SO PRECIOUS (PART COMPLETE)

By nonameformacity

8.6K 1.3K 1.1K

Cinta itu sebenarnya identik dengan kata 'EGOIS. Sama seperti kamu. ~Veily Seirania ----- Karena egoku yang t... More

Prologue
(1) Tentang Dia Yang Tak Ku Kenal
(2) Tentang Dia Yang Tak Ku Kenal <II>
(3) Realita
(4) Realita <II>
(5) Mencoba Melupakan
(6) Luka
(7) Perasaan Iba
(8) Semangat Baru
(9) Gejolak Hati
(10) Tanda Tanya
(11) Perubahan
(12) Ketika Hati Tak Berdaya
(13) Bertahan
(14) Gundah
(15) Apa Tindakanku Benar?
(16) Apa Yang Harus Ku Lakukan?
(17) Permintaan Pertama dan Terakhir
(18) Bersamamu
(19) Seperti Mimpi
(20) Haruskah?
(21) Kebohongan Yang Terungkap
(22) Kebohongan Yang Terungkap <II>
(23) Alasan Sesungguhnya
(24) Mauku Apa Sih?
(25) Kamu Mencintaiku, Atau Tidak?
(26) Ketetapan Hati
(27) Penyesalan
(28) Jadilah Milikku!
(29) Rayhan POV~ (Bagaimana Cintaku Bermula Lalu Ku Akhiri)
(31) Surprise?
(32) Surprise? <II>
(33) Keraguan
(34) Belenggu
(35) Aku Harus Sembuh
(36) Restu Papa
(37) Restu Papa <II>
(38) Keputusan
(39) Frustasi
(40) Aku Harus Pergi
(41) Accident
(42) Kamu Telah Pergi
(43) Memulai Hidup Baru
(44) Hal Tak Terduga
(45) Benci (Benar-benar Cinta)
(46) Benci (BBC II) <END>
(+++)

(30) Sisi lain dari Rayhan

112 21 18
By nonameformacity

Budayakan untuk memberikan setidaknya vote/coment untuk menghargai karya penulis :)

Meskipun masih penulisa amatir. Hehe...

Happy Reading Guys...

***
Sejak dua minggu lalu Rayhan melabeliku dengan status kekasih, aku tak pernah lepas dari pandangannya. Aku selalu berusaha membagi waktu untuk menemaninya menjalani pengobatan di rumah sakit untuk memulihkan kondisinya.

Rayhan terkadang merasa sedikit kesal padaku yang tak mau menuruti nasihatnya.

Ia tak ingin aku selalu menempel padanya setiap saat aku ada waktu. Ia tak ingin mengganggu aktivitasku sebagai mahasiswa, tak ingin mengurangi waktuku berbagi dengan teman-teman sebayaku dan tak ingin aku mengabaikan ayahku yang juga membutuhkanku untuk selalu di sisinya karena hanya aku yang dia punya.

Tapi mau bagaimana lagi, saat ini aku hanya ingin menghabiskan waktuku bersama Rayhan. Kalian tahu kan seperti apa rasanya kalau sedang kasmaran? Itu yang tengah ku rasakan saat ini.

Setiap hari bertemu dengannya membuatku semakin jatuh hati padanya. Apalagi, bagi kami berdua waktu sangatlah berharga. Karena kami tidak tahu kapan kami akan berpisah.

Meski sekarang keadaannya sudah membaik, tetap saja aku tak bisa berhenti mencemaskannya. Yang pasti, aku ingin menghabiskan banyak kenangan indah bersamanya.

tukk

"Awww," pekikku spontan.

"Ngapain liatin aku terus? Cepat kerjakan tugasmu!"

Aku terperanjat, pandanganku akan wajahnya teralihkan. Dia menjentikkan bulpen yang di pegangnya tepat pada puncak kepalaku.

"Ihh... sakit tau, Mas..." protesku lebay, berpura-pura meringis kesakitan.

Ku usap bagian kepalaku yang terkena pukulan kecil Rayhan seraya mengaduh.

