TAMAT - Magnolia Secrets

By fuyutsukihikari

396K 32.3K 2.4K

(The Land of Wind Series #2) VERSI EBOOK SUDAH TERSEDIA DI GOOGLE PLAY/BOOK. LINK E-BOOK ADA DI PROFILE SAYA... More

Prolog
Pengenalan Tokoh
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 5
Keluarga besar Kerajaan Angin
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Pengumuman

Bab 4

9K 1K 48
By fuyutsukihikari

Author playlist : The Majesty - Darren Wang

***

Mohon maaf untuk typo(s) yang nyempil sana-sini, dan kata yang tidak sesuai dengan EBI.

Enjoy!

***

Niu berjalan sepanjang lorong Istana Merah menuju paviliun milik Selir Chao Xing. Wanita itu sesekali mengangguk samar saat berpapasan dengan puluhan dayang yang langsung berhenti dan memberi salam hormat saat berpapasan dengannya.

Semua orang di dalam istana tahu siapa Niu dan posisi wanita itu di dalam istana. Beberapa pejabat istana bahkan menaruh hormat pada wanita itu. Bagaimana tidak? Untuk mendapatkan kepercayaan kaisar sangatlah sulit. Namun Niu berhasil mendapatkan kepercayaan itu, dan ia juga mendapatkan kepercayaan dari selir kesayangan kaisar.

Paras rupawan, anggota keluarga bangsawan terpandang dan ilmu bela diri tinggi menambah tinggi statusnya. Tidak sedikit juga bangsawan yang berusaha mendekatinya. Mereka berpikir untuk menikahkan Niu dengan salah satu anggota keluarga mereka, tapi Niu menolak secara halus. Dengan tegas wanita itu mengatakan hanya akan mengabdikan diri pada kaisar dan selir. Karenanya jika ia akan menikah, maka calon mempelainya harus dipilih oleh kaisar dan selir sendiri.

"Sampai kapan kau akan melihatnya seperti itu?" Pertanyaan Yao Wei menyentak Er Wei dari lamunanya. Senyum Pangeran Kedelapan Kekaisaran Api itu langsung lenyap saat melihat sosok kakak kelimanya berdiri di sampingnya dengan ekspresi menyebalkan. "Matamu nyaris keluar hanya karena melihat seorang dayang?" ada nada mengejek dalam suara Yao Wei. Namun hal itu tidak membuat Er tersinggung.

Er Wei berdeham. Ia mengibaskan ekor jubahnya dan berdiri tegak.

"Dan kenapa kau bersembunyi di sini?" Yao Wei kembali bertanya. Pria itu masih mengunci tatapan adik kedelapannya. Ia menjeda. Tatapannya untuk sekilas beralih ke ujung lorong dimana sosok Niu berbelok dan menghilang. "Sudah kukatakan, lupakan dia."

"Kenapa kau terus mencampuri urusanku?" Er Wei balik bertanya. Dari desahan napas beratny Yao Wei tahu jika adik kedelapannya terganggu dengan peringatan yang seringkali diucapkannya. Namun Er Wei harus tahu untuk menempatkan diri sebelum semuanya terlambat.

Yao Wei menggelengkan kepala samar. Ekspresinya memperlihatkan rasa simpatinya. Dengan sikap sedih berlebihan dia menatap adiknya sementara satu tangannya diletakkan di depan dada sementara tangan lainnya menepuk-nepuk bahu adiknya beberapa kali. "Bertepuk sebelah tangan itu menyakitkan. Percayalah."

Oh, bolehkah Er Wei tertawa keras? Tentu saja kisah cinta Yao Wei berakhir tragis karena kakak kelimanya itu menyukai seorang kasim. Dan tragisnya, kasim itu tewas demi melindungi kaisar. "Sekarang kau mengatakan hal itu padaku?"

Pertanyaan itu membuat Yao Wei menekuk keningnya dalam, tidak mengerti.

"Dulu aku seringkali memperingatkanmu dan mengingatkanmu jika perasaanmu pada kasim itu salah."

Dewa Langit. Yao Wei menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya kembali ditelannya kembali. Sialnya dia tidak bisa menjelaskan kebenarannya pada Er Wei.

