Lovely Husband

נכתב על ידי iinelsey

28.2M 1M 39.7K

[attention : belum direvisi, banyak typo, kesalahan penggunaan kata dan tanda baca] Kisah antara Arka dan Kar... עוד

[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
[21]
PENGUMUMAN
[22]
[23]
[24]-One
HOREEE
[24]-Two
[24]-Three
[24]-Four
I'm Coming Back
[24]- Five
[25]
[26]
[27]
[28]
[29]
[30]
HELLO
[31]
💋
[32]
[33]
Update?
[34]
[35]
[36]
[37]-ONE
[37]-TWO
[39]
[40]
WAJIB BACA!
I'm coming back~~
💋
[LAST] s a t u
[LAST] d u a
[LAST] t i g a
[LAST] e m p a t
[LAST] l i m a
[LAST] e n a m (1)
[LAST] enam (2)
[LAST] tujuh
[LAST] delapan
[LAST] sembilan
[LAST] sepuluh | END
ASK
YOSH
[Super-Extra-Part] ONE
[Super-Extra-Part] TWO
[Super-Extra-Part] THREE
[Super-Extra-Part] FOUR
[Super-Extra-Part] FIVE
[Super-Extra-Part] SIX
ask
[Super-Extra-Part] SEVEN
[Super-Extra-Part] EIGHT
hi
[Super-Extra-Part] NINE

[38]

298K 12.2K 1.3K
נכתב על ידי iinelsey

Ѯ

Sudah lebih semenit mata Karin berfokus pada langit ruangan berwarna serba putih itu. Ruangan yang sangat Karin benci karena aroma obat-obatan yang selalu menyapa penciumannya setiap berada di tempat itu.

Karin memejamkan matanya, mencoba mengingat sesuatu yang tidak juga muncul di otaknya. Mencoba mencari sesuatu yang sejak tadi mengganjal pikirannya.

Entah mengapa suara Arka tergiang di pikirannya. Karin tidak tahu apakah itu efek karena sudah lama tidak melihat sosok pria itu atau karena rasa rindunya sudah mencapai batas, Karin tidak tahu apa itu.

Dan yang lebih membuatnya bingung, mengapa dia berada di ruangan itu. Seingatnya, dia berada di kamar mewah. Kemudian Egi datang dan membiusnya dengan suntik. Setelah itu, dia tidak ingat apa-apa lagi. Dan lebih dua menit yang lalu, dia baru tersadar dari pingsan-nya yang entah sudah berapa lama.

Karin menolehkan wajahnya ke arah pintu ruangan itu setelah mendengar suara kenop dibuka. Seseorang yang sangat menghantui pikirannya akhir-akhir ini kini berjalan kearahnya dengan wajah sendu. Hanya kesedihan yang Karin temukan dari mata itu.

Rini yang memakai pakaian pasien seperti yang Karin gunakan—yang tidak begitu dihiraukan Karin— tersenyum tipis. Sangat tipis sehingga Karin ragu apakah itu bisa dikategorikan sebagai sebuah senyuman. Rini duduk di kursi kecil di sebelah Karin. Wanita itu menghela napas panjang sambil menarik tangan kiri Karin kedalam genggamannya.

"Karin baik-baik saja?" tanya Rini beralih mengelus pipi Karin.

Karin menggeleng, dia tidak bisa berpura-pura baik sekarang sebab dia memang tidak baik adanya, "Karin tidak baik selama Kak Arka enggak disini, Ma."

Rini menunduk, tidak membalas ucapan menantunya itu. Hatinya sangat sesak mengingat fakta menyakitkan yang baru saja didengarnya kemarin.

"Tapi Ma, sudah berapa lama Karin pingsan?" Karin bertanya.

Rini mengangkat wajahnya, menatap menantunya itu lekat. Wajahnya sudah menggambarkan secara sempurna bagaimana perasaan wanita itu sekarang.

"Sudah dua hari. Ceritanya panjang."

