Aisha

By msulasmaya

8K 552 324

Rafa yang dibesarkan penuh kemewahan dipertemukan dengan Aisha gadis desa yang lugu. Mereka saling menyayangi... More

Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25

Bagian 1

1K 40 2
By msulasmaya

Malam semakin larut. Airin sudah terlelap sedari tadi. Umma masih menunggu sambil menyelesaikan pesanan jahit. Aisha belum pulang. Jam dinding menunjuk angka sepuluh. Tidak biasanya.

"Assalamu'alaykum warrohmatullohi wa barakatuh..."

"Wa'alaykum salam..." buru-buru menuju pintu. Itu Aisha. Segera pintu dibukakan. "Nak, kok malam sekali ?"

"Iya Umma maafkan Aisha."

"Umma, Aisha, kalau begitu Dewi pamit dulu, sudah malam."

"Iya Nak Dewi terima kasih telah menemani Aisha, hati-hati..."

Setelah pintu ditutup, Aisha dan Umma merasa ada sesuatu yang sangat jauh dan sepi menyelimuti mereka. Alih-alih tidur keduanya duduk di ruang tamu, berduaan, bersampingan, dekat tapi entah apa yang harus dibicarakan. Mereka teringat tentang Abi. Tentang kepindahan ke Jakarta. Tentang semua kejadian dua bulan terakhir ini. Dan bisakah mereka bertahan di kota besar ini tanpa Abi?

"Umma, tadi Aisha ketemu Rafa..."

"Iya Nak, bagaimana?"

"Aisha tidak tahu setelah malam ini. Rasanya Aisha tidak sanggup bertemu kembali dengan Rafa. Bukankah kata Umma perasaan sayang kepada seseorang hanya akan diridhoi kecuali dalam ikatan yang suci?"

"Benar Nak."

"Lalu bagaimana dengan Aisha? Bisakah bertemu kembali seakan tidak terjadi apa-apa, bisakah Aisha menjaga hati setelah semuanya jelas? Umma..."

"Aisha masalah kamu dengan Nak Rafa telah banyak menguras tenaga dan fikiran. Rasa-rasanya kembali ke Sukabumi akan lebih baik. Kita bisa damai seperti dulu dan keluarga Pak Bagas pun bisa kembali seperti sedia kala." Umma terlihat menerawang jauh sambil mengelus kepala Aisha yang bersandar di pundaknya. "Sejak kepergian Abi, kamu tahu Nak, Umma sebenarnya ingin kembali ke Sukabumi. Kita ke Jakarta kan ikut Abi."

"Iya Umma, tapi bagaimana dengan beasiswa Aisha dan uang ganti ruginya, terus di Sukabumi kita mau tinggal di mana?"

"Aisha Sukabumi adalah kampung halaman kita. Tidak ada rumah, di sana banyak saudara. Di sini Umma pun merasa amat sangat kesepian. Umma ikhlas dengan kepergian Abi, tapi rasa sepi ini menelusuk setiap malam Nak." Tangis pun pecah. Malam menjadi saksi betapa sunyi sepi menekan jauh ke dalam sana.

Aisha semakin erat memeluk Umma. Ia dapat merasakan apa yang Umma rasakan. Betapa, sendiri dengan dua anak di kota terbesar tanpa penghasilan yang menjanjikan. Tanpa keluarga, sahabat tempat berkeluh kesah, dan lingkungan yang sebenarnya masih cukup asing bagi umma tanpa abi.

Bukankah akan jauh lebih baik jika mereka kembali? Tante Lia? Aisha kemudian teringat dengan Mama nya Rafa. Bukankah Tante Lia tidak suka jika Rafa terlalu dekat dengannya? Aisha bertekad besok ia akan menemui Tante Lia.

Malam semakin dalam. Jakarta masih hidup, suara lalu lalang kendaraan sekali dua masih terdengar. Aisha dan Umma terlihat menunaikan tahajud kemudian tertidur pulas di pelukan malam.