"Kasusmu dan kasusku berbeda, Kak," sambung Er Wei saat Yao Wei tidak kunjung membalas ucapannya. "Niu seorang dayang. Dia berasal dari keluarga bangsawan dan yang lebih penting, dia wanita," katanya penuh penekanan pada kata terakhirnya. "Apa kau lupa jika banyak pejabat yang menginginkannya untuk menjadi bagian dari keluarga mereka?

"Dan apa kau lupa jika Niu jauh lebih tua darimu?" tanya Yao Wei, berkacak pinggang. "Dan dia sanggup membunuh tanpa berkedip," sambungnya sembari menjentikkan jari tepat di depan wajah Yao Wei yang langsung memutar kedua bola matanya. "Aku sudah mengatakan padamu alasan kaisar menempatkan Dayang Niu di sisi Selir Chao, kan?"

Er Wei tidak menjawab. Dia tidak ingin menjawab. Kakak kelimanya sudah seringkali mengatakan alasan kenapa Niu ditempatkan di sisi Chao Xing. Seolah tidak pernah merasa bosan, Yao Wei selalu mengatakan alasan itu setiap kali mereka bertemu.

Yao Wei memasang pose berpikir. Dia memicingkan kedua bola matanya. "Mungkin kaisar memiliki rencana untuk Niu," katanya menarik perhatian Er Wei sepenuhnya. Dia berdecak saat Er menatapnya penuh tanya, "Semua dayang yang bekerja di dalam istana ini milik kaisar. Itu artinya kaisar berhak menjadikan mereka selir atau simpanan jika beliau menghendakinya."

Ia menjeda, memberi waktu pada Er Wei untuk mencerna ucapannya. "Dan hal itu berlaku pada Niu."

"Tidak," kata Er Wei, suaranya satu oktaf lebih tinggi. "Kaisar bukan pria seperti itu," sambungnya dalam satu tarikan napas. "Kaisar sangat mencintai Selir Chao, dan aku menyangsikan jika ada wanita lain yang bisa menarik perhatiannya."

Yao Wei berdecak sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Semua pria sama saja. Mereka tetap akan menoleh saat melihat wanita cantik."

"Itu kau," ledek Er Wei membuat Yao Wei berdecak dan memukul pelan kepala adik kedelapannya keras. "Aku hanya mengatakan kebenarannya," katanya, keras kepala. "Kaisar pria setia. Dan aku tetap akan mencintai Niu."

"Bagaimana jika Niu mencintai pria lain?"

Hening.

Dewa Langit. Sekarang Yao Wei menyesal. Ya. Melihat ekspresi sedih adik kedelapannya membuatnya menyesal. Tidak seharusnya dia melontarkan pertanyaan itu. Namun jawaban dari Er Wei membuatnya terkejut, dengan ringannya adik kedelapannya mengangkat satu bahunya dan menjawab, "Jika itu terjadi maka aku akan melepasnya secara sukarela."

***

Suasana hati Liqin tidak kunjung membaik walau matahari sudah berada tepat di atas kepala. Sang putri memberikan pedang miliknya pada pelatih kerajaan yang secara khusus ditunjuk raja untuk melatihnya ilmu pedang.

Ia mendongak. Kedua matanya disipitkan saat sinar matahari terasa menusuk. Cuacana panas membuat keringatnya lebih banyak saat ini. Liqin mendengus pelan. Tanpa kata ia menerima kain sutra yang disodorkan seorang dayang muda untuk mengelap keringat di wajah dan lehernya. "Apa Jenderal Fang sudah tiba?"

Sang dayang tidak langsung menjawab. Wanita muda berusia delapan belas tahun itu membungkuk dalam sebelum menjawab dengan nada penuh hormat, "Saat perjalanan ke sini hamba melihat beliau tiba bersama seorang pria muda, Tuan Putri."

Liqin ingin sekali memutar kedua bola matanya saat indra pendengarannya menangkap nada pujian sang dayang saat mengatakan jika sang jenderal datang bersama seorang pria muda. Tidak salah lagi, pria muda itu pasti Yulan.

Menjengkelkan. Hanya karena seorang tukang kuda, raja harus meluangkan waktu berharganya. Daripada mengurus seorang tukang kuda ada banyak hal yang harus diurus seorang raja. Mungkin alasan itu yang membuat Liqin kesal setengah hari ini. Atau memang pada kenyataannya dia tidak menyukai Yulan? Ya. Mungkin alasan yang sebenarnya pada dasarnya dia memang tidak menyukai pria dengan paras rupawan seperti Yulan.

