NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

EXTRA - DONGENG

74.8K 7K 1.8K
By renitanozaria

Biasanya, sebelum pergi tidur, Bunda akan mendongeng untuk keempat anaknya. Tetapi hari ini berbeda, karena Ayah yang akan bercerita. Chandra yang baru duduk di kelas tiga SD langsung bersemangat begitu mendengarnya. Dia bahkan sudah mengajak ketiga adiknya—Calvin yang baru berusia enam tahun, Cetta yang belum lagi menginjak empat tahun dan Suri yang baru merayakan ulang tahunnya yang kedua tiga bulan lalu—untuk pergi tidur tepat setelah selesai makan malam. Ketiga adiknya tentu tidak setuju, karena itu sama saja melewatkan dessert time yang biasanya berlaku satu setengah jam setelah makan malam—waktu dimana Bunda akan mengeluarkan penganan manis berupa biskuit, kue atau puding yang dibuatnya hari itu.

Sebagai anak paling tua sekaligus pemegang suara minoritas, akhirnya Chandra harus bersabar hingga waktu menunjukkan hampir pukul sembilan malam.

"Ayah, ceritanya harus panjang, ya." Chandra berceloteh sesaat setelah dia selesai menyikat gigi, sementara Ayah membantu Calvin, Cetta dan Suri membasuh kaki-kaki mungil mereka masing-masing. Walau tidak pergi keluar rumah, Ayah dan Bunda selalu membiasakan mereka untuk mencuci kaki dan menggosok gigi sebelum pergi tidur. Chandra dan Calvin yang lebih besar sudah bisa menyikat gigi sendiri, sedangkan Cetta dan Suri masih butuh bantuan.

"Panjang?"

"Iya. Panjang. Kalau bisa enggak tamat-tamat."

"Kalau enggak tamat-tamat, nanti kalian enggak tidur-tidur dong."

"Enggak apa-apa!" Calvin menukas dengan mulut penuh busa pasta gigi. "Biar begadang kayak lagu itu tuh, lagu yang dulu suka diputar Opa." Bocah itu menyambung lagi, menyebut lagu dari Rhoma Irama yang memang sering diputar oleh kakek mereka setiap kali mereka bertandang ke rumah beliau di akhir tahun.

"Enggak boleh begadang." Cetta membalas cepat. "Nanti jadi jelek kayak hantu."

"Kalau kamu sih emang udah jelek." Chandra mengejek, kemudian menjulurkan lidah, membuat Cetta langsung mengangkat tangannya ke udara, seperti ingin memukul. Meski begitu, wajahnya terlihat sangat memelas, seperti dia bisa menangis sewaktu-waktu. "Idih, mau nangis ya? Huuuu... cengeng!"

"Ayah!" Cetta memekik dengan mata berkaca-kaca. "Abang nakal!"

"Abang Chandra enggak boleh gitu." Ayah menengahi. "Abang Cetta benar. Begadang itu enggak bagus, apalagi besok kamu sama Abang Calvin harus sekolah. Kalau begadang nanti dimarahin Ibu Guru di kelas."

"Yah, kalau gitu begadangnya nanti aja, pas besoknya enggak sekolah."

"Enggak boleh!" Cetta tetap ngotot. "Nanti jadi jelek kayak hantu!"

"Ih, Culi pucing deh!" Suri merengut. "Ayah, bantu Culi aja sikat giginya. Abang enggak usah. Abang nakal."

Kompak, ketiga kakak laki-laki Suri langsung berseru. "Abang enggak nakal!"

"Sudah-sudah, jangan berantem. Kalau kalian berantem terus, Ayah enggak jadi cerita, nih."

Seperti dikomando, anak-anak Ayah kontan terdiam.

Mereka sempat berdebat lagi, yang kembali Ayah lerai. Bunda menyaksikan semuanya dari ambang pintu kamar mandi, menatap anak-anak dan suaminya dengan tatapan geli yang penuh kasih. Setelah melalui perjuangan panjang yang membuat Ayah harus rela bagian depan kausnya basah terkena cipratan air karena anak-anaknya yang tidak bisa diam, acara cuci-mencuci dan menyikat gigi tersebut akhirnya selesai. Bunda membantu Ayah dengan menidurkan anak-anaknya di empat ranjang yang terpisah oleh meja lampu sementara Ayah berganti pakaian.