Tapi Rayhan mengabaikanku, dia sama sekali tak menghiraukan rengekanku. Dia malah tersenyum miring mengejekku.

"Sudah sakitnya? Sekarang cepet selesaikan tugas kuliah kamu!" perintahnya menekankan.

Aku pun mendengus kesal.

"Tuh," katanya lagi seraya menunjuk tumpukan kertas tebal di hadapanku dengan dagunya.

Aku pun mengerucutkan bibirku tanda cemberut. Akhir-akhir ini dia sering sekali mengomeliku. Dia sama sekali tak bisa menoleri jika aku lalai atau pun bermalas-malasan dalam mengerjakan tugas kampus.

Aku tak pernah tahu bagaimana caranya mengajar di kampus, karena aku hampir tak pernah sekalipun menghadiri kelasnya hingga selesai. Jika Rayhan terus mengajar di sana, aku yakin, tak lama kemudian dia pasti akan segera mendapatkan julukan dosen killer di kampus.

Sepertinya aku sedikit menyesali keputusanku untuk menjadikannya tutor pribadiku. Andai saja aku tahu lebih awal, aku takkan mau membahas satu mata kuliah pun dengannya. Apalagi memintanya mengajariku. Tidak akan. Dia benar-benar mengalahkan garamnya Kak Ros dalam film upin-ipin saat mengajar. Hiii...

"Hufftt." Aku menghela lesuh. Semuanya sudah terlanjur.

Sekali lagi ku picingkan mataku menatapnya tajam lalu menghela berat sebelum kembali menatap lembaran-lembaran tugas di depan mataku.

Hahaha

Terdengar cekikikan Rayhan tengah menertawaiku.

Selalu seperti itu, setiap kali aku merasa kesal, dia malah tertawa cekikikan tidak jelas. Dugaan Selly selama ini benar mengenai Rayhan, dia memang lelaki yang aneh.

"Stop!! Nggak usah tertawa!" seruku semakin kesal.

"Kenapa sih sayang? Udah dong ngeluhnya! Kasian itu tugas kamu sudah menunggu."

Tuh kan, benar kataku. Caranya mengatakan memang lembut, tapi kalimatnya itu mengandung unsur tertentu. Dia mencoba merayuku dengan maksud agar aku tak mengabaikan perintahnya. Menyebalkan.

"Nggak usah manggil sayang-sayangan!" sahutku sinis.

Namun semakin ketus aku, semakin keras pula tawanya menggema di telingaku. Benar-benar menyebalkan.

Aku pun terpaksa segera mengerjakan tugasku hingga selesai. Rayhan juga bergegas berpindah tempat menuju ranjangnya karena tak ingin menggangguku belajar.

Dia dengan santainya memiringkan tidurnya memandangiku yang tengah berkutat dengan tugasku di sertai senyuman penuh arti.

Entah apa yang membuatnya senyum-senyum sendiri. Tapi jika di lihat dari sudut pandangku, dia tengah tersenyum jahil ke arahku, seolah mengejekku yang tengah kesulitan.

"Oh iya, aku lupa memberitahumu. Besookkkk-" sahut Rayhan sengaja menggantung ucapannya, membuatku menoleh ke arahnya seraya mengerutkan dahi sejenak.

"Besok apa?" tanyaku penasaran.

"Emm..."

"Apa?"

"Sebenarnya besok-"

"Kenapa? Ada apa besok?"

Lagi-lagi dia menggantung ucapannya membuatku semakin penasaran dibuatnya.

"Emm... tidak jadi," jawabnya kemudian.

Aku melongo.

"Bukan apa-apa koq," lanjutnya santai, membuat kepalaku memanas menahan kesal yang sudah memuncak karena rasa penasaran.

Di tambah dengan senyum polos yang ia pasang pada wajah tak berdosanya, seolah-olah tak ada rasa bersalah sedikit pun di sana.

"Mas Rayhaaannn..." pekikku tertahan. Tanganku terkepal kuat menahan emosi. Seandainya ini bukan di rumah sakit, aku pasti sudah berteriak sekencang-kencangnya di hadapannya.