Jujur saja, banyak pria berparas rupawan yang dikenal oleh Liqin, dan sebagian besar dari mereka berotak kosong. Mereka mengandalkan paras untuk menarik perhatian para putri bangsawan. Mereka juga menggunakan paras untuk bersaing mendapatkan wanita penghibur paling cantik di wilayah kerajaan ini, dan kakak pertamanya termasuk salah satu diantara mereka.

Kakak pertamanya yang juga merupakan Putra Mahkota Kerajaan Lang hanya tahu bersenang-senang. Dia memanfaatkan paras rupawannya untuk menarik perhatian wanita. Sang putra mahkota bahkan memiliki rumah bordilnya sendiri di dalam komplek tempat tinggalnya dan parahnya, sang raja menutup mata atas perilaku putra kesayangannya itu.

Liqin menggertakkan gigi. Beruntung dia masih memiliki kakak ketiga yang berotak lebih cerdas dan bertanggung jawab walau parasnya tidak bisa dikatakan tampan, sebaliknya, paras kakak ketiganya terlihat kasar, perawakannya yang besar juga membuat sosoknya terlihat semakin menakutkan.

"Pria itu pasti sama tololnya dengan pria-pria tampan yang lain," kata Liqin setengah berbisik. Wanita itu membanting lap di tangannya dan bergegas pergi dari tempat latihannya menuju balairung kerajaan dimana sidang Yulan berlangsung.

***

Suasana di balairung Kerajaan Lang terasa sangat mencekam. Kedatangan Jenderal Fang dan Qiang membuat para pejabat istana yang datang menghadap siang ini langsung terdiam. Lewat ujung mata mereka memperhatikan sosok pemuda yang berani mengusik Pangeran Kelima Kerajaan Lang yang terkenal memiliki temperamen tinggi.

Jenderal Fang boleh saja mengatakan jika pelayan yang datang bersamanya bekerja sebagai administrasi. Namun desas-desus yang mereka dengar justru lebih mencengangkan; pelayan itu juga bekerja di kediaman Fang sebagai pengurus kuda.

Seorang pengurus kuda berani mengusik pangeran dari Kerajaan Lang? Sungguh menggelikan.

Jenderal Fang dan Qiang langsung memberikan hormat pada raja yang tengah duduk di atas kursi takhtanya. Tatapan sang raja tidak lepas dari sosok pemuda yang kini berlutut dengan satu kaki di hadapannya.

Raja Xi menyipitkan mata. Dia mengibaskan pelan tangannya, memberi isyarat pada Jenderal Fang untuk berdiri dan bergabung bersama para pejabat lainnya yang berbaris rapi. Balairung Istana Lang tidak seluas balairung Kerajaan Angin, walau begitu ornamen yang menghiasi balairung ini jauh lebih mahal daripada balairung Kerajaan Angin.

Sepertinya sang raja ingin memperlihatkan kekuasaan dan kekayaannya pada semua orang lewat balairung ini. Mulai dari enam pilar penyangga yang terbuat dari batu giok berwarna hijau tua hingga sepuhan emas pada langit-langit balairung ikut menghiasi ruangan ini.

"Jadi kau yang bernama Yulan?" pertanyaan raja membuat Qiang mengangkat kedua telapak tangannya yang saling menyatu di depan dada.

"Hamba, Yang Mulia."

Sang raja menyempitkan mata. "Dari keluarga bangsawan mana kau berasal?"

Qiang tidak langsung menjawab. Jantungnya berdebar sangat cepat. Apa raja mencium penyamarannya?

"Lapor, Ayahanda," Pangeran Teng Fei memberanikan diri untuk maju. Kilatan matanya memperlihatkan secara terang-terangan jika dia tidak menyukai pria muda yang kini berlutut dengan satu kaki di hadapan raja. "Dia hanya anak petani," sambungnya dengan nada mengejek dan raja pun tertawa keras membuat para pejabat dan putra-putranya yang hadir di dalam balairung itu bingung.

"Jadi kau hanya anak seorang petani?" tanya raja. Sungguh, Qiang tidak menyukai nada mengejek dalam suara Raja Xi saat mengatakannya. Apa di kerajaan lain keluarga petani begitu rendah? Karena di Kerajaan Angin, baik petani maupun saudagar dan bangsawan diperlakukan sama di hadapan raja, walau ia tidak bisa menampik sistem kasta masih berlaku di dalam kehidupan masyarakat. Namun walau begitu, setiap warga kerajaan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dalam pemerintahan, karena yang paling terpenting adalah kecakapan dan kecerdasan.

