My Cute Office Girl

Da clarisayani2

4.5M 260K 12.1K

Menceritakan seorang Office Girl yang bekerja di salah satu perusahan properti terbesar di Indonesia, di bawa... Altro

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 50 (End)
Extra Part 1
Extra Part II

Chapter 49

103K 4.9K 318
Da clarisayani2

Air mata merupakan satu-satunya cara bagaimana mata berbicara ketika bibir tidak mampu menjelaskan apa yang membuatmu terluka.

----
"Kris, bangun!" Vano berdecak di sebelah Kris seraya menepuk-nepuk bahunya untuk menyadarkan. Beberapa kali membangunkan, kepala Kris masih saja merekat dengan meja bar. Racauan tidak jelas terus-menerus keluar dari mulut berbau alkoholnya. 

"Baby, aku kangen,"

"Iya, babi, iya. Kangen juga. Cepet kamu bangun!" sahut Vano sambil berulang kali mengguncang tubuhnya. "Benar-benar menyusahkan!" Vano mendengkus ketika dirasanya percuma berusaha lagi. Ia lantas memapah tubuh Kris, melingkarkan tangan Kris di pundak dan menuntunnya keluar dari bar.

Entah kali ke berapa Vano mendapatkan telepon dari temannya— pemilik bar yang biasa Kris kunjungi dalam bulan ini. Ia memang secara khusus telah berpesan pada bartender di sana jika Kris ambruk karena terlalu banyak minum, jangan sungkan untuk menghubunginya. Dan ini adalah malam kesekian di mana Kris kembali mabuk tidak sadarkan diri.

Vano menghempaskan tubuh Kris ke kursi penumpang bagian belakang setelah tidak sengaja kepala Kris terbentur pada mobil cukup kencang.

"Mampus! Sorry, dude. Nggak sengaja," ucap Vano, lantas menutup pintu mobil.

Sadar tidak sadar, Kris membuka matanya ketika merasakan sengatan tiba-tiba di kepalanya. Vano mendudukkan bokongnya di kursi kemudi dan melajukan mobilnya keluar dari area parkiran bar.

Vano menatap Kris lewat kaca mobilnya. Dia sedang memegang kepalanya sambil meringis nyeri.

"Tahu begitu, aku benturkan saja tadi kepalamu ke meja bar untuk menyadarkan!" sungut Vano asal.

Kris masih memegang kepalanya yang berdenyut, entah akibat pengaruh beberapa gelas alkohol yang diminumnya, atau akibat benturan kepalanya pada mobil. Ia mengubah posisi menjadi duduk dan menumpukkan kepalanya pada sandaran kursi.

"Di mana?" tanya Kris dengan suara serak.

"Di mana-mana," sahut Vano sekenanya. "Kamu sangat menyusahkan, Kris. Aku sahabatmu atau sopirmu sih? Hampir dua kali dalam seminggu aku menyeretmu keluar dari bar dalam keadaan sekarat!"

Kris tidak menjawab. Ia kembali memejamkan matanya. Satu nama terus berputar di kepala walaupun dalam keadaan setengah tewas seperti ini. Jakunnya turun naik meredamkan sesaknya impitan di dada ketika mengingat sosok yang dirindukannya saat ini.

"Antar aku ke apartemen dia," ucap berat Kris dalam keadaan mata yang kembali ditutup.

Ban mobil berdecit. Vano ngerem mendadak ketika mendengar perintah seenaknya Kris. Apa-apaan ini? Hanya beberapa meter lagi mereka akan sampai di apartemen Kris. Apa ia harus berbalik arah lagi dan mengantarkannya ke sana?

Dia...

Apartemen wanita yang membuat Kris setengah gila karena kehilangannya.

"Kamu gila?! Ini sudah hampir sampai di apartemenmu. Lagian untuk apa kamu mengunjungi apartemen yang tidak berpenghuni?" Vano melambai-lambaikan tangan tak menyetujui. "Tidak. tidak. Lebih baik ki,—"

"Antarkan aku ke sana!" sentak Kris memotong ucapan Vano. Vano memutar bola matanya jengah. Sulit sekali berdebat dengan orang mabuk.

Dengan terpaksa, Vano menuruti perintah Kris. Mungkin dengan ini, Kris bisa meredakan rasa rindunya pada gadis itu setelah dua bulan lamanya tidak bertemu. Sejujurnya bukan Kris saja yang hancur dan tersakiti karena merindukan sosoknya. Vano pun merasakan hal yang sama. Ia merindukan gadis itu walaupun mungkin tidak sebesar kehancuran dan kesakitan yang dirasakan Kris. Dan Vano lebih memilih memendam, tidak berani untuk mengutarakan atau menunjukkan rasa rindunya. Biarkan saja seperti ini sampai Alena ketemu.

"Kris, sudah sampai," info Vano setelah tiba di parkiran gedung apartemen Alena. Ia lantas mematikan mesin mobilnya bersiap-siap memapah Kris menuju ke sana.

"Kita di mana?" tanya Kris mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Apartemen Alena, asshole! Kamu kan tadi yang memintanya. Ayo keluar!" ketus Vano. Kris meringsek menjauh dari jangkauan Vano.

"Siapa yang menyuruhmu untuk membawaku ke sini?! Alena tidak di sini. Dia tidak lagi tinggal di sini. Untuk apa mengunjungi apartemen kosong!" kesal Kris. "Aku mau pulang." Tuntut Kris rendah seraya kembali memejamkan matanya dengan dada naik turun merasakan sakit yang bergejolak mengaliri setiap sendi.

Vano mengepalkan tangannya kuat-kuat tidak percaya mendengar bentakan kesal Kris. Bukankah dia sendiri yang meminta? Apa dia salah dengar? Dasar sialan. Ingin mencekik, tapi Kris sahabatnya. Ingin memaki, itu pun percuma. Dia sedang mabuk. Kris masih mabuk. Alhasil, ia hanya menghela napas panjang. Pasrah.