"Ya Tuhaannn... Ingin ku berkata kasarrr..." umpatku lalu menghampiri Rayhan yang tengah meringkuk tertawa terbahak-bahak di atas ranjangnya seraya memegangi perutnya yang terasa sakit akibat terlalu banyak tertawa.

"Belum selesai tertawanya?" cibirku ketus.

Dia masih tak berhenti.

"Oke. Kalau gitu... nih rasain!"

Aku pun mencubit salah satu lengan Rayhan dengan sangat gemas, tanpa ampun ku keraskan cubitanku hingga Rayhan meringis kesakitan dan terpaksa menghentikan tawanya dalam sekejap.

"Aw aaaa. Ampun ampun ampun. Sakit Vei, sakit," ringisnya berteriak.

Aku pun melepas cubitanku.

"Ya ampun, belajar nyubit dari mana sih kamu, Vei? Sampai merah gini kan lengan aku?" sungutnya berapi-api.

"Hem," decakku tersenyum miring. "Tanyakan saja pada cicak yang bergoyang!" balasku kemudian berlalu dari hadapannya dan kembali ke tempat asalku mengerjakan tugas.

Sementara Rayhan hanya bisa mengusap-usap bekas cubitanku pada lengan kanannya yang masih memerah.

Suasana menjadi hening beberapa saat. Ku curi-curi pandang ke arahnya, sepertinya dia sedang memperhatikan diriku yang tengah serius berkutat dengan tugas sembari tersenyum simpul.

Sebenarnya aku sedikit gugup kalau di lihat terus-menerus seperti itu. Namun karena aku berpura-pura tak tahu, makanya aku menyembunyikan rasa itu sebaik mungkin.

"Vei," panggilnya kemudian.

Sementara seolah berpura-pura tak menoleh karena disibukkan dengan tugasku, aku pun menyahut singkat, "Hem?"

"Kamu cantik... maaf sudah membuatmu kesal," ujarnya tiba-tiba, membuatku seketika beralih mengabaikan tugasku.

Telah terpatri sebuah senyuman penuh arti di wajahnya. Sangat tulus. Tanpa dibuat-buat. Membuatku terkesima sejenak di buatnya.

Tapi aku tak boleh begitu kan? Kan ceritanya aku sedang marah dan kesal padanya. Jadi aku harus jaga image sekarang.

"Cihh... selalu saja seperti itu," decakku berlagak masih marah.

Jantungku mulai berdebar-debar tak karuan karena rayuan dan senyuman mautnya. Cepat-cepat, aku mengalihkan pandanganku darinya sebelum terhanyut oleh perasaanku sendiri dan melunak luluh.

Aku ingin mencoba marah untuk sekali ini saja padanya, karena setelah mencoba berkali-kali, aku selalu gagal dibutakan oleh cinta dan rayuannya.

Rayhan tersenyum lagi. Ia lalu beranjak dari tempat tidurnya menghampiriku, mendesakku untuk menggeser tubuhku agar ia bisa duduk di sampingku.

"Apaan sih, Mas. Sana ihh!! Nggak muat duduknyaa," cercaku seraya mendorong paksa tubuh Rayhan agar tak mendekat.

Rayhan mengalah, ia tak bisa melawanku. Ia kembali berdiri dan berganti posisi menjadi jongkok menatapku dari bawah.

"Kok bisa sih kamu secantik ini Vei? Apalagi kalau lagi marah!" gumamnya memuji sembari tersenyum penuh arti, dagunya ia topang agar tak jatuh saat menatapku intens seperti ini. Dan telak, jantungku dibuat lepas seketika dari tempatnya.

Aku pun refleks menelan ludahku kasar, rasa gugup tiba-tiba saja menyambar entah sejak kapan. Ku tata posisi dudukku, lalu ku coba hiraukan lagi perkataan manisnya.

"Udah deh Mas, nggak usah ngerayu melulu! Sana istirahat! Katanya aku suruh nyelesaiin tugas? Kalau kamu ganggu terus, kapan selesainya?" protesku kemudian.

