Aisha

Av msulasmaya

8K 552 324

Rafa yang dibesarkan penuh kemewahan dipertemukan dengan Aisha gadis desa yang lugu. Mereka saling menyayangi... Mer

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25

Bagian 16

248 18 15
Av msulasmaya

Rafa yang terhakimi menggeleng ia tidak menduga Chelsea akan seberani itu.

Aisha berbalik memandang Rafa. "Rafa kamu harus menjaga emosi, kasian Chelsea," katanya seperti hal serupa tidak pernah menimpa dirinya. Atau mungkin Aisha mengerti bagaimana rasanya dibentak di muka umum. Apalagi oleh seorang laki-laki.

Rafa mengangguk-angguk, "iya tadi gue..." Rafa sama sekali tidak berniat akan berlaku seperti tadi terhadap Chelsea. Andai saja tadi si Chelsea tidak menaikan pita suaranya dan menunjuk ke arah Aisha, mungkin saja ia tidak akan terpancing untuk ikut berteriak, pikirnya.

"Ya udah lebih baik kamu shalat dzuhur bareng kita," katanya lagi seperti tidak ada apa-apa. Padahal baru saja yang disinggung dan ditunjuk-tunjuk Chelsea adalah dia.

Lo polos ato gimana sih?! tanya Rafa menyelidik Aisha yang kemudian segera menuju lift karena shalat berjamaah akan segera dimulai. Aisha berpapasan dengan Arga dan Chiko yang masih belum bergerak dari tempatnya. Mereka bertegur sapa sebentar.

"Lo ga papa?" tanya Arga ketika mendapati Rafa.

"Lo pikir?" jawabnya agak sewot. "Gue shocked tau! Gila si Chelsea mana main tunjuk Aisha kalo ada yang denger nih orang gedung, mampus gue Ga!"

"Sabar bro sabar..." kata Arga menenangkan.

"Iya Fa biarin aja lah si Chelsea mau berbuat apa," tambah Chiko.

"Iya juga sih tapi yang rese itu kenapa harus bawa-bawa Aisah. Arghhh!" sambil menghentakan kaki. "Ya udah lah yu ikutan ke bawah."

"Mau ngapain kita baru nyampe lho ini, masih juga tegang akibat kejadian tadi," kata Arga heran.

"Yaela sholat lah!"

Arga melihat ke arah Chiko dengan tatapan: sehat dia? Chiko mengangkat pundak kemudian berlalu menyusul Rafa yang hampir menuju lift. Merasa tidak punya pilihan Arga mengikuti.

"Eh, kenapa juga kita yang tegang Ga?" tanya Chiko ketika di dalam lift. Tiba-tiba saja.

"Apaan si?"

"Itu tadi drama si Rafa?"

"Apaan si kalian ini, drama gue lagi, drama si Chelsea kali."

"Iyain aja Chik...!" timpal Arga.

Pintu lift terbuka dan mereka langsung menuju musahala.

"Eh, gue lupa nih cara wudhunya," jujur Arga. Ia mungkin baru belajar shalat tapi lupa belajar berwudhu.

"Tenang ada gue, gue private dulu bareng si Rafa," kata Chiko pede.

"Kok gue gak diajak sih?"

"Lha... dulu elo mepet Aisha terus mana ada waktu."

Hahahahhaa...lupa sudah Rafa dengan kejadian barusan. Tertawa memang bisa mengalihkan rasa kesal bahkan sakit. Ia tertawa tanpa beban. Sahabat adalah hal terbaik ketika kita bersedih, galau, resah, dan merasa sendiri. Tanpa sebab mereka mengajak kita tertawa. Bahkan ketika mereka tidak melakukan apapun hanya diam di samping kita rasanya sudah cukup.

Seseorang mengatakan bahwa sahabat itu sendiri ibarat bis. Bis? Rafa termenung. Boleh jadi karena bis yang dinaiki sendiri seakan membawa kita jauh pada kesendirian. Tidak halnya jika ada satu dua orang di sana walaupun mereka tidak kita kenal dan tidak pula berbincang, kita sudah merasa sedikit tenang. Mungkin, pikirnya. Oh! Atau karena dia siap selalu mengantar kita kemanapun bahkan ketika dirinya tak seindah dulu. Tapi mungkin yang paling tepat karena bis ini setia mengantarkan kita kepada tujuan. Begitupun arti persahabatan yang setia mengantarkan satu dan lainnya ke tujuan akhir dengan cara saling mengingatkan, menasehati, dan menghilangkan kebosanan di sepanjang perjalanan.