Tes kesabaran seorang Vano sedang diuji oleh sahabat kurang ajarnya.

"Lama-lama aku buang juga kamu ke trotoar!" umpat Vano setelah kembali memasuki mobilnya dan melajukan dengan kecepatan tinggi.

* *
Vano menghempaskan tubuh tinggi tegap Kris ke ranjang sesampainya di apartemen, setelah makian tidak berujung di dalam mobil. Ia membuka sepatu Kris dan melemparkan asal. Kemeja Kris sudah sangat lusuh dengan dasi yang masih menggantung di kerahnya. Vano lagi-lagi menghela napas dan tidak lagi memedulikan.

Biarkan saja dia mati tercekik. Umpatnya dongkol.

Saat Vano akan meninggalkan, isakan keluar dari bibir Kris. Perlahan, air mata Kris turun dari sudut matanya yang terpejam membasahai bantal.

"Alena," napas Kris tercekat. Ia terisak pelan dengan kedua mata yang masih terpejam. "Alena... my Baby, I miss you so much," gumaman kepedihan dalam suara Kris begitu kental terdengar.

Vano menelan salivanya susah payah. Pasti sangat sulit untuk Kris berjauhan dengan wanita yang dicintainya tanpa kabar berita. Dan bermabuk-mabukan seperti ini hanyalah cara dia untuk melupakan realita. Tapi, bahkan dalam keadaan terkapar pun, nama Alena tetap dipanggil dan dipuja.

"Apa ini jenis luka yang mereka sebut, sakit namun tak berdarah?" gumam Vano.

Vano memilih tidak menghiraukan, berjalan ke sofa ikut merebahkan tubuhnya di sana. Kelelahan setelah menyeret tubuh Kris hingga sampai sini. Tenaganya seakan terkuras habis secara cuma-cuma. Ia pun ikut memejamkan mata sambil memikirkan orang yang sama—yang entah di mana keberadaannya sekarang.

***
"Alena, Coffee and Smashed Avocado toast is ready. Can you help me to bring this meal to the table?" pinta melengking sebuah suara dengan aksen inggris khas negaranya.

Alena berjalan membawa nampan setelah mengantarkan pesanan ke meja lain. "Wow... Looks yummy," Alena menatap dengan mata berbinar, lantas meraih nampan yang disodorkan. "Table number 9, right?" Ia memastikan.

"Yup! Be careful. The floor is kind of  slippery," Abigail, teman sesama pekerja mengingatkan. Lantai di bagian luar cafe memang sedikit licin karena hujan yang turun semalam.

"Thanks. I will," sahut Alena seraya mengulas senyum hangat.

Sudah dua bulan ia tinggal dan menetap di negara ini. Dan tepatnya sudah satu bulan setengah ia bekerja di salah satu cafe yang banyak diminati di kota wisata ini.

Vudu Cafe, memiliki banyak pelanggan yang berdatangan saat jam sarapan tiba. Menu-menu yang ditawarkan pun bervariasi sungguh menggugah selera. Entah takdir atau kebetulan saja bisa mengantarkan Alena bekerja dan menetap di sini serta bertemu dengan Abigail, gadis asal Indonesia yang telah menetap di negara ini selama tujuh tahun lamanya.

Singkat cerita, pertemuan mereka cukup mengesankan untuk Alena. Alena yang sedang sibuk membaca peta   dikejutkan oleh suara Abigail di sebelahnya. Saat itu, ia tersasar kehilangan arah tidak menemukan jalan pulang ke hotelnya setelah pulang dari danau tempat destinasi para wisatawan asing biasa berkunjung. Pertama ia sedikit parno, merasa takut. Walaupun Abigail adalah seorang perempuan, tak menutup kemungkinan bisa saja dia seorang penjahat, kan? Tapi, pikirannya ternyata nol besar salah. Wanita 27 tahun itu menawarkan pertolongan saat melihat raut bingung Alena mengamati peta sambil menyisirkan jemarinya pada kertas peta yang digenggamnya.

Setelah menunjukkan arah letak hotel di mana tempat Alena menginap, mereka mengobrol sambil memerhatikan beberapa pejalan kaki yang berlalu-lalang dan menikmati keindahan matahari senja yang siap kembali ke peraduan.

Mengobrolkan banyak hal dengannya dan tercetuslah tawaran pekerjaan di tempat si friendly Abigail menarik pundi uang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya di sini. Di negara yang begitu jauh dari tempatnya dilahirkan. Nasib mereka hampir sama. Sebatang kara tidak memiliki tujuan pasti. Itu dulunya untuk Abigail, namun tidak lagi karena sekarang wanita itu telah menetapkan diri untuk tinggal di sini bersama dengan kekasih hatinya. Niatnya melarikan diri dari orang-orang yang telah menyakiti hatinya terbayar ketika mendapatkan kenyamanan lain dari orang yang berbeda dengan suasana yang berbeda pula.

Alena pun mencoba peruntungan itu. Bukan untuk mencari hati lain untuk dicintai, tapi mencari kenyamanan lain untuk ditinggali bersama dengan calon bayinya yang masih berupa janin kecil.

Alena sempat menyinggahi kota Singapore selama satu pekan, dan setelah semua kelengkapan untuk berwisata selesai diurus, ia langsung terbang ke negara New Zealand mengunjungi tempat-tempat indah di negara ini.

Berkeliling di negara ini selama dua minggu ke tempat-tempat impiannya telah terlewati, seharusnya esok hari setelah pertemuan pertama dirinya dan Abigail, itu adalah tanggal kepulangannya kembali ke Indonesia. Mencoba membenahi apa yang masih tersisa dalam hidupnya. Namun, rencana hanya tinggal rencana. Buktinya ia masih di sini, di kota ini berdua bersama dengan bayinya mengadu nasib.

