TAMAT - Magnolia Secrets

Von fuyutsukihikari

396K 32.3K 2.4K

(The Land of Wind Series #2) VERSI EBOOK SUDAH TERSEDIA DI GOOGLE PLAY/BOOK. LINK E-BOOK ADA DI PROFILE SAYA... Mehr

Prolog
Pengenalan Tokoh
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Keluarga besar Kerajaan Angin
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Pengumuman

Bab 11

9.7K 1.1K 55
Von fuyutsukihikari

Author playlist : Three Inches of Heaven (Male Version)

***

Dilarang menjiplak, menyalin, mengklaim dan mempublikasikan cerita-cerita milik saya di tempat lain tanpa seizin dan sepengetahuan saya. Yang bandel saya kutuk ngejomblo seumur hidup! Thx!

Maaf untuk typo(s) yang nyempil di sana-sini.

Source pics : Pinterest

Enjoy!

***

Yao Wei tidak memperlihatkan ekspresi apa pun saat melihat sosok Er Wei di ujung lorong istana tengah berjalan ke arahnya dengan tergesa. Yao segera berhenti saat keduanya berpapasan dan Er dengan kurang ajarnya menarik kerahnya sembari melirik ke kanan dan ke kiri dengan raut wajah mencurigakan.

"Ada apa denganmu?" Yao tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Gerak-gerik adik kedelapannya terlalu mencurigakan padahal hari masih belum terlalu siang.

Er Wei menariknya ke dalam semak-semak. Ia meletakkan jari tangannya di depan mulut sebagai isyarat agar kakak kelimanya menutup mulut. Er Wei kembali menoleh lewat bahunya. Ia melap keringat di dahi dengan ujung lengan bajunya. "Jangan ribut! Bagaimana jika Chao Xing mendengar suaramu?" ujarnya setengah berbisik.

Satu alis Yao Wei ditarik ke atas saat mendengar nada takut yang terselip dalam suara adik kedelapannya itu. Ada yang tidak beres, pikirnya. Yao bahkan mengabaikan panggilan tidak sopan Er We pada Chao Xing karena menurutnya ada hal yang jauh lebih penting yang harus ia cari tahu.

"Kau bersembunyi dari Selir Chao?"

Anggukan kepala cepat Er Wei menjawab pertanyaan itu. "Apa yang dilakukannya?" tanya Yao saat adiknya menatapnya lekat. "Tidak mungkin seberuk itu, kan?" ia kembali bertanya. Namun Er Wei tidak mengatakan apa pun. Dari raut wajah adik kedelapannya saat ini, Yao bisa menebak jika sesuatu yang diinginkan oleh Chao Xing pasti sangat mengganggu Er Wei.

"Dia memintaku untuk bernyanyi."

Hening.

"Dia memintaku untuk bernyanyi," kata Er Wei untuk kedua kalinya. Ekspresinya memperlihatkan kekesalannya. Dia bahkan mendudukkan diri di atas rumput, semakin terganggu karena Yao tanpa hati tertawa keras setelahnya.

Er Wei langsung bergerak untuk membekap mulut Yao Wei hingga membuat kakak kelimanya itu terjengkang ke atas rumput. "Berisik!" desisnya sementara Yao hanya mengangguk sambil menutup mulut dengan kedua telapak tangannya.

"Kau bisa membayangkannya, kan?" ujar Er Wei gemeretak

Namun Yao yang mendengarnya terlihat tidak tersentuh, sebaliknya, sang pangeran kelima itu malah tertawa semakin menjadi. Dia berbaring di atas rumput sementara kedua tangannya memegang perutnya.

"Berhenti tertawa!" pekik Er Wei kesal bercampur gemas. Kakak kelimanya pasti sangat senang karena ia merasakan apa yang dirasakannya beberapa waktu yang lalu saat harus meminta bunga magnolia dari Pejabat Zhou.

Yao Wei mengelap air matanya. Ia menarik napas dalam setelah tawanya mereda. Yao sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana seorang Er Wei yang irit bicara dipaksa oleh seorang Chao Xing untuk menyanyi? Dan ia sama sekali tidak ingin tahu bagaimana suara adik kedelapannya saat bernyanyi.