Karin mengerutkan keningnya, tidak menyangka jika dia sudah tidak sadarkan diri selama dua hari.

"Tapi Ma, bukannya Mama sama Papa diculik sama mereka?" Karin ingat apa yang dikatakan Egi, bahwa Papa dan Mama mertuanya itu diculik oleh keluarganya.

Rini mengerutkan keningnya, tapi kerutan itu sirna begitu saja, beralih menjadi linangan air mata yang siap jatuh. Tubuh wanita itu bergetar, suara isakan tangis mulai menghiasi ruangan yang damai itu.

"Maafkan Mama, Karin. Ji-jika saja kami bergerak lebih cepat, ma-maka dia tidak akan seperti sekarang," isak Rini yang tidak Karin mengerti maksudnya.

Karin memaksakan tubuhnya untuk mengubah posisi tidur menjadi duduk. Dia mulai mengendus keanehan disini.

"Maksud Mama apa?" Karin balik menggenggam tangan Rini yang bergetar hebat.

Rini menggeleng disela isakannya. Wanita itu terus menangis seakan memendam sesuatu yang berat sendirian.

"Andai saja kami tidak lambat, maka semuanya pasti baik-baik saja. Ka-Karin, di-dia su..." tangisan Rini kembali pecah bersamaan seseorang pria jangkung berambut pirang yang tidak lain orang asing memasuki kamarnya. Karin sudah tidak bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

"Biarkan aku yang bicara padanya, Ibu." Pria itu memegang bahu Rini, menuntun Rini kepada seorang suster yang entah sejak kapan berada di bekakang pria itu. Suster itu lalu membawa Rini bersamanya, meninggalkan Karin dengan orang asing itu.

"Si-siapa?" tanya Karin ragu saat pria itu duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Rini.

"Aku Zoe. Kita baru berbicara beberapa hari yang lalu." Pria itu tersenyum kecil, "kau ingat, bukan?"

Karin ingat akan laki-laki yang tempo hari berbicara bersamanya melalui telepon Arka. Karin diam untuk beberapa saat, menatap Zoe dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pria itu sepertinya seumuran dengan Arka, atau mungkin lebih tua. Berambut pirang, tingginya pasti diatas 185 senti, serta suara berat.

Karin mengangguk kecil, bibirnya terasa kelu untuk sekedar berkenalan, sebab entah mengapa perasaannya tidak enak melihat wajah serius Zoe. Menurut Karin, Zoe itu pasti orang yang humoris. Karin bisa menjamin itu semenjak pertama kali mendengar tutur kata pria itu.

"Lalu untuk apa kau kemari?" akhirnya pertanyaan meluncur dari bibir pucat Karin, pertanyaan yang sejak tadi mengganjal pikirannya.

Zoe menghela napas dalam. Memejamkan matanya sejenak, kemudian mata birunya beradu dengan sepasang mata hangat Karin.

"Berjanjilah sesuatu padaku," ucap Zoe dengan wajah memohon. Perasaan Karin semakin tidak baik, melihat keseriusan Zoe yang dia tidak tau apa dasarnya.

"Untuk apa?"

"Untuk tidak melakukan hal bodoh apapun." Zoe menjawab dengan mantap. Tangannya bertautan, ragu untuk mengatakan apa yang sebenarnya menjadi alasannya berada disana.

Kerutan langsung menghiasi dahi Karin. Tanda jika gadis itu sedang kebingungan.

Helaan napas kembali terdengar dari bibir merah Zoe. Canggung. Semua terasa aneh dan canggung. Ruangan itu semakin terasa suram dan mencekam. Tidak ada yang terdengar kecuali suara napas yang lebih cepat dari normal.

"Namamu Karin, bukan?" tanya Zoe sekedar basa-basi. Mencoba mencairkan suasana yang sudah terlanjut membeku.

Karin menggangguk pelan. Dirinya sudah terlalu sulit untuk sekedar mengatakan iya. Dia sudah berada di titik paling bawah, dimana pikirannya sudah tidak mampu mengendalikan tubuhnya.