Sungguh tak disangka, dan di luar rencana, ia akan benar-benar menetap di kota Queenstown, kota wisata yang begitu menakjubkan dengan berbagai keindahan alamnya.

Ia tinggal di tempat Abigail karena ia tidak mungkin menetap lebih lama lagi di hotel atau Resort yang mahalnya bisa menguras seluruh isi tabungan Alena yang mulai menipis. Walaupun tidak sampai setengahnya. Abigail tidak setiap hari tinggal di rumah yang disewanya. Kadang wanita itu lebih memilih tinggal bersama dengan kekasih hatinya.

Uang yang seharusnya ia gunakan untuk melanjutkan kuliah malah dijadikan modal untuk berjalan-jalan ke tempat-tempat impian yang telah lama ia impikan untuk pelipur lara hati yang tersakiti. Konyol sekali. Namun ia janji, sisa tabungannya akan ia sisihkan dan simpan untuk bekal anaknya nanti.

***
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima belas menit dari Cafe menuju tempat tinggalnya, Alena melangkahkan kakinya memasuki rumah mungil nan cantik milik Abigail seorang diri.

Seperti biasa. Hari ini Abigail lebih memilih menghabiskan malam bersama dengan kekasihnya. Alena tidak keberatan dengan itu. Toh itu adalah haknya. Mungkin dengan begini, Alena bisa lebih leluasa untuk memikirkan retaknya sang hati yang ia simpan dan bungkus begitu rapi dari jangkauan orang lain.

Alena menanggalkan pakaiannya dan bersiap untuk mandi. Ia mulai membasuh tubuhnya yang mudah letih akhir-akhir ini. Mungkin bawaan orok yang dikandung.

Selesainya, Alena menatap pantulan dirinya di cermin seraya mengusap-usap perutnya yang hanya berbentuk tonjolon kecil. Sangat samar. Bentuknya terlihat tidak jauh berbeda ketika Alena terlalu kekenyangan menyantap makanan. Ia juga bisa melihat tulang selangkanya yang semakin menonjol. Tubuhnya semakin menyusut, berbeda dengan wanita hamil kebanyakan. Ya, nasibnya pun memang berbeda dari mereka. Mengingat semua itu, satu bulir bening tanpa permisi menetes dari sudut matanya, diikuti tetesan lain yang tanpa henti keluar dengan kurang ajarnya.

Air mata tidak pernah berhenti menetes ketika aku teringat namamu. Ruang hati yang penuh olehmu seakan terus menikamku. Aku mencoba menghapusmu, tapi kenapa sampai sekarang tidak pernah ada kata 'mampu' untuk melakukannya? Kenapa semua cinta itu selalu berada di sana, Kris?!

Kamu telah menjadi segalanya untukku. Kamu telah menjadi separuh hidupku. Apakah itu pun masih kurang untukmu? Seakan tidak pernah ada kata puas dalam dirimu untuk tidak menyakitiku. Harus sehancur apa aku sampai kamu akan berhenti tidak menorehkan luka baru pada hati yang sudah terlalu banyak tambalan akibat luka masa lalu?

Kenapa kamu mengkhianati cinta kita, Kris?

Aku merindukanmu. Sangat. Semakin aku melupakanmu, semakin besar pula rasa rindu itu menghancurkanku. Takdir sepertinya tidak pernah berpihak kepadaku. Takdir kembali mengambilmu dari sampingku. Kamu kembali ke tempat asalmu bersama kebahagiaan yang lebih pantas untukmu.

Rasa sakit ini tidak pernah berujung. Perpisahan yang tidak pernah kuinginkan datang mendorongku keluar dari duniamu.

Aku tidak bisa memilikimu, tidak bisa menyentuhmu. Apakah aku akan baik-baik saja? Atau, apakah setidaknya aku harus berpura-pura bahwa aku baik-baik saja?

Dan akhirnya... akhirnya, aku percaya jika mencintai tidak harus selalu saling memiliki. Sama halnya seperti memiliki tidak selalu saling mencintai. Pada akhirnya, kamu hanya akan tersimpan sebagai kenangan yang akan sulit untuk terlupakan.

***
Tubuhnya berbaring di atas tempat tidur seraya memejamkan mata setelah menatap foto dirinya dan Kris di ponsel. Satu-satunya foto yang masih tersisa di dalam galeri ponsel Alena. Foto yang menampakkan senyum semringah dari kedua pasang bibir itu terasa begitu tulus dan bahagia.
Tidak sedikit pun raut kepalsuan yang terukir di sana. Kris memeluk tubuh kecilnya dari belakang seraya menumpukan dagunya pada bahu Alena dengan manja. Foto ini adalah salah satu bukti nyata bahwa Alena sungguh tidak akan sanggup menghapus nama Kris begitu saja. Ia bahkan tidak rela menghapus kenangan ini bersama dengannya.

Rasa benci dan cinta seakan berperang dalam batinnya. Namun, sampai kapan ia akan terus seperti ini? Bukankah semuanya telah usai? Ia harus melanjutkan hidupnya. Dan di tempat ini, di negara ini ia yakin bisa kembali melanjutkan hidup bersama dengan buah hatinya walaupun separuh hidupnya masih tertinggal di negara tempat ayah dari buah cintanya berada.

***
Matahari pagi mulai menguraikan sinar dari sang surya. Alena seperti biasa melakukan rutinitas pekerjaan. Mondar-mandir mengantarkan pesanan ke meja para pengunjung yang sudah mulai ramai memenuhi setiap kursi di cafe.

"Don't you think today it's too crowded?" tanya Alena pada Abigail saat kembali ke dalam untuk mengambil waffle yang sedang di panggang.