Pagi hari seperti biasa Aisha pamit berangkat sekolah. Mengayuh sepeda dan berbelok di jalanan besar ke arah yang tidak biasa. Ia sudah bulat menemui Tante Lia pagi ini. Ia sudah minta tolong Dewi untuk izin tidak masuk sekolah.

Setelah berurusan dengan satpam rumah Pak Bagas akhirnya bisa bertemu dengan Bi Ijah.

"Non Aisha, apa kabar? Kok baru kelihatan? Den Rafa sudah berangkat dari tadi."

"Assalamu'alaykum warrohmatullohi wa barokatuh..."

"Wa'alaykumsalam wartohmatullohi qa barokatuh..."

"Iya Bi, alhamdulillah saya baik, saya ke sini mau ketemu Tante Lia."

"Nyonya ada Non, lagi sarapan. Sebentar ya Bibi kasih tau dulu."

"Iya Bi terimakasih."

Tidak lama Bi Ijah kembali dan mempersilakan Aisha masuk. Aisha memasuki kembali rumah itu. Rumah yang pernah memberinya perlindungan sekaligus ancaman. Di sini semua kejadian yang tidak pernah terbayangkan menimpa dirinya. Semua rasa membuatnya lelah dan ingin menyerah.

"Assalamu'alaykum warrohmatullohi wa barrokatuh.." Sejurus kemudian Lia menoleh ke arah Aisha. Anak ini masih saja seperti pertama kali bertemu, bisiknya dalam hati. Aisha menjulurkan tangan hendak mencium tangannya. Jauh di lubuk hati, Lia merasa kehangatan dengan sikap Aisha. Namun sakit yang dialaminya telah memberinya jarak, terutama kepada Aisha, untuk kebahagiaan Rafa.

"Duduk Aisha..." Aisha mengikuti permintaan Mamanya Rafa. Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Kejadian akhir-akhir ini membuat kacau suasana. Kematian Abi nya Aisha  sampai kejadian-kejadian yang membahayakan Rafa. Ada tembok besar diantara keduanya karena pengalaman dan harapan.

"Tante..." perlahan Aisha membuka percakapan. "Saya minta maaf jika selama ini telah membuat repot keluarga Tante dan Om Bagas. Saya ke sini sengaja izin tidak masuk sekolah karena ada hal yang ingin saya bicarakan dengan tante, saya ingin minta tolong."

"Aisha, Tante juga minta maaf atas sikap Tante sama kamu. Padahal Kamu masih bersedih dengan kepergian Abi Kamu. Tapi Tante tidak punya pilihan." Lia berhenti, menarik nafas, mengeluarkan segala penat di dadanya. Melihat Aisha sekilas. Ah, gadis ini begitu polos, bagaimana Rafa yang tidak pernah jatuh cinta dalam waktu dua bulan tidak berkutik di hadapan gadis kampung ini, tanyanya dalam hati tidak faham.

"Aisha, Rafa terlebih Kamu, kalian berdua tidak tahu apa yang akan terjadi jika kalian bersama. Tapi sudahlah Tante berharap tidak terjadi apa-apa."

"Tidak Tante, Saya dan Rafa hanya sebatas teman." Lia hanya mengangguk tak peduli. Karena hati tidak akan pernah bisa didikte diarahkan secepat itu. Biarlah waktu yang akan membuktikannya.

"Iya kenapa Kamu ke sini?" Lia mengalihkan pembicaraan.

"Tante, seperti yang tante tahu, Saya dan Umma sebenarnya ingin pulang ke Sukabumi. Kami ingin kembali ke sana, rasanya akan jauh lebih baik untuk kami." Aisha menghela nafas, mengumpulkan hal apa lagi kiranya yang akan diucapkan.

"Terus?"

"Tapi kami tidak sanggup membayar denda..."

"Denda? Denda apa?" Lia kebingungan, kenapa ada orang yang mau kembali ke kampungnya harus di denda?