"Ah! Kenapa bis sih!"

"Hah? Bis siapa?" tanya Chiko polos melihat Rafa tiba-tiba bergumam kesal tapi sejurus kemudian sudah kembali terkekeh geli.

"Gak! Gapapa," katanya sambil memukul bahu Chiko.

Sampai di tempat wudhu segera mengambil posisi di depan kran air masing-masing.

"Gitu doang?" kata Arga pada dirinya sendiri melihat Chiko tengah membersihkan kakinya. Arga bersiap ambil air untuk berkumur ketika Chiko tiba-tiba mengingatkannya untuk berniat. "Gimana?"

"Iya elo niat wudhu pas basuh muka, dalam hati saja cukup, iya gak Fa?"

Rafa mengangguk.

Dan percakapan pun masih berlanjut. Karena Arga masih keliru-keliru urutan wudhu.

"Eh, buruan udah takbir nih," kata Rafa menggeser tubuh Chiko. Rafa mengarahkan satu-satu gerakan wudhu agar diikuti Chiko."Nah! Selesai kan, cepetan ah kita ketinggalan."

Selepas shalat ketiganya masih duduk-duduk di mushala. Chiko malah baring-baring agaknya pegal semua badannya, entah habis berbuat apa. Mungkin tadi karena percobaan menjadi patung.

"Chik, Ga, temenin gue yuk..."

"Ke mana Lu?"

"Nyari tempat gelas?"

"Feminim banget sih lo sekarang, gue jadi takut," kata Arga bercanda tapi dengan mimik serius.

"Feminim-feminim gini lo sayang kan sama gue..." katanya tak kalah bercanda dengan mimik super melow.

"Jijik gue liat kalian berdua," timpal Chiko.

"Hahahahha, eh bangun bangun bangun! di mushala pada bercanda, ayo keluar..." ajak Rafa.

"Mba Rima!" Sekonyong-konyong Rafa memanggil Rima dari pintu mushala ketika dilihatnya Rima sedang berjalan cepat menuju lift.

Rima kaget segera ia berbalik dan menuju sumber suara. Suara yang tidak asing. Hampir selalu membuatnya kaget.

"I iya mas ada apa ya?"

"Gimana bentuk gelasnya sudah dix belum?"

"Oh itu, ini saya mau nanya mba Aisha."

"Gimana pabriknya sudah ketemu?"

"Sudah mas di daerah Jakarta Timur," katanya lagi.

"Ya udah sekarang saja kita ke sana."

"Oh iya iya saya panggil mba Aisha dulu kan dia yang tahu."

"Yaudah panggil." Rima segera menuju lantai lima. Hak sepatunya terdengar cepat menyentuh lantai marmer.

Arag mendekati Rafa memegang bahunya dan tersenyum, "boleh boleh...gimana Chik?" Arga tersenyum senang penuh semangat seakan apapun yang akan terjadi dia harus ikut ke mana Rafa pergi.

"Gue si oke-oke saja daripada stuck kayak gini mending jalan sambil nyari angin,"

"Lo gak jadi ketemu si Tasya?" kemudian Arga teringat obrolan Chiko dan Tasya tadi di loby.

"Gue lagi pengen sama kalian, males gue deket-deket cewek yang lagi baper."

"Sapa?"

"Si Tasya kan lagi bareng Chelsea," jawabnya santai.

"Ke mana nih kita?" tanya Arga antusias mengalihkan perbincangan.

"Jakarta Timur," jawabnya sambil menimbang-nimbang. "Kok Lu....arghh! Whatever!" katanya lagi tidak jelas melihat sikap Arga yang mendadak sangat antusias.

"Pake mobil lu ya Ga," lanjutnya sedikit memanfaatkan momen kesenangan Arga.

"Pake motor gue..."

Rafa melengos, kemudian pergi menuju loby dan terlihat meminjam telpon. Rafa menghubungi seseorang di gedung ini. Tentu saja untuk mendapatkan satu mobil yang bisa muat untuk mereka berlima.

Dari arah lift terlihat Aisha dan Rima berjalan beriringan.

Arga melihat Aisha tanpa berkedip. "Duh!" katanya tiba-tiba.

