SO PRECIOUS (PART COMPLETE)

By nonameformacity

8.6K 1.3K 1.1K

Cinta itu sebenarnya identik dengan kata 'EGOIS. Sama seperti kamu. ~Veily Seirania ----- Karena egoku yang t... More

Prologue
(1) Tentang Dia Yang Tak Ku Kenal
(2) Tentang Dia Yang Tak Ku Kenal <II>
(3) Realita
(4) Realita <II>
(5) Mencoba Melupakan
(6) Luka
(7) Perasaan Iba
(8) Semangat Baru
(9) Gejolak Hati
(10) Tanda Tanya
(11) Perubahan
(12) Ketika Hati Tak Berdaya
(13) Bertahan
(14) Gundah
(15) Apa Tindakanku Benar?
(16) Apa Yang Harus Ku Lakukan?
(17) Permintaan Pertama dan Terakhir
(18) Bersamamu
(19) Seperti Mimpi
(20) Haruskah?
(21) Kebohongan Yang Terungkap
(22) Kebohongan Yang Terungkap <II>
(23) Alasan Sesungguhnya
(24) Mauku Apa Sih?
(25) Kamu Mencintaiku, Atau Tidak?
(26) Ketetapan Hati
(27) Penyesalan
(28) Jadilah Milikku!
(29) Rayhan POV~ (Bagaimana Cintaku Bermula Lalu Ku Akhiri)
(30) Sisi lain dari Rayhan
(31) Surprise?
(32) Surprise? <II>
(33) Keraguan
(34) Belenggu
(35) Aku Harus Sembuh
(36) Restu Papa
(37) Restu Papa <II>
(38) Keputusan
(39) Frustasi
(40) Aku Harus Pergi
(41) Accident
(43) Memulai Hidup Baru
(44) Hal Tak Terduga
(45) Benci (Benar-benar Cinta)
(46) Benci (BBC II) <END>
(+++)

(42) Kamu Telah Pergi

116 20 16
By nonameformacity

Setelah merasakan indahnya jatuh cinta,
Namamu yang ku sebut pertama kali saat ku membuka mata.
Wajahmu pula yang ingin ku temukan dalam duniaku setelah terlelap.
Tapi, kini kau tiada lagi.

***
Happy Reading
***


Kelam malam semakin pekat, udara di luar sana semakin dingin dirasakan oleh manusia yang masih berkeliaran di jalanan.

Malam bagai melambangkan keheningan, menggambarkan kesunyian yang begitu tenang. Sesunyi suasana di dalam ruangan bercat putih ini. Hening. Namun siapa yang tahu bahwa hening tak selalu menyatakan ketenangan?

Hati seseorang tengah berkecamuk pedih, otak dan pikirannya dipenuhi oleh rasa bersalah. Energi cemas memenuhi sanubarinya. Dia diam layaknya sengaja membisu, tapi dalam dirinya, sama sekali tak ada ketenangan di situ. Sangat berisik, sampai dia menyerah untuk menghentikan kebisingan suara hatinya sendiri yang berpadu dengan egonya.

Dia Rayhan. Raut wajahnya begitu datar namun sendu, terlihat jelas tak bersemangat. Dia terlihat sangat lelah dan lusuh, dengan bajunya yang leccek bersama noda darah yang menempel di mana-mana.

Sudah empat puluh lima menit lebih dirinya menunggu di luar ruang ICU. Resah gelisah beserta takut akan kecemasan ia rasakan begitu menyesakkan batinnya.

"Ma, kenapa dokter nggak keluar-keluar?" tanya Rayhan lemah dengan suara yang masih parau.

Suasti pun tak lalu menjawab, "Sabar sayang, pasti sebentar lagi dokter memberikan kabar baik."

Ramana dan Suasti merasa sangat prihatin dengan konsidi Rayhan. Mereka tahu benar bagaimana perasaannya saat ini. Mereka ikut merasakan kesedihan yang Rayhan rasakan.

Drap drap drap drap

Suara langkah kaki terdengar mengalun cepat tak beraturan dari ujung belokan sana menuju ke arah Rayhan. Semakin dekat dan mendekat hingga suara kaki itu lama-kelamaan memelan. Kini hanya terdengar deruan napasnya yang begitu memburu akibat tubuhnya terlalu lelah berlari.