"Bunda, tadi katanya Ayah yang mau cerita." Chandra sempat protes ketika Bunda masuk ke kamar mereka dan mengarahkan mereka untuk berbaring sebelum menarik selimut hingga menutupi tubuh keempatnya sampai sebatas perut.

"Iya. Ayah lagi ganti baju. Soalnya kalian tadi nakal, jadi baju Ayah basah."

"Abang enggak nakal!" Chandra membantah.

"Abang juga!"

"Culi juga!"

Bunda tertawa, bertepatan dengan Ayah yang masuk. Keduanya bertukar tempat. Kini Ayah yang duduk diantara dua ranjang tempat keempat anaknya berbaring.

"Ayah, cerita ya."

"Cerita apa?"

"Apa aja."

"Si Kancil?"

"Enggak mau! Abang Apin enggak suka mencuri kayak Si Kancil!" Calvin menyela.

"Timun Mas?"

"Abang Apin enggak suka timun!"

"Sama. Abang Gede juga enggak suka timun!"

"Abang Kecil juga!" Cetta tidak mau kalah.

"Culi enggak suka timun, tapi Culi suka semangka." Suri menimpali.

"Mmm... kalau gitu, Putri Tidur?"

"Enggak mau!"

"Terus apa dong? Katanya tadi apa aja?"

"Ceritanya yang beda, jangan yang suka Bunda ceritain." Calvin menyahut, yang ditanggapi oleh ketiga saudaranya dengan anggukan serentak.

"Terus apa?"

"Eh, Ayah, sebelum itu Abang mau nanya. Boleh enggak?"

"Nanya apa?"

"Cinta pertama itu apa?"

Pertanyaan Chandra membuat Ayah terdiam sejenak. Begitu pun dengan Calvin, Cetta dan Suri. Berbeda dengan Ayah yang tidak mengira jika anak tertuanya sudah mampu menanyakan sesuatu semacam itu, mereka tidak mengatakan apa-apa karena tidak mengerti apa artinya cinta pertama.

"Emang kenapa?"

"Enggak apa-apa. Ayah tau kan teman sekelas Abang yang suka main piano itu. Namanya Safira."

"Iya, kenapa sama Safira?"

"Safira bilang Safira suka Abang." Chandra tersenyum malu-malu. "Kata Safri, Abang cinta pertamanya Safira. Safira bilangnya malu gitu, terus Safira lari. Dia enggak mau ketemu Abang lagi. Abang bingung, cinta pertama itu... emangnya apa, Ayah? Safira enggak bilang Abang nakal, kan?"

Ayah tersenyum penuh pengertian, kemudian tangannya membelai pelan rambut Chandra. "Cinta pertama itu... orang yang kamu sayang pertama kali. Benar-benar pertama kali."

"Berarti cinta pertama Abang itu Culi dong?"

"Culi?" Suri bergumam sambil mengerjapkan matanya dengan wajah polos, membuatnya jadi terlihat seperti boneka yang amat innocent.

"Kalau gitu, cinta pertama Abang Apin juga Culi!"

"Cinta peltama Abang Kecil juga Culi!"

"Bukan gitu, Sayang." Ayah menukas geli. "Cinta pertama yang Ayah maksud itu bukan kayak rasa sayang abang-abang buat Culi atau rasa sayang abang-abang buat Bunda. Cinta pertama itu... rasa sayang yang abang-abang rasain untuk perempuan di luar keluarga kita."

"Oma?"

"Di luar Oma. Misalnya, rasa sayang untuk teman sekelas."

"Mmm... gitu."

"Abang sayang sama Safira?"

"Safira baik. Safira suka bagi cokelatnya ke Abang. Safira suka pinjemin Abang komik-komik horornya Tatang Suhenra." Chandra menyahut. "Tapi Abang lebih sayang Culi daripada Safira."

"Tapi Culi enggak suka bagi cokelat ke Abang Gede." Suri menyergah.

Chandra nyengir. "Iya. Enggak apa-apa. Abang tetap lebih sayang sama Culi."

Ayah tersenyum lebar, tapi tidak lama karena tanya Calvin tiba-tiba mengemuka.