"Kenapa Lo Ga?"

"Kagak kagak..." kilahnya. Kenapa Aisha semakin gede malah tambah manis dan dewasa keibuan gitu? batinnya. Masak ia gue harus ngedeketin Aisha lagi setelah tahu hatinya untuk siapa? Ah, bodo amat gue mendekati dia bukan untuk mendapatkannya, siapa tahu jodoh gue ada di sekitar dia yang sama baiknya dengan dia, katanya dalam hati dan keceplosan bilang amin cukup jelas di telinga Chiko. Untungnya Chiko sudah tidak fokus dengan yang lain kecuali Rafa yang melemparkan kunci mobil ke arahnya.

"Lo yang paling jago nyetir Chik," kata Rafa sambil melemparkan kunci. "Yuk!" katanya pula terus berjalan memimpin.

Arga terlihat mengernyit melihat gelagat Rafa ketika Aisha tiba. Tidak seperti dulu yang super caper menyebalkan. Ini lebih ke cool dan cuek seakan Aisha bukan apa-apa bagi dia. Apa si Rafa sudah move on dari Aisha ya? Ah, kagak mungkin baru saja dia marah sama Chelsea gara-gara Aisha tapi... sepanjang jalan menuju teras gedung Arga terus berfikir memperhatikan Rafa dan Aisha.

Jam satu lebih ketika mereka berlima mulai menaiki mobil jenis mvp. Chiko Rafa di depan dan sisanya persis di kursi kedua dengan Rima berada diantara Arga dan Aisha.

Sepanjang jalan Arga terus bertanya ini itu kepada Aisha yang sesekali ditimpali Rima dan Chiko. Satu dua kesempatan mereka tertawa dengan Rafa yang hanya tersungging. Perjalanan di jalanan Jakarta memang tidak bisa terlalu berharap. Ada saja titik kemacetan yang harus dilewati. Rafa melihat setiap pemandangan yang ia lewati dari balik kaca mobil. Ketika Chiko menghentikan mobilnya perlahan karena sedikit macet Rafa mengalihkan pandangan ke arah Chiko. Tidak sengaja matanya menangkap sesuatu yang lebih menarik di kaca spion tengah: Aisha yang sedang tersenyum mendengar guyonan Arga dan Rima.

"Selesai S1 rencananya mau ke mana Sha?" tanya Arga kemudian setelah melempar lelucon recehnya.

"Hmm belum tau Ga, bisa jadi kerja di perusahaan ini beberapa waktu," jawab Aisha menerawang melalui kaca jendela mobil di sebelah kanannya.

"Kerja saja dulu di sini biar sama saya mba, seneng saya ada mba Aisha," timpal Rima.

Aisha tersenyum, terpampang jelas side face nya di kaca spion tengah.

"Eh, gue baru nonton film apa gitu ya bareng si Tasya," sambung Chiko sambil tetap awas ke depan. "Intinya tentang cewek berhijab gitu deh, gue malah keinget Lu Sha," katanya cengengesan.

Rafa tidak peduli dengan kata-kata Chiko ia masih dengan keasyikannya menonton.

"Apa ya..." Chiko seperti mengingat-ingat. "Heuh! Bener bener, kalo gak salah, gue agak gak ngerti si filmnya, jadi..."

"Jadi...?" tanya Arga gereget karena Chiko tidak juga sampai ke inti.

"Jadi gini...,"

"Ribet Lu! Udah ah gue kupingan, capek!"

"Orang gue yang ngomong elu yang capek," kilahnya sambil masih mengingat. Padahal tadi hampir saja ingat kalau saja Arga tidak nyeletuk. "Mmmm..., seinget gue rata-rata anak jilbaban gede di film itu pada nikah muda terus cara nikahnya itu yang menurut gue aneh," Chiko berhenti sebentar karena ia konsentrasi dengan mobil di depannya yang mendadak ngerem.

"Oh iya saya nonton juga Mas Chiko. Benar mereka itu nikahnya pake map gitu ya yang dikasih ke guru ngajinya terus tukeran sama yang cowok."

"Bener! Tuh Mba Rima tau..." katanya tersenyum lega.

"Blind date dong..." kata Arga polos.

"Bukan, bukan Ga, mereka tidak ngedate kok, langsung nikah," koreksi Aisha sambil tersenyum.