Rayhan mendongak lalu menoleh, dia melihat sosok Dimas sudah ada di depan matanya dengan raut wajah yang tak kalah khawatir dengan dirinya.

"Nak Rayhan? Bagaimana keadaan Veily?"--Dimas mengatur napasnya berkali-kali, ia berusaha menormalkan kembali detak jantungnya yang berdetak terlalu cepat akibat shock dan kelelahan--"Dia sudah sadar?"

Rayhan tak menjawab, dia hanya menghembuskan napasnya lesuh lalu menggeleng pelan memberitahukan kabar pahit yang harus Dimas dengar.

Dia memejamkan mata pasrah mencoba menerima semua keadaan yang begitu mengejutkan dan tak terduga ini. Siapa sangka semua akan jadi seperti ini? Apa ini juga termasuk kesalahannya? Sempat terlintas di pikiran Dimas bahwa kejadian ini juga merupakan akibat dari tindakannya atas larangan beberapa hari lalu yang ia katakan pada putri tunggal kesayangannya itu untuk menjauhi Rayhan sampai dia benar-benar sembuh. Menurut Dimas, itulah yang terbaik. Dia hanya menginginkan kebahagiaan anak semata wayangnya, itu saja.

Lalu, jika ada hal tak terduga yang terjadi di luar perkiraan dan pemikiran kita, itu sudah takdir Tuhan. Tak ada yang perlu di salahkan, dipertanyakan atau pun dibernarkan.

Kebenaran hanya milik Tuhan semata. Kita manusia, hanya bertugas untuk memilih dan membuat keputusan atas pilihan yang kita anggap terbaik. Jika salah, apa boleh buat? Kita hanya bisa menjadikannya sebagai pelajaran untuk lebih baik lagi dalam bertindak mengambil keputusan yang tepat.

"Maafkan saya Om, saya yang sudah menyebabkan Veily jadi seperti ini." Suara Rayhan kembali memecah keheningan sesaat. Wajahnya tertunduk pilu, lagi-lagi matanya berkaca-kaca jika mengingat kejadian beberapa waktu lalu.

Dimas mendekat lalu mengusap puncak kepala Rayhan. "Tidak, Om juga harus meminta maaf padamu. Semua sudah terjadi, kita berdoa saja semoga Tuhan mau memaafkan kita dengan memberi keselamatan untuk Veily."

Melihat penuturan Dimas yang bijaksana dalam menanggapi suatu masalah, hati Suasti jadi terenyuh. Dia terharu. "Terima kasih atas pengertian Bapak. Kami di sini juga tengah mendoakan yang terbaik untuk keselamatan Veily. Maafkan anak saya jika dia banyak menyusahkan anak Bapak."

"Sama sekali tidak bu," jawab Dimas seadanya.

Klik

Bunyi kenop pintu ruang ICU telah terbuka, spontan semua orang menolehkan kepalanya menghadap pintu yang menjadi sumber utama. Rayhan bangkit dari duduknya lalu bergerak menemui Dokter yang baru saja keluar dari ruang ICU. Begitu pula yang lainnya menyusul.

"Bagaimana keadaan Veily, Dok?"
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Rayhan dan Dimas bersamaan.

Dokter itu membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya lalu menghembuskan napasnya panjang.

Melihat gelagatnya yang seperti itu semakin menambah kecemasan pada guratan raut wajah Rayhan dan Dimas. Mereka takut hal yang akan di katakan Dokter tak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.

"Gimana, Dok?" tanya Dimas sekali lagi. Dia ingin memastikan bagaimana keadaanku sesegera mungkin.

"Keadaannya memang cukup parah saat dibawa ke rumah sakit, tapi untungnya dia segera dilarikan ke sini sebelum terlambat."

"Jadi?" Rayhan tak sabaran. Dokter itu seolah sengaja mengulur waktu untuk memperlambat jawabannya. Jantung Rayhan sudah berdetak tak karuan, rasa takut akan kehilangan gadisnya kembali muncul, membuatnya ingin cepat-cepat mengetahui apa maksud Dokter itu.

"Jadi, dia bisa diselamatkan." Dokter itu akhirnya menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan senyum.

Ya Tuhan... Sungguh melegakan.

"Alhamdulillah," sahut mereka berjamaah.