"Dan kau melakukannya?" tanyanya dengan suara tertahan.

"Tentu saja," jawab Er Wei cepat. Nadanya satu oktaf lebih tinggi. "Bagaimana bisa aku menolaknya saat dia menatapku dengan ekspresi penuh permohonan. Chao Xing bahkan nyaris meneteskan air mata."

Ia menjeda, menelan air liurnya dengan susah payah. Dengan gerakan kaku ia membetulkan kerah pakaiannya yang dilicin rapi dan kaku. "Kita tidak akan tahu bagaimana reaksi kaisar jika tahu selir kesayangannya meneteskan air mata."

Yao Wei mengangguk setuju. "Yang jelas dia akan memenggal siapapun yang berani membuat istri kesayangannya menangis," katanya serius.

***

Di depan arak di tengah nyanyi,

hidup manusia berapa kali?

Selaksana embun pagi hari,

beranjaknya hri tidak terperi.

Gundah selalu mendera dara,

kepedihan tak pernah terlupa.

Dengan apa mengurai duka?

hanyalah arak bersedia.¹

***

Yaozu masuk ke dalam kamar yang ditempati oleh Yulan. Ia mengangkat tangan meminta Yulan untuk tetap duduk tanpa memberinya salam. "Kau masih bekerja? Bukankah aku memintamu untuk istirahat."

Yulan tidak langsung menjawab. Ia meletakkan kuas di tangannya lalu menutup perkamen yang tengah ditulisnya. "Hamba harus menyelesaikan pembukuan persediaan barang milik keluarga Jenderal Fang dan menyerahkannya pada nyonya malam ini."

"Apa Nyonya Fang memaksamu untuk mengerjakannya?"

Yulan menggelengkan kepala. "Tidak. Beliau malah meminta hamba untuk beristirahat."

"Lalu?"

Yulan tersenyum simpul. "Hamba tidak bisa hanya duduk diam tanpa mengerjakan apa pun," jawabnya mengundang decakan Yaozu. "Hamba harus bekerja untuk membalas kemurahan hati Jenderal Fang dan Nyonya Fang," sambungnya. "Hamba dibayar untuk bekerja, karena itu hamba tidak mungkin membiarkan Nyonya Fang mengerjakan apa yang harus hamba selesaikan."

"Kau ini keras kepala," cibir Yaozu namun pria itu hanya bisa menggelengkan kepala pelan menghadapi kekeraskepalaan Yulan. "Bagaimana dengan lukamu?"

Yulan menunduk, menatap lukanya yang tertutup pakaiannya. "Sudah mulai mengering."

"Tetap saja kau tidak boleh banyak bergerak, Yulan!"

"Hamba mengerti. Terima kasih untuk perhatian Pangeran Ketiga!" ucapnya tulus.

Yaozu mengangguk samar. Ia pun bergerak dan berdiri. "Keluarlah untuk mencari udara segar. Kau bisa menyelesaikan pekerjaanmu setelah itu," ujarnya sebelum berbalik pergi.

Dalam keheningan panjang Qiang mempertimbangkan usulan Yaozu hingga akhirnya ia memilih untuk melakukan apa yang diusulkan oleh pangeran ketiga. Setelah membereskan meja teh yang disulapnya menjadi meja kerja, ia pun berjalan keluar kamar untuk berkeliling.

Yulan berjalan di sekitar pavilion milik Yaozu. Dia tidak ingin menarik banyak perhatian walau tetap saja pada kenyataannya dia mendapatkan perhatian yang sebenarnya sangat ingin dihindarinya. Sayangnya tatapan dari para dayang itu masih saja didapatnya, dan bisik-bisik dari beberapa kasim yang berpapasan dengannya masih bisa ditangkap samar oleh indra pendengarannya.

"Jadi, kau sengaja berjalan-jalan untuk menarik perhatian para dayang?"

Pertanyaan itu dilontarkan dengan nada sangat dingin. Yulan langsung berbalik dan memberi hormat saat pandangannya bersirobok dengan Liqin yang berdiri dengan sebuah cambuk kuda berwarna hitam di tangan kanannya.