Di kursi depan seseorang tak bosan menonton kali ini tersenyum malu-malu sendirian. Ia membayangkan memberikan map kepada Aisha. Isinya apa? tanyanya sepintas.

"Ah! Jangan-jangan kamu setelah lulus sudah ada yang kasih map Sha, anak Bogor jangan-jangan?" kata Chiko spontan kemudian tertawa.

Rafa spontan terkejut, matanya terbelalak ke arah spion tengah dan di saat itu pandangan Aisha pun jatuh ke arah yang sama. Aisha segera memalingkan mata dari spion tengah. Ia jelas terlihat gugup. Rafa pun melakukan hal yang sama.

Adegan di atap gedung kembali berkelebatan di kepala Aisha. Itu membuatny gugup antara harapan dan kenyataan, entahlah.

Arga yang melihat adegan itu tampak sedikit sedih. Bukan, bukan anak Bogor Chik, katanya dalam hati. Ah, kenapa juga gue masih harus sedih? katanya lagi dalam hati kemudian membuang muka ke arah jendela.

Mobil terus melaju walau hati rasanya ingin berhenti seperti adegan di film yang tiba-tiba berhenti. Kemudian hanya dirinya yang bisa bergerak meleluconi waktu. Ia ingin melihat Aisha dalam jarak dekat tanpa harus canggung. Mungkin seperti itu ia akan puas. Memiliki raga? Puas? Rafa menunduk. Sepanjang perjalanan ia habiskan dengan memandang jendela di samping kirinya. Ia cukup puas dengan tidak bermain-main dengan hati.

Waktu ternyata berpihak padanya karena tidak lama Chiko telah membelokkan mobil ke sebuah pabrik. Ya, benar-benar pabrik. Rima telah diperintahkan sebelumnya untuk menghubungi pemiliknya. Dan seharusnya semua lancar.

Rima terlihat sibuk mencari-cari sesuatu. Matanya awas ke kanan ke kiri dan ke belakang tak luput juga dari pandangannya. Ia berjalan sedikit menatap lekat-lekat sebuah ruangan sampai akhirnya yakin mantap melangkah ke sana. Dari ruang tersebut seorang bapak menyambut sumringah kedatangan Rima. Rupanya dialah pemilik pabrik ini.

Seumuran kakek Martin sepertinya tapi ia terlihat lebih tua dari usianya. Mungkin karena pekerjaannya tidak memerlukan topeng berpenampilan. Dia memakai apapun yang ia suka bahkan hari ini nampak di mata Rafa seperti bapak penjual minuman yang magrib-magrib ia jumpai. Ia menggenggam tangan Rima erat, mengguncangnya pelan, dan tersenyum ramah kepadanya. Rima menunjuk ke arah rombongan serafood yang masih berdiri menatapnya di samping mobil.

Bapak itu tersenyum lebar mengajak semua yang menatapnya untuk mengikuti ke dalam sebuah ruangan tepat di samping pabrik. Sepertinya ruangan itu dijadikannya sebagai kantor.

Rafa berinisiatif berjalan terlebih dahulu mengikuti si bapak. Rima menunggui Rafa ke arahnya.

"Ayo Mas," kata Rima ketika Rafa selangkah lagi mencapainya. Rima menunggu membiarkan Rafa berjalan terlebih dahulu.

Ruangan sederhana itu yang dipergunakan sebagai kantor, kalau boleh juga disebut kantor. Karena di sana tidak ada meja-meja mengkilap atau kursi-kursi empuk, apalagi sofa! Di sana hanya ada meja panjang dari kayu selembar dibaringkan begitu saja di atas dua gelondong kayu lainnya. Dan kursi-kursi dari plastik mengelilinginya. Ruangannya sendiri cukup luas. Selain selembar meja tadi yang paling mencolok dari ruangan ini adalah lukisan-lukisan hitam putih seperti dari zaman belanda atau jepang, kemudian zaman Pak Karno dan Pak Harto. Melihat lukisan maksudnya foto-foto itu bagai melempar kita pada zaman none-none belanda atau kerasnya masa penjajahan Jepang, getirnya era orde lama karena di kepala Rafa yang terlintas adalah antrian panjang rakyat akibat hiperinflasi. Ia ingat betul, semalas-malasnya ia belajar tapi ia cukup melek di pelajaran sejarah. Pemotongan nilai rupiah dari seribu menjadi serupiah itu sesuatu untuk terus teringat. Gajah selalu ingat. Beberapa hal akan terus diingat oleh seseorang. Kemudian krisis di masa Pak Harto, waktu itu ia baru lahir. Semua hal hanya sejarah baginya tak satupun ia rasakan dari deretan foto-foto itu. Ia hidup di mana perekonomian cukup stabil. Di mana semua orang bisa berkarya tanpa batasan. Bahkan profesi yang dulu dianggap wah seperti artis, hari ini siapapun bisa malakukannya. Pekerjaan yang kini bisa kita temui pada orang-orang terdekat kita, bukan lagi sesuatu yang membuat terkagum-kagum lupa diri. Seharusnya begitu, pikirnya. Pantaskah ia lalai dalam hidup yang hanya sekali ini melihat sejarah masa lalu? Sejarah tentu saja untuk pembelajaran bukan menjadi kenangan belaka, pikirnya memperhatikan satu persatu foto yang tertempel di dinding tepat di depannya.

