Aku mengetuk pintu cokelat yang ada dihadapanku. Pintu rumah kedua orang tuaku. Ya, saat ini aku berada di Boston. Aku melarikan diri dari New York, aku takut jika aku menetap di New York untuk waktu dekat ini dia bisa saja datang padaku dan membuat pertahananku hancur lagi.
Ceklek
"Pa," sapaku riang berusaha menutupi sakit yang teramat sangat pada rongga dadaku. Aku belum mau bercerita pada kedua orang tuaku tentang masalahku dan Abvale. Biar aku saja dulu yang menanggung beban ini. Aku tidak siap melihat mereka kecewa karena anak kesayangan mereka tidak jadi menikah dengan anak terpandang nomor 1 di New York.
Ayahku tersenyum. Senyum tipis. Kantong matanya terlihat jelas dan wajahnya semakin tirus.
"Papa sakit?" tanyaku.
Ayahku menggeleng.
"Masuk," ajaknya.
Aku mengangguk mengiyakan. Lantas menarik koper merahku. Membawanya masuk kedalam rumah.
Didalam kepalaku timbul banyak pertanyaan. Kenapa ayahku tampak tidak bahagia dengan kedatanganku? Apa dia sudah tahu bahwa aku dan Abvale tidak jadi bersama? Apa Abvale sudah memberitahu ayahku kalau dia ternyata lebih memilih ibu dari anaknya dibandingkan aku? Sialan, kalau itu benar, Abvale sudah sangat keterlaluan.
Seharusnya, aku yang mengatakan hal itu sendiri dengan orang tuaku, bukan malah dirinya.
Ayahku tiba-tiba berbalik setelah sampai di ruang tamu.
"Kau mau makan atau mau langsung istirahat?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Aku mau bertemu mama dulu," jawabku. "Mama dimana?" lanjutku balik bertanya.
Ayahku menarik napasnya dalam-dalam. "Kenapa tidak bilang-bilang kalau mau datang?"
Bukannya jawaban aku malah dilempar pertanyaan.
"Aku mau liburan sejenak, Pa. Capek," bohongku.
"Tapikan, sebulan yang lalu kau sudah ambil cuti. Bagaimana pekerjaanmu disana? Kau tinggalkan?"
Aku mengerut keningku bingung. Sejak kapan ayahku malah memikirkan pekerjaanku? Kenapa dia tampak sangat tak suka dengan kehadiranku?
"Pa...."
"Besok kau kembali ke New York, selesaikan pekerjaanmu. Jangan malas dan lari dari tanggung jawab," tandas ayahku memotong perkataanku.
"Aku mau istirahat," kataku. "Papa kenapa? Papa tidak suka melihatku disini?"
Ayahku menarik napasnya dalam. Wajahnya sangat kelelahan. "Bukan," gumamnya.
Aku diam menunggu ayahku melanjutkan perkataannya.
"Mama. Mamamu penyakitnya kambuh semenjak dua minggu yang lalu. Tapi, dia memintaku untuk tidak memberitahumu."
Dua detik aku benar-benar kehilangan oksigen untuk paru-paruku. "Apa?" tanyaku, berlaku seolah aku tidak mendengar.
Mamaku? Sakit lagi? Padahal, sebulan yang lalu dia masih tampak baik-baik saja.
"Sudah seminggu mamamu koma." Ayahku kembali mengangkat suara.
Aku memejamkan mataku. Tahun lalu mama hampir kehilangan nyawanya dan tidak sadarkan diri empat hari. Saat ini dia bahkan sudah tidak terbangun selama seminggu.
"Kenapa Papa tidak memberitahuku?" tanyaku dengan suara lemah.
"Mama dirawat dirumah sakit mana? Aku mau menjenguknya sekarang," lagi aku berbicara.
"Papa antar," sahut ayahku.
Aku mengangguk. Segera menarik koperku. Membawanya masuk kedalam kamarku. Lalu, mengikuti ayahku mengambil mobilnya digarasi rumah.
===>>><<<===
Aku diluar. Menatap kedalam ruangan ibuku melalui jendela. Kami dilarang masuk. Kata suster yang merawat ibuku, kami baru boleh masuk setelah dokter memeriksa sekaligus memberi obat pada ibuku menggunakan suntik-suntiknya itu.
Aku meringis. Didalam sana ibuku terlihat sangat lemah terbaring diatas ranjangnya. Dia menutup mata, layaknya orang tidur. Tapi aku takut. Sangat takut kalau-kalau kedua matanya yang selalu menatapku lembut itu tidak terbuka lagi.
"Mama pasti sembuh," kata ayahku tiba-tiba. Tangannya menepuk pelan pundakku. Aku lantas mengaminkan dalam hati sambil mengangguk meresponi ucapannya.
"Nak, kenapa pulang tiba-tiba?"
