SO PRECIOUS (PART COMPLETE)

Av nonameformacity

8.6K 1.3K 1.1K

Cinta itu sebenarnya identik dengan kata 'EGOIS. Sama seperti kamu. ~Veily Seirania ----- Karena egoku yang t... Mer

Prologue
(1) Tentang Dia Yang Tak Ku Kenal
(2) Tentang Dia Yang Tak Ku Kenal <II>
(3) Realita
(4) Realita <II>
(5) Mencoba Melupakan
(6) Luka
(7) Perasaan Iba
(8) Semangat Baru
(9) Gejolak Hati
(10) Tanda Tanya
(11) Perubahan
(12) Ketika Hati Tak Berdaya
(13) Bertahan
(14) Gundah
(15) Apa Tindakanku Benar?
(16) Apa Yang Harus Ku Lakukan?
(17) Permintaan Pertama dan Terakhir
(18) Bersamamu
(19) Seperti Mimpi
(21) Kebohongan Yang Terungkap
(22) Kebohongan Yang Terungkap <II>
(23) Alasan Sesungguhnya
(24) Mauku Apa Sih?
(25) Kamu Mencintaiku, Atau Tidak?
(26) Ketetapan Hati
(27) Penyesalan
(28) Jadilah Milikku!
(29) Rayhan POV~ (Bagaimana Cintaku Bermula Lalu Ku Akhiri)
(30) Sisi lain dari Rayhan
(31) Surprise?
(32) Surprise? <II>
(33) Keraguan
(34) Belenggu
(35) Aku Harus Sembuh
(36) Restu Papa
(37) Restu Papa <II>
(38) Keputusan
(39) Frustasi
(40) Aku Harus Pergi
(41) Accident
(42) Kamu Telah Pergi
(43) Memulai Hidup Baru
(44) Hal Tak Terduga
(45) Benci (Benar-benar Cinta)
(46) Benci (BBC II) <END>
(+++)

(20) Haruskah?

121 24 22
Av nonameformacity

Happy Reading :)
Jangan lupa Voment ya :)
Kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk penulisan yang lebih baik :)
***

Hari telah menjelang malam, jingga senja mulai mewarnai rata langit sore begitu indahnya.

Tiada terasa satu hari akan segera berlalu, kini tiba saatnya aku harus berpisah dengan Rayhan.

Sebenarnya aku masih ingin menghabiskan waktu lebih lama dengannya, karena waktu masih menunjukkan pukul setengah enam sore. Namun wajah Rayhan terlihat sedikit pucat, siang tadi pun dia seperti tak nafsu makan karena lidahnya terasa pahit, katanya.

Jadi sekarang, aku memilih untuk pulang dan membiarkan Rayhan beristirahat setelah mengantarku sampai ke rumah. Sepertinya dia sedang kelelahan dan tak enak badan.

Apalagi aku masih memikirkan keganjalan yang terjadi saat kami berada di kereta gantung tadi siang. Benar-benar terasa aneh. Ucapannnya saja aneh, jawabannya juga aneh, alasannya pun sangat aneh. Semuanya tampak aneh. Aku tidak bisa memercayai sebagian kata-katanya yang tampak pilu itu.

Semuanya terlalu mendadak untuk bisa ku cerna dengan baik arah pembicaraannya. Aku tak mengerti, sama sekali tidak mengerti kenapa tiba-tiba dia bersikap aneh.

Mungkin sejak awal akunya saja yang tak menyadari, karena sejak ia menemuiku di pantai pagi tadi, sikapnya berubah menjadi sangat manis, begitu lembut dan perhatian.

Memang sih hingga malam ini sikapnya masih baik-baik saja manisnya. Tapi entah mengapa seperti ada yang janggal dalam pikiranku. Di balik sikap manisnya, dia seperti menyimpan sesuatu yang dalam yang tak bisa ia katakan padaku, entah itu tentang Karin atau keluarganya. Atau mungkin tentang aku?

Aku tak bilang sikap manisnya itu sebuah kedok kebohongan. Karena aku tahu sorot matanya memancarkan sebuah ketulusan. Lagipula untuk apa dia berbohong?

Ah entahlah. Terlalu rumit jika aku harus menjawab sendiri teka-teki itu.  Banyak sekali dugaan yang mengawang di pikiranku. Aku tidak tahu mana yang benar. Sudah berkali-kali aku mencoba bertanya dan memancingnya berbicara, tapi apa boleh buat? Dia tak ingin kami membahas hal ini lagi.