Perlu diketahui bangunan ini menghadap ke arah timur. Di arah barat ruangan ada pintu lain mungkin menuju ruang pabrik tempat gelas-gelas itu dikerjakan. Di sebelah pintu ada lemari jati tua yang di depannya ditaruh meja kecil seperti meja anak SD lengkap dengan kursi kayunya yang berat. Lengkap sudah kesan kuno di bayangan Rafa.

"Assalamu'alaykum warrohamtullohi wa barrokatuh," sapa Aisha ketika memasuki ruangan. Membuat semua kaget terutama yang telah lebih dahulu masuk.

"Wa'alaykumsalam....Silakan duduk," katanya ramah. Kemudian ia menghilang di balik pintu. Seperti memerintah seseorang untuk membawa minuman dan sedikit penganan.

Semua duduk tak terkecuali. Semua mata masih awas memastikan ruangan. Mereka merasa sedang melakukan study tour di sebuah museum.

Rafa nampak takjub seperti menemukan apa yang telah ia baca diam-diam dari perpustakaan papanya. Ia cukup menikmati semua yang disuguhkan ruanga ini.

Tidak lama dua orang keluar dari balik pintu diikuti si bapak tadi. Satu orang membawa nampan berisi lima gelas es teh satunya lagi berisi gelas-gelas kaca yang sederhana. Karena kesederhanaannya itulah gelas-gelas itu nampak anggun dan elegan sekaligus. Keduanya menyimpan dengan cekatan apa yang mereka bawa.

Gelas-gelas hasil prabik dijejer rapi dari yang kecil sampai besar tepat di tengah meja. Barang tentu semua mata di sekeliling meja dapat dengan mudah memandangnya. Setelah semua tertata rapi keduanya kembali ke balik pintu. Tinggal si bapak tadi masih dengan senyum ramahnya.

"Silakan diminum dulu, Jakarta panas siang ini."

"Iya Pak terimakasih," jawab Aisha merasa senang melihat si bapak ramah ini. Aisha menatap satu persatu gelas yang ditata rapi di depannya. Aisha bagai baru pertama kali dikasih mainan ia sangat menyukainya. "MasyaAlloh cantik pisan ini," katanya sambil mencondongkan badannya demi melihat lebih dekat gelas-gelas itu.

Si bapak gelas tersenyum kemudian mengambilkan satu agar dipegang Aisha. "Ini Mba coba dipegang, dirasakan, karena gelas selain harus indah ketika dipandang, tentu ia juga harus nyaman ketika kita memegangnya," katanya sambil menyodorkan satu jar kira-kira ukuran 250ml dengan penutup kayu ke arah Aisha.

Aisha memegangnya membolak-baliknya dan tersenyum puas.

"Bagaimana Mba?" kata si Bapak Gelas itu ke arah Aisha.

Sementara yang lain memperhatikan Aisha karena menganggap Aisha lah yang memang harus mencari. Chiko mulai beranjak dari duduknya. Ia lebih tertarik berjalan merenggangkan otot. Arga duduk berselonjor, kakinya terasa sedikit pegal. Rima masih dengan posisi andalannya: tegak berwibawa khas ibu-ibu kantoran.

