Aisha

By msulasmaya

8K 552 324

Rafa yang dibesarkan penuh kemewahan dipertemukan dengan Aisha gadis desa yang lugu. Mereka saling menyayangi... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25

Bagian 13

265 23 28
By msulasmaya

Tidak seperti dua hari kemarin, hari ini Aisha berangkat agak siangan. Jam delapan ia masih terlihat di meja makan bersama Dewi.

"Sha, hari ini penentuan?"

"Hari ini rapat penentuan produk Wi, do'akan ya semoga lancar."

"Iya Sha, aamiin," Dewi melihat ke arah Aisha yang terlihat termenung. "Sha nanti gue antar ya, sekalian ke kampus."

Aisha masih termenung, memandang ke arah piring kue yang kini sisa satu. Tidak mungkin kan Aisha menginginkan kue itu dan takut bersaing dengannya? pikiran terkonyol yang pernah terlintas di pikiran Dewi. "Sha?"

"Eh?" Aisha terkaget.

"Kamu, kayaknya sakit deh, apa istirahat saja?"

"Mungkin hanya kecapekan Wi,"

"Tapi, kamu pucet banget Sha," Dewi mulai khawatir. Ia meraba tangan Aisha. "Dingin banget Sha, jangan-jangan kamu demam Sha?"

"Tidak apa-apa Wi, saya mau menyelesaikan ini dulu," jawabnya penuh keyakinan.

"Tapi hati-hati ya Sha, mau berangkat sekarang?"

"Sebentar Wi, saya sholat dulu," Aisha beranjak menuju kamar.

Sementara itu Dewi berusaha menghubungi Ridho, "halo, Assalamu'alaykum Dho?"

"Wa'alaykum salam, kenapa Wi?" terdengar suara Ridho di ujung sambungan.

"Dho kamu sudah di kantor?"

"Belum, ini baru mau berangkat."

"Dho, nitip Aisha ya, sepertinya dia lagi sakit, eh, udah ya," buru-buru Dewi memutuskan sambungan dan segera menyimpan hape secepat kilat seiring keluarnya Aisha dari dalam kamar. "Yuk!" ajak Dewi kemudian bangkit.

Aisha berjalan serasa melayang. Dia bertekad akan segera pulang begitu rapat selesai dan istirahat. Di dalam mobil, Aisha lebih banyak diam. Dewi sesekali bercerita tentang kampusnya, tentang teman-temannya yang akan mengadakan panggung pementasan, tentang seseorang yang ia sukai, ia bercerita penuh semangat. Aisha berusaha menjadi pendengar yang baik. Ia sangat sayang dengan sahabatnya ini, berharap suatu hari Dewi akan pula memakai hijab.

"Sha baik-baik ya, kalo ada apa-apa hubungi aku ya," ketika hampir sampai. "Mmm, Sha boleh nanya gak?" Aisha tersenyum disertai anggukan. "Sha aku selalu perhatikan hampir tiap hari kamu shalat, shalat dhuha ya? setelahnya kamu terlihat tenang dan siap menghadapi apapun, itu kenapa ya Sha?"

Aisaha sangat senang dengan pertanyaan Dewi setelah begitu lama. "Wi saya pernah mendengar hadits bahwa siapa yang shalat empat rakaat di awalpagi makan akan dipenuhi hajat kita pada hari ini oleh Alloh, apapun yang kita mau. Begitu Wi yang saya dengar."

"Tapi, berarti kita beribadah karena ada maunya dong Sha?"

"Memang kenapa Wi? Kita beribadah memang mengejar apa yang Alloh janjikan, jadi tidak salah ketika kita ingin sesuatu ya mintalah sama Alloh pemilik segala, Alloh sangat senang dengan permintaan hambany Wi."

"Bukankah kita jadinya beribadah bukan karena Alloh?"

"Justeru dengan semakin kita bergantung kepada Alloh SWT, dengan sering kita meminta kepada Nya, itu membuat keimanan kita bertambah. Bukankah iman itu percaya? berarti ketika kita memohon kepada Nya kita percaya bahwa memang Alloh akan mengabulkan apa yang kita inginkan. Karena Alloh karena hanya kepada Nya kita meminta Wi, itu yang saya dapat dari kajian dan yang saya fahami, semoga Alloh mengampuni jika saya salah, aamiin," jawab Aisha hati-hati.

Dewi mengangguk dan tersenyum kepada Aisha. Ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi sayang mobil telah sampai di tujuan akhir.

Aisha balas mengangguk dan tersenyum, "Wi saya turun dulu ya, assalamu'alaykum warrohmatullohi wa barokatuh..." Aisha menunggu sampai mobil Dewi melaju cukup jauh, baru ia masuk ke dalam gedung.