Aku menarik napas dalam. Aku tahu pertanyaan ini pasti akan terlempar.
"Capek, Pa. Pengen istirahat sebentar. Terus kangen sama Papa Mama," jawabku diiringi senyum palsu yang aku tidak tahu apakah cukup meyakinkan ayahku.
"Abvale mana?"
Aku memejamkan mataku singkat. Nama Abvale yang tersebut dari mulut ayahku membuatku muak. Aku menarik napasku dalam-dalam, berusaha tampak seperti biasa saja.
"Di New York, Pa. Dia bekerja," jawabku.
Ayahku mengangguk mengerti. "Kau kapan pulang?" lanjut ayahku lagi.
Aku mengedik bahuku. "Mungkin bulan depan, lagipula ini sudah akhir tahun. Murid-muridku tinggal menyelesaikan ujian mereka," jawabku.
Ayahku tidak lagi menyahutiku. Matanya kini kembali beralih pada ibuku dan beberapa suster yang mengelilinginya. Hingga beberapa saat kemudian salah satu suster diantara suster lain berlari keluar dengan sangat terburu.
Aku dan ayahku lantas berjalan mendekat kepintu. Suster tersebut keluar dengan panik. "Pasien kehilangan detak jantungnya," kata suster itu sedikit berteriak. Matanya bergerak kesana-kemari mungkin mencari keberadaan dokter.
Aku terlalu bingung harus melakukan apa. Aku ingin bertanya juga menerobos masuk kedalam ruang rawat ibuku, tetapi kepalaku penuh dengan ketakutan membuatku bahkan hanya diam membatu.
Suster tersebut dengan cepat melangkahkan kakinya kelorong kanan rumah sakit. Aku dan ayahku saling pandang. Saling memancarkan kekhawatiran atas kondisi ibuku. Kami sama-sama tidak bisa hidup tanpa sosok wanita yang tengah terbaring lemah diatas ranjang itu.
Tak lama kemudian beberapa pria berjas putih menerobos masuk melewati kami keruang ibuku. Ayahku sempat menahan salah satu diantara mereka. Tapi belum sempat ayahku bertanya orang itu sudah menjawab duluan dengan kalimat yang benar-benar kuharapkan dia bisa membuktikannya.
"Kami akan berusaha sebaik mungkin," kata orang itu.
Aku dan ayahku tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap menunggu diluar. Melihat para dokter dan suster diruangan sibuk dengan berbagai alat yang mereka tempelkan pada tubuh ibuku.
===>>><<<===
Hari sudah semakin malam. 3 jam aku dan ayahku menunggu dokter-dokter itu keluar dari ruangan. Hingga suara pintu membuat kami berdua bangkit dari kurdsi.
Para dokter dan suster yang lain sudah berjalan cepat menjauh, hanya tinggal satu pria berjas putih yang sempat ayahku tahan tadi sore. Wajahnya menampakkan senyuman, senyuman yang sangat mengganjal dan sangat kuragukan.
Aku dan ayahku mendekat. Tidak ada yang mengangkat suara diantara kami bertiga, mungkin kami saling menunggu satu sama lain untuk memulai.
Dokter itu menarik napasnya dalam. Menepuk pelan pundak ayahku yang berdiri tepat dihadapannya, sedang aku ia berikan senyum lembut.
"Kami sudah berusaha semaximal kami, tapi Yang di Atas berkehendak lain. Nyonya sudah tiada."
Satu kalimat itu sudah cukup menjelaskan semuanya. Deti itu juga aku merasa bahwa bumi tak lagi berputar. Waktu tak lagi berdetik. Wanita yang selama ini memeliharaku dari bayi sudah pergi. Pergi ketempatb yang aku tak bisa kunjungi, kecuali aku ikut meninggalkan dunia ini.
Rasa sesak pada rongga dadaku semakin menjadi. Oksigen disektarku rasanya tak cukup untuk sekedar memenuhi paru-paruku. Dan akhirnya, aku tak bisa mencegah air mataku tumpah. Tenggorokanku tercekat dan pandanganku mulai gelap.
Ayahku memelukku. Memelukku sangat erat. Aku tak bisa melihat wajah ayahku dengan jelas. Kepalaku berputar-putar.
"Kita sudah tahu ini pasti terjadi, Nak."
Suara ayahku terdengar sumbang, kecil, seperti berbisik. Lalu, kesadaranku raib. Aku tidak lagi bisa menahan kesadaranku untuk tetap ada.
Setelah aku kehilangan Abvale, aku juga kehilangan ibuku. Sempurna, bukan?
===>>><<<===
Haloooo...
Maapkan daku yang updatenya lama sangat lama. Tapi sesuai janji, aku bakal update dalam minggu ini dan tadaaaa part ini akhirnya selesai dan di publish.
Jangan lupa vote dan comment yahhh...