Daripada memusingkan hal yang tak pasti, lebih baik aku memanfaatkan waktu bersamanya sebaik mungkin.

"Vei, kok bengong?" tegur Rayhan membuyarkan lamunanku.

Aku terkesiap.

"Kamu sungguh ingin pulang sekarang? Nggak mau makan malam dulu?" tanya Rayhan untuk kesekian kalinya.

Lalu dengan sepenuhnya mengembalikan kesadaran, aku pun menjawab, "Iya, Mas. Kamu tuh udah keliatan capek banget tau nggak? Kita langsung pulang aja deh, ntar kamu kenapa-napa lagi."

"Aku nggak pa-pa, Vei," katanya meyakinkan.

Namun meski begitu, tetap saja aku tak yakin. Dan Rayhan tahu itu.

Maka dari itu, tiba-tiba dia meraih kedua tanganku kemudian membawanya menyentuh kedua pipi dan dahinya memastikan agar aku percaya bahwa dirinya tak apa-apa.

"Tuh. Udah kamu cek sendiri, kan? Aku nggak lagi demam ataupun lelah. Ini hanya efek dinginnya udara, Vei. Makanya wajahku kelihatan pucat," jelasnya dengan raut wajah serius. Membuatku tak bisa mengelak lagi.

"Iya sih. Sama sekali nggak panas, malah dingin."

Aku pun memastikannya sekali lagi. Ku ulurkan satu tanganku menyentuh dahi Rayhan dan satu tangan lagi menyentuh dahiku sendiri. Dan memang, suhu tubuh kami tak jauh berbeda. Meski lebih dingin Rayhan.

"Yaudah yuk. Kita cari makan di luar!"

"Tapi, bukannya dingin juga termasuk tan-"

"Ssttt!" potongnya cepat, dia menempelkan satu jari telunjuknya pada bibirnya sendiri memperingatkanku agar aku tak protes lagi.

"Udah, nggak usah cerewet. Yukk buruan masuk ke mobil!" perintahnya seraya menarik tanganku dan mengantarkanku ke depan pintu mobil yang masih terparkir rapi. Aku pun menghela pasrah menurutinya.

Tit tit...

Dia memencet tombol buka kunci pada kunci mobilnya, kemudian membukakan pintu mobilnya untukku.

"Silahkan masuk tuan putri," katanya mencoba menggodaku.

"Emm. Terima kasih." Yang hanya ku balas dengan senyuman datar. Seadanya.

Entah mengapa rasa khawatir masih memenuhi diriku. Hati kecilku berkata bahwa Rayhan sedang tak baik-baik saja.

Aku pun masuk dengan wajah tertekuk. Aku sedikit kesal karena dia tak mau mendengarkanku.

Rayhan pun menyusulku masuk ke dalam mobil. Dia lalu tersenyum penuh arti.

"Kamu semakin terlihat cantik kalau lagi ngambek," ujarnya mencoba menggodaku, lagi.

Tapi sialnya meski ingin bersikap acuh padanya dia tetap bisa sukses menggodaku dan membuat pipiku memerah seketika.

Aku segera menepis rasa gugupku yang datang, kemudian beralih kearah seatbelt-ku yang masih belum terpasang.

"Biar aku saja," cegat Rayhan.

Dia pun dengan sigap membelokkan tubuhnya kearahku kemudian mendekat untuk meraih seatbelt di atas bahu kiriku.

Kini aku merasakan detak jantungku mulai menggebu kembali karena wajah Rayhan yang begitu dekat denganku.

cklik

"Sudah selesai," katanya sembari tersenyum penuh pesona. Dia masih belum mengubah posisi tubuhnya, membuatku tak bisa melepaskan tatapanku.

Chup

Tanpa sadar aku pun terlena akan pesona Rayhan kemudian mengecup pipinya tanpa sengaja. Rasanya aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri. Dimana rasa kesal tadi? Dimana rasa malu tadi? Kenapa tiba-tiba aku berbuat seperti ini padanya?

Mata Rayhan pun sontak membulat sempurna karena terkejut dengan apa yang ku lakukan kepadanya. Dia seketika mematung merasakan jantungnya yang juga berdebar sangat kencang seperti apa yang ku rasakan. Aku mendengarnya. Sungguh. Aku bisa mendengar jelas irama detak jantungnya yang mengalun cepat bersamaan dengan detak jantungku dari dada bidangnya yang dengan reflek ku sentuh dengan telapak tanganku saat mengecupnya tadi.