Seolah mendapatkan pasokan oksigen yang berlebih, hati mereka melega seketika. Sangat lega sampai akhirnya ketegangan mendadak telah hilang terbawa angin.

"Masa kritisnya sudah lewat, tapi kita tidak bisa memastikan kapan dia akan sadar. Tubuhnya masih perlu memulihkan diri," ucap Dokter itu kemudian, membuat ekspresi Rayhan kembali mengerut sejenak.

"Tapi nggak bahaya kan Dok? Dia akan sembuh total kan? Tidak ada kelainan lain kan? Dia pasti akan baik-baik saja kan Dokter?" tanyanya bertubi-tubi. Rasa khawatir dalam diri Rayhan masih belum terbuang sepenuhnya.

"Tenang saja, mungkin paling lambat sekitar dua hari. Tapi kalau kondisinya cepat membaik, besok dia pasti sudah bisa melihat indahnya dunia lagi." Dokter itu menepuk pundak Rayhan yang masih terlihat gusar. Dia mengulaskan senyum menenangkan agar kegelisahan Rayhan berkurang.

"Kalau begitu saya permisi dulu," lanjutnya undur diri.

"Baik. Terima kasih Dokter," jawab Dimas menanggapinya.

Tak mau menunggu lebih lama lagi, Rayhan pun segera masuk ke dalam ruangan tempat Veily terbaring lemah. Dia bahkan mendahului Dimas dan menduduki kursi yang seharusnya Dimas tempati.

"Veily, sayang...." Dia menatap gadis itu sendu lalu mengambil tangannya kemudian mengecupnya.

"Maafin aku... Maafin aku...."

"Maaf... Maaf karena sudah membuat kamu berada di tempat memuakkan ini." Lagi-lagi mata Rayhan memerah dan berkaca-kaca.

"Maaf sayang, maafin aku karena kamu harus merasakan bagaimana sesaknya ruangan ini." Rayhan mengerjapkan matanya dan meraup wajahnya kasar setelah dirasa bulir air matanya telah jatuh menetes.

"Kamu pasti takut kan? Kamu-"

"Sudah Ray, Nggak perlu minta maaf lagi. Om yakin Veily pasti memaafkanmu," tutur Dimas begitu lembut. Suaranya cukup mengejutkan Rayhan hingga membuatnya tersadar akan lamunan penyesalannya.

"I-iya makasih Om."

Dimas hanya tersenyum. Kemudian Rayhan merasa ada keganjalan saat melihat beliau terus berdiri di sampingnya seraya menatapi wajah anaknya dari kejauhan.

Astaga...

"Ah iya, ma-maaf Om. Silahkan duduk!" Rayhan gelagapan dan segera bangkit dari kursinya.

"Sudah nggak apa-apa, kamu saja."

"Enggak Om, lagipula saya juga mau keluar sebentar nemuin mama sama kakak saya."

Dimas pun mengangguk mengerti, "Baiklah."

***

"Ray," seru Ramana spontan ketika mendapati adiknya telah keluar dari ruang rawat Veily. Sementara Suasti dan Kalista hanya mengamati saja kedatangan Rayhan.

"Kak," Rayhan tersenyum hambar.

"Keadaan Veily sudah membaik?" tanya Ramana.

"Emm, sepertinya."

"Kamu nggak apa-apa?"

"Emm, cuma sedikit lelah," jawabnya datar.

"Kalau begitu istirahatlah! Kamu nggak boleh ikut-ikutan ngedrop juga seperti Veily."

"Enggak Kak, aku akan di sini untuk malam ini,"--Rayhan menghela berat--"Untuk terakhir kalinya, aku ingin menemani Veily."

"Maksudmu?" Alis Ramana terpaut heran.

"Tentu saja karena aku harus segera pergi ke luar Negeri," jawab Rayhan seadanya.

"Jadi kamu tetap pergi?"

Rayhan mengangguk lemah. "Kakak bisa kan menyiapkan tiket untuk keberangkatanku besok pagi-pagi sekali?"

"Kenapa buru-buru? Nggak nunggu Veily sadar? Bagaimana kalau dia mencarimu?" Ramana tak habis pikir, bagaimana bisa adiknya itu berpikiran seperti itu di saat-saat seperti ini.