Ketika Aisha sampai, suasana di dalam gedung sudah terasa sibuk. Laki-laki berpakaian rapi, sepatu mengkilat, dan dasi hilir mudik antar ruangan dan antar lantai gedung, tidak ketinggalan pegawai perempuan pun ikut hilir mudik. Kebanyakan mereka menggunakan celana panjang berwarna gelap, dengan baju kemeja atau ada juga yang ditambah blazer dengan name tag menggantung di leher, serta sepatu berhak yang berbunyi nyaring ketika mereka berjalan. Ada sedikit diantaranya yang menggunakan rok selutut, satu dua pernah Aisha melihat yang di atas lutut. Bagi Aisha sendiri pemandangan seperti itu membuatnya tidak nyaman.

Aisha berjalan perlahan menuju lift lebih ke menjaga keseimbangan. Ia tersenyum ketika berpapasan dengan satpam. Tas slempang yang sebenarnya hanya berisi dompet, satu buah buku tulis, hape, mukena, dan flashdisk terasa lebih berat dari biasanya.

Dari arah pintu masuk gedung Ridho berjalan cepat ketika melihat Aisha menuju lift. "Assalamu'alaykum...." sapanya ketika persis di samping Aisha di depan lift.

Aisha melirik ke arah suara kemudian menjawab salam, lengkap seperti biasa.  Ia berusaha bersikap sebiasa mungkin walaupun ia sangat kecapekan. Andai saja ada sofa di ruangan kosong, Aisha mungkin saja sudah ambruk di sana.

Lift terbuka keduanya masuk bersama beberapa orang yang ikut menunggu. Ridho memperhatikan Aisha, ia merasa sedih dan entah apa, mungkin sakit melihat Aisha pagi ini. Tapi, jika ia bertanya tentang kondisinya pasti jawabannya tidak apa-apa. Aisha kamu harus kuat, karena kalau tidak, aku pun akan menyerah sepertimu. Mari kita pulang, pergi dari ini semua, katanya emosi dalam hati.

Ridho menyeimbangkan irama langkahnya dengan Aisha. Keduanya berjalan beriringan menuju ruang serafood.

Di ruangan sudah ada Rifki dan Rima dengan semangat penuh.

"Mba Rima? Apa kabar?" tanya Aisha masih berusaha bersikap biasa selain memang dia sangat senang melihat Rima kembali di mejanya. Mereka kemudian saling berjabat tangan dan berpelukan.

"Alhamdulillah baik Mba, maaf ya saya jadinya tidak guna," keluhnya dengan mimik sedih.

Aisha menyimpan tas nya kemudian segera duduk, rasanya seperti berjalan puluhan kilo di siang hari yang terik, "ah, Mba Rima, suka gitu, enggak kok kita di sini lancar berkat do'a Mba Rima juga."

"Syukurlah, semoga hari ini berjalan lancar ya Mba."

"Aamiin, insyaAlloh ya Mba."

—-——————////———————-

Rapat seyogianya akan dilaksanakan siang sekitar jam satu selepas istirahat. Aisha masih di mushola ketika Rafa memberi tahu bahwa rapat akan dilaksanakan di ruang lantai tiga. Semua berbenah, membawa perlengkapan yang diperlukan ke lantai tiga.

"Aisha di mana Mba?" tanya Ridho, belum melihatnya sejak sholat dzuhur tadi.

"Masih di mushala Mas, kelihatannya capek, jadi, mungkin mau istirahat sebentar, biar gak papa nanti kalo udah siap saya susulin."

Ridho mengangguk pelan, ia sangat khawatir jelas terlihat di raut mukanya.

Sekitar jam satu kurang sepuluh, ruangan rapat di lantai tiga yang lebih luas telah siap. Rima telah mengambil posisi, yang dirasanya tepat. Ia sangat memperhitungkan semuanya. Tidak terlalu dekat dengan posisi atasan pun tidak kejauhan karena dia harus jelas mendengar semua apa yang diucapkan bos besar, kalau perlu, batuk dan dehemannya pun harus terdengar jelas. Ia akan mengingatnya, mungkin kemudian akan ia teliti jenis suara dan kepribadiannya. Rima terlihat serius dengan pikiran dan gerakannya. Matanya awas memperhatikan.

Rafa masuk, ia mendapati Rima tengah berdiri serius. "Aisah ke mana Mba?"

Rima tak bergeming, ia malah menambah gerakan tak penting. Memegang dagunya dan nampak berfikir keras.

"Mba Rima?"

"Eh!? I iya mas!?" bergegas ia setengah berlari ke arah Rafa.

Rafa hanya melihatnya heran, memandang Rima bagai pertama kali melihat mahluk asing turun ke bumi, "Aisah mana?" ucapnya singkat.

"Oh! betul mas, saya susul dulu, lupa!"

"Di mana?"

Tapi Rima telah berlalu secepat kilat, ia berlari, hampir saja ia lupa!

