SO PRECIOUS (PART COMPLETE)

By nonameformacity

8.6K 1.3K 1.1K

Cinta itu sebenarnya identik dengan kata 'EGOIS. Sama seperti kamu. ~Veily Seirania ----- Karena egoku yang t... More

Prologue
(1) Tentang Dia Yang Tak Ku Kenal
(2) Tentang Dia Yang Tak Ku Kenal <II>
(3) Realita
(4) Realita <II>
(5) Mencoba Melupakan
(6) Luka
(7) Perasaan Iba
(8) Semangat Baru
(9) Gejolak Hati
(10) Tanda Tanya
(11) Perubahan
(12) Ketika Hati Tak Berdaya
(13) Bertahan
(14) Gundah
(15) Apa Tindakanku Benar?
(16) Apa Yang Harus Ku Lakukan?
(17) Permintaan Pertama dan Terakhir
(18) Bersamamu
(19) Seperti Mimpi
(20) Haruskah?
(21) Kebohongan Yang Terungkap
(22) Kebohongan Yang Terungkap <II>
(23) Alasan Sesungguhnya
(24) Mauku Apa Sih?
(25) Kamu Mencintaiku, Atau Tidak?
(27) Penyesalan
(28) Jadilah Milikku!
(29) Rayhan POV~ (Bagaimana Cintaku Bermula Lalu Ku Akhiri)
(30) Sisi lain dari Rayhan
(31) Surprise?
(32) Surprise? <II>
(33) Keraguan
(34) Belenggu
(35) Aku Harus Sembuh
(36) Restu Papa
(37) Restu Papa <II>
(38) Keputusan
(39) Frustasi
(40) Aku Harus Pergi
(41) Accident
(42) Kamu Telah Pergi
(43) Memulai Hidup Baru
(44) Hal Tak Terduga
(45) Benci (Benar-benar Cinta)
(46) Benci (BBC II) <END>
(+++)

(26) Ketetapan Hati

114 21 18
By nonameformacity

Cinta akan jadi menyakitkan bila di paksakan.

Aku tak ingin kamu menodai cinta tulusmu padanya hanya karena takut menyakitiku.

Aku lebih merasakan sakit bila kamu tak sungguh tulus ingin bersanding denganku.

~Karin Ashelin

***


Aku akhirnya menyerah. Mungkin hanya sampai di sini perjuanganku tuk mendapatkan balasan cinta Rayhan. Dia takkan mau melepaskan Karin hanya demi gadis yang baru di kenalnya seperti diriku ini. Dia juga telah menegaskan bahwa dirinya tak mencintaiku, meski sebenarnya aku tak ingin percaya.

Sangat terlihat ketulusan di matanya, caranya menatapku seolah penuh kasih sayang. Teduh selalu ku rasakan saat ku sandarkan hatiku pada kehangatan yang ia ciptakan.

Waktu singkat yang ku habiskan bersamanya, meninggalkan jejak indah yang mungkin takkan pernah bisa ku hapus dari pikiran dan hatiku. Namun apa dayaku bila dia tak menginginkanku di sisinya? Dia bilang, dia tak mencintaiku. Dan aku, harus bisa menerima kenyataan pahit itu.

Lagipula aku juga tak boleh hanya memikirkan diriku sendiri, masih ada Karin disana, yang juga akan tersakiti bila aku memaksakan kehadiranku dalam hidup Rayhan. Aku hanya harus yakin, bahwa Rayhan akan bahagia hidup bersamanya.

Mulai saat ini, mulai detik ini, aku tidak akan pernah mengganggunya lagi. Sudah cukup untuk rasa sakit ini.

Mungkin jika nantinya aku rindu pada lelaki yang akan ku benci itu, aku akan mengunjunginya diam-diam. Tapi jika dia menghilang lagi, aku hanya harus berhenti menjadi gadis bodoh.

Aku dan Selly pun akhirnya meninggalkan rumah sakit setelah mengetahui Dokter telah selesai membenahi luka Rayhan, meninggalkan Karin dan Rayhan di dalam sana. Yang pasti aku telah mengetahui keadaannya telah membaik.

Semoga dia bahagia.

------
***

*Di dalam kamar Rayhan.*

Suasana canggung masih tersisa meski waktu telah berlalu sekian menit.

Rayhan merasa tak enak pada Karin yang tiba-tiba sudah ada di sini mengetahui keberadaannya dengan Veily. Dia takut Karin akan salah paham akan kedatangannya.

Beberapa menit setelah kepergian Dokter, suasana menghening.