Dari dulu, Ramana memang tak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Rayhan. Nampaknya Rayhan memang selalu mempunyai jalan pikiran yang berbeda dan sangat aneh bagi Ramana. Atau memang tingkat egonya yang terlalu tinggi, hingga dia hanya memikirkan apa yang menurutnya benar tanpa mau tahu bagaimana tanggapan dan pemikiran orang lain mengenai pemikirannya itu.

"Ini yang terbaik Kak. Setelah ini, aku nggak yakin dia akan memaafkanku. Aku berharap bisa menebus semua kesalahanku saat aku sembuh nanti."

Mata Rayhan terlihat menunduk sayup. "Semoga saja," lanjutnya sangat lirih. Dia bahkan tak yakin dengan ucapannya sendiri.

Sedang Ramana hanya bisa menghembuskan napasnya pasrah. Dia tak bisa berbuat apa pun, hanya bisa menuruti semua kemauan Rayhan. Meski kadang permintaannya tak masuk akal menurut Ramana, dia akan tetap berusaha mengabulkan keinginannya.

Aku pasti sembuh kan Tuhan? Ku mohon, semoga aku bisa kembali...

------
***

Pagi yang cerah akhirnya menyapa, meski aku tak bisa menikmati berkas sinar matahari secara langsung, aku tetap bisa merasakan kehangatannya.

Perlahan ku gerakkan bola mataku yang masih sulit terbuka. Lalu ku coba berkali-kali agar mataku lekas melebar. Meski masih terasa buram, akhirnya pupil mataku mampu menerima rangsangan cahaya dari ruangan ini.

"Sayang? Kamu sudah siuman?"

Aku menggerakkan ekor mataku melihat ke sekeliling ruangan bercat putih ini. Sudah pasti ini adalah rumah sakit. Karena tempat ini terasa begitu asing bagiku. Apalagi dengan bau obat yang sangat menyengat. Tubuhku pun penuh dengan peralatan medis yang tak ku ketahui apa fungsinya.

Papa. Dialah orang pertama yang ku lihat saat ini. Lalu kemudian ku telusuri lagi ruangan ini. Di tempat lain ada Selly, Pak Mamang dan istrinya yang tengah membenahi pakaianku di dekat sofa.

Mataku masih mencari-cari sesuatu, mencari sosok lelaki yang begitu ku rindukan. Mencari seseorang yang sangat ku harapkan kehadirannya saat pertama kali aku membuka mata setelah kembali dari kematian.

Kini aku mengerti bagaimana rasanya hampir mengahadapi maut. Rayhan pun mungkin sering berada pada masa-masa seperti yang ku alami semalam. Dan itu cukup mengerikan. Aku takut namun bukan sepenuhnya ketakutan akan kematian, tapi dilema dan keraguan juga terbayang di sana. Antara ingin pergi atau bertahan. Antara memilih tetap mencari kebahagian atau menyerah pada asa yang telah terputus lalu menghilang.

Mungkin jika aku terlena lalu menyerah akan kehidupan, saat ini jantungku takkan berdetak normal, dan napasku takkan berhembus ke udara. Namun demi seseorang yang ku cintai, orang-orang berharga dalam hidupku dan demi orang-orang yang mencintaiku, aku memilih kesempatan kedua yang Tuhan berikan untukku bertahan hidup di dunia ini. Meski sekali lagi aku harus memulai kembali dari awal tuk berkelana mencari kebahagiaan sekaligus merasakan pahitnya kehidupan ini.

Tapi ternyata, orang yang berharga dalam hidupku itu tak ada di sini. Rayhan tak bersamaku. Dia tetap memilih pergi dan meninggalkanku.

Lalu haruskah aku menyesal? Tidak. Mungkin ini cara Tuhan agar aku mampu memperbaiki jalan hidupku lebih baik lagi, meski tanpanya...


TAMAT...

.
.
.
Boong ding...

Masih Bersambung koq...

Di tunggu kelanjutannya yahhh :)

Continue Reading

You'll Also Like

13.4M 1.1M 81
β™  𝘼 π™ˆπ˜Όπ™π™„π˜Ό π™π™Šπ™ˆπ˜Όπ™‰π˜Ύπ™€ β™  "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
2M 29.5K 27
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
1.3M 63.8K 69
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
9.8M 882K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...