Di dalam mushala, Aisha masih terbaring setengah tertidur, ia tidak bisa tidur. Lemas rasanya ketika ia ingin bangun. Aisha merogoh saku rok nya, ia mengambil hape, jam satu kurang sepuluh! Aisha buru-buru bangun. Ia mengumpulkan kekuatan. Memegang kedua kepalanya seakan menahannya untuk tidak bergerak ke sana ke mari.

"Mba Aisha...!"

Aisha melihat Rima terengah-engah di pintu mushala.

"Maaf Mba, rapat sebentar lagi akan di mulai, jangan sampai kita telat."

"Iya Mba, mari..." kata Aisha lemah namun luput dari perhatian Rima yang lebih khawatir dengan waktu.

Aisha bangkit sekuatnya, ia tidak ingin siapapun melihatnya selemah ini. Ia mengikuti Rima yang berjalan cepat-cepat.

"Lantai tiga?" ketika di dalam lift.

"Iya Mba, kita di ruangan yang lebih besar." Kata Rima cepat.

Aisha tertegun sesaat, apakah nanti ia harus berdiri ketika pemaparan? batinnya khawatir.

Ridho tengah berjalan cepat ke arah ruang rapat ketika mereka sampai di lantai tiga. Ia berbalik mendengar derap sepatu perempuan.

"Aisha? Kamu baik-baik saja?"

Rima berbalik melihat ke arah Aisha. Ia tidak begitu memperhatikan kawan se-tim nya itu. Ia terobsesi dengan waktu!

"Astagfirulloh..." Rima baru sadar begitu pucatnya Aisha. Rima mendekati Aisha tapi kemudian suara Rafa membubarkan kekhawatiran mereka, menggantungnya di sudut lantai gedung.

"Sha, apa kamu izin saja sama Rafa?" tanya Ridho sedikit memohon dalam nada bicaranya.

"Ayo Dho kita selesaikan," jawab Aisha mantap sambil tersenyum ke arah Ridho.

Ridho terdiam berusaha membalas senyuman Aisha. Jika itu keputusanmu Aisha, aku akan bersamamu, batinnya. Aisha meninggalkan Ridho berjalan terlebih dahulu ke arah ruangan. Rima seketika mendengar suara Rafa langsung berjalan cepat. Ia tidak mau terlambat, tidak boleh!

Rifki sudah duduk tepat di samping kiri Rima karena sebelah kanan terlalu dekat nantinya dengan bos besar selain itu, sepertinya kursi itu sudah disiapkan Rima untuk Aisha. Rupanya dia pun sudah tahu gelagat Rima. Ia percayakan masalah posisi kepadanya.

Rima melihat ke arah Aisha, "Mba apa pakai bedak sedikit biar tidak pucet?"

"Jangan Mba, saya tidak apa-apa, insyaAlloh."

Masih saja bisa tersenyum, pikir Rima.

Rafa sendiri sibuk, kembali memperhatikan proposal. Padahal sudah ia buka bolak-balik tapi ia masih saja khawatir, takut di sana ada yang ia lupakan, ia tidak mau celah apapun menjadi senjata bagi kakeknya untuk tidak mempercayainya atas proyek ini. Aisha membuka laptop, memasangkan colokan proyektor dan mulai membuka file ketika layar sudah menampilkan isi laptopnya.

Semua telah siap, bak prajurit yang tengah menunggu lawan di medan tempur, semua panca indera awas mengawasi. Seandainya ada satu benda berat terjatuh pasti akan terperanjat semua.

Tidak lama derap sepatu model pantopel terdengar semakin jelas. Nampaknya banyak yang datang, pikir Rima, matanya awas ke arah pintu. Seseorang membuka pintu ruang rapat, seorang laki-laki masuk diikuti Kakek Martin, asistennya Meli, dan dua orang lagi berpakaian rapi, masih muda kisaran umur tiga puluhan. Satu orang pertama yang membuka pintu mempersilakan Kakek Martin di kursinya paling depan persis di samping layar monitor, kemudian diikuti Meli, dan dua orang lain. Laki-laki yang bagi Rima nampak paling sibuk itu kemudian keluar ruangan.

"Oke," Martin melihat ke sekeliling, ia mengangguk karena merasa semua telah lengkap dan paling penting tepat waktu. "Rafa?"

Serentak pandangan beralih ke arah Rafa tanpa menggerakkan kepala sama sekali! Hanya Aisha yang tak memberikan ekspresi apa-apa, bahkan gerakan apapun. Ia menunggu, hanya fokus agar bisa menyelesaikan bagiannya dengan baik. Ia tidak peduli tentang apa yang akan diucapkan Rafa atau siapapun.