Aku mencoba berbicara datar dan mengurangi gugupku sebaik mungkin dengan berbicara tanpa terfokus pada tatapannya yang memabukkan.

"Baiklah, baiklah. Aku tidak akan mengganggumu lagi," ia menjeda ucapannya, "setelah ini..."

Cupp

Rayhan tiba-tiba mencium pipiku lembut.

Meski sekilas dan cepat, tapi hal itu sudah cukup untuk membuatku terpaku membeku di tempat karena tak mampu menyetabilkan irama detak jantungku yang memacu cepat.

"Semangat ya, sayang," katanya lagi. Ia pun mengacak rambutku pelan sebelum ia kembali berdiri dan beranjak dari posisinya yang tadinya hanya berjarak beberapa centi saja dari tempatku.

Aku masih terdiam dengan tatapan kosong, sedang Rayhan tengah asyik tersenyum simpul meninggalkanku bersama gugupku.

tok tok

Suara ketukan singkat itu membangunkanku dari lamunan, begitu pula dengan fokus Rayhan.

Ihhh kan... Kena lagi... Nggak jadi lagi marahnya.

"Sore Rayhan," sapa Dokter Gibran dengan senyum ramah.

"Oh. Ada Veily juga. Sore Veily," tambahnya.

"Sore Dok." Yang dijawab bersamaan olehku dan Rayhan.

Dokter Gibran segera mendekati Rayhan dan mengecek sebentar bagaimana kondisi Rayhan saat ini dengan alat-alat medisnya.

"Sepertinya keadaanmu semakin membaik," katanya kemudian. "Kalau kondisimu tetap stabil seperti saat ini, saya yakin kamu bisa bertahan sampai ada donor baru yang cocok untukmu."

"Benarkah?" sahutku antusias.

Dokter Gibran mengangguk pasti.

"Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu, Dok," lanjutku senang.

Ku lirik sekilas raut wajah Rayhan yang juga tampak sangat senang mendengar kabar baik dari Dokter Gibran. Tapi ekspresinya tak sebahagia diriku, nampaknya dia sudah tahu bagaimana kondisinya saat ini.

Tak bisa ku pungkiri, ucapan Dokter Gibran tadi benar-benar memberikanku harapan baru untuk kesembuhan Rayhan.

"Oh iya, dan besok Rayhan-"

"Ahhh Dokter, itu...." potong Rayhan cepat.

Aku pun menoleh ke arah Dokter Gibran dan Rayhan secara bergantian.

"Kenapa Dok?" tanyaku heran.

"Emm... itu Vei, bukan apa-apa kok. Dokter Gibran cuma mau bilang kalau besok... dia... emm... dia ng-nggak ada di rumah sakit. Iyah... itu dia," jawab Rayhan terbata, matanya melirik ke kanan-ke kiri seolah ia tengah mencari jawaban atas pertanyaanku.

"Benar 'kan, Dok?" Rayhan memastikan jawabannya pada Dokter Gibran, menatapnya penuh binar layaknya ia tengah berkomunikasi dengan Dokter Gibran melalui matanya. Entah apa maksudnya.

Namun sepertinya Dokter Gibran mengerti dengan isyarat yang Rayhan berikan, ia tahu apa maksud Rayhan berkata seperti itu.

Memangnya penting ngebahas besok Dokter Gibran ada apa enggak? Apa Rayhan masih ada pemeriksaan lainnya besok?

"Ahh... iya, benar," jawab Dokter Gibran kemudian.

Seketik Rayhan menghela napas lega.

Entah mengapa Rayhan memotong ucapan Dokter Gibran dengan gelagatnya yang seperti seseorang tengah menyembunyikan sesuatu. Ia seolah mengarang alasan atas jawabannya.

"Yasudah, kalau begitu saya permisi dulu," ucap Dokter Gibran lagi.

"Eh tunggu dulu, Dok!" cegatku tiba-tiba.

"Ya, ada apa?" jawabnya bertanya.