"Ayah, cinta pertama Ayah siapa?"

"Hm..." Ayah seperti mengingat-ingat. "Ayah sudah enggak ingat namanya. Tapi dia teman Ayah waktu Ayah masih kelas enam."

"Cantik, Ayah?"

"Kalau kamu udah suka sama seseorang, mau bagaimana pun dia, dia akan selalu jadi yang paling cantik di mata kamu." Ayah terkekeh.

"Berarti cinta pertama Ayah bukan Bunda?"

"Bukan."

"Kalau cinta pertama Bunda?" Chandra bertanya lagi. "Bukan Ayah juga?"

"Oh, cinta pertama Bunda sudah pasti Ayah." Ayah menjawab penuh rasa percaya diri. "Kata teman-teman Ayah waktu Ayah kuliah dulu, Ayah itu orangnya gampang dicintai."

"Ayah kok kege-eran sih?!" Chandra melipat tangan di dada dengan mulut mengecurut. "Emang kenapa Ayah gampang dicintai?"

"Soalnya Ayah ganteng, pintar, baik hati dan suka menolong orang." Ayah membalas lagi, lantas berpaling pada Suri. "Iya kan, Culi?"

Suri mengangguk berkali-kali, matanya berbinar. "Iya!"

"Enggak adil. Katanya Ayah itu cinta pertama Bunda, tapi kenapa Bunda bukan cinta pertama Ayah?"

"Bunda memang bukan yang pertama, Sayang." Ayah menjelaskan dengan sabar dan sesederhana mungkin, paham jika anak-anaknya masih terlalu muda untuk memahami apa itu yang disebut cinta. "Tapi buat Ayah, Bunda yang terakhir. Selain Bunda, enggak ada yang lain lagi."

"Kenapa gitu?"

"Karena Bunda sudah memberikan Ayah harta paling berharga yang bisa Ayah punya." Ayah menatap bergantian pada keempat anaknya, lalu meneruskan. "Kalian. Anak-anak Ayah yang paling baik."

"Ayah juga Ayah Abang yang paling baik!"

"Ayah Abang Apin juga!"

"Ayah Abang Kecil juga!"

"Ayah Culi!"

"Ayah punya kalian semua. Jangan berantem ya. Ayah enggak suka." Ayah menjawab lagi. "Tapi karena pertanyaan Abang, Ayah jadi kepikiran mau cerita tentang sesuatu."

"Cerita tentang apa Ayah?"

"Cerita waktu pertama kali Ayah sadar kalau Bunda kalian memang sebaik itu. Mau dengar ceritanya?"

"Mau!"

***

Kelana tidak ingat kapan tepatnya dia menyadari kalau dia sudah jatuh pada gadis itu, namun mungkin itu terjadi pada suatu siang yang mendung di bulan Oktober. Sebelumnya, dia hanya tahu sedikit tentang gadis aneh itu. Namanya Adelina Mayesha. Sebetulnya, dia tergolong gadis yang cantik meski jelas tidak feminin seperti kebanyakan mahasiswa. Sebagian besar orang memanggilnya Adelina atau terkadang Adel, untuk mereka yang sudah lebih akrab. Adelina lebih sering mengenakan celana panjang tanpa bagian bawah yang melebar ala celana Elvis Presley yang sedang jadi tren itu. Dia mengenakan celana panjang biasa dengan blus berwarna kalem. Rambutnya lebih sering terikat daripada tergerai, meski terkadang Kelana berpikir jika Adelina terlihat lebih cantik ketika rambutnya dibiarkan jatuh bebas.

Adelina Mayesha menyukai Kelana Wiraatmaja.

Kelihatannya, siapa pun yang ada di kampus tau jelas fakta itu. Adelina memang tidak pernah berkata apa-apa, tapi dia setia mengikuti Kelana seperti bayangan. Belum lagi deretan perhatian tak biasa yang gadis itu berikan pada Kelana, seperti membuatkannya kotak makan siang hingga mengiriminya obat bersemat pita saat Kelana sedang tidak enak badan. Tindakan Adelina dicemooh oleh mayoritas mahasiswa di kampus karena dianggap menyalahi kodrat perempuan yang katanya harus mengejar, tetapi pada akhirnya, sikap keras kepala seorang Adelina membuat orang-orang membiarkannya.

