My Possessive Fiance

By jssicanbbn

2.3M 144K 7.4K

"Kita memang tidak saling menyukai, tetapi kau tahu bahwa kita terikat dalam sebuah hubungan. Dan ya, satu la... More

prolog
1. Aldo
2. Pesta
3. Rian
4. Muak
5. Berantakan
6. Semakin Jauh
7. Berakhir
8. Kenapa Marah?
9. Seperti Itu
10. Rindu
11. Jangan
12. Lagi
13. Berbeda
14. Percaya?
15. Balik
16. Mungkin?
17. Boston
18. Anak Abvale?
19. Sebuah Kejujuran
20. Harapan
21. Ulang Tahun Abvale
22. Ancaman
23. Lamaran
24. Manis
25. Sakit
26. Rian dan Kopi
27. Papa Dan Mama
29. Hanya Mainan
30. Abvale menikah
31. Pertemuan Singkat
32. Tanpa Abvale
33. Makan Malam
34. Pemaksaan Abvale
35. Rian Serius
36. Alecia dan Penculikkan
37. Kebenaran Yang Terungkap
38. Rian dan Alecia
39. Penjelasan Valeandra
40. Selesai
Epilog
pengumuman

28. Aku Ada Disini

32.8K 3K 227
By jssicanbbn

Aku menatap satu persatu orang yang sedang berkumpul di ruang tengah rumahku. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang asing yang sama sekali tidak pernah kulihat. Mungkin teman sekerja ayah dan beberapa muridnya.

Ibuku ada didalam peti hitam ditengah-tengah kami. Sebentar lagi peti tersebut akan dibawa ke gereja untuk melakukan acara pemakaman, lalu dikuburkan.

Aku berjalan mendekat, sebenarnya aku baru saja sadar dari pinsanku. Aku beberapa kali kehilangan kesadaranku pada hari ini. Karena aku sendiri masih belum siap menerima kenyataan sepahit ini.

Dibalik kaca bening putih tersebut terlihat ibuku terbaring, menggunakan gaun putih yang bersih dan cantik. Wajahnya tenang, tidak memancarkan kesakitan seperti dulu yang sering kulihat ketika penyakitnya kambuh.

Sekarang, ibuku sudah tidak lagi bersamaku. Dia sudah pergi ke atas. Ketempat dimana orang-orang mati pergi. Aku sempat berpikir apa ibuku masuk surga? Memangnya surga itu ada? Entahlah, aku tidak terlalu mengerti tentang hal-hal itu.

Aku bukan orang rohani yang tiap minggu kegereja. Aku bahkan sudah tidak pernah berdoa lagi. Terakhir kali, seingatku aku berdoa ketika umurku 8 atau 9 tahun. Saat itu aku masih aktif sekolah minggu.

"Nes," panggil sebuah suara berat dari belakangku.

Aku berbalik. Aldo. Dia berdiri tegap dengan senyuman tipisnya. Jas hitamnya tampak sedikit berantakkan. Rambut cokelatnya juga.

"Maaf baru datang. Aku baru sampai tadi, pesawatnya delay," jelas Aldo dengan suara pelan seperti merasa bersalah.

Aku menghembuskan napasku. Memaksakan kedua sudut bibirku tertarik keatas. Berusaha memperlihatkan pada Aldo bahwa aku kuat, walau sebenarnya aku sudah benar-benar tidak tahan lagi dengan semua ini.

Aldo diam, kedua mata cokelatnya yang sangat kontras dengan warna rambutnya itu terus menatapku. Dan perlahan kedua tangannya terbuka. Tanda dia mempersilahkan aku untuk menjadikannya tempat sandaran.

Aku kembali menangis. Aku merasa pipiku lagi-lagi dibanjiri air mataku. Dengan cepat aku menubrukkan tubuhku padanya, memeluknya sangat erat, lalu tanpa bisa ku tahan lagi tangisku pecah. Suara isakan keluar dari mulutku.

Aku dapat merasa Aldo ikut sedih dengan keadaanku. Hal itu terpampang jelas dari tindakannya yang membalas pelukanku dengan sama eratnya. Dan mengusap belakang kepalaku lembut.

"Aku ada disini," bisiknya pelan. "Semuanya akan membaik. Kau bisa melewati ini," lanjutnya lagi.

Aku mengangguk sambil sesenggukakkan didepan dadanya.

"Nak," suara ayahku muncul dari balik tubuh Aldo.

Aku membuka mataku perlahan, mengintip dibalik lengan kiri Aldo. Disana ayahku sedang menatapku.

"Abvale diluar," lanjut ayahku lagi.

Aku bisa mendengar geraman kecil keluar dari mulut Aldo. Dia pasti kesal mendengar nama Abvale mengingat dia tahu kepergian ku kesini untuk menghindar dari pria itu.

"Kau tidak perlu keluar. Biar aku yang menemuinya."

Aku menggeleng, lantas melepaskan pelukan kami. Aku menelan salivaku yang terkumpul dipangkal tenggorokanku karena isakanku.

"Suruh dia pergi," tandasku.

Aku berbalik. Meraih tangan Aldo. Mengajaknya masuk kedalam kamarku. Aku ingin menenangkan diriku. Kepalaku lagi-lagi sakit.

Aldo tidak membantah atau mengatakan apapun. Dia hanya menuruti setiap langkahku.

Aku duduk diatas ranjang dan Aldo duduk di kursi riasku. Kami sama-sama hening. Suara orang-orang diluar terdengar. Ucapan-ucapan belasungkawa juga semangat untuk ayahku.

