnya sambil tersenyum menggodai Aisha.

Pernikahan anak, cucu terkaya di negeri ini tanpa perayaan apapun bahkan masih dengan kekesalan kakeknya. Tapi waktu akan menjawab semuanya.

Keduanya kini tersenyum bahagia. Masa depan masih jauh. Besok Rafa akan berangkat ke Amerika dan Aisha belum bisa ikut karena banyak hal yang harus diurus.

"Baik-baik Aisah...aku akan menjemputmu di musim panas tahun depan," katanya sambil menggenggam erat tangan istri yang dikasihinya.

"Rafa, sayangilah kakekmu. Dia benar-benar kakekmu."

"Maksud Kamu?"

"Mungkin orang tuamu belum tahu tapi kamu benar anak kandung Mama."

"Hah?!"

"Benar. Kakek suatu hari pernah berbicara kepada saya. Tapi, kalau kita pikir, tidak mungkin kamu akan terus berada di keluarga Tjandra jika kakek tahu kamu bukan darah dagingnya. Dan Rafa, akan sangat aneh jika Kakek tidak tahu asal-usulmu. Karena kabar kamu yang dulu menyukai seorang Aisha saja bisa sampai ke Kakek, masak kelahiran cucunya dia tidak tahu."

"Tapi..."

"Lain waktu Kamu bisa bertanya. Lain waktu semoga Kakek bisa jauh lebih baik. Semoga Alloh membukakan hatinya, melembutkan hatinya, aamiin."

"Kamu tidak benci Kakek?"

Aisha menggeleng dan tersenyum tulus. Rafa menyambutnya.

Keduanya duduk berhadapan sambil mendayung sampan. Sampan pun melaju menuju tepian karena matahari sore akan segera pulang begitupun dengan mereka. Keduanya memerah diterpa sinar matari sore yang menjadi saksi betapa perjalanan ini baru saja dimulai, keduanya berjanji untuk tetap bersma menjalani kehidupan ini dalam suka dan duka.

__________________SEKIAN_____________________

NOTES

Rafa Aisha terimakasih. Kalian harus memiliki ending yang bahagia. Berbahagialan Rafa Aisha...

Untuk teman-teman semua terimakasih. Tidak ada kata yang layak selain terimakasih. Terimakasih terimakasih terimakasih, tanpa kalian semua mungkin ini akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk selesai. Walau masih jauh dari sempurna, paling tidak Rafa Aisha berbahagia tanpa digantung hehehe love you all😘 sampai ketemu di project selanjutnya, insyaAlloh.

PR terakhir adalah merapikan ejaan, memperbaiki cover, dan semua hal yang dibutuhkan sebuah buku. 

Continue Reading

You'll Also Like

24.3K 1.8K 28
Sama sama suka bukannya jadian malah nunggu salah satu nembak. Yah.. keburu ada orang laen..
1.2K 148 7
Ditulis ketika gabutt, skip aja gapapa *Dalam proses perombakan *** Now I'm shaking, drinking all this coffee These last few weeks have been exhausti...
PENGASUH By venta

Fanfiction

89.7K 9.6K 61
[Completed] Pusat organisasi pembunuh bayaran telah terbongkar dan menjadi buron oleh negara. Salah satu cabang dari organisasi ini, memilih untuk me...
132K 18.6K 28
start : 11/02/24 end : 05/05/24 plagiat menjauh cok! hanya halu gak usah bawa ke dunia nyata! CERITA KE 26.