Liqin menggerakkan dagunya, memerintahkan empat orang dayang muda yang mengirinya untuk pergi dari hadapannya dan menunggu di depan pintu masuk taman yang berbentuk bulan penuh.

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

Qiang bisa menangkap nada jengkel dalam suara Liqin saat mengatakannya. Namun ia tetap bersikap tenang dan menjawab, "Hamba hanya mencari udara segar."

Liqin mendengkus, tidak percaya. "Omong kosong!" cibirnya. Ia mencondongkan badan dan berdesis, "Kenapa kau tidak mengakui jika kau sedang berusaha menggoda para dayang di istana ini?"

Wanita itu berdecak. Tatapannya mencemooh. Kedua tangannya dilipat di depan dada. "Apa aku perlu mencambukmu agar kau mengakui perbuatanmu?"

Qiang tidak menjawab. Dia sama sekali tidak mengerti kenapa Liqin bisa menuduhnya hingga sejauh itu.

"Dengan pengaruh ayahmu kau berharap bisa mendapatkan gadis muda untuk kesenanganmu. Iya, kan?"

"Hamba tidak mengerti," jawab Qiang jujur. "Maksud Anda apa, Tuan Putri?"

Liqin tertawa kaku. Kemarahannya semakin berkobar. "Kau," tunjuknya tepat dada Qiang. "Hanya karena memiliki paras lumayan kau berani berkeliaran di istanaku untuk menggoda para dayang? Kenapa kau tidak menggoda putri-putri raja? Apa kau memiliki keberanian untuk itu?"

Amarah Liqin semakin tersulut saat ia melihat beberapa orang putri dari istri lain ayahnya terlihat berjalan menuju ke arah pavilion kakak ketiganya pagi tadi, dan dari pembicaraan mereka dia bisa menangkap nama Yulan yang disebut beberapakali.

"Kau tidak bisa menggoda Chunhua karena dia adik satu ayahmu jadi kau memutuskan untuk menggoda wanita muda yang ada di istana? Kau mau menjadi menantu raja?" dengkusnya. "Seorang tukang kuda sepertimu ingin menjadi bagian dari keluarga Kerajaan Lang?"

"Tidak," jawab Qiang dingin. Ia mengepalkan kedua tangannya erat. "Hamba tidak pernah berpikir untuk itu," sambungnya membuat Liqin menutup mulutnya rapat. "Dan Chunhua bukan saudara seayah hamba, Tuan Putri, kami tidak memiliki hubungan apa pun."

Liqin memalingkan muka, jelas tidak percaya.

"Anda boleh mempercayai desas-desus yang ingin Anda percaya tapi hamba bisa pastikan jika Jenderal Fang bukan ayah hamba," terang Qiang dengan ketenangan mengagumkan.

"Oh, begitu, Jadi kau berniat untuk menggoda Chunhua dan menjadi menantu keluarga Fang?"

"Tidak."

"Kau pikir aku akan percaya?"

"Hamba tidak meminta Anda untuk percaya," sahut Qiang. "Anda tidak perlu takut, Tuan Putri, hamba tidak akan menggoda wanita manapun karena hamba sudah memiliki tunangan."

Lidah Liqin mendadak kelu mendengarnya. Dia tersentak lalu terkekeh kering. Pada awalnya dia menganggap Yulan sengaja mengatakan hal itu untuk membuatnya kesal tapi setelah melihat keseriusan pria di hadapannya dia pun tahu jika Yulan sangat serius.

"Pertunangan itu mungkin hanya berdasarkan kesepakatan dua keluarga, namun tetap saja hamba harus menghormatinya," sambungnya sebelum memberi hormat dan berbalik pergi meninggalkan Liqin yang membatu untuk beberapa saat di tempatnya dengan tangan terkepal erat di sisi kanan dan kiri tubuhnya.

***

Suara teriakan beberapa dayang mengusik ketenangan Yao Wei dan Er Wei yang tengah berbaring di atas rumput. Keduanya tengah menikmati semilir angin akhir musim semi. Yao menjadi orang pertama yang membuka mata. Ia segera duduk dan melihat ke sekeliling. Sedikit kasar ia menggoyangkan bahu Er Wei yang memilih untuk mengubah posisi tidurnya hingga membelakanginya.