Ya Tuhan...

Pipiku pun memanas. Aku tersadar akan kebodohan yang telah ku lakukan.

Dengan sigap, aku pun segera menjauhkan diriku dari wajah Rayhan dan reflek mendorong tubuhnya pelan hingga membuatnya juga tersadar dari dunianya.

"Ma-maaf, Mas," kataku gugup. Tanganku pun reflek membekap mulutku sendiri dengan spontan.

"Ya Tuhan, apa yang barusan ku lakukan?"

Aku segera mengalihkan pandanganku ke arah lain. Sedangkan Rayhan masih gugup tak tahu harus bagaimana bersikap kepadaku.

"Ti-tidak pa-pa. Aku tahu kamu tidak sengaja melakukannya," sanggahnya masih kikuk.

Setelah berhasil menenangkan rasa gugupnya, akhirnya Rayhan memfokuskan pandangannya ke depan. Ia lalu menyalakan mesin dan mulai mengemudikan mobilnya.

Suasana seketika menjadi canggung, kami sama-sama sibuk berkelana dalam pikiran kami masing-masing.

Meski sudah sepuluh menit berlalu, namun salah satu dari kami masih belum ada yang membuka pembicaraan.

Sesekali aku melirik ke arah Rayhan yang tengah sibuk menyetir. Aku tak berani menatapnya secara terang-terangan karena masih merasa malu dengan kejadian tadi.

Namun kemudian aku kembali terpesona saat melihatnya. Apalagi saat mengingat bahwa ia juga mempunyai rasa yang sama sepertiku.

Mengapa aku bisa seyakin itu? Karena orang bilang, jantung kita akan berpacu cepat saat berada dalam lingkup orang yang kita sukai. Bukankah itu artinya Rayhan memang menyukaiku?

Ahh... Rasanya senang sekali. Ku harap dugaanku itu benar. Bukan sekedar angan yang terlalu tinggi ku simpulkan sendiri.

Ya Tuhan, begitu sempurna ciptaanmu yang satu ini.

Aku pun sibuk bergumam sendiri memerhatikannya.

Lihat saja, dia sangat tampan meski dari samping. Hidungnya yang mancung, alis tebalnya yang melengkung sempurna, dan juga bi-

Aku berhenti pada satu kata itu, kemudian kembali teringat akan kecupan yang ku daratkan pada pipi Rayhan.

"Astaghfirullah hal adzim," seruku ber-istighfar spontan.

Apa yang ku pikirkan, sih?

Aku menampik kepalaku cepat agar pikiran aneh tak muncul dalam benakku. Dan seruan tadi sontak membuat Rayhan menoleh ke arahku.

"Kenapa?" tanyanya memberanikan diri. Akhirnya Rayhan membuka suara setelah lama terdiam.

"Hah?"

"Ti-tidak apa-apa. Bukan apa-apa kok," sangkalku kikuk.

Rayhan manggut-manggut. Kemudian kami kembali terdiam. Suasana terasa hening di rasa. Lalu tak ingin merasa canggung lagi, Rayhan pun kembali memberanikan diri untuk membuka pembicaraan. "Oh ya, kamu mau makan apa?" tanya Rayhan kaku.

"Te-terserah kamu aja, Mas."

"Kamu bilang makanan favorite kamu kepiting kare kan?"

Aku mengangguk.

"Yaudah kita cari restoran saefood aja kalau gitu, pasti ada menu makanan kepitingnya."

"Nggak usah deh Mas. Kita langsung pulang aja. Bisa makan dirumah kok. Bibi juga pasti sudah menyiapkan makan malam untukku dan Papa," sergahku mencoba menolak ajakan Rayhan dengan halus.

Aku benar-benar masih belum bisa bersikap biasa saja di hadapannya untuk saat ini. Terpaksa, aku pun harus melewatkan dinner bersamanya malam ini.

Namun tiba-tiba,

grrooukss

Terdengar suara cacing perutku meraung sangat keras. Hingga bunyi itu sampai ke telinga Rayhan dan membuatnya tertawa kecil memergokiku.

"Tuh kan, perut kamu itu nggak bisa bohong," katanya seraya terkekeh melihat ekspresi masamku yang tengah malu.