Siang itu, Kelana sedang berjalan sendirian di koridor kampus ketika Adelina memanggilnya, membuat langkah kakinya terhenti dan dia memutar arah tubuh. Sesuai tebakan, Adelina berada beberapa puluh meter di belakangnya. Berbeda dengan hari biasa, gadis itu menggerai rambut lurusnya yang jatuh sampai ke bahu. Matanya menatap Kelana, berbinar seperti lampu-lampu cantik taman kota. Kemudian tanpa berkata apa-apa, dia berlari menghampiri Kelana dengan kotak makan siang di tangannya.

Kelana terperangah, kemudian berseru tertahan. "Hati-hati, lantainya masih basah—"

Terlambat, karena hanya sepersekian detik dari sana, kaki Adelina tergelincir hingga dia tersungkur jatuh di lantai koridor yang basah habis dipel. Akhir-akhir ini, petugas kebersihan kampus memang mengepel lantai koridor lebih sering dari biasanya. Musim hujan membuat banyak sudut kampus jadi lebih cepat kotor. Sayang, Adelina tidak menyadari itu dan sudah terlanjur berlari di atas lantai yang basah.

Refleks, Kelana menghampirinya, lantas mengulurkan tangan untuk membantunya bangun.

"Maaf." Adelina berbisik samar sambil meraih uluran tangan Kelana dan berdiri. "Tadi saya jatuh, tapi jangan khawatir, lantainya baik-baik aja, kok."

Kelana mengerjapkan mata, lalu perhatiannya tertuju pada warna kemerahan yang kentara di rahang Adelina. Dia tau warna kemerahan itu pasti akan bertransformasi jadi memar setelah beberapa hari. Saat jatuh tadi, Adelina terbentur lantai cukup keras. Mungkin bukan hanya rahangnya yang memar, bisa saja siku dan lututnya juga—walau sulit memastikan karena bagian tubuhnya yang itu tertutup oleh pakaian.

"Kamu terluka." Kelana menunjuk rahang Adelina, membuat gadis itu menyentuh dagunya dengan jari.

"Mm—aw. Iya. Ternyata sakit." Adelina meringis. "Tapi enggak apa-apa. Ini. Saya sudah bikinin kamu kotak makan siang kayak biasa. Tenang, saya enggak bikin tumis kerang lagi. Maaf ya untuk kotak makan siang minggu kemarin. Saya enggak tau kalau kamu alergi kerang."

Adelina menyurukkan kotak itu ke genggaman tangan Kelana, kemudian berbalik dan melangkah pergi. Kelana ditinggal begitu saja, hanya bisa menatap punggung gadis itu. Jika Kelana pikir, Adelina sepertinya mengenalnya jauh lebih baik dari kebanyakan orang. Ah, gadis itu bahkan ada disana ketika Kelana berduka saat temannya hilang dalam sebuah pendakian di gunung. Kelana ingat bagaimana dia menangis dalam rangkulan Adelina.

"Adelina Mayesha."

Tanpa sadar, sebaris nama itu terlontar dari mulutnya. Cukup keras hingga mampu membuat langkah kaki Adelina terhenti. Gadis itu berbalik, menatap Kelana masih dengan senyum yang sama.

"Iya?"

"Mayesha."

Salah satu alis Adelina berkerut. "Iya?"

"Saya lebih suka menyebut kamu Mayesha." Kelana tersenyum, membuat hati Adelina serasa dilambungkan ke awang-awang. "Mayesha sounds pretty. Just like you."

"Mmm... thanks."

"Selepas kelas kamu selesai, temui saya di selasar kampus."

"Buat apa?"

"Kemerahan di rahang kamu itu akan jadi memar." Kelana membalas. "Dan saya lebih berpengalaman dengan memar dibanding kamu. Oke?"

Adelina mengangguk dengan pipi memerah, memicu sesuatu berbiak dalam hati Kelana.

Entah apa itu.

***

"Bunda luka?"

"Iya. Tapi Ayah obatin. Terus Bunda sembuh."

"Ayah baik." Suri mengacungkan jempol. "Kalau Culi luka juga Ayah suka obatin luka Culi."

"Iya, Sayang."

"Ayah, sekarang Abang Apin mau nanya. Boleh?"