"Yep, as always," Abigail mengangguk lesu. "I'm so tired, you know. I haven't slept well lastnight. My boy keep bothering me all night."

Alena tergelak. Ia menepuk bahu Abigail sambil mengangguk-angguk. "Kamu pasti memiliki malam panjang dan menyenangkan,"

"Kamu pikir begitu?" Dia tersenyum kecil. Alena mengedikkan bahu. Ia pernah mengalami itu. Dan saat itu mereka hanya tidur kurang dari tiga jam.

"Ale, sudah siap," ucap chef kafe ini memakai bahasa inggris sambil menyodorkan piring waffle dengan taburan saus coklat di atasnya.

Alena berjalan ke meja mengantarkan pesanan pelanggan.

"Enjoy your meal, sir." Ucap Alena seraya mengulas senyum sopan.

"Thank you,"

Baru saja Alena akan berbalik untuk kembali, ia dikejutkan dengan dekapan tiba-tiba dari seseorang di belakang tubuhnya. Begitu erat. Terkesiap untuk beberapa saat, dan di detik selanjutnya, tubuhnya membeku sulit untuk digerakkan.

Aroma khas yang menguar dari tubuh itu bukan sesuatu yang asing untuk indra penciumannya.

Apa benar dia...

Bagaimana bisa dia...?

"God! I miss you so much," ungkap parau suara itu. Terpaan hangat napasnya membelai tengkuk Alena. Dia terus mengeratkan pelukan seakan tidak ingin melepas. Sementara Alena terlalu shock masih membatu di tempat.

Flashback.

"Pak Kris, jadi menurut Anda bagaimana? Ini adalah final data sebelum finishing," tanya kepala tim pengganti Alex di depan layar proyektor yang sedang menjelaskan.

"Pak Kris?" ulangnya lagi yang masih belum ada sahutan. Semua bawahan Kris menengok ke arahnya. Kevin menginstruksikan untuk tenang pada kepala tim dan menyuruhnya kembali duduk lagi.

Kris hanya memutar-mutar pen di tangan dengan tatapan kosong. Pikirannya jelas tidak ada di ruang meeting saat ini. Pikiran itu berkelana tanpa tahu waktu meninggalkan si pemilik tubuh.

Bulan kemarin, amarah Kris terus meledak-ledak tidak terkontrol selama meeting berlangsung. Semua orang yang hadir hanya bisa bergidik ngeri menerima bentakan demi bentakan yang keluar dari bibir tipisnya. Dengan teguh senggol bacok, tidak ada yang berani menatap Kris lebih dari sepuluh detik. Namun, beda halnya dengan bulan ini. Dia lebih pendiam dan kalem. Tapi, fokusnya entah berlarian kemana tidak jarang mengabaikan penjelasan para bawahannya di sana. Kris sama sekali tidak bisa bersikap profesional walau ia ingin. Pikiran kacau membuat daya kerjanya pun menjadi sangat kacau tak ada yang dapat terselesaikan.

"Pak Kris, ponsel Anda berdering," Kevin menegur Kris cukup nyaring.

Seakan alam sadarnya kembali, Kris menoleh ke arah Kevin dan para pekerjanya yang menatap heran.

"Kenapa?" tanya Kris bingung.

"Ponsel Anda bunyi, Pak, sedari tadi." Ulang Kevin.

Kris menoleh ke ponsel yang tergeletak di meja. 5 missed called dari detektif bayarannya. Ia baru saja akan menelepon balik, dihentikan ketika ponselnya kembali berdering.

"Halo?"

"...."

Kris membulatkan mata, lantas beranjak dari kursinya secara tergesa setelah memutus sambungan telepon.
"Semuanya! Rapat hari ini di cancel dulu. Besok dilanjut lagi dengan Pak Andrew. Jika ada apa-apa, hubungi beliau saja," Kris membereskan berkas-berkas di meja. "Kevin, ikut saya ke ruangan!" perintah Kris, setelahnya, ia bergegas keluar dari ruang rapat.

**
"Tolong urus keberangkatan saya ke New Zealand Queenstown secepatnya. Tiga jam dari sekarang pastikan sudah beres. Selama saya tidak di sini, handle semua pekerjaan sebisamu. Jika ada yang urgent, langsung ke Pak Andrew." Tutur Kris seraya melepaskan dasi dan menggulung lengan kemeja navy slim fit-nya.

"Kapan Anda kembali?"

"Belum tahu. Saya akan balik dulu ke apartemen. Jika sudah selesai, langsung ke airport. Saya tunggu di sana."

"Baik, Pak."

**
Belasan jam perjalanan, akhirnya pesawat yang ditumpangi Kris berhasil membawanya ke tempat di mana kekasih hatinya dikabarkan tinggal. Dua bulan pencarian akhirnya membuahkan hasil. Foto-foto yang dikirim oleh orang suruhannya tidak mungkin hanya selembar editan. Gadis itu sangat jelas sedang berada di negara tempat kakinya berpijak sekarang.

Hanya memikirkan mereka menghirup udara di kota yang sama saja membuat hati Kris berdebar kencang.

Ia berdiri di depan sebuah kedai kafe sesuai alamat yang telah diberikan. Beberapa pelayan di depan menyapa ramah kedatangannya.

Kakinya melemas ketika melihat punggung seseorang yang sudah begitu dihapalnya. Dia berdiri di sana, sedang melayani para pengunjung. Rasa hangat dan haru menyergap. Helaan napas lega mengalun seraya memegang dadanya yang berdentum nyaring. Perlahan tapi pasti, ia semakin mendekat ke arah tubuh itu. Tubuh mungil yang belum menyadari kehadirannya. Tanpa babibu, Kris mendekap tubuh kecil itu dengan erat. Tubuh yang sukses membuat hati Kris meraung bahagia.

My world, My home, My love, I miss you...

Flashback end.