Siapa sangka Karin akan mendengar semua perdebatan yang terjadi antara Rayhan dan Veily? Membuatnya pun enggan untuk membuka pembicaraan.

Apa dia harus bilang kalau dia tahu semuanya? Atau dia harus pura-pura saja tidak tahu dan bersikap seperti biasa?

Ternyata, dia ada di balik pintu kamar Rayhan saat pertengkaran sengit itu terjadi. Sungguh sangat kebetulan bukan? Sementara Selly yang tadi ada di sana malah tidak tahu-menahu tentang hal itu. Entah ada di mana dia tadi. Yang pasti, mulai dari awal Rayhan membentak Veily hingga ia kesakitan pada akhirnya, Karin ada di sana.

Dia mengetahui jelas bagaimana situasi yang mereka alami meski hanya dengan membayangkannya saja di balik pintu.

Hingga beberapa saat kemudian mereka tak mau lagi diam-diaman. Mereka pun saling memanggil satu sama lain.

"Rin."
"Mas."

Rayhan tersenyum. "Kamu dulu saja."

"Em." Karin menangguk. "Sudah mendingan sakitnya?" tanyanya mencoba basa-basi.

"Iya. Sudah nggak sakit. Kamu sendiri? Dari tadi ke sininya?"

"Enggak kok. Baru aja nyampek."

Rayhan manggut-manggut mengerti. Sementara Karin lanjut menyahut, "Mas. Aku boleh nanya sesuatu?"

"Boleh," jawab Rayhan singkat.

Karin terlihat tengah menarik napasnya dalam-dalam sebelum bertanya.

"Kalau misalkan kamu sembuh nanti, apa hal pertama yang ingin kamu lakukan?" tanya Karin. Ia terlihat tak sedang bercanda.

Rayhan memutar bola matanya, berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang Karin berikan.

Karin tampak serius. Jadi Rayhan pun tak ingin sekedar asal menjawab. Meski ia sendiri tak tahu mengapa tiba-tiba Karin menanyakan hal itu.

Kini Karin telah duduk di kursi samping ranjang Rayhan. Ia lalu mengambil tangan Rayhan kemudian menggenggamnya.

"Menikahlah denganku Mas!" serunya tiba-tiba. Ekspresinya datar, menggambarkan keseriusan yang meragukan.

Rayhan pun tersentak, matanya sontak menatap Karin sendu. Baru saja ia hendak menjawab pertanyaan Karin, tapi telah Karin dahului dengan ucapan yang membuat hati Rayhan terenyuh.

Terlihat jelas kesedihan di balik iris mata Karin. Ucapannya mengandung asa yang tak benar-benar ia ucapkan dengan tulus.

Rayhan lantas mengukir senyuman menenangkan di bibirnya, ia lalu mengusap pipi Karin dengan sebelah tangannya kemudian berkata, "Tentu saja. Kita akan segera menikah setelah aku sembuh."

Degghh

Karin pun tak mampu menahan air matanya. Hatinya teriris mendengar kalimat yang Rayhan lontarkan, ia seolah ingin percaya bahwa ucapannya itu tulus. Namun sekali lagi Karin tak bisa mengelaknya, kenyataan bahwa Rayhan tak sungguh-sungguh mengucapkan hal itu dari lubuk hatinya yang terdalam. Karena Rayhan tak mencintainya.

Ya. Karin tahu betul itu. Karin tahu betul kalau orang yang sebenarnya ingin di nikahinya pasti bukan dirinya. Apalagi setelah mengetahui Rayhan menitikkan air matanya setelah bergumam maaf saat gadis yang ia cintai telah di usirnya tadi.

Ia tahu, Rayhan meringis sakit bukan sepenuhnya karena luka jahitnya yang terkelupas, namun karena ia sudah bersikap jahat pada Veily.

Hatinya pasti tersayat sendiri saat ucapan yang begitu memekakkan telinganya itu harus ia lontarkan dari mulutnya.

"Terima kasih." Karin lalu berujar pelan sambil sesenggukan.

Rayhan seka air mata yang turun dari pelupuk mata Karin, lalu ia benamkan wajah Karin dalam pelukannya.

"Maaf sudah banyak membuatmu menderita." Rayhan pun ikut meneteskan air mata. Ia begitu menyesal karena tak mampu membuat kekasih yang masih di anggapnya sebagai sahabat itu bahagia.

Karin begitu tulus mencintainya, ia merasa sangat berhutang budi atas semua yang telah Karin korbankan untuk dirinya.