"Satu pertanyaan aja, ya. Kalian harus tidur sebelum jam setengah sepuluh."

Calvin mengangguk. "Ayah, ciuman pertama itu apa?"

"Kamu dengar itu dari mana, Sayang?"

"Dari film di TV."

"Ayah bisa jawab, tapi enggak sekarang."

"Terus kapan?"

"Nanti. Kalau kalian sudah lebih besar." Ayah beranjak, kemudian menarik selimut yang menutupi tubuh anak-anaknya hingga menutupi dagu. "Kalau sudah saatnya buat kalian untuk mengerti. Sekarang waktunya tidur, oke?"

Keempat bocah itu mengangguk serempak, membuat Bunda yang sedari tadi mendengarkan dari ambang pintu melangkah masuk. Perempuan itu memberikan kecupan di kening anak-anaknya, kemudian mematikan lampu besar dan menyalakan lampu tidur. Bersama dengan Ayah, Bunda menggumamkan 'selamat malam' dan menutup pintu kamar.

"Menurut Bunda, kita harus mengurangi frekuensi Calvin nonton TV." Bunda berujar sementara mereka berjalan menuju kamar mereka sendiri. "Anak itu terlalu banyak belajar sesuatu sebelum waktunya."

Ayah tersenyum lembut sebelum merangkul pundak Bunda, membawa tubuh perempuan itu lebih dekat ke dalam dekapannya.

"Anything you wish, Dear."

"Gombal." Bunda meninju pundak Ayah pelan. "Tapi waktu kamu cerita ke anak-anak tadi, kamu benar-benar kepedean."

"Kepedean gimana ya?"

"Waktu kamu bilang kalau kamu cinta pertamaku."

"Bukannya benar?"

"Enggak juga."

"Kalau gitu, kenapa kamu enggak kasih tau aku sekarang? Siapa cinta pertama kamu?"

Bunda berhenti melangkah, lantas menjawab. "Cinta pertamaku itu... John Lennon."

"Kalau sama dia, aku enggak punya peluang bersaing."

"Yah, jadi kamu nyerah?" Bunda tertawa jahil. "Kamu enggak kepengen tau siapa cinta keduaku?"

"Siapa? Tolong jangan bikin aku minder lagi."

"Masih belum sadar juga?" Bunda berjinjit, berniat mencium pipi Ayah, tapi dengan gesit Ayah menolehkan kepalanya, membuat bibir Bunda justru jatuh di atas bibirnya. Mereka larut dalam ciuman itu selama beberapa saat. "Itu kamu." Bunda lalu berbisik .

Ayah hanya tersenyum, tapi ada kalimat bergema dalam pikirannya.

Aku tau, Mayesha. Aku selalu tau


***

halo. 

lama tidak berjumpa. 

hehe apa yang baru kalian baca itu adalah salah satu part dari EXTRAS NOIR BOOK I. Gue akan memberikan dua bagian EXTRA dan satu bagian lainnya ada di bawah. 

Jadi, gue rasa kalian sudah tau kalau BOOK II akan segera diterbitkan. Seperti biasa, gue akan memberikan EXTRA juga (yang mungkin nanti teasernya gue kasih atau nggak wkwk). Untuk kemaren, gue memberikan giveaway. Untuk sekarang, gue juga akan memberikan giveaway

Apa saja hadiah giveawaynya? 

- Satu buah novel NOIR BOOK 2 + photo polaroid

- Satu printed EXTRA CHAPTER + photo polaroid

- Tanda cinta dari tiga abang + photo polaroid

Jumlah foto polaroidnya rahasia ehehehe 


Syaratnya apa aja? 

1. Ikut vote cover baik di Wattpad, akun Instagram (at)rennozaria dan (at)loveable.redaksi 

2. Posting minimal satu postingan Instagram tentang Noir (terserah mau quotes, foto NOIR I atau fanart dan tag ke rennozaria dan loveable.redaksi) dan di caption, tulis kesan-kesan kalian tentang NOIR dan apa yang membuat cerita tersebut bakal kalian rekomendasikan.

3. Ikut PO (kalau kalian mau hadiah giveaway yang kedua dan ketiga). 

4. Berdoa yang banyak. 

Buat semua yang ikut PO dan beli novelnya bakal dapet EXTRAnya via soft copy seperti biasa. 