"Oh ini Mas Rafa yang akan memutuskan Pak, Mas nya pemimpin perusahaan kami," kata Aisha menjelaskan sambil menunjuk sopan ke arah Rafa. Rafa mengangguk senyum ke arah Bapak Gelas tersebut. "Tapi yang ini memang cantik sekali," Aisha memandangnya kembali. Gelas itu putih tanpa hiasan apapun, kacanya cukup tebal jadi sekali jatuh tidak sampai hancur berantakan. Penutupnya dari kayu yang dilapisi kain bermotif kotak-kotak merah. Kalaupun penutupnya hilang bisa diganti cepat.

"Kamu pilih yang mana?" tanya Rafa ke arah Aisha, tatapannya menyerahkan.

Si bapak gelas memperhatikan awas gerak gerik Rafa termasuk ucapannya barusan. Tatapan Rafa yang tak lepas dari foto-foto hitam putihnya dan kini pada gelas kecil paling ujung.

"Eh?" Aisha ragu menatap Rafa tapi Rafa malah mengangguk kepadanya. "Kalo menurut saya yang ini lebih bagus, sederhana dan rapi," Aisha ragu menatap antara gelas, Rafa, dan si Bapak Gelas. "Ukurannya mulai dari 250ml sampai 1 lt," lanjutnya. "Penutupnya pun tidak akan patah kalaupun hilang bisa dibeli lagi," kata Aisha mantap menyodorkan gelas yang dipegangnya ke arah Rafa.

"Apapun pilihan kamu gue setuju, gak ngerti," katanya cuek. "Selesai," kata Rafa senang mengedarkan pandangan melihat apakah ada reaksi lain atau ada yang mau menawarkan opsi lain selain yang dipilih Aisha.

Ketika yakin tidak ada pilihan lain selain pilihan Aisha, "Mba Rima tolong diurus semuanya."

"Iya Mas," jawab Rima cepat.

"Mm jadi gelas yang ini?" tanya si Bapak Gelas memastikan. Agaknya sedari tadi dia berharap. "Pilihan yang tepat, gelas ini memang dari kaca yang tebal dan walaupun polos dia adalah yang terbaik dari pabrik kami, kami membuatnya tidak banyak," katanya mempromosikan berharap pelanggannya tidak berubah pikiran.

"Kami mungkin membutuhkan dalam jumlah yang lumayan banyak, bisa?" tanya Rafa kemudian.

"Oh! Bisa bisa...." katanya semakin ramah dan lebih ceria.

"Sementara cukup, besok Mba Rima dan dari bagian keuangan kami mungkin akan kemari lagi untuk mengurus. Hari ini cukup dan terimakasih banyak kalau berjalan lancar kami akan order di sini lagi," Rafa berhenti sedikit berfikir. "Oya foto-foto itu..." lirik Rafa ke arah foto.

"Oh! Itu foto-foto dari leluhur saya Mas, suka mas?" tanyanya masih tersenyum.

Rafa hanya mengangguk. Kemudian ia bangkit dari duduknya mengucapkan terimakasih dan bersalaman pamit. Semua orang melakukan hal yang sama kecuali Aisha.

"Terimakasih banyak ya pak, gelas-gelasnya sangat indah, mari pak assalamu'alaykum warrohmatullohi wa barrokatuh," kata Aisha sambil mengangkat kedua telapak tangan yang ditangkup di dadanya. Aisha hendak berbalik mengikuti yang lain ketika Bapak Gelas menahannya.

"Sebentar Mba, ini ada satu gelas bisa dipajang di kantor, buat hadiah saja," katanya sambil menyerahkan satu gelas paling kacil dari atas meja tadi. Gelas paling antik dan harusnya paling mahal. Gelas itu terlihat sangat tua jika dibandingkan yang lainnya. Dan gelas yang sama yang sedari tadi diperhatikan Rafa.

"I iya tidak usah repot-repot Pak," kata Aisha melirik ragu ke arah Rafa seakan meminta persetujuan.

"Tidak apa-apa, saya mohon terimalah," katanya memaksa sambil menyodorkan gelas yang kini telah dibungkus koran bekas dan dimasukkannya pula ke dalam tas kecil dari kertas. Aisha adalah pilihan terbaiknya untuk memberikan hadiah sebagai tanda kerja sama. Karena dari tadi sepertinya segala sesuatu Aisha lah yang memutuskan, pikirnya.

"Jangan Pak, terimakasih," kata Rafa melihat hadiah yang hendak diberikan. "Bukan apa-apa Pak, kami akan berbisnis dengan Bapak karena barang-barang di sini memang ada yang kami cari dan cocok. Ini hanya akan memberatkan."

