Pull String

Av Bellazmr

2.1M 208K 39.6K

#RAlSeries-2 Dilaras Sekarayu. Dia bisa mengambarkan rancangan dirinya di empat atau lima tahun mendatang. R... Mer

2. Prau
3. Kutu Kupret
4. Genjatan Senjata
5. Spesies Langka
6. Obat Sebuah Penyakit
7. Harapan Bertemu
8. LDR Terjauh
9. Pernikahan
10. Yang Tak Pernah Ada
11. Daftar Rencana
12. Nama Tanpa Cerita
13. Sebelum Jatuh Cinta
14. Tanpa Kabar
15. Jemari Bertaut
16. Dua Kali Air Mata
17. Manusia dari Kerak Neraka
18. Geranium tak Bersalah
19. Pengaruh Tempat terhadap Jawaban
21. Perempuan Keras Kepala
23. Saling Melibatkan
25. Kata Kita yang Nanti
27. Selucu Itu
28. Semua Tentang Wira
29. Sudah (TAMAT)
1. Sepenggal Kisah
2. Permulaan
3. Tertinggal
4. Jatuh Sakit
5. Kata Pergi
8. Mau kamu apa!
SPIN OFF-Pull String
SPECIAL PART (TENTANG)
Untuk Kalian yang Mencintai Kita
Mau baca Pull String lengkap?

1. Benar Saja

170K 11.6K 1.5K
Av Bellazmr

Bagian Satu

Bissmilah. Semoga cerita ini bisa diselesaikan sampai kata tamat.


Pull String ; to secretly use the influence you have over important people in order to get something or to help someone

-Pull String-

Sepotong bakwan berada di tangan kananku, sedangkan tangan kiriku tidak diam saja untuk hanya kosong, tangan itu memegang tempe hangat yang baru dipindahkan bunda ke dalam piring.

Sesaat, ketika aku masih menikmati bakwan dan tempe. Bunda tiba tiba saja sudah ada di sebelahku seraya menuangkan air ke gelas. Di tengah apa yang ia lakukan, bunda berbicara.

"Kamu ingat Wira?"

Aku melongo dengan wajah setengah berpikir, mengingat nama yang tampak tidak asing itu.

Setelah beberapa menit, aku gagal mengingatnya.

"Wira siapa ya, Bun?" Aku menyerah, aku ingat beberapa nama wira di hidupku. Wira, anak penjaga kompleks rumah. Wira, seniorku di kampus yang selalu memakai kaca mata bulat. Wira Sableng... ah banyak.

Bunda berdecak kecil, lalu menjawabnya setelah meneguk air dalam gelas yang tadi ia tuangkan, "Wiradharma Davendra, teman sekelas kamu jaman SMA, yang Bunda pernah bilang bahwa dia anak temennya Bunda."

Seketika otakku bekerja cepat untuk mencari wajah Wara-Wira weh weh weh yang disebutkan bunda tadi. Dan yaps, akhirnya aku teringat. Siapa Wira yang dimaksud oleh bunda.

Aku mengingatnya. Dia temen dekatku jaman sma kelas satu. Dekat yang benar-benar dekat, tapi dekat bukan dalam artian memiliki perasaan.

Teringat, aku pernah jadi mak comblang Wira dan teman sebangkuku dulu. Aku jadi comberannya Wira dalam menceritakan teman sebangkuku ini. Semua itu berlangsung setahun. Setelah itu Wira mendadak pindah sekolah, aku hanya mendengar kabar bahwa ia pindah ke Semarang untuk ikut kakak perempuannya.

Lantas setelahnya, berita Wira tak terdengar lagi. Aku tak pernah tahu bagaimana dia sekarang. Wajahnya, suaranya, tingkahnya atau bahkan bagaimana curhatannya sekarang. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu juga.

Jelas, pertanyaan disertai pernyataan dari bunda tadi membuatku kaget.

"Mamanya tadi ketemu Bunda pas ngurus berkas di Dinas, terus cerita deh tentang Wira."

Ya, bundaku ini adalah PNS guru SD yang sedang dalam masa penaikan golongan. Jadi tiap hari kerjaannya mondar-mandir sekolah dan dinas. Aku tak menampik bahwa hampir setiap hari, ada saja cerita Bunda mengenai orang di dinas. Dan sebagai anak baik, tidak sombong, cantik, pandai menabung, dan rajin berdugem—abaikan dua kata akhir, selalu setia mendengar cerita bunda.

Rata- rata semua yang diceritakan bunda hanya sebatas nama, karena jelas... aku tidak mengenal siapa mereka. Pak Brotowali-lah, Ibu MaryamWuruk-lah. Siapapun itu.

Pengecualian untuk Wira, ini lumayan menarik.