Setelah beberapa saat, Alena menguraikan secara paksa pelukan itu. Dengan wajah pucat, Alena memberanikan diri untuk berbalik di tengah perhatian dari orang-orang yang menatap takjub pada mereka berdua.

Mungkinkah mereka berpikir ini romantis?

Senyum tersungging dari bibir Kris ketika melihat wajah Alena untuk pertama kalinya setelah dua bulan. Refleks. Tangannya langsung menangkup wajah mungil Alena yang semakin tirus.

Dengan tatapan penuh cinta ia berkata,
"I miss you so much, Baby."

Alena menepis tangan Kris dari wajahnya dengan kasar. "Who are you? Sorry, you've mistaken sir!" kata pertama yang terucap dari bibirnya dengan nada yang sangat datar. Alena lantas meninggalkan Kris begitu saja dalam keterkejutan.

Matanya memanas. Rasa marah dan sedih seolah bersatu mengoyak batinnya kuat. Alena masih tidak siap bertemu dengannya. Setiap kali melihatnya, luka yang menganga akan semakin nyeri terasa.

Alena berjalan keluar dari kafe itu setelah meminta izin pada Abigail bahwa ia tidak bisa meneruskan pekerjaannya hari ini.

"Alena! Alena!" panggil Kris dari belakang.

Alena buru-buru mengeluarkan kunci untuk membuka rumahnya mencoba menghindari Kris. Kunci itu terlepas begitu saja dari tangan—ketika dekapan yang tak kalah erat menerjang tubuhnya hingga ia terhuyung ke depan.

"Lepaskan, brengsek! Lepaskan!" Alena meronta-ronta.

"Tidak akan! Tidak akan pernah! Al, mari berbicara. Aku bisa menjelaskan semuanya. Jangan seperti ini," suara Kris menahan tubuh Alena yang terus meronta.

"Tidak ada yang ingin kubicarakan denganmu. Semuanya telah usai antara kita. Lepaskan! Tinggalkan aku sendiri," Alena mulai terisak dalam pelukan Kris. "Jangan pernah mengganggu hidupku lagi,"

Kris menggeleng. "Tidak akan! Bahkan sampai aku mati, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Ke ujung dunia sekali pun, aku akan tetap mengejarmu. Camkan itu!" Kris mengeratkan pelukan. "Jangan berlari lagi dariku, baby. Aku mohon, jangan."

Tubuh Alena semakin melemah dalam dekapannya.

"Lalu, kenapa kamu mengkhianati cinta kita? Jika kamu sangat mencintaiku, lantas kenapa kamu menodai cinta kita dengan perselingkuhan busukmu?!" Alena menyentak seraya mencoba melepaskan tangan Kris yang saling mengait erat. "Lepaskan!" Teriak Alena frustasi.

"Tidak akan, sebelum kamu mau mendengar penjelasanku. Itu semua salah paham, Al. Semuanya sudah diatur oleh orang yang ingin menghancurkan hubungan kita," tidak ada reaksi dari Alena. Kris masih tetap berbicara. "Aku akan membuktikan semuanya. Aku sama sekali tidak mengenal wanita itu. Dia hanya orang suruhan!"

Alena masih bergeming tidak menjawab. Hingga akhirnya kepalanya terkulai lemas pada dada Kris. Kris membelalak kaget. Tubuh Alena semakin bertumpu pada tubuhnya.

"Alena... Alena," Kris menepuk-nepuk wajah Alena setelah menyadari Alena kehilangan kesadaran. Kris menggendong tubuh Alena dengan panik dan berlarian kalang-kabut mencari kendaraan.

***
Dengan hati berdebar, Kris bertanya pada dokter menggunakan bahasa inggris setelah serangkaian penanganan dari satu jam lalu di salah satu rumah sakit di kota ini.

"Dokter, apa dia baik-baik saja?" tanya Kris pada dokter yang menangani Alena.

"Silakan masuk dulu ke ruangan saya," ucap sang dokter mempersilakan masuk.

"Jadi, apa dia baik-baik saja?" Ia sudah tidak lagi mengenal kata sabar. Ia khawatir setengah mati.

"Nyonya Alena terlalu tertekan dan stres. Tubuhnya sangat lemah. Ia juga terlalu kurus untuk ukuran seorang Ibu yang sedang mengandung 13 minggu. Anda selaku suaminya, tolong jaga pola makannya, dan diusahakan jangan sampai tertekan seperti ini. Itu sangat berpengaruh pada kehamilannya." Jelas sang dokter yang membuat Kris cengo tak berkutik.

"Ha-hamil? Maksud Anda, ia sedang mengandung seorang bayi?" tanya Kris masih kesulitan percaya. Jantungnya berdegub menggila.

Sang dokter terkekeh mendengar pertanyaan konyol Kris. "Tentu saja seorang bayi. Memangnya apa lagi?"

Apa yang baru saja dikatakannya? Apa aku salah dengar? Mimpi lagi kah? Hamil? Dia mengatakan Alenaku sedang hamil?! 13 minggu? Ya Tuhan...

Euforia menggila terjadi dalam tubuh Kris. Ia mengusap wajahnya berulang kali. Senyum tersungging begitu lebar dari bibirnya. Ia meraih tangan si dokter dan mengucapkan terimakasihnya seraya berjanji akan menjaga pola makannya dengan baik.

**
Kris duduk di kursi sebelah ranjang Alena. Perempuan itu masih tertidur pulas. Tangan Alena tidak henti-hentinya dicium Kris dalam genggamannya. Ia masih terisak memikirkan kilasan kejadian dua bulan lalu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Alena ketika melihat seorang wanita dengan pakaian minim berada di dalam apartemennya.

Alena sedang mengandung buah hati mereka, namun kejamnya kelicikan Michel memporak-porandakan hubungan mereka dalam sekejap mata.