"Assalamu'alaykum warrohmatullohi wa bartokatuh...," serentak semua tertegun untuk beberapa saat, kemudian tersadar harus menjawab salam ketika Aisha tiba-tiba lantang menjawab salam Rafa. Ia pun sebenarnya sama kagetnya dengan semua yang berada di ruangan.

"Wa'alaykumsalam warrohmatullohi wa barokatuh." Aisha menjawabnya segera dengan senang, ia tersenyum sebentar ke arah Rafa.

Semua mengikuti ragu-ragu, bahkan Ridho, ia dan semuanya tidak berekspektasi dengan salam pembukaan Rafa. Suara seluruh orang kecuali Aisha dan Rafa ketika menjawab salamnya Rafa, itu masih kalah jauh dengan suara Aisha barusan. Rima bahkan membalas salam sambil bengong. Kalau saja ada yang lewat, pasti mengira semua sedang berlatih gerakan slow motion!

"Ehm!" Rafa membetulkan pita suaranya, ia seakan diberi kekuatan baru dengan senyuman Aisha. Paling tidak ia merasa Aisha ada di pihaknya. Ia tidak peduli betapa kelihatan canggungnya ia dengan salam pembukaan barusan atau terlihat sangat aneh di mata semua orang. "Well, saya tidak mau bertele-tele, intinya kita semua telah memutuskan tentang apa yang akan kita jual, kenapa itu yang kita pilih akan dipaparkan Aisha sebentar lagi," Rafa mengambil jeda. "Mari kita dengar paparannya dan setelahnya baru kita berdiskusi," Rafa mempersilakan Aisha memulai paparannya.

Aisha ragu apakah harus berdiri atau tetap duduk. Ia melihat ke arah Rafa, seakan bertanya. Rafa hanya mengangguk. Aisha memutuskan tetap duduk kecuali ia diminta untuk maju berdiri di depan.

"Bismillah..." ucapnya pelan kemudian ia memberikan salam yang kali ini dijawab mantap lainnya.

"Sebentar," sela Martin. "Kamu sebaiknya menjelaskan di depan biar lebih jelas kita semua mendengar."

Aisha sudah menduganya, ia segera berdiri, berbekal pointer ia maju. Ia berdo'a agar diberi kekuatan sampai selesai. Aisha menarik nafas dalam-dalam kemudian berdiri setelah kembali mengucapkan basmalah.

Aisha menjelaskan hampir sama dengan kemarin, ia tidak banyak menambahkan apa-apa. Kecuali tata bahasanya yang lebih tersusun rapi dan terkesan formal. Aisha menjelaskan hampir satu jam, ia kemudian mengakhirinya dengan salam dan kelegaan. Aisha segera duduk. Kepalanya mulai pening. Aisha menjatuhkan diri ketika sampai di kursinya. Alhamdulillah, batinnya.

Rafa mengamati Aisha. Ia berharap Aisha melihat ke arahnya. Ia tampak tak sehat, pikirnya.

"Sesuai kesepakatan kita, dan memang menurut saya ini adalah yang terbaik untuk kita sebagai permulaan," Rafa berhenti sebentar, ia mengamati reaksi kakeknya yang tak tertebak.

"Bumbu yang dibungkus gelas?" kata Martin datar. "Bukankah akan lebih praktis jika dibungkus plastik?" Seperti biasa semua yang bersama Martin mengangguk-anggukan kepala. "Bagaimana menurut kamu San?" tanyanya kemudian pada laki-laki di sebelah Meli.

"Menurut saya, menggunakan plastik memang akan lebih praktis. Tapi, itu kembali lagi kepada tujuan dibuatnya produk ini. Mungkin menggunakan plastik pada langkah produksi selanjutnya akan lebih praktis ketimbang terus-terusan menggunakan mmmm, gelas ya..."

"Bukan, bukan begitu," kata Rafa kemudian menyela. "Plastik mungkin sangat praktis dan mudah didapat, tapi itu kita hindari, ya, kita dari awal memang membranding sehat dan setelah saya pikir branding go green akan lebih baik lagi," jawab Rafa sambil sesekali mengalihkan pandangan pada Aisha dan Kakeknya. Ia sebenarnya baru memikirkan ini baru saja, atau mungkin sudah dipikirkan Aisha jauh hari itu dirinya tidak pernah tahu. Aisha tidak memberikan respon apapun, dia terduduk saja di sana tanpa tenaga.

"Terus bagaimana?" lanjut tanya Martin.

"Iya ini akan kembali ke konsep awal, di mana isi ulang menjadi trend sett nya."

"Orang membawa gelas-gelas mereka untuk mengisi kembali?" tanyanya ironis. martin tidak pernah sampai harus sarkas, bukan gayanya. Ia mengernyit belum masuk di kepalanya. Ia pikir akan lebih mudah jika saja mereka mau menerima idenya tentang makanan frozen. "Ribet juga ya hidup," masih tanpa penekanan tapi menusuk.