"Maksudku, terima kasih karena telah berniat mengabulkan permintaanku." Setelah sedikit tenang, Karin pun melepaskan pelukan Rayhan. Ia keringkan lagi pipinya dari tetes air mata yang tersisa.

Mendengar ucapan Karin, alis Rayhan terpaut seketika. "Maksud kamu? Tentu saja aku akan mengabulkannya... Bukankah itu memang tujuan kita?" sergah Rayhan penuh tanda tanya.

Kini ia tengah bersusah payah menegakkan kembali tubuhnya yang sedari tadi terbaring di atas ranjang.

"Tidak, Mas. Itu tujuanku, bukan tujuan kita," kilah Karin penuh penekanan. "Aku tidak mau kamu menikahiku karena belas kasih."

"Sama sekali bukan seperti itu, Rin," sangkal Rayhan cepat. Dia tak ingin Karin salah paham atau pun berpikiran aneh tentang dirinya.

"Tapi kamu tidak mencintaiku, Mas. Itu sama saja... Kamu mencintai gadis bernama Veily itu kan?" sahut Karin dengan suara yang mulai meninggi.

Rayhan pun terdiam, bibirnya terkunci. Ia tak bisa lagi menyangkal perkataan Karin. Dia berusaha ingin meyakinkan Karin, namun perkataannya saja tak cukup untuk mendapatkan kembali kepercayaan Karin.

Pipi Karin kembali basah. Lagi-lagi ia tak mampu menahan sesak di hatinya yang begitu memilukan.

Pasalnya, selama ini ia sudah berusaha bertahan meski tahu Rayhan tak mencintainya. Dia pikir dengan seiring berjalannya waktu, Rayhan akan bisa membalas cintanya. Tapi ternyata tidak.

Cinta tidak bisa di paksakan. Dan Karin menyadarinya hari ini. Dia bisa saja tetap memaksakan kehendaknya, tapi ternyata dia bukan orang yang seperti itu. Lama-lama dia tidak sanggup terus bersandiwara melihat Rayhan tersenyum bahagia saat bersamanya, sementara hatinya terluka karena menyembunyikan perasaannya pada gadis lain.

"Sudah cukup, Mas... Aku melepaskanmu...." ujar Karin pasrah. Suaranya terdengar parau, seolah ia tak benar-benar ingin mengucapkan kalimat yang menyayat hatinya.

"Enggak. Jangan berkata seperti itu, Rin!"

"Aku lelah, Mas. Mata dan telingaku tak sanggup lagi ku tutup untuk berpura-pura tak mengetahui semuanya." Karin pun akhirnya mengalah. Ia menyerah mempertahankan sesuatu yang tak akan pernah menjadi miliknya.

"Sekarang kamu boleh mengejar cintamu sendiri tanpa harus mengkhawatirkanku," tuturnya menambahkan.

"Tidak Rin," tolak Rayhan. "Meski kamu melepasku, aku tetap tidak bisa bersamanya. Dia hanya akan menderita karena diriku.

"Umurku, mungkin sudah tak panjang lagi. Lagipula, aku sudah merasa nyaman denganmu. Aku membutuhkanmu di sisiku." Kini kepalanya tertunduk lusuh, matanya semakin sayu merayu sendu.

"Jangan coba-coba menentukan takdirmu sendiri, Mas! Allah tak suka... Kamu harus tetap optimis selama masih ada kesempatan," sahut Karin cepat. Ia tak ingin melihat asa Rayhan redup. "Dan lagi, jangan membohongi perasaanmu lagi! Aku tau kamu sayang padaku, tapi bukan sayang yang seperti itu yang ku butuhkan."

Lagi-lagi Rayhan terdiam sejenak, dia tak tahu harus menjawab apa. "Maaf." Hanya kata itulah yang bisa ia ucapkan.

"Sudahlah lupakan. Aku tidak apa-apa," tegasnya menguatkan diri.

Mendengar hal itu, seketika Rayhan tersenyum miris.

"Aku pasti benar-benar lelaki bodoh. Bagaimana mungkin aku tak bisa mencintai wanita sebaik dan secantik dirimu?" ucap Rayhan merutuki diri-sendiri.

Namun siapa yang harus di salahkan, sama sekali bukan maksud Rayhan untuk menyakiti hati Karin. Ia telah berusaha dan selalu mencoba yang terbaik untuk memberikan hatinya pada Karin. Namun hanya sebatas kasih sayang yang bisa ia serahkan sepenuhnya pada Karin, bukan cinta yang seperti Karin inginkan.