"Maafkan aku... Maafkan aku, Sayang." Ungkap Kris di sela-sela isakan. Meski ia tahu, kejadian itu murni bukanlah kesalahannya. Mana ia tahu jalang itu akan berada di sana saat Alena mengunjungi apartemennya. Jika ia tahu, ia akan lebih memilih mendorong wanita itu dari balkon apartemen untuk mengeluarkannya.

Perlahan, Alena membuka mata ketika mendengar suara Kris terisak di sebelahnya. Kesal. Ia lantas menarik tangannya dari genggaman Kris.

"Di mana aku?" tanya Alena sinis seraya mencoba bangun dari posisinya.

"Baby, kamu sudah sadar?" Kris beranjak dari kursi, lantas duduk di tepi ranjang dan merengkuh tubuh Alena ke dalam pelukannya.

"Maafkan aku. Jika saja aku mengganti password apartemenku, kejadian itu tidak akan terjadi. Maafkan aku. Itu semua salahku."

Alena mendorong tubuh Kris, dan... perfect! Tidak sama sekali membuahkan hasil. Pelukan itu tidak merenggang sesenti pun.

Alena bisa merasakan rambut-rambut halus dari rahang Kris menggelitik pada tengkuknya.

"Hanya itu yang kamu ingat? Bagaimana dengan maaf atas perselingkuhanmu?!" jerit Alena kesal.

Kris menguraikan pelukan dan menggenggam kedua tangan Alena. Ia menggelengkan kepala. "Demi Tuhan, tidak pernah ada perselingkuhan antara kami. Tidak pernah sedikit pun terpikir olehku untuk berselingkuh darimu. Tidak pernah, Al. Astaga... demi langit dan bumi, aku bersumpah, aku tidak berselingkuh dengan wanita mana pun, termasuk si brengsek itu!"

Alena berdecih membuang muka. Kris menangkup wajahnya. "Baby, tidak pernah ada setitik saja niatku untuk menyelingkuhimu. Wanita itu... Wanita itu suruhan Michel. Aku dijebak. Semuanya hanya kesalahpahaman," tukas Kris terus meyakinkan.

Alena tertawa sumbang. "Kamu mengatakan ini hanya kesalahpahaman setelah apa yang aku lihat malam itu? Sungguh luar biasa kebetulan yang terjadi!"

"Ada banyak bukti jika kamu memang tidak percaya. Ada CCTV di apartemen yang memperlihatkan mereka berdua berkeliaran di sana. Kamu bisa melihat waktu dan tanggal yang tertera. Meski tidak bisa terdengar apa yang mereka bicarakan, tapi kamu tidak cukup bodoh untuk mengerti itu, bukan? Kamu lebih dari tahu bagaimana Michel. Kamu sendiri yang berusaha menunjukkan kelicikan Michel padaku dulu," ujar Kris dengan satu tangan menangkup wajahnya, dan satu lagi menggenggam tangan Alena erat.

Darah Alena seakan berhenti mengaliri tubuhnya. Jebakan? Jadi, kesakitan yang ia rasakan selama beberapa bulan ini hanyalah sebuah jebakan? Ia hancur untuk hal kosong yang tidak pernah ada? Fakta ini pun tak kalah menyebalkan.

Alena menarik tangannya. "Tidak tahu mana yang benar," ucapnya singkat seraya bangkit dari posisinya ingin menghindar.

Kris menarik lengan Alena dengan lembut. "Kamu percaya padaku, kan? Kamu yang lebih tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Bagaimana gilanya aku mengharapkan cinta darimu. Aku tidak mungkin bersikap bodoh dengan mengkhianati cinta yang mati-matian aku perjuangkan," ujar Kris, kembali mendekap tubuh Alena. Alena menolak, namun tak lama, tubuhnya melemah.

"Aku bukan ayahku yang akan menghancurkan cinta yang telah terukir indah di hati kita." Kris menenggelamkan kepalanya pada bahu Alena. "Al, mari kita berhenti saling menyakiti. Aku ingin kita bahagia. Percayalah padaku. Percayalah pada ayah calon bayi kita."

Alena terkejut mendengar kalimat terakhir Kris. Ia lantas mendorong dada Kris dan mendongak menatapnya. "Kamu sudah tahu?"

Kris mengangguk. "Kenapa kamu menyembunyikan kabar bahagia itu? Apa kamu berniat menyembunyikannya sampai akhir, huh?"

"Haruskah aku memberitahumu? Untuk apa? Toh kamu tidak akan menikahiku juga. Lagipula ini anakku!" Sindir Alena.

"Siapa bilang?" Kris menyentil hidung Alena pelan. "Kamu tidak bisa memproduksi bayi dengan usahamu sendiri. Enak saja aku yang berkeringat-keringat, tapi kamu malah tidak mengakui aku sebagai ayahnya. Kamu kan hanya terlentang saja tidak melakukan apap—aww..."

Alena mencubit perut Kris sebal. "Jangan berpura-pura hilang ingatan dengan apa yang terjadi!"

Kris membelai pipi Alena.
"Maafkan aku karena telah menyakitimu dengan kesalahpahaman ini. Rasa sakit yang kamu terima, disebabkan oleh masa laluku sebagai laki-laki brengsek. Maafkan aku," Kris kembali merengkuh tubuh Alena yang entah sudah keberapa kalinya. Ia terlalu merindukannya. Amat sangat merindukannya.

"Aku mencintaimu. Aku bersumpah, tidak pernah ada yang lain. Tidak akan pernah ada, Al. Selalu Alena dan akan selalu Alena wanita yang aku puja," Kris menumpukan dagunya pada puncak kepala Alena seraya terus membelai rambutnya yang telah tergerai bebas tanpa pengikat.