"Memang Wira kenapa Bun ?" tanyaku sedikit terdengar antusias."Masih hidup anak Gajah Mada satu itu?"

"Hush sembarangan," peringat unda. "Wira sekarang sudah jadi taruna akpol," ungkap ibu yang berhasil membuat aku tersedak bakwan.

"Hah? akpol?" ulangku melongo.

"Iya, Akpol. Akademi polisi itu loh, Ras."
Aku jugga tahu akpol itu Akademi Polisi. masa Akademi Polianak.

Tapi jelassss...Wira? akpol? sejak kapan anak Gajah Mada satu itu suka diatur seseorang. Aku bahkan dulu sempat mendengar, mau tamat sekolah aja susah karena sifatnya yang cukup bandel. Bukan cukup lagi sih, tapi benaran bandel, mama dan kakak laki-lakinya dulu sering gotong royong datang ke sekolah untuk menghadiri surat panggilan.

Bunda tersenyum tipis melihatku yang kaget, "Cakep loh anaknya, ganteng, dan gagah. Kalau jadi mantu, pasti bikin ibu-ibu satu kompleks pada iri."

"Loh bunda ingin jodohin Mas Gatra sama Wira?"

Bundak berdecak sebal, tangan kirinya refleks menepuk lenganku.

"Ya bukan sama Gatra. Gitu-gitu mas kamu masih normal," sambar Bunda.

Aku menyengir, aku juga tahu kalau Mas Gatra, kakak laki-lakiku itu normal. Hanya saja karena tersandung cerita masa lalu, Mas Gatra jadi tampak malas untuk memulai kisah cinta baru. Karena itu, bunda sering jadi mak comblang dadakan untuk Mas Gatra.

"Jodohin sama kamu lah."

"Oh iya-iya." Aku mengangguk-anggukan kepalaku. Dua detik setelah kalimatku itu, aku membulatkan mata. "HAH APA BUN?" pekikku tidak percaya.

Bunda sekali lagi menepuk lenganku. "Kamu itu kalau ngomong jangan teriak-teriak, sakit kuping bunda."

Aku langsung cemberut, "Bun. Masa dijodohin sih, aku kan sudah punya pacar. Lagipula, Wira Bun, yang benar aja... Wira itu badannya kayak sapu lidi bunda dan nakalnya nggak ketulungan." Jelas aku tidak terima. Iya, waktu dulu Wira sebenarnya memang ganteng, tapi jujur itu tidak cukup untuk membuat seorang Laras. Diriku. Suka sama anak Gajah Mada satu itu. Tidak cukup.

Bunda sepertinya tidak mendengarkan keluhanku, alih-alih membalas, bunda malah lanjut cerita. "Mamanya tadi nanya tentang kamu loh."

Dahiku berkernyit, bingung dengan ucapa bunda. "Ngapain kok nanya-nanya Laras, kepo banget," ujarku idak suka.

Bunda tampaknya tidak terpancing dengan ucapanku yang bernada kesal. "Nanya kamu kuliah dimana, sekarang ngapain aja, dan sudah punya pacar belum."

Bunda berpikir beberapa detik lalu terkekeh di detik selanjutnya. "Ya bunda jawab jujurlah." Seperti ketiban ilmu Roy Kiyosih, Aku mencium bau-bau tidak enak dengan jawaban bunda ini.

"Jawab jujur yang gimana dulu nih, Bun?" balasku, makin tidak karuan. Aku tahu dibandingkan membagus-baguskan aku di depan orang. Bunda ini tipekal yang benar-benar apa adanya. Toh pasti...

"Bunda bilang bahwa kamu lagi kuliah di Agronomi Hortikultura, ituloh yang ngurusi segala macam tentang tanaman. Terus ya selain itu, Laras juga jadi penulis dan editor di salah satu penerbit."

Wow tumben! Seorang bunda.

"Bunda bilang gitu?"

Bunda mengangguk. "Dan mamanya Wira langsung kagum sama kamu." Diam-diam meskipun aku tidak suka dengan kata perjodohan, tahu bahwa lawan menyukai kita karena kekerenanku yang tiada duanya itu, aku tersenyum.

Sebelum bunda melanjutkan. "Tapi bunda juga bilang kala kamu itu sekarang sifat pemalesnya ampun-ampunan. Kayak di rumah cuma numpang makan gini aja, pergi pagi pulang sore, kalau weekend malah jalan jalan atau nggak nonton."

Aku melongo, lah bunda kok jujur amat.

"Bunda..."

"Bunda kan jujur, Ras. Toh kamu memang gitu kan?"

Jujur sih jujur, tapi nggak gitu juga keleus. Bunda menyengir. "Nggak apa kali Ras, mamanya Wira tetep suka kok sama kamu. Dia bilang kamu pasti mandiri banget di usia muda, sudah dapat penghasilan sendiri, bisa bagi waktu, dan tenang mamanya wira tetap jadiin kamu menantu."