"Penampilanmu menipuku," sambung raja masih dengan kekehan mengejek. "Kukira kau berasal dari keluarga bangsawan." Ia terdiam sejenak. Dengusannya terdengar begitu keras saat ia mengalihkan perhatiannya pada Jenderal Fang yang berdiri tegak walau kepalanya sedikit menunduk. "Kudengar dia pengurus kuda-kudamu," tukasnya.

Pernyataannya jelas untuk mengejek Qiang. Lihat saja, bagaimana Teng Fei dan putra mahkota tersenyum sinis, tatapannya sangat merendahkan Qiang.

"Tapi kau mengatakan pada Putri Liqin jika pemuda itu bekerja sebagai administrasi di kediamanmu?" Raja mengangkat satu alisnya tinggi saat mengatakannya. "Kenapa kau begitu melindunginya, Fang?"

Sang jenderal langsung jatuh berlutut dan menjawab dengan sikap tenang yang mengagumkan, "Tugas utama Yulan adalah mengurus persediaan barang di kediaman kami, tapi keahliannya dalam merawat kuda pun sangat mengagumkan jadi hamba terpaksa memperkerjakannya di dua bagian."

Raja Xi mencebikkan mulut. Dia mengangguk samar, terlihat puas dengan jawaban jenderalnya. "Jadi kau bisa membaca dan menulis?"

"Lapor, Yang Mulia, hamba mampu membaca dan menulis."

Satu alis raja diangkat naik. "Anak keluarga petani bisa membaca dan menulis?" Raja terdiam sejenak. Dia mengetuk-ngetukkan jari pada pengangan kursi takhtanya yang terbuat dari emas murni. Baru kali ini dia mendengar seorang anak dari keluarga petani bisa membaca dan menulis, karena sesuai dengan kebijakan dari pemimpin Kerajaan Xi sebelumnya, hanya para saudagar, bangsawan dan anggota kerajaan yang diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan.

"Dimana kau belajar membaca dan menulis?"

"Lapor, Yang Mulia, hamba belajar saat menetap di wilayah Kekaisaran Api," jawab Qiang tenang. Jawaban itu adalah jawaban yang sama yang diberikannya pada pasangan Wu saat mereka bertanya darimana Qiang belajar membaca dan menulis. "Dulu hamba bekerja di sebuah penginapan kecil di perbatasan wilayah Kekaisaran Api dan Kerajaan Awan. Hamba belajar dari para pengembara yang menginap."

Raja mencondongkan tubuhnya ke depan. Jawaban Qiang membuatnya sedikit tertarik. "Apa kau juga bisa ilmu bela diri?"

"Lapor Yang Mulia, ilmu bela diri hamba masih perlu diasah."

Sikap Qiang yang bisa menjawab pertanyaan raja dengan begitu tenang membuat beberapa pejabat memuji dalam hati. Andai mereka berada di posisi pemuda itu pasti mereka sudah terkencing-kencing dan bersujud ketakutan.

"Ayahanda," panggil putra mahkota tiba-tiba. Ucapannya memutus keheningan berat yang menggantung di dalam balairung istana selama beberapa detik. "Kita harus mengujinya," katanya, penuh penekanan. "Ananda tidak percaya jika dia cukup pintar. Bagaimana jika Anda mengetes kemampuannya? Bisa saja dia berbohong untuk menarik perhatian Anda."

Raja Xi menimbang-nimbang. Apa yang dikatakan oleh putra tertuanya memang benar adanya. Ada banyak sekali penjilat di sekelilingnya dan mungkin saja pelayan di hadapannya ini tengah berusaha menjilatnya untuk mendapatkan kedudukan. "Guru Tang," panggil raja tiba-tiba dan sesaat kemudian seorang pria dengan rambut nyaris berwarna putih sepenuhnya serta janggut panjang berwarna perak maju ke hadapan raja dan menghaturkan hormat. "Aku ingin kau memberinya sebuah pertanyaan."