"Baiklah Karin..." suara helaan napas kembali lolos dari bibir Zoe. Itu membuat detak jantung Karin terpacu dua kali lebih cepat.

Zoe bisa merasakan kegelisahan Karin, perempuan itu menggigit bibir bagian bawahnya. Matanya mengisyaratkan ketakutan dan kekhawatiran. Dan Zoe tahu jika itu tanda jika Karin sedang mengkhawatirkan Arka.

"Katakanlah yang sebenarnya. Aku mohon," pinta Karin, membuka suaranya.

Zoe menatap gadis itu iba. Dia pikir sekarang dia harus jujur. Tidak ada gunanya menyembunyikan fakta.

"Baiklah, Karin. Tenang... Seperti permintaanku. Setelah aku mengatakan semuanya, jangan berpikir untuk melakukan hal buruk, seperti... melukai diri," ucap Zoe berusaha meyakinkan Karin. Gadis itu mengangguk tanda mengerti.

Untuk kesekian kalinya, Zoe menghela napas panjang.

"Arka sudah tiada."

***

Ruangan itu terasa sunyi. Lebih sunyi dari beberapa detik yang lalu. Lebih suram dari yang lalu, karena kabar yang diharapkan baik berubah menjadi buruk.

Zoe diam. Tidak tahu harus berkata apa lagi. Melihat Karin yang sekarang sudah membuat hatinya sakit. Menyesal sudah membawa kabar buruk itu.

Buliran air mata berjatuhan. Berjatuhan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mata yang tadinya hangat kini memancarkan kekosongan. Tidak ada lagi cahaya yang tadi Zoe lihat. Hanya ada kelam atas ketakutannya sejak tadi.

"Kau bisa ulang?" suara Karin bergetar.

Zoe menggeleng, "Karin... Dengarkan—"

"Aku bilang katakan sekali lagi," jerit Karin tiba-tiba. Napasnya memburu. Bibirnya bergetar hebat bersamaan berusaha menahan isak tangisnya. Zoe lagi-lagi hanya diam. Apa daya yang bisa dia lakukan.

"Arka sudah...tiada," ulang Zoe berat.

Karin menggeleng. Tangannya menangkap kedua pipi Zoe. Membiarkan matanya beradu dengan mata biru Zoe. "Kau orang asing, bukan? Kau tidak pandai bahasa Indonesia, kan?"

Zoe bisa merasakan tangan Karin yang bergetar hebat. Tidak ada yang bisa dilakukan Zoe lagi. Dia hanya perlu diam, sampai gadis di hadapannya dapat menerima kenyataan dan mendengarkan semua yang sudah terjadi.

"Jawab aku jika kau berbohong. Apa yang kau katakan semua bohong, kan?" Karin kembali bersuara. Masih memegang wajah Zoe. Mencoba mencari sesuatu di mata biru itu. Mencari jejak jika pria asing itu berbohong. Tapi nihil, dia hanya menemukan binar kebenaran disana.

Tangan Karin luruh, jatuh di tepi tempat tidurnya. Pandangannya kabur karena sudah dipenuhi air mata. Tapi dia belum bisa menangkap apa maksud dari perkataan Zoe. Dia tidak mau mengerti maksud itu. Lebih baik dia gila daripada mengerti arti ucapan Zoe. Tangannya meraih ponsel yang ada diatas nakas, mencoba mengetik deretan angka. Mencoba mengingat nomor ponsel Arka, suaminya.

Tangannya bahkan tidak sanggup untuk memegang erat benda pipih itu. Ini sudah kesekian kalinya benda itu jatuh keatas selimut, lalu Karin kembali mengambilnya dan membiarkan jemarinya yang bergetar menari disana. Dan untuk kesekian kalinya Karin mendekatkan benda pipih itu ketelinganya, dan bersamaan itu juga suara tangisan mulai menghiasi kamar inap itu.

