I Will Still Love You

NaomiOcta tarafından

1.1M 90.4K 2.6K

Loly tidak punya ibu, tapi Loly sering menanyakan pada ayahnya di mana ibunya, tapi kadang ayah membentak Lol... Daha Fazla

Permulaan
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Info Gaje
Part 17 (New)
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31 a
Part 31 b
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
(not) Perfect Daddy ganti judul
Next Update
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45
Announcement!
Part 45 [Repost]
Part 46
Part 47 [a]
47 [b]
Part 48
Extra Part
INFO!

Part 27

16K 1.5K 49
NaomiOcta tarafından

Jansen melirik jam di tangannya berkali-kali sejak beberapa lalu. Sudah hampir pukul tujuh malam dan Lana ternyata belum pulang juga? Dia ingin menelepon Dimas, tapi gengsi. Sementara Lana tidak membawa ponselnya.

"Ayah, Loly tidur dulu, ya. Besok Loly harus sekolah." Jansen mengangguk. Dia menggendong Loly ke kamar.

"Ayah, kenapa Ibu belum pulang juga? Ayah tidak mencari Ibu? Bagaimana kalau paman Dimas menculik Ibu?" Jansen membaringkan Loly di tempat tidur. Dia mengelus kepala putrinya itu.

Loly menguap beberapa kali, masih menunggu jawaban dari sang ayah.

"Mungkin mereka terjebak macet. Loly tidur saja, ya Nak. Selamat malam...." Jansen mengecup kening Loly.

"Iya, Ayah. Selamat malam juga, Ayah. Loly sayang pada Ayah dan Ibu." Jansen tersenyum tipis. Dia terus mengelus kepala Loly sampai putrinya itu tertidur.

Jansen menyelimuti Loly, tatapannya begitu tulus, meski ada luka di sana. Luka masa lalu.

"Ayah juga sayang pada Loly. Sangat sayang...." bisiknya.

Jansen berdiri tegak, tatapannya berubah menjadi luka dan hatinya terasa hampa melihat Loly yang sangat mirip dengan Andrea.

Karena tidak tahan menatap Loly terus, Jansen memutuskan keluar dari kamar Loly. Dia masuk ke dalam kamarnya. Terkejut saat melihat Lana tidur meringkuk di atas tempat tidur.

Jansen mengucek matanya, dalam hati dia bertanya kapan Lana pulang.

Dia duduk di tepi tempat tidur.

"Dia pulas sekali. Kapan dia pulang? Kenapa aku tidak tahu? Padahal sejak tadi aku menunggu. Ah, tidak...." Jansen menyentuh pipi Lana yang terasa hangat.

"Sepertinya dia sudah pulang sejak tadi." Jansen mengalihkan tatapannya ke arah lain saat Lana membuka matanya.

"Jam berapa kau pulang tadi?"

Lana mengernyit bingung, dia mengambil posisi duduk.

"Saat kau dan Loly makan tadi sore."

"Kenapa aku tidak tahu?" tanya Jansen mulai kesal.

"Kenapa pula kau harus tahu?" Lana turun dari tempat tidur.

"Ah, sudahlah. Salahku juga karena belum ada masuk kamar."

"Oh, iya. Apa Raya sudah pulang?"

"Aku tidak tahu, Lana! Jangan tanya padaku!" Lana mundur beberapa langkah.

"Oh, maaf kalau begitu." Lana membungkukkan badannya dengan sopan, lalu dia membalikkan tubuhnya.

"Kau mau ke mana?" Lana melangkah pelan.

"Aku lapar." Jansen ber-oh saja, matanya tidak bisa berhenti melirik Lana. Bahkan saat Lana keluar dari kamar, dia langsung berdiri. Mengikuti Lana diam-diam dari belakang.

Dasar sinting! Jerit Jansen dalam hatinya.

Dia menelan ludahnya susah payah saat melihat lana mulai makan malamnya.

"Kau mau?" tanya Lana tiba-tiba tanpa melihat Jansen. Jansen tersenyum salah tingkah, tapi hanya sebentar. Dia mendekati Lana di meja makan, lalu duduk di sebelah Lana yang tidak berselera makan.

"Kau hanya mengaduk makananmu."

"Aku tidak suka ini. Ini pedas dan aku tidak suka!" Jansen melirik piring Lana, lalu dia kembali menatap Lana.

"Tapi itu tidak pedas, Lana. Loly juga tadi makan itu." Lana menatap Jansen dengan sinis.

"Sebenarnya aku ingin sekali marah padamu karena kau mengikutiku tadi. Tapi tidak jadi, karena aku suka padamu." Jansen membuang wajahnya menahan malu.

"Dari mana kau tahu aku mengikutimu? Jangan asal bicara, Lana!" Dia mengelak, masih tidak mau mengaku.

"Tadi sebelum pergi, aku suruh Loly untuk mengajakmu pergi juga. Tidak kusangka kau akan mengikutiku dan bersembunyi di balik pohon." Lana tersenyum, dia menatap Jansen dengan terang-terangan.

