Last Chapter
Plakkk..
Setelah mendaratkan satu tamparan di wajah Tristan. Arissa menghentakkan mejanya dan berdiri menatap murka pada Tristan.
"Gue tau gue jalang... tapi kejujuran lu malah membuat gue merasa gue sadar pria-pria kaya lu, cuma ingin mencicipin gue aja. Trus ninggalin gue setelah habis rasa penasaran kalian...." hentak Arissa dengan wajah berderai air matanya.
Sa..kenapa lu cengeng gini!!! Benarkan kata There, mereka cuma kepo..selanjutnya mereka akan pergi begitu saja
*********
Tap...tap...tap...
Arrisa berhenti depan pintu lift, dan segera memencet sembarang angka saja, agar Lift cepat terbuka.
Ting...
Pintu Lift terbuka. Ia langsung merasa lega ketika sudah berada dalam Lift, satu jari menyentuh angka lantai room-nya. Tak henti-hentinya ia terus mengumpat otak kotor Tristan.
Jlebb...
Satu tangan menahan pintu Lift, kehadiran Tristan, membuat degup jantung Arisa meletup ingin marah. Segera Arissa kembali ingin keluar dari Lift , namun tangan kekar Tristan berhasil menahannya kembali. Tangan Tristan kini mengurungnya, menempel di dinding lift dan menyudutkan tubuh Arissa.
"Maaf, membuat lu terluka..tapi gue lebih terluka lagi bayangin lu tidur ama pria lain. Gue nggak bisa tidur sa... gue emang jatuh cinta ama lu..saat pertama kali lihat lu, gue...." nafas Tristan tertahan begitu saja, Arissa terhimpit begitu saja ketika Tristan malah merapatkan tubuhnya, dan satu tangan Tristan melingkar di pinggangnya dan satu tangannya menahan tengkuk Arissa.
Arissa menelan air yang terkumpul di tenggorokannya. Ia tau apa yang akan dilakukan Tristan padanya. Mata Tristan penuh hasrat.
Untung gue sudah sikat gigi tadi..
"Gue sayang lu sa.."
"Tapi Tan.." Arissa menahan kalimat selanjutnya.
"Tapi kenapa ?"
"Lu punya Andien.." lanjut Arissa yang kemudian menempelkan tangannya di dada bidang pria berdarah Timur Tengah tersebut.
"Gue tau..lu punya utang ama Andien-kan"
"Aduh.. di moment kaya gini. Lu malah bahas hutang gue... " sengit Arisa yang mendorong tubuh Tristan karena kesal diingatkan hutangnya dengan Andien, namun Tristan tetap kokoh merangkulnya.
"Maksud gue lu itu milik Andien"
"....." Tristan diam, ia menekan pinggang Arisa hingga melengkuk ke arahnya, perlahan nafasnya menyapa wajah Arisa, dan seperdetik saling menyapa dan kemudian menyentuh bibir milik Arisa.
Ting...
Lift terbuka.. Arrisa sudah mencapai lantai tujuannya. Buru-buru Tristan menekan tombol icon Lift tertutup kembali, tanpa melepas pagutannya. Arissa hanya memejamkan matanya menikmati lidah Tristan yang menjelajahi isi rongga mulutnya.
Lift kembali perlahan tertutup, namun pria bermata biru yang berdiri di luar Lift hanya bisa bisa menarik nafas dan membuangnya dengan sekali hembus,di sela-sela celah pintu lift yang perlahan menutup, ia melihat cumbuan-cumbuan pria itu menyentuh leher Arissa dan tangan pria itu berusaha membuka kancing kemeja Arisa, namun satu tangan Arisa menahannya. Arisa tampak menikmatinya, ia terus memejamkan mata menerima kenikmatan pria itu.
"Jalang..yah perempuan jalang" gumam pria bermata biru itu yang kemudian kembali ke kamarnya. Ada sedikit kekesalan, mendarat di hatinya. Kekecewaan yang tiba-tiba mengusik hatinya, ia mulai membandingkan dirinya dengan pria baru Arissa. Kemudian ia hanya menggelengkan kepalanya. Tak seharusnya ia memikirkan gadis murahan seperti itu.
**********
Arisa duduk di meja riasnya, menyentuh bibirnya yang terlihat sedikit bengkak. Tristan melahapnya dengan rakus. Bayangan Tristan yang mencumbui dalam lift kembali membuat Arisa merasakan rangsangan yang membuat dirinya merasa basah kembali.
Gue bakal pesan kamar buat kita lanjutin lagi...nanti gue chat nomor kamarnya..
Pesan Tristan di akhir cumbuan mereka membuat Arisa tidak sabar untuk segera membersihkan dirinya, dan melakukan perawatan ratus di fasilitas hotel ini.
Sosok Bastian terpantul tiba-tiba di cermin. Ia sedang duduk memperhatikan tingkah Arissa dari tadi dengan menopang dagunya. Arissa baru ingat, ia tidak sendirian disini. Ia bersama Bastian, dan Tristan bersama Andien. Arissa ragu apa ia akan mendapat ijin Bastian. Aturannya kan ia harus bersama Opa Baskoro di rules pertamanya, aau anggap saja Bastian yang mengganti posisi ayahnya.