"Bunda..."

Bunda tampak bahagia menyiksaku dengan hal ini. Langsung saja bunda menambahkan. "Iya, mamanya mau kamu jadi menantu, kamu nikah sama Wira."

Menikah? Di umur 17 tahun? Baru masuk kuliah semester satu? Baru nerbitin dua novel? Baru megang satu naskah orang? Yang benar aja.... Dan Wira? Dia nggak ada di dalam list jodohku. Kalau Peter Parker yang dijodohin sama aku, jelas aku mau-mau saja. Atau Taehyung BTS, bolehlah aku pertimbangkan.

"Serius banget sih, Ras." Tahu isi pikiranku, bunda mendadak meledek. "Sudah jauh banget mikir benaran mau nikah."

Aku melonggo. Kini, bunda meledekku habis-habisan dengan tawa bahkan ia mengacak belasan kali puncak kepalaku. "Becandalah. Mamanya Wira mau menantu dokter dan jelas, kamu nggak ada di daftar persyaratan itu, Ras. Jadi santai aja, bunda juga belum siap kehilangan anak bungsu bunda buat dinikahin orang"

Bundaku ini memang hobi sekali membuat candaan yang keterlaluan. Bunda nggak tahu aja kalau aku sudah mikir jauh. Dan lagi, meskipun aku legah bahwa ini hanya candaan. Tetap saja aku tersinggung di bagian bahwa mamanya Wira mencari menantu dokter dan aku bukan kriteria yang tepat. Mamanya cari mantu atau cari tukang rawat di usia tua sih? Kok gitu amat.

Tapi syukurlah, setidaknya aku tak perlu merangkai skenario membosankan yang sering terjadi di novel-novel yang aku baca. Tidak akan, ini hidupku, suka-suka aku bagaimana.

Semua percakapan itu hanyalahcandaan belaka.

Setahun, dua tahun, bahkan sampai akhirnya aku menyelesaikan studi Strata Duaku di Australia dan kembali ke Indonesia untuk mengabdi menjadi dosen. Topik Wira tak pernah lagi bunda singgung-singgung dan jujur aku juga sudah lupa.

Sampai dua menit yang lalu, semuanya berubah. Percakapan sepuluh tahun lalu tak sekadar bualan, bunda kembali membawa topik itu. Kali ini lebih serius karena Bunda juga mengatakan bahwa keluarga Wira akan segera datanguntuk masa penjajakan.

Apa-apaan ini? Tolong di zoom dong muka kagetku.Zoom terus mundur, terus zoom lagi. Biar terdramatisir banget ekspresiku ini.

"Bunda," rengekku.

"Ras, kamu tuh sudah dua puluh tujuh tahun."

Aku memberondong ucapan Bunda dengan cepat. "Terus apa salahnya dengan umur dua puluh tujuh tahun Bunda. Luna maya yang umurnya tiga puluh lima tahun aja malah semakin bersinar terang. Old is gold."

Bunda menggelengkan kepalanya, menatap aku setengah tak percaya. "Bunda dan Ayah juga makin hari makin tua." Aku juga tahu kalau bunda makin hari makin tua, memangnya bunda dan ayahku adalah Captain America yang punya serum super soldier sehingga mengalami pertambahan usia lebih lambat dari manusia normal?

Aku mengerti arah pembicaraan ini, tapi kenapa aku? Kenapa tidak Mas Gatra, bahkan tahun ini umur Mas Gatra sudah menyentuh angka tiga puluh enam tahun, kalau tahun ini dirinya belum menikah berarti Mas Gatra akan jadi saingan Hamish Daud yang melepas lajang di usia tiga puluh tujuh tahun. Tapi sepertinya rencana tersebut masih diawang-awang, aku belum pernah melihat Mas Gatra menjalin hubungan dengan perempuan.

Ayah yang tadi hanya diam saja, akhirnya angkat bicara setelah menatapku yang terilhat sangat nelangsa. "Ras, ayah tahu Pendidikan itu penting tapi apa salahnya kalau kamu juga serius dalam menjalani hubungan."

Oh aku tahu asal muasal semua ini, pasti karena rencanaku yang ingin melanjutkan Pendidikan Doctorku di Denmark. Demi Tuhan, itu semua masih rencana, walaupun yah... berkasku sudah sampai di rektorat semua. Kalau beruntung dan diterima, aku bisa ke tahap yang lebih serius.

"Ayah, kerja Laraskan dosen. S2 itu nggak ada apa-apanya Yah, banyak yang masih harus Laras cari."