"O tentu, kita memang membuat jar ukuran besar supaya bisa dipakai sebulan, jadi mereka tidak perlu repot tiap minggu atau hari bolak-balik hanya untuk membeli bumbu."

Martin terlihat mengangguk sedikit, kemudian terdiam sepertinya sedang memikirkan sesuatu. "Bumbu apa?"

"Bumbu dasar, tiga jenis: merah, putih, dan kuning,"

Martin kembali diam, ia melihat ke samping kirinya, "Sandi, bagaimana?"

"Kalau melihat dari pemaparannya, cukup menjanjikan walaupun memang akan membutuhkan waktu," jawab Sandi singkat.

"Andri?"

"Secara keuangan saya malah kagum sama mereka yang mana masih baru Pak," Martin melirik meminta penjelasan. "Satu hal, keputusan penggunaan voucher sebagai reward, itu menurut saya sudah melampaui ide bisnis untuk pemula seperti mereka, itu keren kalau boleh saya bilang, lebih dari itu penyusunan laporan keuangannya pun sangat rapi."

"Ah!" sahutnya sambil mengangguk-angguk."Itu baru cucuku,"Martin tersenyum tampak senang dengan progres proyek cucunya. 

Tapi, bagi Rafa ada hal menyedihkan pada kalimat itu, haruskah membuktikan sesuatu untuk dianggap? tidak, itu hanya kalimat pujian saja, toh kakeknya amat sayang padanya, hiburnya dalam hati. Rafa menarik nafas sedikit lega diikuti semua yang hadir. Aisha senang juga tapi akan lebih senang lagi kalau rapat ini selesai dan ia bisa istirahat.

"Oke, mulai hari senin kalian sudah bisa mulai bekerja, silakan hubungi siapapun di kantor ini untuk mendukung proyek kalian, sebulan lagi harusnya sudah siap berproduksi, kalian akan merekrut pegawai, mencari tempat produksi, dan lain-lainnya, kamu pasti ngerti Rafa."

Rafa hanya mengangguk. Cukup banyak, tidak, sangat banyak! yang ia harus lakukan. Lokasi, pegawai, dan gelas, ah, jar! itu ia bisa dapat dari mana? Aisah? Lu pernah bilang tidak akan pernah meninggalkan ini semua? Maka, tetaplah di sini. Ucapnya dalam hati sambil memandang ke arah Aisha.

Martin kemudian bangkit dari duduknya, "saya tidak main-main dengan proyek ini, begitupun saya tidak main-main karena dipegang cucu saya. Kalian semua di sini sama, harus bekerja keras bersama-sama agar ini dapat berjalan lancar," ia kemudian mengedarkan pandangan pada semua yang hadir di ruangan anggota serafood. "Oke, saya akan kembali memantau, tapi mungkin tidak seperti ini, saya akan memantau melalui Rafa, atau beberapa dari kalian akan saya panggil secara pribadi, well, hari ini bagus, have a great day!" Ia mulai beranjak hendak meninggalkan ruangan, "tunggu," katanya kepada diri sendiri. Tiga orang yang ikut serta kembali duduk ragu. "Kamu."

Semua yang ada di ruangan terpaku, saling mencari, siapakah yang dimaksud. Rima membetulkan letak duduknya, ia melihat ke kanan dan ke kiri. Ridho melihat ke arah Aisha yang terduduk lemah.

"Kamu, ya, kamu, Aisha?"

Aisha melihat lemah ke arah Kakek Martin, "Iya saya?"

"Ikut saya sebentar."

Rafa melihat ke arah Aisha kemudian ke arah kakeknya, ia menggeleng tak setuju.

Aisha bangkit mengikuti rombongan Kakek Martin. Rafa segera ikut bangkit. Semua yang ada di ruangan saling pandang tak mengerti.

"Fa, maksudnya apa?" tanya Ridho khawatir.

"Gue juga gak tau," jawab Rafa, ia menggeleng lemah kemudian bangkit hendak menyusul keluar.

"Ada apa sih?" tanya Rima sebal tidak mengerti apa-apa. Ia bertanya cukup nyaring, berharap akan ada yang bisa menjawab pertanyaannya. "Kenapa Mba Aisha dipanggil secepat itu?"

Tidak ada jawaban. Semua orang pun bertanya. Ridho menggeleng. Ia menarik nafas panjang. Aisha dari awal, aku sudah bilang, katanya menyesal kenapa dulu ia tidak memaksa Aisha untuk berhenti, mundur. Kenapa dulu ia bersedia menjemput Aisha ke Bogor? Padahal bisa saja jika ia tidak menjemputnya, mungkin Aisha tidak akan terlibat. Ia bangkit melihat Rifki mulai membereskan semua perlengkapan yang mereka pakai.