Lu kasih aja dia obat tidur... lagipula kata lu dia Gay... dia nggak akan peduli lu ngeroom ma gue...
Lagi-lagi wejangan Tristan dalam Lift, mampir kembali ke benak Arissa. Ia akan menghabiskan malamnya dengan Tristan.Titik.
"Lu kenapa? Melihat gue seperti itu..?" Tanya Arisa ketus,seraya menyisir rambut panjangnya yang lurus yang menyentuh pinggangnya.
"Mau ikut ke mall..." tanya Bastian yang mengabaikan pertanyaan Arisa. Arissa memutar tubuhnya melirik ke arah Bastian.
"Mau belanja Gratis.." Bastian menaikan alisnya memberi tawaran kepada Arisa kembali. Arissa menatap curiga, ada udang di balik batu, ada maksud di balik gratis.
"Alasan memberi gratis apa?"
"Perlu tau, atau menolak. Kalau menolak nggak apa-apa. Aku berangkat sendiri" tepis Bastian yang beringsut dari ranjang dan menuju pintu. Buru-buru Arisa mendahului langkah bastian dan mencegatnya.
"Gue ikut!!!" Cegat Arisa
Bastian tersenyum miring.
Dasar gampangan!!!
Gumam Bastian dalam hatinya.
"Jangan terlalu dekat-dekat" dengus Bastian berbalik memberi jarak antara dirinya dan Arisa.
Dasar Om GAY...pasti takut ketahuan pacarnya...idiwww GAY akut...
Komentar Arissa dalam hatinya yang langsung bergindik melihat Bastian yang memberi batas jarak, minimal satu meter.
**********
Di Mall..
"Pilih aja yang kamu suka, tapi harganya dibawah 200 ribu semua." batas Tristan yang kemudian duduk di kursi pengunjung, membuka koran selebar mungkin menutup wajahnya.
Dasarrrr pelitttttt
Arrisa mengehela nafasnya. Diliriknya apa yang dikenakan Bastian, dari jam tangan yang ia kenakan, kaos yang ia kenakan, dan sepatu yang ia kenakan. Terlihat bukan barang murahan ataupun tiruan.
Arissa hanya meringis, meratapi nasibnya bertemu pria sepelit ini. Ia pun beralih ke keranjang baju obralan. Karena yang tergantung gantung harganya sudah di badrol dengan harga 599 ribu ke atas.
Arissa menggeleng-gelengkan kepalanya kala harus mengobrak ngabrik keranjang baju obralan. Benar-benar jauh dari mode, dan tidak sesuai seleranya.
"Traktir kok perhitungan sih" gumamnya.
"Pantasan hartanya melimpah, pelit pangkal Kaya" gumam Arisa yang kemudian mengacak-ngacak mencari yang cocok untuk dirinya.
"Ini mah cocok buat pembantu!!" Keluh Arrisa yang kemudian berjingkit mendekati Bastian ingin negosiasi sedikit.
"Apa lu nggak bisa ngasih yang pantasan dikit.. baju-baju kaya gini, nggak ada yang cocok buat gue.." komentar Arrisa seraya menggantungkan baju-baju obral itu di udara dan memperlihatkannya pada Bastian.
Bastian menurunkan korannya sedikit.
"Baju dengan harga seperti itu lebih pantas. Daripada kamu mengenakan kemejaku. Mataku tidak enak melihatnya. Aku rasa yang lebih murah daripada itu lebih pantas untukmu yang jalang" tohok Bastian menotok.
"Kau murahan pantas menggunakan yang Murahan" lanjut Bastian, merontokkan harga diri Arrisa.
"....." Arrisa diam. Ia menurunkan tangannya, berbalik ke arah keranjang. Apa yang diucapkan Bastian, kenyataan yang tak bisa ia pungkiri. Jadi untuk apa berdebat karena hal ini. Bastian hanya akan terus merendahkannya.
Arissa kembali mengobrak-ngabrik baju-baju obralan tersebut, sekali-kali ia menghapus airmatanya. Tapi lebih baik seperti ini, mengenakan baju obralan daripada harus meminjam baju pria itu terus.
Sesak..perih.. jika ingat perkataan pria bermata biru itu. Seperti kata There.
Pria manapun hanya akan menginginkanmu sebentar, kemudian membuangmu.
Bastian melihat butir air mata itu yang berubah menjadi jejak ketika sapuan tangan Arissa menghapusnya. Ada sedikit rasa tidak nyaman, karena membuat hati gadis itu terluka. Ia memang merencanakan dengan sengaja. Karena baginya bertemu Arissa, itu adalah suatu kesalahan. Pertemuan singkat ini akan segera berakhir. Lebih cepat lebih baik.
*********
Author Note
Sedikit bocoran part:
There mengatur semua gelas berisi bir itu di atas meja, ada setumpuk gelas ia buat susun sedemikian rupa.
"Bagaimana permainan ini dimulai, dengan mencampur ini secara acak" seru There yang mengeluarkan bungkusa obat kuat dan bungkusan obat perangsang dalam tasnya.
There mengedipkan satu matanya pada Bastian, pria bermata biru malah membuang wajahnya seepat mungkin.
Tristan memegang erat tangan Andien, namun kakinya terus menyentuh dan mengelus kaki Arissa di bawah meja.