"Hehe. I-iya deh, kita makan dulu," jawabku malu-malu.

Akhirnya rasa canggung tadi sedikit menghilang karena tawa Rayhan, meski tak sepenuhnya, sih. Tapi itu sudah cukup untuk mencairkan suasana menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dia bahkan tak membahas mengenai kecerobohanku mengecup pipinya tadi, aku jadi sedikit lega dan mampu melawan rasa malu yang tadinya memenuhi diriku menjadi sikap seperti biasanya.

***

Tiada terasa waktu berlalu sangat cepat. Kini aku dan Rayhan sudah berada di depan pintu gerbang rumahku.

"Jadi, ini rumah kamu?" tanya Rayhan seraya memperhatikan rumahku dari dalam kaca mobilnya.

Aku hanya mengangguk memberinya jawaban.

"Yaudah yukk, kita turun!" ajaknya kemudian melepaskan seatbelt-ku dan seatbelt-nya agar kami bisa keluar dari mobil.

Aku tak menjawab, kemudian terdiam. Entah mengapa batinku tiba-tiba terasa sesak, resah dan gelisah. Tubuhku seolah tak mau beranjak dari mobil Rayhan. Hatiku terasa berat untuk berpisah dengannya secepat ini.

Aku pun mencegat Rayhan yang hendak keluar dari mobil dengan menarik lengannya pelan.

"Mas. Aku masih ingin disini sebentar lagi!" pintaku tertunduk.

Rayhan menoleh ke arahku dan kembali duduk ke posisinya semula. Dia mengangkat daguku agar aku bisa menatap matanya.

"Kenapa, Vei? Kamu harus segera pulang. Sudah jam sembilan, nanti Papa kamu nyariin," ujar Rayhan lembut.

Aku menggeleng pelan, air mataku tiba-tiba menetes mengenai tangan Rayhan yang masih memegangi daguku.

Namun Rayhan malah tersenyum, dia bermaksud untuk mencoba menenangkanku, tangannya beralih menuju pipiku kemudian mengusapnya dan menghapus air mataku yang semakin deras mengalir.

"Ini terakhir kalinya aku melihatmu menangis, mengerti? Kamu sudah berjanji padaku kalau kamu akan melupakanku dan mencari penggantiku setelah kencan ini berakhir."

Aku tak tahu harus menjawab apa. Itu memang benar. Rayhan menyetujui kencan ini dengan syarat aku harus benar-benar melupakannya setelah ini.

Tapi hal itu sungguh tak pernah ku bayangkan akan sesulit ini. Tak semudah seperti yang ku ucapkan, aku bahkan enggan untuk melakukan seperti apa yang ku lisankan.

"Maafkan aku, Vei. Aku tahu ini berat, aku pun merasakan hal yang sama sepertimu. Tapi kita bisa apa? Percuma menangisinya, karena tangisan tetap tak mengubah kenyataan apapun."

Aku tertegun dengan ucapan Rayhan. Sekali lagi dia benar, meski aku menangis darah sekalipun, hal itu hanya akan sia-sia saja. Dari awal Rayhan memang bukan milikku. Dia sudah mempunyai orang lain yang akan mendampingi hidupnya kelak.

Menyadari hal itu, aku malah semakin menangis sesenggukan. Rayhan yang tak tega melihatku seperti itu, akhirnya menarikku ke dalam pelukannya, berharap aku akan menemukan ketenangan di sana.

"Maaf. Maafkan aku," ucapku sembari menyeka air mataku. Aku melepas pelukan Rayhan.

"Tidak perlu. Kamu sama sekali tidak salah," balasnya menenangkanku.

Dia menyibak poni dan rambutku yang berantakan kemudian merapikannya dan mengusapnya lembut.

"Yukk. Papa kamu pasti khawatir, anak gadis sepertimu tidak baik pulang malam, apalagi bersama lelaki. Kalau dia salah paham gimana?"

"Bi-biarin aja Papa salah paham, biar ki-kita dinikahin sekalian."

"Ha?" Spontan Rayhan membulatkan mulutnya.

Aku jadi tertawa lucu melihat ekspresinya. "HA-hapa sih Mas, leh-lebay deh. Ber-bercanda kali," sahutku kemudian, yang masih menyisakan sesegukan dengan suara parauku.

Rayhan kemudian merubah ekspresi. Dia pun tersenyum penuh arti. "Terima kasih, karena kamu masih mengingat bagaimana cara tertawa," katanya kemudian ikut tertawa kecil bersamaku.