Rifki mungkin yang paling bahagia dan tidak terlalu peduli dengan sikap bos besar tadi. Dia terlalu senang karena laporan keuangannya mendapat pujian. Apa lagi yang lebih membahagiakan di dunia kerja selain hasil jerih payahmu diberi apresiasi? Rasanya tidak ada, begitu pikirnya.

-----------------------------------------

Aisha mengikuti Kakek Martin, ia berada di dalam lift yang sama di mana ada enam orang yang tidak ia kenal baik. Kepalanya tambah menjadi. Ia menahan diri dari keinginan untuk menyentuh kepala. Lift berhenti di lantai satu. Aisha terus mengikuti. Agaknya sudah sore, mungkin sudah adzan ashar, dan Aisha tak mendengar adzan.

Tepat di depan sebuah pintu kaca semuanya berhenti. Dua orang lainnya pamit, entah ke mana Aisah enggan mengetahui. Tinggal dirinya, Kakek Martin, dan laki-laki sibuk tadi. Seseorang yang tadi sibuk, kembali membukakan pintu untuk Kakek Martin. Kini di dalam ruangan tinggal dirinya dan Kakek Martin.

"Aisha, saya sudah banyak mendengar dan mengetahui tentang kamu, bahkan mungkin semua tentang kamu." Aisha terdiam, ia tidak juga dipersilakan duduk sedang di sana sofa yang sangat empuk, rasanya ingin menjatuhkan diri di sana.

"Saya tidak pernah suka anak-anak saya berhubungan dengan kalangan seperti kamu. Karena, menurut saya kalian hanya memanfaatkan kami. Tudak bisakah kalian bekerja keras seperti yang kami lakukan?"

Aisha mendongak, ia melihat ke arah Kakek Martin yang tinggi besar. Apa maksudnya? pikirnya.

"Tapi, entah kenapa selalu saja datang orang seperti kamu di kehidupan saya. Mungkin Tuhan sedang menguji. Saya berinvestasi banyak bahkan mungkin seluruhnya kepada Rafa. Saya tidak mau dia gagal. Kamu mengerti maksud saya?"

"Kek, saya tidak mengerti maksud Kakek apa, saya dan investasi rafa apa hubungannya?"

"Bisakah kamu menjauhi Rafa? Anggap saja kamu tidak pernah mengenalnya, saya akan ikhlas jika kamu mundur dan kembali kuliah seperti biasa, hiduplah senormal yang kamu mau."

Aisha tertegun. Entah apa yang ingin ia ucapkan. Berhenti dari proyek ini? Itu artinya ia harus mulai dari nol untuk tugas kuliahnya. Ia tidak bisa berfikir, selain kepalanya memang pening. Aisha tidak pernah terlintas sedikitpun bahwa Kakek Martin berfikiran seperti itu.

Rafa setengah berlari keluar dari lift, ia menuju ruangan yang biasa dipakai rapat di lantai satu. Melintasi beberapa satpam, "Pak, lihat kakek?"

"Oh, tadi ke arah sana," seorang satpam menunjuk ke ujung gedung, tepat seperti dugaan Rafa.

Rafa mendapati Pak Doni, yang tadi sudah sangat sibuk melayani kakeknya tengah berdiri sigap di depan pintu kaca.

"Hhh, ka kakek! Kakek ada di dalam?"

"I iya Den," katanya ragu.

"Buka buka, buka!"

"Tidak bisa Den, tadi Kakek menyu..."

"A...h!" Rafa memaksa membuka pintu kaca yang tidak tembus pandang itu.

"Duh den!" tapi terlambat Rafa sudah berhasil masuk ke dalam.

"Rafa?" Kakek Martin menggelengkan kepala, ia sudah menduga hal seperti ini. "Kamu mau apa Rafa?"

"Ka kakek...," Rafa mencoba mengatur nafasnya. Tidak terbiasa olahraga, hanya berlari kecil saja sudah ngos-ngosan. "Kakek, mau apa sih sama Aisha dia lagi sakit Kek."

Kakek Martin mengarahkan pandangan pada Aisha, "benar kamu lagi sakit?"

Aisha terdiam. Ia menimbang jawaban apa yang paling tepat, sementara ia tidak mau terlihat lemah.

"Ya iyalah Kek, lihat saja, pucet banget kan?" setengah membujuk, Rafa tidak pernah mau marah apalagi sampai membentak orang tua. Terlebih kakeknya. Karena sejak kecil seingat Rafa, kakeknya ini yang paling sayang dengan dirinya. Dia tidak pernah marah, seingat Rafa. Gaya bicaranya selalu seperti itu, tenang tidak berapi-api kadang menusuk tajam, tapi itu dia hanya berusaha bicara jujur. Rafa tahu kakeknya itu amatlah sayang pada dirinya dan dia tidak pernah benar-benar membenci seseorang, dia hanya mengujimu kadang-kadang.