"Itu Tante denda beasiswa. Saya kan sekolah di SMA Kebangsaan dengan beasiswa. Kalo sampe keluar sebelum lulus kena denda seratus juta."

"Begitu? Saya malah baru tahu." Apa benar? Lanjut tanya dalam hati. Rasanya dirinya belum pernah mendengar hal ini. Ah, tapi kapan juga Cecilia Tjandra mau direpotkan dengan urusan ini. Detik berikut Lia terlihat sibuk dengan hp nya menghubungi seseorang.

"Halo Bu Tuti..." Lia beranjak dan untuk beberapa saat ia menelpon Bu Tuti kepala sekolah SMA Kebangsaan.

Tidak berapa lama telpon itu telah selesai. Lia tidak segera menuju Aisha yang masih duduk di meja makan menunggu. Tidak ada denda sama sekali. SMA Kebangsaan memang tidak pernah memungut dan pamrih dalam bentuk uang. Setahu Lia selama ini yang dapat beasiswa memang mereka yang cemerlang secara akademis demi perusahaan. Biasanya mereka akan disokong sampai kuliah nanti dan akan diwajibkan bekerja selama waktu tertentu di Tjandra Group. tapi tidak pernah uang bahkan kalau mereka mau mengundurkan di tengah jalan biasanya bukan uang yang jadi sandungan.

Tapi kasus Aisha lain. Aisha memang pintar, cemerlang juga secara akademis tapi dia masuk ke SMA Kebangsaan karena faktor Bagas, jadi dia sebenarnya tidak punya hutang apa-apa kecuali kepada Bagas. Jadi kenapa bisa nominal seratus juta mencuat? Apa Rafa melakukan semua ini agar Aisha tetap stay di Jakarta? Lia mulai menebak-nebak dan meyakininya.

"Aisha saya sudah menghubungi Bu Tuti, apa yang saya bisa bantu?"

"Terimakasih Tante, Saya dan Umma hanya ingin pindah tapi kami tidak sanggup membayar denda, saya mau minta tolong sama Tante. Saya akan bertanggung jawab mungkin tidak bisa langsung membayar, tapi, insyaAlloh saya akan berusaha melunasinya....dengan begitu..." Aisha berhenti ragu untuk melanjutkan.

"Dengan begitu kamu akan menjauh dari Rafa..." tatap Lia, Aisha kaget menatap Mamanya Rafa untuk beberapa saat.

"Tidak Aisha, kamu tidak perlu melakukan itu. Masalah beasiswa sekolah itu suami saya yang menentukan. Lagipula tinggal satu tahun apa tidak lebih baik kamu selesaikan? Coba kamu fikirkan dulu."

Aisha menunduk lemah. Memang tinggal satu tahun tidak bisakah ia bertahan? Aisha menimang-nimang ragu.

Selepas Aisha pergi tinggal Lia merenung sendiri. Ia merasa ini sudah terlalu jauh. Tidak, Rafa tidak boleh mengalami apa yang pernah ia rasakan. Aisha memang harus menjauh untuk kebaikan mereka berdua. Tapi sebagai seorang ibu, melihat anaknya sendiri menderita karena ingin, itu lebih menyakitkan.

Semoga ke depan akan jauh lebih baik. Rafa dengan kesadarannya sendiri telah memutuskan. Lia sebenarnya tidak setuju Rafa pergi kali ini. Tapi kali ini keputusannya. Semalam sepertinya Rafa telah terlalu banyak bicara. Rafa tidak seperti biasa tak beranjak dari kamar kami sampai terlelap keesokan harinya.

Aisha mengayuh sepeda, hatinya bimbang, pikirannya kacau, kurang lebih jam sembilan ia pun sampai ke sekolah. Tidak ke kelas Aisha malah menuju mushola, Aisha merasa perlu menenangkan diri dulu. Sambil menunggu jam kedua. Iya jam pertama ia izin jadi akan lebih baik masuk di saat guru mata pelajaran kedua belum masuk, timbangnya.