Sang raja menatap guru besar itu secara tajam, dan Guru Tang pun langsung bisa menangkap apa yang diinginkan oleh rajanya. Dalam hati ia hanya bisa berharap jika pemuda yang masih berlutut dengan satu kaki di samping kirinya itu sepandai penampilannya yang rupawan.

Guru Tang mengusap-usap janggutnya berkali-kali. Tatapannya menerawang. Otaknya tengah berpikir, pertanyaan sulit apa yang sekiranya tidak akan mampu dijawab oleh pemuda di sampingnya ini? Sementara para pejabat dan Jenderal Fang berdebar menunggu pertanyaan yang keluar dari mulut sang guru besar.

"Dalam strategi militer, hanya ada yang langsung dan yang menyimpang, tapi di antara mereka ada rentang taktik tak terbatas." Guru Tang menjeda. Ia menundukkan kepala, menatap Qiang lurus. Di tempatnya, Pangeran Teng Fei dan putra mahkota saling melempar tatapan. Mereka tersenyum puas karena yakin jika pelayan Jenderal Fang tidak akan mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan sang guru.

Qiang tidak langsung menjawab. Apa yang dikatakan oleh Guru Tang merupakan salah satu taktik seni berperang Sun Tzu yang mahsyur. Gurunya saat di Istana Kerajaan Awan dan ayahnya seringkali meminta para pangeran untuk menghapal serta menafsirkan arti dari taktik perang tersebut.

"Kau tidak bisa menjawab?" tanya Guru Tang. Ia sedikit kecewa karena Qiang tidak bisa menjawab pertanyaannya. Namun dengan cepat dia menyingkirkan perasaan itu. Tentu saja pemuda itu tidak akan bisa menjawab pertanyaannya. Pertanyaan yang mungkin juga tidak akan bisa dijawab oleh beberapa pangeran dari kerajaan ini.

"Jenderal yang terampil mengalahkan manuver musuh menggunakan formasi untuk membuat mereka mengikutinya. Ia menawarkan pengorbanan sehingga musuh mengambilnya; ia menaruh umpan untuk menggoda dan menyiapkan pasukan penyergap menunggu mereka."

Qiang terdiam sejenak. Kedua alisnya menyatu saat berusaha mengingat sisa tafsiran dari taktik perang tersebut. "Jenderal yang ahli mencari momentum gabungan dan tidak hanya mengandalkan keberanian individu; ia tahu bagaimana memilih pasukannya untuk efek maksimum⁵."

Hening.

Sang guru terlihat terkejut mendengar jawaban itu. Kedua matanya terbelalak. Dia bahkan nyaris tidak bisa berkata-kata. Pemuda di hadapannya ini bukan pemuda biasa. Tingkat kecerdasannya sungguh mengagumkan. Namun kenyataan itu justru membuat pangeran kelima tidak senang. Dengan gigi gemeretak dia maju, dan berniat untuk menendang kepala Qiang, tapi dengan gerakan cepat Qiang menghindarinya dan berdiri.

Qiang kembali menghindar saat pangeran kelima melayangkan satu pukulan keras ke arah ulu hatinya. Pukulan yang gagal itu membuat pangeran kelima terhuyung, nyaris terjatuh andai saja pangeran ketiga tidak menangkap tubuhnya tepat waktu.

"Berani sekali kau menghindar dari pukulanku!!!" bentak Teng Fei marah. Dada pria itu naik turun dengan cepat. Wajahnya memerah karena emosi. Qiang secara tidak langsung telah membuatnya malu, dan itu membuat Teng semakin ingin menyingkirkannya. "Ayahanda, Anda harus memenggal kepalanya!" serunya tapi raja sepertinya memiliki pemikiran lain.

"Dimana kau belajar seni berperang?"

Qiang menundukkan kepala dan menjawab penuh hormat, "Lapor Yang Mulia, hamba mempelajarinya dari kitab seni berperang yang ditinggalkan seorang jenderal dari Kekaisaran Api yang pernah menginap di penginapan tempat hamba bekerja."

Raja tentu saja tidak langsung percaya. "Apa kau tahu siapa jenderal yang dengan teledornya meninggalkan kitab penting itu?"

Qiang menekuk keningnya. Dia memasang pose berpikir. Berpura-pura untuk berusaha mengingat sebelum akhirnya ia menjawab dengan nada tenang yang sama, "Prajurit-prajurit yang datang bersamanya memanggilnya Jenderal Jianghu, Yang Mulia."