"Kenapa aku mendengar nama Chao Xing disebut?"

Er Wei mendengkus. Kedua matanya masih terpejam erat saat ia menjawab, "Abaikan saja. Hal buruk akan terjadi padamu jika kau memilih untuk ikut campur," katanya, mengingatkakan. Namun Yao Wei tidak setuju. Suara permohonan beberapa dayang itu lebih mengusiknya saat ini. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada Chao Xing.

Tanpa menunggu Er Wei, Yao langsung berdiri untuk mencari sumber suara. Kepergiannya membuat Er Wei menghela napas. Dengan langkah lunglai dia akhirnya memilih untuk mengekori langkah kakak kelimanya.

"Apa yang terjadi?" Tanya Yao Wei pada seorang dayang yang terlihat menangis tersedu. Sang dayang langsung memberi hormat pada kedua pangeran lalu menunjuk ke arah Chao Xing yang tengah berdiri di depan sebuah pohon besar dengan kedua tangan ditahan oleh empat orang dayang sekaligus.

"Lapor, Pangeran Kelima, Selir Chao bersikeras untuk naik ke atas pohon."

Yao dan Er Wei memucat. Mereka mengangkat kepala, menatap pohon besar itu hingga puncaknya. Selir pasti sudah gila, piker keduanya kompak.

"Mana Dayang Niu?"

"Lapor, Pangeran Kedelapan, Dayang Niu sedang menghadap kaisar saat ini," jawab dayang itu dengan suara bergetar. Kedua matanya menatap rumput di bawahnya. Dayang itu begitu pucat karena rasa takut yang menyelimutinya saat ini.

Er Wei berdecih. Dengan cepat dia berjalan menuju Chao Xing yang masih memberontak meminta dilepaskan. "Apa yang kaulakukan?"

Keempat dayang yang tengah memegangi pergelangan tangan Chao Xing langsung melepas genggaman mereka. Keempatnya segera memberi salam dan melangkah mundur sementara Chao Xing mengibaskan rok gaunnya.

"Mereka kurang ajar padaku," tukas Chao Xing membuat keempat dayang itu jatuh berlutut, memohon ampun.

Er Wei memutar kedua bola matanya. "Aku tidak bertanya pada mereka, tapi padamu, Selir Chao," sahutnya penuh penekanan. Ia melipat kedua tangannya di depan dada saat Chao Xing memiringkan kepala ke satu sisi, menatapnya bingung. "Kau pasti memiliki ide gila hingga membuat mereka begitu ketakutan," sambungnya.

Chao Xing mengerjap, menatap dayang-dayangnya heran. "Kenapa mereka harus takut?" Ia balik bertanya dengan polosnya. Chao Xing menunjuk pada pohon di belakangnya, "Aku hanya ingin naik ke atas pohon itu—"

"Dan membuat calon anakmu dalam keadaan berbahaya?" potong Er Wei cepat. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa Chao Xing tidak berpikir jika perilakunya bisa membahayakan kandungannya?

Chao Xing menekuk keningnya dalam. Dia tidak terima dengan tuduhan yang dilayangkan Er Wei padanya. Wanita itu maju satu langkah, "Aku tidak mungkin membuat calon anakku dalam bahaya," tolaknya sambil menunjuk ke arah perutnya yang masih terlihat rata. "Aku sudah terbiasa naik ke atas pohon, jadi apanya yang berbahaya?"

Melihat situasi yang semakin memanas, Yao Wei pun akhirnya turun tangan. Dia berdiri di antara Chao Xing dan Er Wei yang masih menatap lekat, saling menantang. "Maksud Er Wei baik, Selir Chao," katanya lembut.

Chao Xing yang merasa dipojokkan mengalihkan tatapan tajamnya pada Yao Wei yang langsung mengangkat tangannya di depan dada. "Kau mungkin sudah terbiasa naik ke atas pohon, tapi mengertilah, saat ini kau tengah mengandung. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi dan kau kehilangan calon bayimu?"

Mendengar penuturan Yao Wei, Chao Xing pun terdiam. Dia memalinkan muka, menggigit bibir bawahnya sementara tangannya meremas rok gaunnya. Apa yang dikatakan oleh Yao Wei memang sangat masuk akal. Dengan gerakan lembut dia meletakkan kedua telapak tangannya di depan perutnya.