Mendengar ucapan tulus Kris, Alena pun tidak dapat lagi menghindar dan berpura-pura menutup telinga mengabaikan ketulusannya. Ia hanya seorang wanita yang mudah terbuai akan kasih sayang, terlebih Kris adalah lelaki yang begitu dicintainya.

Alena membalas pelukan Kris. Ia tidak bisa menutup hati ketika semua penjelasan telah dijabarkan walau bukti masih belum terlihat. Tapi dalam hati kecilnya pun, Alena memang menyangkal perselingkuhan itu. Ia percaya Kris tidak akan melakukannya. Tidak ada gunanya juga terus menghindar dari cinta yang sudah menjadi bagian dalam hidupnya.

"Jangan menyakitiku, Kris. Aku tidak pernah meminta apa-apa padamu selain itu," ucap Alena di dada Kris seraya membalas pelukan Kris tidak kalah erat.

"Ya. Aku janji!" Jawab Kris lantang. "Maafkan aku..."

***
Kris dan Alena berbaring di ranjang resort mewah yang disewa—dengan tubuh yang saling merekat satu sama lain. Matahari telah mulai tenggelam hendak kembali ke peraduan.

"Kris, sesak!" Protes Alena dalam dekapan Kris yang tidak mau melepas pelukannya sedari pulang dari rumah sakit sampai sekarang. Hanya jeda saat ia mandi, dan setelahnya, Kris kembali menggelayuti tubuhnya.

"Ini seperti mimpi. Aku takut saat aku melepaskanmu, kamu akan tiba-tiba menghilang seperti di semua mimpi buruk yang pernah hadir mengisi malam-malamku dua bulan ini."

"Aku pasti sudah gila berpikir kamu mungkin telah bahagia tanpaku dua bulan ini," gumam Alena pelan.

Kris menguraikan pelukan. "Kamu berpikir begitu? How could you?!" Kris mendengkus kesal.

Alena mendongak lalu menyejajarkan tubuh mereka. Ia mengulurkan tangannya membelai wajah Kris. "Tidak lagi. Wajahmu terlihat kacau seperti ini, bagaimana mungkin aku berpikir kamu bahagia?" Tangan Alena pindah ke bawah mata Kris dan mengusapkan ibu jarinya di sana. "Apa kamu kurang tidur?"

Kris meraih lengan Alena dan menggenggamnya. "Aku tidur. Hanya tidak setiap malam."

"Kamu juga tidak bercukur?"

"Kamu tidak suka?" tanya Kris.

"Kamu terlihat manly. Tapi aku lebih suka Kris yang memiliki wajah cute tanpa rambut-rambut halus ini," ucap Alena, seraya melepaskan tangannya dari genggaman Kris dan memindahkan tangannya menyisir rahang kokoh lelakinya.

Kris menikmati sentuhan lembut itu. "Kamu bisa membantuku untuk membersihkannya besok,"

"Why are you so handsome?" Goda Alena.

"Geli, Al," protes Kris ketika tangan mungil Alena bermain-main dengan rambut halus di rahangnya.

Kris menatap wajah Alena dalam dan tenang. Menyampirkan surai rambut Alena ke telinga dan mengelusnya. "No one as beautiful as you." Ungkap Kris dengan suara huskynya.

"Kamu tahu, Kris? Aku merindukan momen ini. Momen ketika kamu dengan tidak ada kerjaannya membelai rambutku atau melakukan belaian-belaian kecil di tubuhku. Aku pikir semua itu hanya akan menjadi sebuah kenangan indah yang tidak akan pernah terulang kembali," mata Alena berkaca-kaca ketika mengutarakan isi hati terdalamnya.

Kris menangkup wajah Alena. "Jangan pernah meninggalkanku lagi. Aku janji momen ini akan terus dan terus terulang kembali."

Alena mengangguk-angguk. "Maaf, karena aku bersikap kekanakan tanpa menunggu penjelasan dulu darimu."

Kris mendekatkan wajahnya dan melumat bibir Alena dengan lembut—memotong ucapannya. Ia mendesakkan lidahnya ketika dirasa tidak cukup untuk menyalurkan rasa rindu yang menggila hanya dengan sapuan lembut. Bermain di rongga mulut Alena dengan lihai dan semakin memperdalam pagutan sambil sesekali mengisap permukaan bibir Alena sampai napas mereka menipis dan terengah-engah.

"I love your taste," Kris mengusap bibir Alena yang basah. "Yours, is my favorite drug. I'm addicted to every inch of your body," kembali dilumatnya bibir Alena. Lidah Kris semakin bergerilya di leher putih Alena menggigit gemas pada permukaan kulitnya. Turun dan semakin turun menciumi perut Alena yang terdapat buah cinta mereka.

Di sela-sela sapuan lembut lidahnya, Kris tersenyum puas mengingat benih yang ia tanam beberapa bulan lalu ternyata bibit unggul bisa langsung menghasilkan buah di dalam rahim Alena.

Alena menahan kepala Kris untuk tidak semakin turun ke bawah dan menarik pelan kepalanya sampai mereka kembali saling tatap.

"Why?"

"I can feel your junior is hardent inside your pants," bisik Alena di telinga Kris. "Let's stop here,"

"Kamu yakin itu bukan botol parfum?" Kris mengangkat alisnya seraya menyeringai.

Alena tertawa geli. "Ya, mungkin,"

"Mau memastikan?"

Alena menggeleng. "Tidak mau!" serunya dengan wajah merah menahan malu.

"Ya ampun. Kamu seperti anak perawan saja," Kris menarik pipi Alena gemas. Kemudian beranjak dari ranjang sambil meringis merasakan celananya yang menyesak. "Sebaiknya aku menuntaskan urusan ini dulu. Tapi kamu jangan tidur dulu ya? Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan."

Alena menautkan alis bingung. "Apa?"