Bisik-bisik menyebar dengan cepat. Siapa yang tidak mengenal Jenderal Jianghu dari Kekaisaran Api, seorang jenderal pengkhianat yang tewas di tangan Kaisar Long Wei dan anak petani ini mengatakan jika dia belajar dari kitab yang ditinggalkan oleh seorang Jianghu? Sebuah takdir yang aneh, atau memang pemuda itu merencanakannya dengan baik?

"Jianghu?" Raja Xi tertawa keras sembari memukul-mukul pelan lengan kursi takhtanya. Dia terlihat puas oleh jawaban yang diberikan oleh Qiang. "Sepertinya aku menyukai jawabanmu," sambungnya membuat Qiang bertanya-tanya di dalam hati, tidak mengerti. "Jianghu merupakan musuh besar Kaisar Long Wei dan kau belajar seni berperang dari kitab yang ditinggalkan oleh Jianghu, bukankah ini takdir?" katanya yang segera disetujui oleh para pejabatnya.

Para pejabatnya langsung menyetujui apa pun yang dikatakan oleh raja mereka untuk mencari aman walau itu bertolak belakang dengan apa yang dipikirkan oleh mereka.

"Ayahanda, kita tidak bisa melepasnya begitu saja," kata Teng Fei, semakin panas karena Qiang mendapat pengakuan raja. "Anda tetap harus memberinya hukuman."

Raja pun mengangkat satu tangannya. Dia mengangguk, menyetujui ucapan putranya. "Tentu saja aku akan tetap menghukumnya," kata raja. Jenderal Fang yang sedari tadi diam kembali dibuat cemas. Dengan gelisah dia menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh raja. "Atas ketidaksopananmu yang telah mengganggu pesta pangeran kelima, aku memberikanmu hukuman cambuk sebanyak lima puluh kali."

Tentu saja, pikir Qiang. Raja yang tidak adil hanya akan mendengarkan orang-orangnya. Sungguh Qiang tidak merasa kaget.

"Laksanakan hukuman siang ini juga!" sambung raja memberi perintah. Ia menjeda, tatapannya masih tertuju lurus pada Qiang. "Jika kau selamat dari hukumanku, aku menjanjikanmu sebuah jabatan di istana ini," ujarnya yang langsung disambut protes dari putra mahkota dan pangeran kelima, tapi dengan tegas raja mengangkat satu tangannya tinggi, meminta kedua putranya untuk diam. "Kita tidak tahu apa dia akan selamat, bukan? Kenapa kalian harus merasa khawatir?" tanyanya sebelum berdiri dan berjalan pergi meninggalkan ruang balairung tersebut.

"Pastikan dia mati!" desis Teng Fei pada seorang prajurit yang bertugas menyeret Qiang keluar. Pria itu melemparkan tatapan benci sebelum melenggang keluar bersama kakak pertamanya.

"Yulan?!"

"Hamba akan bertahan, Tuan," sahut Qiang tenang saat Jenderal Fang menatapnya dengan ekspresi khawatir.

Aku akan bertahan hidup karena tugasku belum selesai, batinnya sebelum kedua orang penjaga menyeretnya keluar dari balairung menuju tempat eksekusi.

***

TBC

Keterangan :

5. Dikutip dari buku Seni Berperang Sun Tzu, halaman 31. Diterjemahkan dari bahasa Tionghoa oleh James Trapp.

Alih bahasa : Clara Herlina Kardjo

Continue Reading

You'll Also Like

417 60 6
Hasil kegabutan Tapi semoga tamat ~Character milik Furudate-sensei ~Anime: Haikyuu ~by Rexa
Vocea Ta By ryuu

Fanfiction

30.3K 4.7K 45
[COMPLETED] Dari sekian banyak alunan yang Hong Moka benci, kelembutan suara Kang Taehyun melesak lalu angkat dirinya dari kegelapan. "Jadilah bahagi...
90.1K 4.1K 11
"DITERBITKAN OLEH ELLUNAR" "Mengintai diantara bayangan, mengawasi dari balik kabut dan menyerang dari jarak jauh. Firasat dalam ketepatan dan instin...
759 151 28
Seorang Dylan Jackson si detektif populer di kotanya mendapatkan kasus pembunuhan yang tak biasa bersama rekannya, John Walker. Kasus itu mendorong m...