Aku sedikit merasa bersalah lari kedalam kamar sedang membiarkan ayahku sendiri diluar menghadapi kenyataan. Mendengar setiap orang mengatakan "Turut berdukacita." Semakin disadarkan bahwa ibuku sudah benar-benar tiada.

"Kau sudah makan?" Aldo memulai pembircangan diantara kami.

Aku menggeleng. Sadar saja baru. Itupun berkali-kali jatuh. Sadar-pinsan-sadar-pinsan. Tetapi sepertinya aku sudah cukup kuat saat ini. Keadaanku tidak selemah sebelumnya dan aku bisa merasa aku sudah mulai menerima hal-hal sial yang terjadi.

Tok tok tok

Aku dan Aldo saling pandang. Aldo mengangkat satu alisnya mengisyaratkan 'siapa?'

"Abvale menunggu diluar," suara ayahku menyusul.

Aku berdecak. Pria itu memang keras kepala. Mau apalagi dia? Menyakitiku lagi? Setelah tahu ibuku mati apa dia sengaja datang kesini agar bisa membuatku lebih terpuruk lagi?

"Biar aku yang menemuinya," ujar Aldo.

"Tidak," sahutku. Aku berdiri dari dudukku, lalu mendekati pintu. Tanganku terulur pada knop,menurunkannya, saat aku membuka pintu tampak Abvale sudah ada disana. Menatap tepat kearah kedua mataku.

Aku menghela napas sungguh muak melihatnya lagi. Hampir-hampir aku ingin menutup pintu, tetapi pria itu sudah lebih dulu berkata.

"Nes," panggilnya. Saat Abvale berjalan maju aku langsung menahannya dengan tanganku. Tidak memperbolehkannya masuk kedalam kamarku dan berjarak teramat dekat denganku.

"Pergi," ucapku singkat. Aku sama sekali tidak mengharapkan kehadirannya disini. Melihatnya saja rasanya seperti kembali pada malam dimana dia meninggalkanku demi Rebecca.

"Nes..." Abvale lagi-lagi memanggilku.

"Pergi."

"Aku mau...."

"Pergi."

Aldo yang sedari tadi masih duduk diam dibelakangku ikut bangkit datang kepada kami berdua. Tangannya menarikku mundur, menaruhku dibelakang punggungnya, bermaksud melindungiku.

Aku dapat melihat kilatan amarah dalam kedua bola mata hitam Abvale. Andai sekarang keadaannya tidak begini, Abvale pasti sudah menarikku, memaksaku pulang bersamanya, lalu membentakiku, mengatakan aku ingin bermain belakang darinya.

Pikiran itu membuat dadaku sesak. Andai. Andai. Kalau saja keadaan kami masih sama. Nyatanya sekarang, kami sudah tak sama.

"Lebih baik kau angkat kaki, sebelum aku sendiri yang mematikanmu disini."

Suara Aldo dingin. Sangat dingin. Aku tidak pernah melihat sosoknya yang begitu menyeramkan dan kaku seperti saat ini.

Abvale tersenyum miring. Tangannya terangkat. Jari telunjuknya menunjuk tepat kearahku.

"Wanita dibelakangmu itu adalah tunanganku. Aku berhak menemuinya," ujar Abvale angkuh.

Aldo terkekeh. "Masih berani kau berkata begitu setelah kau meninggalkannya dan malah memilih wanita lain?"

Telak. Pertanyaan itu amat telak.

Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Aku menunduk tidak berani bertatap mata dengan Abvale.

"Itu bukan urusanmu. Mau aku meninggalkannya dengan wanita lain, mau aku memintanya untuk pulang bersamaku hari ini. Itu terserah padaku karena akulah tunangannya. Yang akan menikahinya."

Santai sekali mulutnya mengucap hal itu. Seakan aku hanya barang yang dimilikinya. Yang sesuka hatinya mau dia perbuat seperti apa.

Kedua tangan Aldo terkepal kuat. Siap melemparkan bogem kapan saja emosinya sudah benar-benar meluap.

Aku tidak mau terjadi perkelahian disini. Suasana rumahku lagi berduka. Tidak usah ditambah-tambah dengan keributan.

"Kau kembalilah ke New York. Rebecca menunggumu, anakmu juga pasti mencarimu," ujarku.

Aku maju melewati Aldo. Berdiri tepat didepan Abvale. Kepalaku mendongak karena tinggi Abvale yang tidak sepantara denganku.

Abvale menatapku dengan tatapan lembut. Sangat berbeda dengan tatapannya tadi pada Aldo. Tangannya meraih kedua tanganku. Mulutnya terbuka seakan ingin mengucapkan sesuatu, tetapi aku langsung memotongnya.

"Kita sudah berakhir," tandasku.

===>>><<<===

Hulaaaa...

Tumben banget yaa updatenya nggak sampe seminggu. Aku lagi sakit. Jadi aku mengetik part ini dengan kepala yang pusing, hidung yang mampet, dan tenggorkan yang kering. Maaf kalau part ini mengecewakan.

Jangan lupa tinggalkan bintang dan komentar.

Papaiiii....

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 93.3K 56
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
97.9K 5.2K 72
FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA :D ||| VERSI BARU ||| Bagi banyak orang mungkin mawar hitam banyak dilambangkan sebagai hal yang buruk. Seperti kema...
65.5K 5.7K 49
Holly shit! Seorang pria dengan lancang menarik ku keluar dari dalam sebuah club malam. Kepala ku terasa berdenyut. Bukan karena alkohol, namun karen...
3.6M 27.5K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...