"Ilmu dicari, tapi jodoh nggak dicari-cari," celetuk bunda. Muka bunda tertekuk masam. Bunda memang sering sekali uring-uringan masalah ini, semenjak aku lebih banyak tinggal di rumah khusus dosen yang berada di dekat kampus ketimbang rumah, ya wajar sih jarak rumah dan kampus tempatku mengajar tidak bisa dikatakan dekat. Menteng—Bogor.

Aku mendesah, sepertinya tidak ada kesempatan kalau harus membantah bunda. Sehingga akhirnya aku hanya dapat mengacak rambutku saja.

Entah apa yang akan terjadi dengan hidupku setelah ini.

Yang benar saja, Aku sudah dewasa, 27 tahun, S2 lulusan The University of Queensland, salah satu kampus nomor satu terbaik untuk bersekolah pertanian dan perkebunan di Australia. Dan sekarang aku berprofesi sebagai dosen tetap bidang Agronomi di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Mimpi bunda yang akhirnya bisa aku wujudkan.

Sayangnya, mimpi bunda untuk melihat ilmu di bidang tanaman yang aku miliki termanfaat lewat profesi mengajarku tidak cukup membungkam bunda untuk tidak berkomentar mengenai pilihan-pilihan di hidupku.

Termasuk ini, pilihan jodohku.

Ya Tuhan, Bunda! Aku sebenarnya juga sukses dalam masalah percintaan.

Serius sukses. Sukses dalam mengumpulkan banyak lelaki di hidupku. Mantan pacar, mantan gebetan atau mantan-mantan lainnya. aku bahkan perlu kedua tangan sahabatku untuk menghitung udah berapa kali aku menjalani kehidupan percintaan.

"Punya banyak pengalaman dengan ratusan lelaki, belum tentu bisa membuat kamu pengalaman untuk menetap dengan satu laki-laki." Aku benci kalimat yang dikatakan salah satu sahabatku itu, Riza. Benci karena aku harus membenarkannya.

Memang sekarang aku kembali jomblo. Dua hari yang lalu aku memutuskan untuk berpisah dengan pacarku yang bekerja sebagai pilot itu. Alasannya sederhana, "Dia terlalu baik untukku." Alasan yang hampir 50% aku gunakan dalam memutuskan hubungan, 20% nya lagi menggunakan alasan ingin fokus berkarier, 13% karena lebih nayaman berteman, 10% karena aku merasa kurang cocok, dan 7% apa ya? Ehm... oh ya, karena aku dan dia sama-sama sibuk.

"Laras?" Bunda tiba-tiba memanggil, membuatku mengerjap dan seketika mengembalikan kesadaranku penuh.

Aku menegok.

Bunda kembali bicara. "Dalam beberapa hari ke depan, Wira akan balik ke Jakarta. Dia ada tugas di sini, sekalian saja nanti kalian bertemu. Tidak perlu terburu-buru, lebih baik kalian mengenal lagi dulu."

Apa aku bisa membantah?

Jelas tidak, karena bunda kini cepat menghindar dengan cara mengajak ayah untuk menikmati kopi di gazebo depan, meninggalkanku yang sedang bingung setengah mati.

Wira?! Kenapa nggak koit aja sih anak Gajah Mada satu itu. Ngapain tiba-tiba muncul lagi di hidup aku, bikin repot saja. Dan lagi, aku tahu alasan bunda dan ayah menjodohkanku ini karena mereka menolak ideku untuk kembali bersekolah. Ya Tuhan... bukannya mencari ilmu itu salah satu amalan baik, kenapa saat ingin melakukan sesuatu yang baik, aku malah terbentur restu kedua orang tuaku.

Sial, kayaknya malam ini aku butuh minuman haram untuk melenyapkan setengah pikiran kalutku ini. Mungkin segelas Remy Martin di Fable bisa membuat membuatku sedikit lebih baikan.

Bersambung

1. Gimana perasaan kalian setelah membaca bab pertama ini?

2. Lanjut bab dua?

3. Sudah suka sama karakter Laras? Menurut kamu dia gimana?

Salam, Bellazmr(Masih salam bella dulu ya, belum ketemu kan sama Wira-Wiranya... ah siapa tahu bukan Wira karakater utamanya.)

Fortsett å les

You'll Also Like

887K 136K 132
8 Mahasiswa dan 8 Mahasiswi penuh drama yang kebetulan tinggal di kompleks kostan bernama, "Kost Boba" milik Haji Sueb. Moto Kost Boba Boy. "Aibmu ad...
4.4M 237K 51
Vanesha Tirana tidak hadir di hari pertunangan itu. Putra sulung Salbatier berdiri begitu saja di atas tebing sore itu di depan keluarganya. Menyada...
1.5M 73.4K 52
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
6.9M 340K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...