"Lana, kau benar-benar menyebalkan!" Karena tidak tahan merasa malu, Jansen pergi dari ruang makan. Lana hanya menghela napasnya. Dia berdiri dan melangkah menuju pintu utama.

"Sepertinya tidak apa-apa kalau aku pergi sebentar. Aku ingin sekali makan mie instan, di sini tidak ada." Lana terus melangkah sampai kini dia sudah ada di halaman.

Dia tertegun saat melihat Jansen yang ternyata juga ada di halaman. Lana mempercepat langkahnya menuju gerbang rumah.

"Kau mau ke mana, Lana?" Jansen berlari mendekati Lana.

"Aku ingin makan es krim dan mie instan. Aku juga ingin makan sate."

"Memangnya kau punya uang?" Lana mengusap tengkuknya, dia cengengesan sendiri.

"Haha, ternyata aku tidak punya uang." Jansen menarik tangan Lana keluar dari gerbang.

"Ayo, akan kubelikan. Tapi kau jangan besar kepala dulu, aku hanya kasihan padamu." Lana mengangguk pelan.

"Kita jalan kaki saja, di sekitar sini ada yang menjual yang ingin kau makan." Lana kembali mengangguk.

"Lana...."

"Bagaimana kalau kita beli pakaian bayi saja?"

"Hah? Untuk apa, Lana?" Lana tersenyum salah tingkah.

"Untuk bayi kita nanti." Jansen geleng-geleng kepala.

"Nah, ini yang jual sate. Kau tidak boleh makan mie instan. Itu tidak baik untuk kesehatan." Lana menggerutu dalam hati. Dia menarik tangannya dari genggaman Jansen.

"Aku ingin beli pakaian bayi saja!" Jansen menghela napasnya pelan.

"Lana, jangan membuatku kesal! Tadi kau yang ingin makan ini, kan?"

"Tidak jadi." Lana menundukkan kepalanya.

"Jansen, sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan padamu." Lana berdiri, lalu dia melangkah pergi. Langkahnya begitu cepat menuju jalan yang tadi mereka pijak. Mau tidak mau Jansen terpaksa mengikuti Lana.

Dia ini kenapa? Suka sekali merajuk akhir-akhir ini.

★∞★

Di rumah Jansen

Jansen masuk ke dalam kamar, ternyata tidak ada Lana di sana. Dia pun pergi ke kamar Loly, benar. Dia ada di sana.

"Lana...." Lana menoleh, dia tersenyum melihat Jansen.

"Apa? Aku tidur di sini. Hehe, takut nanti kau usir dari kamarmu." Lana mulai berbaring, sementara Jansen mendekat.

"Kenapa kau aneh sekali hari ini? Apa tadi yang ingin kau tanyakan?" Lana menggeleng.

"Tidak jadi."

"Lana...." Lana menutup tubuhnya memakai selimut.

"Aku hamil. Apa kau senang?"

Degh....

Raut wajah Jansen langsung berubah. "Kau jangan bercanda, Lana!"

"Tidak! Aku serius. Aku hamil." Jansen mengepalkan kedua tangannya.

"Pembohong!" Jansen keluar dari kamar Loly dengan perasaan campur aduk.

Lana membuka selimut, dia tidak melihat Jansen lagi. Lana duduk dan dia melempar selimut ke lantai. Dia melirik Loly, entah kenapa dia semakin kesal melihat gadis kecil itu.

"Dasar Jansen kurang ajar! Rasanya aku ingin sekali memukulnya sampai mati!" Lana menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya, dia menangis.

Lana turun dari tempat tidur. Dia mengambil selimut yang tadi dia lempar. Lalu menyelimuti Loly.

"Nanti ayahmu hanya akan sayang padamu. Dia tidak sayang pada bayiku nanti. Kau beruntung, mungkin marena ibumu yang namanya Andrea itu. Aku mulai mengerti sekarang, walau pun aku hamil, itu tidak akan mengubah apa pun!" Lana mengelus kepala Loly, lalu dia keluar dari kamar itu.

Lana mengusap air matanya, dia melangkah menuju kamar yang terjauh dari kamar Jansen; kamar pembantu.

★∞★

Poor Lana :(

Vote dan komen kalau suka :) Tinggal cerita ini kalau nggak suka!

Terima kasih
5 September 2017

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

938K 50.2K 34
-Baik buruknya seseorang terlihat dari cara seseorang memandang- EarlyCetta_2015
3.4M 299K 71
"Apa yang baru saja terjadi?" Bisik Runa pelan dengan tatapan menerawang. Ia masih syok dengan kerumunan wartawan tadi, yang melihatnya keluar dari h...
6.2K 387 104
◤─────•~❉✿❉~•─────◥ Siapa sangka jika seseorang yang pernah kau tolak cintanya adalah jodohmu? Mungkinkah dia masih menyimpan rasa padamu dan itulah...
76.4K 2.3K 71
Richardo Collingwood, putra dari pemilik Perusahaan Anggur terbesar di spanyol. Dia bergabung disalah satu kelompok mafia di spanyol Nara Holmes, Put...