Chao Xing menunduk dan berkata, "Tapi aku ingin naik ke atas pohon itu."

"Kenapa?" Tanya Yao Wei masih dengan nada lembut yang sama.

Chao Xing menggelengkan kepala. Dia tidak tahu kenapa dirinya ingin sekali menaiki pohon itu saat ini. Yang jelas saat melintasi taman istana dan melihat pohon, dia langsung memiliki keinginan untuk menaikinya hingga dahan tertinggi yang bisa dicapainya.

"Bagaimana jika Er Wei yang naik ke atas pohon itu?"

Chao Xing membelalakkan mata, semangat sementara Er Wei memukul bahu kakak kelimanya keras sebagai tanda protes. Kenapa Yao tidak naik sendiri ke atas pohon itu? Batin Er Wei kesal.

"Tunggu apa lagi? Cepat naik!" kata Chao Xing dan itu sebuah perintah.

"Naik ya naik," kata Er Wei dengan nada tinggi, namun hal itu sepertinya tidak mengganggu Chao Xing, sebaliknya, selir mengembangkan senyum lebar saat Er Wei mulai memanjat pohon besar di hadapannya.

Chao Xing menatap Yao Wei yang memaksakan diri untuk tersenyum. Dalam hati dia bersyukur karena memiliki ide cemerlang dengan menyaranakan Er Wei untuk naik ke atas pohon, bukan dirinya.

Dengan penuh kehati-hatian ia naik ke atas pohon dan berhenti pada dahan pertama. "Aku sudah naik. Sekarang kau puas?"

Chao Xing menggelengkan kepala.

"Sekarang apa lagi?"

"Masih kurang tinggi," teriak Chao Xing. Ia mengangkat kepalanya. Kedua matanya menyipit, satu tangannya dijadikan topi untuk menghalangi sinar matahari yang bersinar terik siang ini. "Naik lebih tinggi!"

Tanpa bisa menolak, Er Wei pun naik semakin tinggi. Para dayang dan Yao Wei yang melihatnya terlihat cemas, tapi Chao Xing sebaliknya, wanita itu terlihat sangat bersemangat dan senang. "Sekarang kau sudah puas?"

"Apa yang kaulihat?" Chao Xing balik bertanya, mengabaikan pertanyaan Er Wei padanya.

Er Wei menekuk keningnya. Memangnya apa yang bisa dilihatnya selain bangunan istana dan tembok yang menjulang tinggi. Kakak iparnya pasti sudah gila. "Tembok," jawabnya berteriak.

Chao Xing berdecak. Ia memutar kedua bola matanya, terlihat jengkel. "Gunakan imajinasimu!" serunya. "Sekarang apa yang kaulihat?"

"Imajinasi apa?" cicit Er Wei membeo. Dia menarik napas dalam. Jantungnya memburu setiap kali dia melihat ke bawah. Lima meter. Semua tulang-tulangnya pasti patah jika terjatuh dari tempat setinggi ini.

Hening.

"Jadi, apa yang kaulihat?" Chao Xing kembali bertanya. Ia menunggu dengan tidak sabar.

"Aku melihat hamparan bunga liar warna-warni," jawab Er Wei membuat Yao Wei yang mendengarnya membekap mulut, menahan diri untuk tidak tertawa tapi Chao Xing mendengarkan dengan seksama. "Para gembala melepas binatang peliharaannya di padang rumput," sambungnya penuh penghayatan.

"Ah, aku juga bisa melihat puluhan pemuda penunggang kuda," seru Er Wei setelah terdiam beberapa saat. Ia meraih dahan lainnya untuk menyeimbangkan tubuh. "Mereka mengendarai kuda tunggangan mereka dengan sangat cepat melintasi padang rumput."

Chao Xing mengangguk dan berkata, "Apa ada saudara-saudaraku di sana?" tanyanya.

Yao Wei meliriknya sementara Er Wei seperti kehilangan kata. Sesuatu seolah tersangkut di tenggorokannya hingga membuatnya sulit untuk bicara. "Ya, mereka ada dalam kelompok penunggang kuda itu," katanya setelah mendapatkan suaranya kembali. "Mereka terlihat sehat. Mereka baik-baik saja. Jangan khawatir!"