Begitulah. 

Jadi langsung aja ya. 

inline comment disini ya 

2

3

Oke dah, mari kita berlanjut ke EXTRA berikutnya.

***

"Kalau enggak dihabisin, gue enggak akan mau bikinin lo susu cokelat dingin lagi."

Sambil berkata begitu, Sebastian meletakkan segelas penuh susu cokelat penuh potongan es batu tepat di depan Suri yang tengah duduk sambil melipat tangannya di atas meja. Hari ini hari Sabtu, hari libur dimana Sebastian harusnya bisa memeluk guling lebih lama dan bangun saat jarum pendek jam dinding telah merambat melewati angka sembilan. Tetapi kedatangan Suri bahkan ketika waktu belum lagi menunjukkan pukul tujuh pagi membuat pikiran itu hanya jadi sebatas angan-angan belaka.

"Belek kamu enggak kecampur di dalam sini, kan?"

Sebastian berdecak. "Mood gue lagi enggak bagus, Oriana. Jadi jangan bikin gue ngomel, oke?"

Suri merengut. "Cuma bercanda, Tian. Habis muka kamu lecek banget kayak baju lama ditumpuk dan enggak disetrika-setrika."

"Semua orang juga mukanya bakal lecek kalau dibangunin jam enam lewat seperempat dan langsung disuruh bikinin susu cokelat dingin." Sebastian menyahut tidak mau kalah. "Lagian pagi-pagi begini udah minum yang dingin-dingin, lo enggak takut kena flu?"

"Kalau aku kena flu kan ada kamu yang jagain."

Sebastian memutar bola matanya, membuat Suri terkikik.

"Kenapa malah ketawa?"

"Lucu."

"Gue mandi dulu."

"Loh, enggak balik tidur lagi?" Suri mengangkat salah satu alisnya penuh rasa penasaran. "Katanya tadi habis bikinin aku susu, kamu mau tidur lagi."

"Mana bisa gue tidur lagi kalau udah ada lo disini?" Sebastian bertanya seraya melangkah pergi, membuat Suri diam-diam tertunduk untuk menyembunyikan tawa kecil yang merekah di bibirnya. Yah, Sebastian memang orang yang seperti itu. Dia sering menanggapi tingkah-laku Suri dengan kata-kata dingin atau ekspresi annoyed yang terlihat jelas, tapi di sisi lain, Sebastian tidak pernah menyuruh Suri untuk berhenti melakukan tindakan-tindakan semacam itu. Dia bahkan justru bertanya—secara tidak langsung, tentu saja—saat Suri lupa meneleponnya sebelum gadis itu tidur atau lupa mengirimi pesan-pesan penuh emoji yang menurut Sebastian sangat norak di pagi hari. Laki-laki itu menyayangi Suri dengan caranya sendiri, dan harus Suri akui, itu membuatnya merasa istimewa.

Susu dingin buatan Sebastian seenak biasanya. Suri menghabiskan beberapa teguk dalam hening karena suasana rumah yang sepi. Sergio masih tidur dan Mami sibuk menyirami tanaman-tanaman dalam pot yang dia rawat di belakang rumahnya. Setelah sempat melewati beberapa menit bermain Candy Crush, Suri akhirnya bosan. Dia mengedarkan pandang ke segala arah, menyapu seisi ruangan dengan tatapan mata hingga perhatiannya tertuju pada ponsel Sebastian yang tergeletak di atas meja makan, beberapa puluh sentimeter dari tempat di mana gelas susunya berada.

Ini tidak biasanya.

Iya, tidak biasanya Sebastian meninggalkan ponselnya begitu saja. Bahkan, jika Suri pikir-pikir, Sebastian nyaris tidak pernah meletakkan ponselnya sembarangan. Sepi yang melanda membuat sebuah ide berbalut rasa penasaran muncul dalam pikiran Suri. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri serupa maling hendak beraksi, gadis itu akhirnya meraih ponsel Sebastian dan menggenggamnya seolah ponsel itu adalah separuh nyawanya.