"Later, beb," mengecup sekilas bibir Alena, Kris segera masuk ke dalam kamar mandi untuk menenangkan juniornya yang sedang meronta.

*
Kris keluar dari kamar mandi setelah beberapa saat. Ia menyapukan pandangannya ke segala sisi ruangan ketika tidak menemukan Alena tertidur di ranjang. Rasa panik langsung hinggap di kepalanya.

"Alena! Alena!" Ia mencari kalang kabut keberadaan Alena. "Al,—"

"Aku di sini, Kris," sahut Alena dari arah luar memotong kepanikan Kris.

Kris berjalan cepat ke arah Alena yang sedang menikmati pemandangan luar resort yang menjorok langsung ke danau Wakapitu dan bentangan gunung Alpine.

Kris mendekap erat tubuh Alena dari belakang. Alena menolehkan kepalanya ke samping berusaha melihat Kris.

"Ada apa, Kris?" tanya Alena bingung mendengar deru napas dan detak jantung Kris yang memburu cepat di punggungnya.

"Aku takut kamu akan tiba-tiba meninggalkanku lagi," gumam Kris seraya mengaitkan kedua tangannya erat melingkari perut Alena.

Alena melepaskan tangan Kris dari perutnya dan berbalik menatap Kris. "Aku janji tidak akan melakukannya lagi,"

Kris menganggukkan kepalanya berulang kali. "Yes, please... Jangan pernah mengulanginya lagi!"

Setelah hening beberapa saat hanya saling memandang, Kris tiba-tiba bersimpuh di atas lutut seraya menyodorkan sebuah kotak cincin. Ia membuka kotak cincin itu perlahan. Ia tidak akan menunggu lebih lama lagi untuk momen penting ini.

Alena terperanjat membulatkan mata.

"Kris, kamu..." Ia tercekat tidak tahu harus berkata apa.

"Al, di malam ini, aku ingin kota dimana kamu mencoba menyembuhkan lukamu menjadi saksi kesungguhanku. Sungguh, aku tidak tahu harus memulai dari mana untuk mengatakan semuanya...,"

Alena masih bergeming.

"...begitu banyak hari yang terlewati mengeratkan cinta kita. Begitu banyak air mata hingga tidak terkira. Begitu banyak kesakitan yang kita rasakan seakan raga tanpa nyawa. Dan sebanyak itu pula, kebahagiaan yang kurasakan saat kita bersama yang tidak dapat kujelaskan hanya dalam untaian kata."

"Al, aku memang bukan lelaki yang baik. Tapi, maukah kamu menuntunku menjadi lelaki yang baik untukmu? Maukah kamu mengajarkanku untuk menjadi lelaki yang pantas untuk bersanding denganmu? Maukah kamu menemaniku hingga kita hanya dipisahkan oleh maut? Can you let me show you what forever is? Will you be my baby for the whole time in our life? Be the mother of my child and my one and only woman?"

Air mata tumpah ruah membasahai pipi Alena. Sungguh. Ia tak menyangka Kris akan melamarnya seperti ini.

"Kris," lirih Alena yang mulai terisak. Dan ini bukanlah air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan yang tidak dapat terucapkan.

"Will you marry me?" Terucaplah kata-kata yang sempat tertahan di tenggorokan. Kris menatap Alena lekat menunggu jawaban penuh harap.

"Apa aku memiliki pilihan lain selain menerimamu?" tanya Alena sarkastis setelah menetralkan isakannya.

Kris menggeleng. "No! The answer must be yes or yes," ucap Kris, sedetik kemudian, ia terduduk dan tergelak.

"Lamaran macam apa ini?" Alena pun tertawa.

"You ruined it," kekeh Kris, ia pun kembali ke posisinya tadi. "So, will you marry me?" tanya Kris lagi lebih serius.

Alena mengangguk yakin tanpa pikir panjang. "Yes, i will."

"What? I can't hear you?"

Alena memutar bola matanya malas.
"YES. I WILL!" Pekik Alena.

"Hahaha! Yess!!" Kris bersorak.

Ia berdiri dan langsung memeluk tubuh Alena. "I love you... really, i love you so much."

"I love you too," ucap Alena dalam impitan tubuh Kris. Cukup lama mereka tenggelam dalam tangis haru karena bahagia, Alena menyikut perut Kris. "Kris, kamu tidak berniat memasangkan cincinnya dulu?"

"Shit! I forgot!" Kris segera menguraikan pelukan.

"Jangan mengumpat!"

"Sorry my babies," Kris mengelus perut Alena seraya menatap ibunya dan tersenyum lebar.

Kris meraih jemari Alena, lantas menyematkan cincin berlian tersebut ke jari manisnya. Ia mencium punggung tangan Alena setelah cincin tersemat begitu pas menghiasi jarinya. "Officially mine!"

Direngkuhnya kembali tubuh Alena sambil tidak henti-hentinya mengutarakan rasa cinta yang menggebu di hati keduanya.

Continua a leggere

Ti piacerà anche

7.1M 396K 71
Sebuah pertemuan yang berakhir dengan pernikahan. sama-sama saling menguntungkan. "menikahlah denganku dan berikan aku seorang pewaris. setelah itu...
3.6M 275K 61
PART SUDAH TIDAK LENGKAP Cetak ✔ Dreame ✔ 18+ Kimmyra dipaksa menikah dan menjadi istri kedua. Kimmyra tau populasi wanita di dunia memang lebih bany...
Hello, Ky Da YJ

Storie d'amore

7.5M 53.4K 11
❝Gimana rasanya nikah dengan tunangan sahabat yang udah nemanin lo selama 10 tahun?❞ || ©2019
80.7K 4.6K 39
Ketika biasanya seseorang bersahabat lalu jatuh cinta, seseorang ini jatuh cinta lalu bersahabat--hanya agar bisa dekat. Ini bukan tentang ketidakjuj...