Chao Xing mengangguk. Ekspresinya melembut.

"Ah, mereka mengadakan pesta dengan penari-penari cantik," kata Er Wei lagi.

Chao Xing cemberut dengan keras dia membalas, "Dasar brengsek! Aku mengkhawatirkan mereka tapi mereka malah berpesta dengan penari-penari cantik?!"

Er Wei mengangguk cepat. Chao Xing terkekeh pelan dan menghela napas, Ia mengangkat satu tangannya meminta pada salah satu dayang untuk memapahnya. "Hanya itu yang ingin kudengar," katanya pada Yao Wei. "Terima kasih, kalian membuatku bahagia!" sambungnya sebelum berbalik pergi meninggalkan Yao yang menatap kepergiannya dengan penuh simpati.

***

Setelah beberapa bulan berlalu, berita mengenai kehamilan Selir Chao pun berembus hingga kerajaan-kerajaan tetangga. Tidak sedikit dari raja mereka yang merasa cemas akan kehamilan sang selir. Mereka takut jika Chao Xing yang berasal dari Kerajaan Angin melahirkan seorang putra mahkota karena hal itu bisa menimbulkan masalah baru bagi musuh-musuh mendiang Raja Jian Guo.

Seperti halnya Raja Xi yang begitu marah setelah mendengar laporan dari mata-matanya. Dia melempar barang-barang di atas meja hingga menimbulkan suara benturan keras.

"Chao Xing hamil?!?" bentaknya. Para abdi dan putra-putranya kini berkumpul di balairung istana untuk memenuhi panggilan raja. "Kekaisaran Api akan mendapatkan penerus," sambungnya geram.

Raja Xi mengepalkan kedua tangannya. Amarahnya semakin menjadi karena banyaknya masalah yang datang belakangan ini. Penyerangan Kelompok Hitam membuat kepalanya pusing tujuh keliling dan sekarang emosinya kembali dihantam oleh berita jika Selir Chao Xing tengah mengandung anak dari Kaisar Api.

"Apa Raja Liu sudah mendengar berita ini?" tanyanya.

Perdana menteri langsung maju dan menjawab, "Lapor, Yang Mulia, Raja Kerajaan Angin sudah mendengar perihal ini. Beliau sangat was-was, takut jika Selir Chao menggunakan bayinya untuk mempengaruhi Kaisar Api."

Gigi Raja Xi gemeretak. "Tentu saja dia harus merasa takut," geramnya. "Long Wei bisa menyerang Kerajaan Angin jika dia mau." Raja Xi memasang pose berpikir. Dia harus mencari cara untuk mengambil hati Kaisar Api. Tapi bagaimana caranya?

Jika memberikan hadiah saat ini tentu Long Wei akan berpikir jika Kerajaan Lang tengah berusaha menarik simpati. Tidak, decih Xi. Dia tidak akan membuat Kaisar Api itu besar kepala.

"Ayahanda, kenapa tidak mengundang Kaisar Api untuk ikut di perburuan musim semi tahun depan?" usul putra mahkota. Raja Xi terlihat tertarik mendengarnya. "Kita bisa mendekatinya tanpa terlihat memiliki maksud."

"Putra Mahkota benar, Yang Mulia," sambung perdana menteri. "Saat perburuan nanti kita akan menunjukkan kehebatan Kerajaan Lang di hadapan Kaisar Api, dengan begitu dia akan berpikir seribu kali sebelum mencari masalah dengan Kerajaan Lang."

Raja Xi mengelus janggutnya beberapa kali. Matanya disipitkan. "Kau benar. Dengan memperlihatkan kekuatan kerajaan kita, bahkan seorang Long Wei yang terkenal karena kesetiaannya terhadap Chao Xing pasti akan berpikir seribu kali sebelum mengusik kerajaan-kerajaan lain yang menjadi musuh Raja Jian Guo."