Dalam keadaan apapun ingatlah Alloh, itu yang terlintas dalam benak Aisha sehingga ia memutuskan berdiam di mushola menunggu waktu. Banyak do'a dan harapan yang ia panjatkan, rasanya dunia seakan menjauh darinya. Mereka seakan memojokkannya dan membiarkan dirinya berfikir mencari jalan sendiri. Hanya kepadaNYA tempat mengadu, sebaik-baik tempat mengadu. Rasanya baru kemarin Aisha menangis sejadi-jadinya karena kepergian Abi. Hari ini rasanya semua air mata itu kembali menyapanya dengan alasan yang tidak jelas. Entah karena hatinya yang tak bisa ia kendalikan atau karena melihat umma yang begitu ingin kembali ke tanah kelahirannya.

Ini semua adalah rencana dari NYA, Aisha tidak menyangsikannya. Ia hanya mencari oase untuk hatinya yang bimbang. Terbayang dekat sekali kejadian tadi malam dan semua kejadian yang dialaminya bersama Rafa. Mungkin semua ini adalah teguran, tidak seharusnya saya terlalu dekat dengannya, pikirnya. Pergaulan bukan mahram tak seharusnya didekati, harusnya ia bisa menjaga jarak. Aisha terus berbenah memperbaiki hatinya. Bagaimana jika masa depannya bukanlah Rafa? Bagaimana? Kisah ini hanya akan menjadi aib. Aisha harus berhenti, jalan satu-satunya adalah menjauh, menjauh darinya, menjaga hati, menjaga demi masa depan yang belum kita ketahui.

Ya Alloh...Satu tahun bukan waktu yang lama pun tidak sebentar. Tapi jika ia pindah dalam kondisi bimbang dan ragu seperti ini? Bukankah sifat ragu itu adalah tipu daya setan? Tapi juga, bila ia tetap di sini bisakah ia menghindari fitnah yang lebih besar? Hati.

Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, bergantilah kepada apa-apa yang tidak meragukan kamu. HR Tirmidzi: hasan sahih.

Masalah terbesar bukan uang ganti rugi, atau keinginan umma, atau juga ancaman dan ketidaksukaan keluarga Rafa, bukan, bukan itu. Aisha tahu kekuatan dirinya. Tapi masalah hati lah, itu membuatnya rapuh dan mengkhawatirkan, menjerumuskannya kepada hal yang sama sekali tak ia inginkan. Aisha merasa tidak ada faedahnya untuk terus melihatnya, untuk saat ini. Aisha harus mengalah pergi. Ini yang terbaik, pikirnya.

Tante Lia tidak keberatan dan inilah yang terbaik, bismillah, tekadnya bulat.

Aisha beranjak menuju kelas tepat di jam ke dua. Kelas nampak lengang. Baru sadar jam ke dua adalah olahraga. Aisha menyimpan tas nya, ia melirik sebentar ke arah mejanya Rafa: kosong tidak ada tas. Tapi tadi di rumah pun dia tidak ada. Astagfirulloh, Aisha terduduk lemas. Dia tidak bisa dekat dan terus melihatnya seperti ini. Aisha terus beristigfar.

"Aisha...?"

"Assalamu'alaykum warrohmatulloh wi..."

"Wa'alaykumsalam..."

"Rafa sudah pulang Sha," melihat Aisha melirik ke arah meja Rafa. Dewi merasa harus memberi tahu tentang Rafa.

"Ha...? Saya tidak mencari dia wi." Aisha memalingkan muka, menunduk berusaha mencari dan mengambil baju olahraga. Dewi mengangguk-angguk. Kemudian keduanya keluar berbarengan menuju ruang ganti. Aisha merasa tidak nyaman, semua temannya seakan melihat dirinya dengan rafa.

"Sha kamu sudah tahu Rafa..."

