Head Over Heels (Kisah Cinta...

By sagirangisme

154K 13.1K 1.1K

Samudra Joseph Reagan dan Luhara Lituhayu putus di malam anniversary ke-7 mereka. Selain karena orangtuanya... More

Di balik Kerumitan Kisah Head Over Heels
1. Sam
2. Luh
3. Sam
4. Luh
5. Sam
6. Luh
7. Sam
8. Luh
9. Sam
10. LUH
11. Sam
12. LUH
13. SAM
14. Luh
15. Sam
16. Luh
17. Sam
18. Luh
20. Luh
21. Sam
Basa-basi Part 2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Hai, Halo
Kabar terbaru dari Sam dan Luh

19. Sam

2.9K 360 39
By sagirangisme


"There's three ways to do things, the right way, the wrong way and the way that I do it." -Casino Movie-


PERNAH mendengar selentingan yang menyebut kalau wajah asli seseorang bisa dilihat saat dia baru bangun tidur?

Mungkin itu salah satu alasan yang membuat gue semakin jatuh cinta sama Luh.

Gue sedang membuat sarapan di dapur, lalu tertegun begitu saja saat melihat Luh muncul dengan kaus abu yang kelonggaran di tubuhnya dan celana pendek yang mengekspos bagian tubuh terbawahnya. Entah berapa lama gue habiskan dengan bengong sambil memandangi mantan tercinta gue yang lagi berdiri nggak jauh dari hadapan gue itu. Tertegun begitu mendapati sosok dengan rambut yang mengembang kayak singa, dengan wajah bantal yang tanpa sapuan makeup, dengan bulatan hitam di kedua matanya—yang anehnya nggak bikin kecantikan dalam dirinya berkurang sedikit pun. Dalam keadaan seperti sekarang, Luhara Lituhayu gue masih tetap masuk jajaran 10 perempuan tercantik di dunia versi gue.

"Rotinya mau ditumpuk sampai setinggi apa memangnya, Sam?"

Samar-samar gue mendengar suaranya yang masih berat, tapi seksi.

"Yakin itu bakalan habis?"

Untuk bisa mendengar suaranya ini, gue siap banget buat bangun subuh-subuh lalu nongkrongin dapur setiap hari. Itu janji gue.

"Samudra!"

Pada panggilan berikutnya gue sadar, hampir saja gue membuat gunungan roti.

"Saking laparnya kali ya, sampe nggak fokus kayak gitu, Sam?" komentarnya dengan nada canggung.

Kalau boleh gue jujur, Luh, itu saking gue kagumnya melihat bidadari di pagi hari, sementara bertahun-tahun gue melewati pagi dengan melihat wajah-wajah busuk Rikas dan wajah jutek Irham. Saking gue nggak bisa membayangkan gue bakal menjalani hari-hari gue kayak gimana, tinggal bersama dengan mantan pacar yang sebetulnya masih gue harapkan buat balikan.

Kabar buruknya, kurang dari satu hari aja gue tinggal di sini, gue udah sepayah ini.

"Kayaknya gue emang lagi laper banget. Hehe....." Itu jawaban yang nggak kalah canggung yang keluar dari mulut gue.

Dengan tenangnya Luh menggeleng sambil mengulas senyum lebar, seolah-olah gue bocah lima tahun yang lagi nyari perhatian. Setelah itu, dia membawa langkahnya menuju kamar mandi. Untuk waktu yang lumayan lama dia berada di dalam sana, sementara gue membuat sarapan. Dua porsi sandwich ala Samudra Reagan udah gue hidangkan ke meja makan sesaat kemudian, berikut sari jeruk yang gue ambil dari kulkas yang sekarang udah terisi lengkap berkat bantuannya Rikas. (Padahal kemarin gue sempat berdebat di supermarket waktu dia memasukan banyak belanjaan ke dalam troli, belanja segala macam kebutuhan dapur seolah-olah gue akan menghidupi satu orang istri dengan lima anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.) Setelah mengecek keadaan dapur yang kosong, saat itu juga gue berterima kasih kepada si bocah Makassar itu, dan dia memang layak mendapat pelukan perpisahan dari gue entar di bandara; karena telah menyelamatkan pagi gue, dan pelukan dalam bentuk kepedulian karena hubungannya dengan Dewi, yang niatnya akan dibawa ke jenjang serius, harus kandas karena kepindahannya itu.

Luh keluar dari kamar mandi saat sarapan sudah terhidang sempurna. Dengan wajah yang lebih segar, dengan senyum yang lebih lepas, tapi nggak berhasil menyembunyikan bulatan hitam di sekitar matanya, dia mengambil tempat di kursi seberang gue. Di hadapannya sekarang tersaji menu sarapan yang sama dengan punya gue.

"Ini buat gue, Sam?" Dia bertanya seperti seseorang yang baru saja menemukan uang sekoper di depan pintu rumahnya.

Gue mengangguk dengan mulut penuh.

"Wah, thanks banget ya, Sam. Gue ... gue belum sempet ke supermarket."

"Its not a big deal, Luh." Sebenarnya gue sendiri nggak tahu kenapa gue membuat dua porsi sarapan. Mungkin tiga kemungkinan ini bisa saja menjadi jawabannya;

1. Gue udah biasa ngebabu saat masih tinggal bareng Irham dan Rikas,

2. Gue nggak benar-benar bisa menikmati makan kalau sendirian,

2. Gue udah biasa memasak untuk orang-orang di sekeliling yang gue cintai.

Sekarang terserah kalian mau percaya jawaban yang mana, karena kadang gue nggak memerlukan alasan untuk melakukan hal-hal semacam ini.