"Sudahlah, Mas. Jangan terus-terusan menyalahkan dirimu sendiri. Aku sudah cukup bahagia menjadi sahabatmu... Maaf jika selama ini aku selalu memaksakan kehendakku atas dirimu," tutur Karin lembut.

Senyuman tulus akhirnya terukir kembali dari sudut bibirnya. Meski air matanya belum berhenti mengalir. Ia tetap mencoba tegar.

Rayhan mengusap lembut kepala Karin yang tertutup hijab. Kini keduanya saling melempar senyum lega karena beban tersembunyi yang menyelubungi hati mereka terungkap sudah.

Menyakitkan memang, tapi percayalah, luka itu akan segera sembuh seiring kamu mengikhlaskan rasa sakitnya melukaimu.

"Mungkin Tuhan tak mengizinkanku memilikimu. Karena Tuhan telah mempersiapkan lelaki yang jauh lebih baik dariku di luar sana, yang lebih pantas untuk mendampingimu," sanggah Rayhan kemudian.

Karin menganggukkan kepalanya. Hingga jeda beberapa detik kemudian ia angkat bicara lagi.

"Sekarang temui Veily, Mas. Dia pasti terpukul mendengar perkataan kejammu padanya," tuturnya memberi saran.

Tiba-tiba ekspresi wajah Rayhan berubah sendu seketika. Matanya tertunduk menatap lantai kosong.

"Tetap tak bisa Rin. Alasanku melepaskannya, karena aku ingin dia mendapatkan lelaki yang sempurna untuk dirinya, yang bisa membahagiakannya lebih dari diriku."

"Kenapa begitu?" Sontak Karin terkejut dengan jawaban yang ia dengar dari Rayhan.

"Hidupnya akan terasa membosankan jika denganku. Dia akan kerepotan harus menjaga kekasihnya yang sakit-sakitan. Dengan kondisiku yang sekarang ini, kencan sehari penuh dengannya saja aku takkan bisa. Lagipula, aku bilang aku akan sembuh, tapi aku sendiri tak yakin dengan hal itu," keluh Rayhan meratapi nasibnya.

"Kamu salah Mas. Nggak begitu. Sekarang angkat kepalamu dan lihatlah aku!" sergah Karin penuh keyakinan.

Kini tangannya tengah menakup kedua sisi pipi Rayhan dan mengahadapkan kepalanya ke arah wajah Karin. Rayhan hanya menurut.

"Apa aku pernah bosan menemanimu kerumah sakit? Apa aku pernah malu mempunyai kekasih yang penyakitan? Enggak, Mas... Justru aku bahagia karena kamu mau membagi deritamu denganku. Begitu pula dengan Veily, pasti juga seperti itu."

"Tapi Rin-"

"Apa? Kamu takut kamu nggak sembuh? Jangan putus harapan Mas! Bahkan jika pada akhirnya Allah tak memberimu keajaiban, Veily akan lebih sedih karena dia tak bisa menghabiskan waktu denganmu di akhir sisa hidupmu. Bukankah begitu?" Karin menjelaskan dengan penuh kesabaran. Dia sangat mengerti Rayhan.

Menghadapi sikap Rayhan yang mudah menyerah dan plin-plan itu, dia harus benar-benar detil memberitahukannya.

Kini Rayhan kembali tersenyum setelah mendengar kalimat yang Karin paparkan. Seperti layaknya seorang wanita, hatinya mudah sekali tersentuh dan hanyut dalam situasi.

Tanpa sadar dia meneteskan air mata di hadapan Karin. Malu memang, tapi dia benar-benar terharu dengan pengakuan Karin. Karin pun tersenyum lega.

"Terima kasih. Aku mengerti. Kali ini aku tidak akan melepaskannya."

Setelah mengucapkan kata itu, dia melepaskan takupan tangan Karin kemudian segera bergegas melepaskan jarum infus yang menusuk punggung tangannya dengan paksa.

Karin tersadar. Ia tak ingat kalau Rayhan tengah dirawat, baru sehari ia tersadar setelah operasi reseksi kemarin.

Dia merasa sangat bodoh dan setengah menyesali perkataannya. Kini Rayhan telah bertekad. Ia takkan bisa di hentikan jika sudah ada maunya. Tahu sendiri 'kan kalau Rayhan itu keras kepala? Harusnya Karin mengatakannya di waktu yang tepat, bukan tadi.

"Bukan sekarang, Mas. Maksudku-"

"Lalu kapan, Rin? Tak ada waktu lagi. Aku harus segera menyusulnya," ucap Rayhan terburu-buru.