Bapak itu terdiam. Ia sedikit malu karena mengetahui kesukaan Rafa tentang barang antik.

Rafa mendekatinya memegang tangannya. "Bapak bilang foto-foto itu adalah dari leluhur bapak?" Rafa menunggu sampai bapak itu mengangguk. "Jadi, saya yakin gelas antik inipun warisan, betul?," bapak itu kembali mengangguk. "Simpanlah pak, kelak anak cucu bapak harus juga melihat ini." Rafa melepaskan genggamannya setelah mengguncangnya sedikit. Ia kemudian meninggalkan bapak gelas itu beserta gelas pemberiannya dan berjanji besok Rima akan kembali.

Rafa teringat semua foto dan peninggalan almarhum neneknya. Dia tidak pernah berjumpa tapi melihat semua peninggalannya ia merasa sangat mengenal neneknya itu.

Waktu itu adzan ashar dari kejauhan terdengar memanggil. Mobil kembali melaju, hawa Jakarta semakin bersahabat. Si bapak gelas menunggui sampai mobil benar-benar menghilang dari pandangannya. Ia berkata sesutau kemudian tersenyum lega. Ia berbalik sebentar melihat pabriknya yang semakin tua termakan usia.

Di dalam mobil, semua terdiam meresapi apa yang baru saja mereka lihat. Rafa terlihat jauh berbeda dia berubah cukup banyak, batin Arga.

"Fa, kenapa sih gak lo terima saja tadi gelasnya, kasian tadi bapaknya?" tanya Arga tiba-tiba.

"Kalo gue terima akan jauh lebih kasian Ga. Dia lebih membutuhkan gelas itu," jawab Rafa sambil memandang lurus ke depan bermain-main dengan pikirannya sendiri.

Arga mengernyit, "tapi ia sangat berharap Aisha ambil tadi, ya gak Sha?" lanjut Arga ia masih tidak percaya.

"Anu Mas," kata Rima ragu. "Bapak tadi memang sangat membutuhkan kita, maksudnya sudah lama gelas-gelas buatannya sulit untuk didistribusikan karena pemain besar. Jadi, beliau benar-benar tidak mau kehilangan kita sementara banyak pegawainya dari lingkungan setempat yang membutuhkan pabrik itu terus beroperasi,"katanya sambil melihat sekilas ke arah Arga. "Mas Rafa menyuruh saya mencari pabrik tua, ya, saya dapatnya itu," sambungnya lagi.

"Subhanalloh," timpal Aisha lirih. Ia melihat ke arah punggung Rafa. Saya tidak tahu kamu sejauh ini memikirkan proyek ini, kata Aisha merasa senang dan bangga akan keputusan Rafa.

Arga mengangguk-angguk, ia tambah yakin Rafa telah berubah banyak.

"Iya sih, tadi gue lihat-lihat pabriknya. Agak lesu," kata Chiko yang sedari tadi berjalan-jalan di luar sekitar pabrik.

"Chik turunkan gue di depan sana ya," kata Rafa tiba-tiba.

"Mau ngapain?"

"Gue ada urusan sebentar, lo lanjut saja antar Aisha dan Mba Rima gue nanti gampang bisa dijemput sopir," kata Rafa penuh misteri.

"Gue ikut dong," kata Arga semakin ingin tahu dengan Rafa.

"Bener Lo mau ikut?"

Arga mengangguk yakin, "Chik?"

"Boleh lah..." katanya santai.

"Tapi Mba Rima sama Aisah gimana?" tanyanya sambil melirik ke arah Aisha.

"Kalau kalian mau main, biar saya dan Mba Rima naik taxi saja, tidak apa-apa kan Mba?"

"Iya...."

"Enggak enggak kalo gitu kalian berdua ikut juga, gue tanggung jawab sampai kalian sampai rumah," katanya memutuskan.

Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

421K 33.7K 58
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
284 118 8
keunikan mistis dari salah satu keturunan jawa pedalaman pada tahun penjajahan,kini turun menurun di turunkan pada keluarga atdja diningrat,adja memi...
24.3K 1.8K 28
Sama sama suka bukannya jadian malah nunggu salah satu nembak. Yah.. keburu ada orang laen..
68.3K 3.3K 8
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++