Raja Xi terdiam untuk menarik napas dalam. "Aku tidak mau kekuasaanku di Kerajaan Angin terusik karena Long Wei ikut campur." Dia kembali terdiam sejenak. "Saat ini kita masih direpotkan dengan ulah Kelompok Hitam, tapi kehamilan Chao Xing membuatku perhatianku terpecah. Apa upeti dari Kerajaan Air sudah tiba?"

Perdana menteri kembali maju dan melapor, "Belum, Yang Mulia."

Raja Xi menggertakkan gigi. "Raja Song menulis surat padaku yang mengatakan jika upeti yang dikirimnya untuk Kerajaan Lang sudah dirampok sebanyak dua kali."

Ia menjeda. "Dua kali dan oleh kelompok yang sama!" bentaknya membuat suasana mencekam. Raja Xi menyandarkan punggung pada punggung kursi takhtanya. "Jika dalam waktu satu minggu upeti itu masih belum kita terima, aku akan mengirim Pangeran Yaozu ke Kerajaan Air untuk mengambil upeti itu."

***

"Kenapa harus Yulan?" Chunhua tidak berhenti mengekori ayahnya sejak dari pintu masuk kediamannya hingga menuju ruang kerja yang berada di dalam bangunan yang berbeda. Chunhua terlihat sangat kesal setelah mendengar kabar jika Yulan akan ikut dalam rombongan pangeran ketiga untuk mengambil upeti dari Raja Song.

"Apa mereka tidak memiliki prajurit lain?" Tanya Chunhua masih dengan nada merajuk yang sama. "Yulan bekerja untuk keluarga ini, kan?"

Jenderal Fang berbalik dengan cepat hingga membuat Chunhua nyaris menabrak tubuh ayahnya sendiri. Dia menyentih keras dahi putri kesayangannya hingga Chunhua meringis kesakitan. "Benar, karena itulah suatu kebanggaan Yulan bisa ikut dalam rombongan pangeran ketiga. Nama keluarga kita akan ikut naik jika dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya."

Chunhua menghentakkan kaki ke atas lantai. Ekspresi cemberutnya membuat sang ayah menggelengkan kepala. "Tapi kenapa harus Yulan?"

"Karena Pangeran Yaozu sangat mempercayainya."

"Menurutku karena Putri Liqin," sambar Chunhua. Ia menghempaskan tubuhnya pada kursi kosong di dalam ruangan itu. Jenderal Fang tidak menjawab, dia memilih untuk membuka sebuah jendela yang tertutup rapat agar udara segar masuk ke dalam ruangan. "Putri Liqin menyukai Yulan. Bukankah dia juga ikut dalam rombongan itu?"

"Lalu kenapa?" Tanya Jenderal Fang tidak mengerti. "Kenapa kau harus terganggu jika Putri Liqin menyukai Yulan?"

"Ayah tidak mengerti!" rengek Chunhua kesal. Dia berdiri dengan cepat. "Putrimu ini menyukai Yulan."

Jenderal Fang hanya mendesah keras mendengarnya. Pria itu sama sekali tidak marah mendengar pernyataan putrinya. "Masalahnya Yulan tidak menyukaimu," jawaban sang jenderal membuat Cunhua menundukkan kepala, menahan kesedihannya. "Yulan tidak suka gadis cengeng," sambung sang jenderal tanpa mengidahkan kesedihan putri semata wayangnya. "Karena itu berhenti menyukainya, dia bukan pria yang tepat untukmu."

***

Sementara itu di Kerajaan Api, kesehatan Chao Xing terus menurun secara drastic. Perutnya sudah semakin membuncit dan tabib memintanya untuk tetap berada di atas ranjang. Chao Xing tidak diizinkan untuk turun dan kali ini wanita itu patuh.

"Apa kau ingin aku bernyanyi?" Er Wei dan Yao Wei datang untuk menjenguknya siang ini. Keduanya dibuat cemas setengah mati saat mendengar berita Chao Xing sakit. Perihat sakitnya selir dirahasiakan dengan baik, hanya beberapa orang yang dipercaya oleh kaisar yang mengetahuinya, termasuk Yao dan Er Wei di dalamnya.