"Wi sebaiknya kita tidak ngomongin orang lain. Kita kan lagi belajar lebih baik kita fokus," Aisha memutuskan untuk sedikit lebih tegas mengenai ini. Dewi terlihat sedikit kaget tapi detik berikutnya Dewi sudah bisa menerima sikap Aisha. Aisha tidak ingin terus menerus disangkutpautkan dengan Rafa.

"Ya sudah yuk!" Dewi mengakhiri.

"Aisha, Aisha!" Suara Chiko terburu-buru dari ruang ganti laki-laki. "Ini..." Chiko menyerahkan amplop berwarna putih.

"Ini apa Chik?"

"Dari Rafa Sha..."

"Kenapa kasih surat kan bisa ngomong langsung dengan saya?" Dewi dan Chiko berpandangan.

"Lo gak tau Sha?"

"Tau apa?"

"Sha, Rafa tadi memang ke sekolah, tapi dia cuma pamit, hari ini dia berangkat ke US." Dewi mencoba menjelaskan. Padahal, tadi ia ingin memberi tahu tapi Aisha sepertinya tidak suka membicarakan Rafa jadi dia urung dengan harapan Aisha sudah tahu.

Aisha terduduk lemas. "Wi?" Dewi mendekat merabai apa yang sedang dirasakan Aisha.

"Pesawatnya siang ini, gue sama arga izin pulang duluan. Lo mau ikut Sha?" Yang ditanya tak menjawab apapun. Aisha semakin bingung. Rafa sendiri yang pergi. Dia pergi untuk apa? Membuatnya lebih nyaman berselolah?

"Tidak usah Chik, lagipula saya baru sampai." Aisha memutuskan untuk tidak bertemu Rafa bahkan jika ini untuk terakhir kalinya. Dia akan baik-baik saja, Alloh sendiri yang akan menjaganya.

Koridor sekolah ini tidak akan pernah sama. Tidak akan ada lagi yang main geret seenaknya, tak akan ada lagi tangis kekesalan. Tak akan ada lagi amarah. Aisha tersenyum getir. Pohon yang pernah ia panjat, tetumbuhan, rumput, dan semua telah menjadi saksi betapa keras kepalanya ia. Betapa gaduh dan betapa tak bisa dibendung. Terimakasih atas semuanya, semua cerita, semua pengorbanan, semoga kelak akan ada hari baik untuk kita bertemu dan semoga Alloh meridhoiNYa. Aamiin.

Aisha termenung tak terasa lelehan hangat mengusapi pipinya. Matanya kosong pikirannya melayang. Sekolah sudah selesai satu jam yang lalu dan Aisha masih ingin di taman ini. Disinilah, pertama kali Aisha melihat betapa dia hanyalah seorang anak laki-laki yang memiliki hati baik namun terhalang dinding tinggi nan kokoh sehingga membutuhkan banyak usaha sekedar untuk bisa merasai kebaikannya. Di sinilah pertama kali Aisha melihat Rafa menolong burung kecil yang terjatuh dari sarangnya.

Kertas putih tulisan tangan Rafa telah basah tak berbentuk. Meminta janji yang hanya Alloh yang tahu akhir kesudahannya.

Baik-baik di sana Raf, bisik Aisha. Terimakasih.

Continue Reading

You'll Also Like

24.3K 1.8K 28
Sama sama suka bukannya jadian malah nunggu salah satu nembak. Yah.. keburu ada orang laen..
Seandainya By Rav

Fanfiction

1K 153 27
Bagi Hitomi, Minju adalah belahan jiwa. Soulmate. Seseorang yang mengerti tanpa perlu ia bicara. Seseorang yang memahami tanpa perlu ia berkata. Dan...
137K 19.1K 28
start : 11/02/24 end : 05/05/24 plagiat menjauh cok! hanya halu gak usah bawa ke dunia nyata! CERITA KE 26.
382 63 17
Setelah pembantaian satu malam, perjalanan-perjalanan berikutnya adalah pengejaran terhadap harapan yang masih abu ditampung kabut. Mereka yang berta...