"Sudah ya Kek, aku antar dulu Aisha," lanjut Rafa.

Kakek Martin tertunduk kemudian mengangguk.

"Yuk Aisah..." ajak Rafa.

Aisha tidak punya pilihan, ia hendak berbalik mengikuti Rafa sebelum tertahan.

"Aisha, ingat baik-baik perkataan saya, dulu saya pun sepertimu, seperti Bagas, kalaupun kamu tetap memaksa di sini, kamu haruslah sangat outstanding! Melihat karaktermu yang keras, mungkin kamu bisa, kita lihat," kata Martin pelan tapi tegas.

Aisha tidak menjawab, ia tidak tahu, benar-benar tidak bisa karena ia merasa oleng sekarang, kalau saja mau ia bisa ambruk sekarang juga. "Assalamu'alaykum warrohmatullohi wa barrokatuh, Kek," lantas Aisha mengikuti Rafa yang kebingungan dengan ucapan kakeknya. Dalam hati Aisha tetap mendo'akan kakek martin. 

Rafa berjalan di depan masih penasaran, "memangnya kakek aku ngomong apa sih?"

Sepi saja di belakang. Rafa mengira Aisha mengikutinya tapi ternyata sedari keluar Aisha hanya mencari tempat untuk duduk. Ia sudah tak tahan.

"Aisah!?" Rafa berbalik mencari Aisha.

Aisha sedang terduduk lemas di kursi depan lift.

"Aisah kamu sakit?" Rafa merogoh saku, mengambil hape. "Halo?" terdengar Rafa menghubungi seseorang. "Sudah pulang?"

Aisha terdiam merasai pening dan lemas yang kini menjalar ke seluruh tubuh. Sepertinya tulang telah dicopot paksa dari tubuhnya. Aisha bersandar, memejamkan mata.

"Kamu masih bisa jalan kan?" yang ditanya tidak bergeming. "Kamu tunggu sebentar di sini," Setengah berlari ia ke luar gedung setelah meminta seorang satpam mencari pegawai perempuan untuk menjaga Aisha. Tidak lama setelah Rafa menuju parkir seorang perempuan mendekati Aisha, ia menunggui.

Rafa kembali, minta pegawai perempuan itu memapah Aisha ke mobilnya yang kini telah terparkir persis di depan pintu utama gedung. Setengah sadar Aisha didudukan di kursi depan. Rafa menutup kap mobil dan mulai melaju menuju Rumah Sakit terdekat.

Tidak lama Rafa sudah terlihat memasuki halaman sebuah RS swasta terkenal di Jakarta. Rafa tidak punya ide lain, karena di Rumah Sakit inilah Dr. Rudi, dokter keluarganya bekerja sebagai kepala Rumah Sakit. Dokter Rudi cukup lama mengenal kakeknya, kakeknya merupakan salah satu penyantun utama rumah sakit ini. Rafa memanggil seorang perawat untuk membantu Aisha turun.

"Mas sebentar, ini istrinya perlu dibawakan kursi roda," kata si perawat segera berbalik untuk mengambil kursi roda.

"Istri?"gumamnya bingung dan shocked dalam waktu yang bersamaan. Rafa melirik ke arah Aisha yang terkulai lemas di jok mobil dan Rafa yakin harusnya Aisha mendengar suara cempreng si perawat tadi. 

Si perawat cempreng tadi tidak lama telah kembali dengan kursi roda dan seorang perawat lain. Mungkin dia butuh teman. Rafa mengikuti di belakang dua perawat yang berjalan cukup cepat. Tidak lama Aisha telah ditangani seorang perawat yang sepertinya lebih senior lagi ketimbang dua tadi. Aisha mendapat penanganan cepat karena ia masuk IGD. Aisha tidak ditanya apa-apa, dia langsung diperiksa.

"Ya ampun, kok, rendah banget tensinya Bu, ini 80/60, harusnya sudah pinsan ini, apa lagi hamil?" si perawat mengalihkan pandangan ke arah Rafa ketika bertanya.

Rafa malah terkesan planga plongo, entah apa yang di dengarnya. Kata ibu saja yang ditujukkan untuk Aisha sudah cukup membuatnya bengong dan kaget.

"Bukan Bu, saya belum menikah," jawab Aisha. Ia akhirnya menjawab karena Rafa tak bersuara sama sekali.

"I iya, bener bener..." katanya menimpali canggung.

"Oh! maaf, saya pikir tadi pasangan muda, maaf ya maaf, bukan pacaran juga kan?" dan si perawat senior ini menjadi sangat kepo. Tipe ibu-ibu yang suka mengorek-orek informasi kemudian akan barter dengan teman lainnya sesama perempuan.

Rafa dan Aisha tidak berminat menjawabnya.