***

Ting Nong Ting Nong

*Beberapa saat kemudian.*

"Assalamu'alaikum Papa. Veily pulaaang," sapaku antusias.

"Waalaikum salam." Yang dijawab dengan senyum sumringah oleh ayahku. Dia segera membawaku ke dalam dekapannya.

"Sayang, kamu kemana saja? Hp kamu kenapa tidak aktif? Terus pulangnya kenapa malam sekali? Papa tanya ke Selly katanya kamu bolos kuliah? Itu benar?" tanya ayahku bertubi-tubi.

"Papa. Kalau nanya itu satu-satu. Kebiasaan deh. Terus Veily jawab yang mana duluaann?" protesku pada Ayahku yang langsung menghujaniku dengan berbagai pertanyaan.

Ayahku pun melepaskan pelukannya. Bukannya menanggapi omelanku, ayahku malah sibuk memandangi pria tampan yang tengah berdiri tersenyum kaku di belakangku.

"Selamat malam, Pak," sapa Rayhan ramah pada Ayahku.

"Dia siapa, Vei?" tanya ayahku heran.

Aku membalik badanku ke arah Rayhan.

"Oh ini. Kenalkan Pa, diaaa...." ucapku menggantung. Aku ragu-ragu akan menyebutnya apa untuk mengenalkannya pada ayahku.

"Siapa?"

"Saya dosennya Veily, Pak," timpal Rayhan cepat. Dia takut aku akan mengatakan hal yang aneh kepada ayahku.

Seketika, aku kecewa mendengar sebutan itu. Maunya kan dia bisa menganggapku lebih dari sekedar muridnya doang. Huu. Sebal.

Rayhan pun menyalami dan mencium tangan ayahku dengan sopan.

"Oh. Dosennya toh. Kenapa bisa sama anak saya, Pak Rayhan?" tanya ayahku mulai kepo.

Karena Rayhan memperkenalkan diri sebagai dosenku, mau tidak mau ayahku juga memanggilnya dengan sebutan 'Pak' meskipun Rayhan masih muda.

"Oh. Itu Pak. Ta-tadi saya...." Rayhan terbata, dia seketika menjadi gugup karena pertanyaan ayahku.

Tak ingin lebih lama lagi melihat ayahku menyelidiki Rayhan, aku pun segera memotong pembicaraan mereka.

"Duhh... udah dong Pa. Ceritanya nanti aja ya, Veily udah ngantuk. Yukk masuk!" rengekku seraya menggoyang-goyangkan lengan ayahku merajuk.

Melihat ekspresi duck face-ku, beliau pun menghela napas berat. Dia sudah pasti tak akan bisa menolak permintaanku kalau sudah melihatku merengek seperti itu.

"Hehe. Yasudah kalau gitu saya pamit pulang dulu, Pak.

"Assalamu'alaykum," pamitnya tanpa basa-basi lagi. Dengan cepat, ia berlalu setelah mendengar balasan salam dariku dan ayahku.

"Vei, itu dosen kamu kenapa wajahnya pucat pasi gitu? Dia nggak lagi sakit kan?" bisik Ayahku seraya memperhatikan punggung Rayhan yang tengah menjauh.

Aku pun ikut memperhatikannya, dan benar, kini cara berjalannya pun mulai sedikit sempoyangan. Ternyata bukan hanya dugaanku saja yang menilai kalau wajah Rayhan terlihat pucat. Tapi ayahku juga beranggapan seperti itu.

Kenapa aku begitu bodoh dengan mudahnya mempercayai ucapan Rayhan tadi? Jangan-jangan dia memang sedang tak enak badan?

Dan beberapa detik kemudian Rayhan terjatuh, tepat sebelum dia membuka pintu gerbang rumahku. Dia tiba-tiba pingsan tak sadarkan diri di depan rumahku.

"Mas Rayhan?" pekikku terlonjak kaget.

"Loh, itu kenapa Dosen kamu?"

Aku dan ayahku pun segera menghampiri tubuh Rayhan yang tengah tergeletak tak berdaya di depan gerbang.



Bersambung...

Fortsett å les

You'll Also Like

1.5M 76.1K 53
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
13.2M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
2.4M 174K 32
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
30.3M 1.6M 58
SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA - (Penerbitan oleh Grasindo)- DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 2 SUDAH TAYANG di VIDIO! https:...