"Pasti gara-gara semalam kami ribut-ribut sampai subuh ya, Luh?" kata gue dengan tatapan tertuju pada kedua matanya.

Luh yang baru saja meneguk sari jeruk dalam gelas menatap gue dengan bingung. Dia menggeleng, tapi gue bukan baru seminggu dua minggu kenal dia. Ekspresinya nggak bisa berbohong, terlebih bulatan hitam di kedua matanya.

"Sori ya, tidur lo jadi keganggu. Semalam sekalian party perpisahan kecil-kecilan Rikas yang mau balik ke Makassar. Sayang lo nggak ikutan sampe beres, padahal kita lanjut maen PS sama maen poker."

Luh pulang malam hari, pas gue sama kedua sahabat gue udah membereskan semua barang-barang punya gue ke kamar. Waktu itu kami lagi seru-serunya maen PS. Luh sempat bergabung sebentar di sofa dengan muka canggung, tetapi setelah itu berpamitan dengan alasan kelelahan—atau mungkin karena terlalu lama kami kacangin, sementara kami bertiga keasyikan bertiga?

"Oh..., itu...," Dia tersenyum kikuk, "nggak apa-apa kok, Sam. Sori juga, ya, gue nggak ikutan party kalian sampe beres. Oh ya, pada di mana mereka sekarang?" Luh baru menyadari bahwa di ruangan ini cuma ada gue sama dia berdua, bertiga ditemani orang-orang yang lagi nyinyirin usaha gue sekarang ini.

Iya, yang gue maksud kalian-kalian yang bakal segera ngomen dan menertawakan gue yang gagal move on ini.

Satu pertanyaan gue sekarang buat kalian; "nggak apa-apanya" perempuan itu, kalau nggak salah, itu jawaban sebaliknya, kan?

"Nggak apa-apanya" perempuan itu, masuk 100 misteri dunia yang nggak terpecahkan sampai sekarang kalau gue nggak salah.

"Mereka udah balik subuh tadi, gue terpaksa ngusir dan nyetirin gara-gara mereka hangover."

Luh mengangguk-angguk sambil mulai memotong roti isi sayuran dan daging cincang di depannya dengan jari-jarinya, kemudian memasukannya ke dalam mulut, membuat perut gue merasa kenyang hanya dengan melihat caranya makan yang sangat anggun ini. Sayangnya, jam di pergelangan tangan gue nggak bisa diajak kompromi banget. Belum habis sarapan gue, begitu juga sarapannya Luh, gue udah harus segera cabut dan ninggalin Luh yang sedang menikmati sarapan yang gue buatkan spesial untuknya.

Gue mengambil gelas berisi sari jeruk di depan, meneguknya sampai habis. "Gue duluan ya, Luh. Udah telat ini gue." Gue mengelap mulut dengan tisyu dan setelah itu beranjak sambil membawa piring dan gelas kotor ke wastafel.

"Sam, kalau udah telat banget, biar gue aja yang nyuci," cegah Luh.

"Nggak apa-apa, Luh, sekalian cuci tangan ini."

"Nggak apa-apa, Sam. Gue masih santai kok."

"Oke, ya udah...." Setelah itu, gue segera berlalu dari dapur, meninggalkan Luh sendirian di meja makan.

Sayang banget, kan?

Padahal, momen kayak gini, momen yang sebenarnya gue impikan ketika mengiakan tawaran Luh buat kos di apartemennya. Bisa sarapan bareng, makan malam bareng, nonton TV bareng, pokonya semua hal yang pernah kami lakukan bareng-bareng. Ini gue lagi usaha buat membeli kenangan yang pernah kami miliki di masa lalu. Dan, gue nggak tahu, sampai kapan gue bisa hidup berdampingan kayak begini sementara gue masih menyimpan perasaan ke dia.

Dan ini usaha gue agar bisa memperbaiki apa yang telah rusak di masa lalu. []



Penasaran rencana-rencana apa saja yang Sam jalankan buat merebut kembali hatinya Luh? Lalu, apa Luh juga masih punya rasa yang sama pada Sam, tapi dirinya juga terlalu gengsi buat mengakui? Ironis, memang, dan kayaknya hal-hal semacam itu nggak  hanya terjadi di novel. Bahkan, di kehidupan nyata sekalipun, kayaknya mengakui perasaan ke orang yang kita sayang itu rasanya sulit. Butuh usaha besar buat melakukannya.


Menurut kalian gitu juga nggak?

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 22.3K 9
Emma and Kemal shared a brief of history together. Lima tahun yang lalu, keduanya pertama kali bertemu, dengan chemistry yang bahkan bisa dilihat ol...
144K 6.7K 29
π™π™Šπ™‡π™‡π™Šπ™’ π™Žπ™€π˜½π™€π™‡π™π™ˆ 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________πŸ•³οΈ____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...
258K 43.4K 40
Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy every day and still surviving? One is trying...
407K 83.6K 31
"Hidup ini sebuah tempat singgah yang luas. Kita semua cuma pengembara yang terus berkelana sampai menemukan apa yang kita mau. Sebagian sudah menemu...