Berbeda dengan ponsel Calvin yang berbau seperti tembakau, ponsel Sebastian menyisakan aroma khas orang yang hobi minum kopi. Bau itu terasa unik karena bercampur dengan wangi parfumnya. Rona merah muda samar seketika muncul di pipi Suri. Baunya benar-benar bau Sebastian. Aroma yang melingkupinya setiap kali cowok jangkung itu berdiri di dekatnya atau memeluknya.

Aduh, apa sih yang Suri pikirkan?

Tetapi niat Suri untuk menuntaskan rasa penasarannya langsung berganti oleh wajah terperangah tak percaya setelah dia menekan tombol lock yang berada di sisi body ponsel Sebastian. Layar kontan menyala, menampilkan sebuah gambar yang tak Suri duga. Gambar itu adalah fotonya sendiri—di sana, dia sedang memegang buah mangga dengan tangan kiri dan pisau dengan tangan kanan. Ada senyum tertahan di wajahnya, meski Suri ingat bagaimana kala itu dia berusaha berkonsentrasi penuh agar mangga di tangannya dapat terkupas tanpa melukai kulitnya.

Kapan Sebastian mengambil foto ini?

Ah, pasti waktu itu. Suri membatin, menjawab sendiri pertanyaan yang sempat terlintas dalam pikirannya. Ketika itu, Sebastian lupa mematikan suara shutter kamera ponselnya. Suri mendengarnya, tentu saja, tapi Sebastian lihai berkilah dengan mengatakan dia sedang mengambil foto selfie.

Bah, dasar pembohong.

"Lo ngapain?!" Sebuah suara terdengar tiba-tiba, disusul oleh tangan seseorang yang merebut ponsel dalam genggaman Suri. Hanya dengan mendengar suaranya, Suri sudah tau kalau orang itu adalah Sebastian. Dia terlihat seperti baru selesai mandi. Rambutnya basah dan kulitnya yang dingin menguarkan aroma sabun yang kuat. Suri memiringkan kepalanya, menatap Sebastian seraya mengerjap beberapa kali hingga dia tampak seperti boneka berwajah lugu.

"Liat HP kamu."

"Sejak kapan gue kasih izin ke lo buat liat HP gue?"

"Suruh siapa HP-nya ditinggal begitu aja." Suri menyahut ringan sambil mengaduk-aduk sisa susu dalam gelasnya. "Karena aku manusia, maka sangat wajar kalau aku punya rasa penasaran, Tian."

Mata Sebastian membelalak. "Lo enggak buka HP gue, kan?!"

"Kalau buka, emangnya kenapa?"

Lidah Sebastian langsung kaku. Dia terdiam, seperti sudah kehabisan kata-kata. Di wajahnya, beragam ekspresi lewat berganti-ganti, mulai dari panik, khawatir, malu, kesal dan entah ekspresi apa itu yang tak bisa Suri definisikan.

"Tian, kok diam?"

Wajah Sebastian mulai memerah.

"Tian, enggak usah bereaksi selebay itu, dong." Suri terkekeh sambil menepuk tangan Sebastian. Terasa dingin. Mungkin karena habis mandi. "Kamu tuh kayak barusan ketauan selingkuh aja."

Sebastian memejamkan matanya sejenak, seolah dia tengah menahan dorongan untuk meninju wajahnya sendiri hingga lebam.

"Wajar tau orang majang foto pacarnya di lock screen HP. Apalagi kalau pacarnya cantik banget kayak aku."

Sebastian mengembuskan napas. "Oriana,"

"Hm, kenapa? Kamu mau lihat lock screen aku?" Suri buru-buru merogoh saku sweaternya, mengeluarkan ponselnya sendiri dari dalam sana dan menunjukkan gambar layar kunci benda tersebut. Di sana ada foto Sebastian bersama Suri. Foto itu diambil beberapa minggu setelah pengumuman diterimanya Suri di perguruan tinggi negeri lewat seleksi tulis. Foto itu terhitung sangat langka, karena Sebastian tersenyum disana—meski tidak lebar ala senyum bintang iklan pasta gigi. Rasanya langit bakal betulan runtuh kalau Sebastian sampai nyengir dalam foto.

"Enggak. Enggak mau lihat!"

"Sayang, untuk wallpaper aku masih harus pake foto abang-abang." Suri tergelak lagi. "Tapi kamu enggak perlu cemburu sama abang-abang. Sesayang-sayangnya aku sama mereka, aku enggak mungkin nikah sama mereka. Nanti digaplok Ayah. Lagian, hati aku udah mentok juga sama kamu."