"Maaf mas, lebih baik mas nya melakukan registrasi di ruangan sebelah sana," kemudian perawat cempreng tadi yang masih berdiri di samping perawat seniornya menerangkan tempat pendaftaran yang tidak ingin Rafa dengar. Ia tidak terbiasa mengurus hal-hal semacam ini. 

"Duh! maaf ya Mba, bisa tidak saya disambungkan dengan Dr. Rudi," Rafa merasa tidak sanggup dengan semua prosedural ini. 

"Eh?" si perawat cempreng tadi malah heran. "Mas kenalan Dr. Rudi?"

"Saya salah satu pasiennya," jawab Rafa acuh.

Tiba-tiba si perawat cempreng terdiam heran, ia memperhatikan Rafa menyelidiki. Ia tahu Dr. Rudi menjadi dokter keluarga. Sayangnya hanya satu keluarga yang menjadi pasiennya. Apakah orang ini berbohong? pikirnya. Tapi tidak, ia seperti pernah melihat mas ini, pikirnya lagi. "Oh! my! god!" tiba-tiba si perawat cempreng berseru sambil menutup mulut. Ia meilirik satu dua ke perawat seniornya yang sedang memeriksa Aisha. Ia memberi isyarat lewat mata dan ekspresi wajah. Seakan ingin mengabari: woi! berita besar ini! Tapi, si perawat senior membutuhkan waktu untuk memahaminya.

"Kenapa Mba? sebaiknya cepat diurus registrasinya, kasihan mba nya ini, lemah banget," jawabnya hampir sangat membosankan.

"Mas Rafa ya?" tanya si perawat cempreng berubah menjadi sangat ramah diikuti gerakan yang jauh lebih aneh yang diperagakan oleh si perawat senior. Ia terbangun kaget mendengar nama itu disebut dan sepertinya lututnya telah kepentok meja karena kemudian ia menyeringai. Wajahnya mendadak berubah dari sangat membosankan, heran, dan kemudian amat sangat ceria. Hanya perempuan yang bisa melakukan ini.

Rafa kemudian merasa sangat menyesal telah memilih Rumah Sakit di bawah Tjandra Group. Ia merasa seperti Voldemort di sini yang namanya tidak boleh di sebut, you-know-who atau He-Who-Must-Not-Be-Named dengan arti yang berbeda. Kalau saja Voldemort tidak boleh di sebut karena ketakutan sedang namanya membuat orang mendadak kaget dan cepat kagum. Hal itu membuatnya sangat risih. Rafa benar-benar terlihat sangat bosan sekarang. Setiap orang kemudian tahu tentangnya langsung berubah seratus depalan puluh derajat dengan gerakan-gerakan aneh cukup menyebalkan.

Si perawat senior melihat bergantian antara Rafa dan Aisha. Bener katanya dalam hati, ini berita sangat besar! Tapi, secepat itu pula si perawat senior dapat menguasai diri dan kembali profesional. Ia seperti telah sangat terlatih menghadapi situasi seperti ini. 

Rafa sendiri segera keluar karena Aisha akan diperiksa lebih lanjut. Ia kemudian menunggu di kursi tunggu, tidak pula ia mengurus registrasi. Ia menelpon Rima supaya datang dan ia akan mengurus semuanya, pikir Rafa. Rafa termenung di sana, Cukupkah terlihat bagi dirinya dan Aisha sebagai pasangan? Ia baru saja tahu bahwa istri-istri nabi beberapa menikah di usia sangat muda bahkan nabi sendiri pun menikah di usia muda. Tapi, mereka baik-baik saja malahan menjadi contoh bagi umat sampai akhir waktu. Ia teringat penjelasan ustadz yang baru saja dikenalkan Angga. Mengingat Angga ada rasa cemburu yang sangat, ia tampak mengetahui segala sesuatu tentang agama, sementara dirinya? Bagaimana bisa Aisha mendapat pendamping seperti dirinya? Angga nampak lebih baik dari sisi manapun di pandangan Aisha, pikirnya.

Rafa menunduk memegang kepala dengan kedua tangannya, dan ia teringat belum melaksanakan shalat ashar, jam sudah pula menunjuk angka lima dan sinar sore mulai perlahan menarik diri dari setiap celah ruang.

Continue Reading

You'll Also Like

53.1K 5.2K 44
Kelanjutan dari kisah bertetangga para cecans komplek duren yang makin hari makin penuh lawakan itu. Tidur ngelawak, makan ngelawak, berak ngelawak...
296K 26.2K 52
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
326K 25.5K 54
Renner dan Sabila, dua orang dengan profesi yang menguras tenaga - seorang kapten polisi dan dokter emergensi, bertemu dalam sebuah keadaan yang memb...
7.7K 1.2K 23
Hanya sebuah mini story tentang kapal kesayangan. Setiap chapter tidak lebih dari 1k kata. Kalo lebih panjang berarti itu bonus:v