Karena tak bisa mengontrol emosinya, Karin jadi kewalahan sendiri memikirkan cara untuk mencegat Rayhan pergi dari rumah sakit.

"Tapi luka kamu-"

"Nggak apa-apa, sama sekali nggak sakit." Lagi-lagi Rayhan memotong pembicaraan Karin.

Kini Rayhan tengah siap pergi setelah menutupi pakaian rumah sakitnya dengan jaket kulit berwarna birunya.

Tampan, meski wajahnya masih sedikit pucat, namun semburat merah akibat sisanya menangis masih tersisa, memberikan kesan natural di wajahnya.

"Oke, kalau begitu biar aku yang antar," tukas Karin pada akhirnya.

Karin mengambil kunci mobil Rayhan yang tergeletak di atas meja.

"Nggak perlu. Aku bisa naik taksi. Kamu tunggu di sini. Takut-takut kakak dan mama akan khawatir mencariku kalau ruangan ini kosong," sergahnya, kemudian bergegas pergi meninggalkan Karin sembari memegangi bekas luka di perutnya agar tak terbuka lagi.

Sedang Karin hanya bisa pasrah menuruti kemauan Rayhan. Ia kemudian mendengus lesuh merutuki dirinya sendiri.

Ini semua salahku... Lindungi Mas Rayhan selalu ya Allah. Sesalnya meminta dalam hati.

Tak lama kemudian Ramana masuk membuka pintu kamar inap Rayhan tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Karin pun mengerjap, ia pikir yang datang adalah Rayhan. Mungkin mantan kekasihnya itu telah berubah pikiran dan berniat untuk mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Veily saat ini juga.

Dia spontan mengembangkan senyumannya kemudian menoleh sembari memekik, "Mas. Ka-mu...." Senyumnya memudar, suaranya memelan, menyadari seseorang yang menghampirinya bukan Rayhan.

"Hai, Karin," sapa Ramana dengan senyuman hangatnya. Dia membawa beberapa bingkis makanan di tangannya.

"Rayhan mana?" tanyanya setelah menyadari Rayhan tak terbaring di ranjangnya. Ia edarkan lagi pandangannya lebih meluas ke seluruh penjuru ruangan, namun apa yang dicarinya tetap tak ada.

"Dia lagi di kamar mandi?" tanyanya lagi pada Karin. Sementara Karin kini bingung tak tahu harus menjawab apa.

"Emm... emm..." Karin memutar bola matanya mencari alasan.

Aku harus bilang apa? Apa aku jujur aja? Tanyanya dalam hati.

"Anu, Mas. Mas Rayhan... barusan pergi," jawabnya ragu-ragu. Ia menggigit bibir bawahnya, takut Ramana akan marah mengetahui kepergian Rayhan.

"Apa? Pergi?" responnya terkejut. Bingkisan pada tangannya terlepas ke lantai begitu saja. "Pergi kemana, Rin? Kok kamu ijinin? Dia pergi sendiri?" tanyanya bertubi-tubi.

Karin menggeleng-gelengkan kepalanya gusar. "Aku nggak tau Mas... Mas Ray cuma bilang mau ketemu Veily," jawab Karin seadanya.

Dia setengah takut untuk memberi jawaban itu. Dia pun menelan ludahnya sulit, takut akan kena semprot oleh keluarga Rayhan.

"Veily? Bukannya Rayhan pengen ngejauhin gadis itu?" heran Ramana bertanya pada dirinya sendiri.

"Dari pada Mas Rama bingung sendiri, gimana kalau Mas Rama tanyakan ke orangnya saja? Mas Rayhan pasti belum jauh kok," sahut Karin menambahkan.

Setelah mendengar ulasan Karin, Ramana pun segera pergi menyusul Rayhan, meninggalkan Karin beserta kegusarannya di dalam sana.

Hah, Ya Allah... Untung nggak kena sembur. Semoga Mas Rama bisa menyusul Mas Ray. Lindungi keduanya Ya Allah... Batin Karin melega.

Bersambung...

~Pembaca yang budiman adalah pembaca yang mampu menghargai karya orang lain~ :)
Terima Kasih ;)

Continue Reading

You'll Also Like

2M 30.7K 46
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
13.4M 1.1M 81
♠ 𝘼 𝙈𝘼𝙁𝙄𝘼 𝙍𝙊𝙈𝘼𝙉𝘾𝙀 ♠ "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
2.7M 195K 35
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...