"Oriana Suri Laksita,"

"Mmm... pacarku yang tampan?"

Sebastian bergidik. "Sekali lagi lo ngomong kayak gitu, gue enggak akan bikinin lo susu cokelat dingin selamanya."

"Ck. Cepat banget ngambeknya, ngalah-ngalahin artis Pesbukers aja."

"Gue boleh minta tolong, enggak?"

"Tumben banget minta tolong." Suri mengedikkan bahu. "Emangnya mau minta tolong apa?"

"Anggap lo enggak pernah lihat lock screen HP gue sama sekali."

"Mmm..."

"Kenapa cuma 'mmm'?" Sebastian mulai berdecak tidak sabar.

"Kata Abang Cetta, hidup kita ini bukan Microsoft Words. Apa yang sudah terjadi, enggak bisa di-undo. What has been seen cannot be unseen."

"Oriana,"

Suri bergumam sambil memegangi kedua pipinya. "Lock screennya pacar aku ternyata foto aku. Foto candid yang dicolong diam-diam pula."

Sebastian menekan bibirnya ke dalam satu garis lurus.

"Pacar aku tampan tapi hobi jual mahal, ternyata."

Ucapan Suri membuat Sebastian menghela napas panjang.

"Tian, lain kali kalau udah bosan sama foto itu, kamu bisa minta foto aku yang lain. Aku banyak kok stok foto-foto cantik. Siapa tau aja gitu kamu mau ganti lock screen HP kamu tiga kali sehari. Biar kayak minum obat."

Sebastian betul-betul tidak mampu menjawab.

"Hehehe, obat." Suri terkekeh sendiri. "Obat kangen."

Sebastian mendengus, kemudian berbalik dan melangkah pergi dengan harga diri yang sudah hancur berkeping-keping. Dalam hati, tak henti dia merutuki kebodohannya sendiri karena telah meninggalkan ponselnya begitu saja. Ah, sial. Harusnya dia juga memasang kata sandi agar Suri tidak bisa membuka ponselnya sama sekali—tapi rasa-rasanya itu percuma mengingat dengan kata sandi pun, gambar layar kuncinya akan tetap tertampilkan.

"Tiaaaaaaan, kamu mau kemana?"

"Minggat!"

"Ikuttttttt...."

"Ogah."

Suri tertawa dan itu membuat wajah Sebastian semakin terasa panas.

"Jangan ketawa!"

"Dih, kenapa ngelarang-larang?!"

"Suara ketawa lo jelek!" Itu bohong, tentu saja, tapi Sebastian tidak merasa harus dipermalukan lebih dari yang seharusnya.

"Thank you, Tian. I know. I love you."

"I hate you!!!"

"I love you."

"I hate you!!!"

"I love you."

"I HATE YOU!!!"

Suri tertawa lagi, dengan suara yang jauh lebih riang daripada sebelumnya. "Aduh, pacarku jual mahal banget. Untung aku sayang."

Sebastian tak menjawab, tapi dia langsung masuk ke dalam kamarnya untuk menenangkan diri.

Selamasisa hari itu, Sebastian jadi bahan ledekan orang satu rumah—seperti yang bisaditebak, Mami dan Sergio tidak akan tinggal diam dan melewatkan kesempatanberkomplot dengan Suri untuk mengejeknya seharian begitu saja, kan?    

Continue Reading

You'll Also Like

349 54 11
'Bibliosmia', aroma khas kertas. Aroma buku baru pada kumpulan cerita, kisah, dan legenda yang belum pernah kalian baca sebelumnya. Maka, jangan rag...
798K 57.9K 58
Andra dan Berlian bukan lagi sekadar pengawal dan atasan, tetapi sebelum dapat melanjutkan hubungan mereka, mereka masih harus menghadapi masa lalu y...
563K 61.5K 65
WARNING!! BXB AREA. MOHON MENJAUH JIKA ANDA HOMOPHOBIA! CERITA INI 100% KARANGAN SEMATA. HANYA FANTASI. TOLONG BEDAKAN MANA YANG FAKE DAN REAL. WARN...
852K 83.2K 29
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...