"Angkat bodoh! Ja-jangan membuatku takut... jangan buat aku takut, bodoh!" isak Karin dengan mata menatap layar ponsel yang sudah basah karena dijatuhi air mata. Ia melempar benda itu sembarang arah, menyikap selimut yang mendadak terasa dingin lalu mencabut infus yang bersarang di tangan kirinya.

Zoe langsung menangkap tangan Karin, berusaha menghentikan gadis itu. "Tenang Karin, jangan lakukan hal bodoh. Kau harus beristirahat..."

Karin tidak peduli. Tangannya terus bergerak meminta Zoe melepaskan genggamannya. Bahkan kulitnya sudah terasa kelu untuk merasakan sakit akibat genggaman kuat Zoe.

"Lepaskan aku... pergilah!" jerit Karin tertahan. Gadis itu terus meronta, melakukan perlawanan agar Zoe melepaskannya. Tidak ada tanda jika pria itu akan melepaskannya, Karin akhirnya menggigit lengan Zoe yang terbalut kemeja, hingga refleks pria itu melepas genggamannya.

Saat itu juga, Karin turun dari ranjangnya. Berjalan tanpa alas kaki dengan tertatih-tatih. Tangannya membuka pintu, berhenti sesaat untuk menyeimbangkan tubuhnya yang terasa lemah.

Dengan sisa tenaganya, gadis itu berjalan menyelusuri lorong rumah sakit. Tidak menghiraukan para pengunjung rumah sakit yang menatapnya bingung.

Matanya masih berair, membuat pandangannya kabur. Tubuhnya oleng, tetapi sekian detik kemudian, dia kembali bangkit dan berjalan dengan brutal. Menabrak siapa saja yang mengganggu jalannya.

"Kamh jahat, Kak. Kakak bohong. Kakak jahat... Ini semua bohong, kan? Ini semua enggak benar, kan?

Kakak dimana? Kakak pasti lagi bercanda, kan? Ini enggak lucu Kak. Karin butuh Kakak. Kak..."

Langkahnya semakin cepat kala mendengar suara orang yang memberi kabar itu memanggil namanya. Karin benci orang itu. Benci karena orang itu berani berkata yang tidak mungkin baginya. Berkata jika Arka meninggalkannya untuk selamanya.

"Kak..." panggil Karin sembari mengedar pandangannya.

"Kak... jawab Karin! Ini enggak lucu! Keluar Kak! Karin butuh Kakak..."

Gadis itu luruh, tubuhnya sudah terlalu lemah untuk menyeleksi apa yang sebenarnya yang terjadi. Menyeleksi antara yang benar dan salah. Lantai dingin rumah sakit tidak lagi menjadi pikiran gadis itu. Yang dia butuhkan hanya dia, seseorang yang harus kembali, apapun yang terjadi.

"Aku benci...aku benci... Kak, aku membencimu—"

Semua sadar, seberapa banyak dan lamapun dia memanggilnya, dia tidak akan pernah kembali lagi... untuk selamanya.

***

Hai💕











.

Jangan remove dari library kalian, yah. Belum end kok.

המשך קריאה

You'll Also Like

22.5K 939 39
Hamil diluar nikah dinikahin ❎ Hamil diluar nikah bersekongkol menutupi kehamilan ✅ Ini kisah Abimanyu dan Sarah. Sepasang kekasih yang masih duduk d...
15.4M 843K 47
Sedikit pun tidak pernah terbayang di benak seorang Kinanthi Khairani. Keputusannya pindah kerja demi menghemat biaya hidup di Jakarta malah membuatn...
1.5M 225K 66
[Family & Brothership] "Emangnya, karate itu gak bisa dibanggain, ya?" Keluarga harmonis, rasa neraka. Emang ada? Itulah yang dirasakan oleh Arjuna O...
1.3M 69.6K 75
#10 Teen Fiction (Juli 2020) #01 Secret Admirer (Mei 2018) #01 Waiting (Mei 2018) #03 Hope (Oktober 2019) #01 Waiting (November 2019) #02 Pengagum Ra...