Daripada terasa ganjal, lebih baik ku pastikan saja sendiri pada yang bersangkutan. "Emang kenapa kalau besok Dokter nggak ada? Mas Rayhan ada pemeriksaan-"

"Owh nggak ada Veily, saya cuma mau memberi tahu saja. Kalau ada yang mau ditanyakan tunda kapan-kapan ya," potongnya menjelaskan.

Emm... Ku kira apaan. Mungkin perasaanku saja yang terlalu peka menanggapi ekspresi Rayhan.

"Owh. Oke Dokter. Baiklah, terima kasih," anggukku mengerti di sertai senyuman membalasnya.

Dokter Gibran pun telah berlalu dari dari hadapan kami, membuat Rayhan mengubah pandangannya ke arahku. Lagi-lagi dia tersenyum.

"Kamu masih marah?" tanyanya santai.

Tentu saja iya.

Aku mengubah lengkung bibirku jadi melurus kemudian membalas Rayhan dengan tatapan dan jawaban yang sinis, "Masih."

Dari balik pintu ternyata Dokter Gibran masih bisa mendengar perbincanganku dengan Rayhan, ia kembali membuka lebar pintu yang hampir tertutup itu lalu menyahut, "Sepertinya kamu sudah menemukan kebahagiaanmu yang sejati Ray."

Lalu benar-benar pergi meninggalkan kami yang tengah melongo tak mengerti akan arti ucapannya barusan.

Tapi ya sudahlah, yang penting maksudnya baik. Apalagi dia membicarakan tentang kebahagiaan. Ya kan?

Dokter Gibran memang seorang dokter yang sangat baik, tampan dan juga handal dalam pekerjaannya.

Dia termasuk salah satu Dokter specialis terbaik di Indonesia. Tak heran jika keluarga Rayhan juga sudah merasa sangat nyaman jika Dokter Gibran yang menangani kesehatan anaknya.

Selain hebat, Dokter Gibran juga sangat perhatian dan telaten kepada semua pasiennya. Aku saja sampai merasa heran, kenapa ia masih belum menikah di umurnya yang setara dengan Ramana itu?

Apa ia terlalu sibuk di rumah sakit sampai tak pernah mengurusi kehidupan cintanya? Entahlah, aku tak ingin mencari tahu lebih jauh lagi kehidupan orang lain.

Sejak insiden kecopetan kemarin, Rayhan sudah pindah rumah sakit ke tempat awal Rayhan dirawat. Karena hanya di rumah sakit inilah keluarga Rayhan bisa dengan tenang mempercayakan urusan hidup Rayhan.

Apalagi dokter yang mengetahui semua perkembangan penyakit Rayhan sejak awal pengobatannya juga ada di rumah sakit ini, yaitu Dokter Gibran itu sendiri. Jadi tak ada alasan Rayhan pindah dari sini. Yang lalu hanyalah sebuah kesalahan kecil karena menuruti keinginan egois Rayhan semata.

Kini setelah semua usahaku untuk mendapatkan pengakuan cinta dari Rayhan telah terpenuhi, apakah aku sudah boleh berbahagia dengannya?

Aku ingin selamanya seperti ini, melalui hari-hariku dengan tawanya, menghabiskan waktu tanpa harus terluka seperti dulu.

Aku tak ingin berpisah dengannya hingga waktu yang lama. Tapi, apakah bisa? Apakah perjuangan cinta kami selama ini sudah cukup untuk menebus kebahagiaan kami di masa mendatang?

Semua orang selalu mengatakan hal yang sama kepada orang lain, bahwa 'setelah penderitaan pasti akan ada kebahagiaan'. Apa luka kami yang lalu sudah cukup untuk bisa mempersatukan cinta kami? Atau Tuhan masih mempunyai rencana lain untuk kisah kami?

Tak ada yang tahu, tapi sungguh, pintaku pada Tuhan selalu sama. Aku berharap semoga Tuhan akan mengindahkan kisah cinta dan hidupku bersama Rayhan.


Bersambung...

Satu kata untuk cerita ini...?

Thank's for reading... :)

Continue Reading

You'll Also Like

8.3M 518K 34
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
5.6M 297K 57
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
530K 87.5K 30
βœ’ λ…Έλ―Ό [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...
9.7M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...