"Kau boleh menyuruhku memetik bunga magnolia sebanyak yang kauinginkan," usul Yao Wei. Namun Chao Xing hanya tersenyum lemah mendengarnya. "Jangan membuat kami cemas. Kau harus sehat demi anak di dalam kandunganmu dan demi dirimu sendiri," sambungnya. Yao melirik pada Niu yang berdiri di samping papan pembatas antara ranjang Chao Xing dan kursi untuk tamu. "Niu apa tabib sudah mengatakan penyebab sakitnya selir?"

Niu mengangguk pelan. "Selir Chao terlalu banyak pikiran hingga jatuh sakit."

"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Er Wei gemas. "Niu, apa kau tahu apa obat untuk penyakit Selir Chao?"

Niu tidak langsung menjawab. Sebenarnya dia memiliki rencana untuk membuat Chao Xing senang tapi tetap saja hal itu harus atas persetujuan kaisar.

"Melihat ekspresimu aku yakin kau sudah memiliki rencana," tebak Er Wei tepat sasaran. "Apa pun rencanamu aku akan ikut—"

Suara lantang prajurit penjaga yang mengumumkan kedatangan kaisar membuat Er Wei tidak melanjutkan ucapannya. Yao, Er Wei dan Niu langsung memberi salam hormat saat Zian melangkah masuk ke dalam kamar peraduan selirnya.

"Keluar, aku ingin bicara dengan Chao Xing!" kata kaisar yang langsung dipatuhi ketiganya tanpa kata.

Zian berjalan pelan menuju ranjang Chao Xing setelah Niu menutup pintu kamar pelan. Pria itu manatap wajah pucat isterinya dengan penuh kekhawatiran dan kecemasan. Dengan hati-hati dia duduk di sisi ranjang. Zian bersyukur karena kali ini Chao Xing tidak menolaknya dan memintanya untuk pergi.

"Apa aku boleh memelukmu?"

Pertanyaan itu dilontarkan Zian dengan suara lembut dan membujuk. Chao Xing mengangguk pelan dan tersenyum saat Zian menggeser tubuhnya lalu naik ke atas ranjang dan menjadikan dadanya sebagai sandaran kepala isterinya.

"Mungkin ini yang dirasakan ibuku saat mengandungku," kata Chao Xing memecah kesunyian yang menggantung di dalam ruangan itu. "Apa aku sudah pernah menceritakannya padamu; ibuku sangat lemah saat mengandungku. Beliau tahu jika kehamilannya sangat berbahaya tapi beliau bersikeras untuk mempertahankanku."

Zian mengecup puncak kepala Chao Xing dan berbisik, "Dan aku berterima kasih padanya karena melakukannya."

Chao Xing tersenyum lembut. Dia mengeratkan genggaman tangannya pada telapak tangan Zian. "Berjanjilah padaku; apa pun yang terjadi nanti kau harus menerima dan menyayangi anak kita."

Ia menjeda untuk mengambil napas. "Tolong jangan melakukan kesalahan yang sama seperti ayahk—"

"Kalian akan baik-baik saja," potong Zian cepat. "Kau dan anak kita akan baik-baik saja," sambungnya dengan suara sedikit gemetar. "Jangan berpikir terlalu keras. Yang harus kau lakukan saat ini hanya istirahat. Mengerti?"

Chao Xing mengangguk.

"Kalau begitu tidurlah!" kata Zian lembut mengantar Chao Xing ke alam mimpi.

***

Keterangan :

1. Balada Nyanyian Pendek (Cao cao, 155-22o M, Dinasti Wei). Dikutip dari 'Purnama di Bukit Langit, Antologi puisi Tiongkok klasik, terjemahan Zhou Fuyuan.

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

479K 23.8K 135
Seolah-olah belum cukup dipukul kepala oleh rekan kerja dan pacarku, aku mati di tangan kakak laki-lakiku yang kecanduan judi. Tanpa menyesali kemati...
890 188 16
(Revisi) Ada sebuah kebiasaan di antara para malaikat dan iblis yang tengah mengandung: mereka harus melahirkan anak mereka di Bumi serta meninggalka...
417 60 6
Hasil kegabutan Tapi semoga tamat ~Character milik Furudate-sensei ~Anime: Haikyuu ~by Rexa
1.7M 134K 102
Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Thalia mengalami kecelakaa...