NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

empat

359K 32.7K 4.7K
By renitanozaria

Semula, Sebastian berniat untuk mandi air hangat dan menyantap dua iris pizza keju untuk makan malam segera setelah dia tiba di rumah. Namun, begitu masuk ke ruang keluarga dan mendapati Sergio tengah menatap kosong pada stik konsol game di tangannya, rencana laki-laki itu langsung berubah. Pundaknya masih dirambati oleh lelah setelah duduk di depan komputer hampir seharian, namun bukan Sebastian namanya jika tega melihat Sergio berdiam diri seperti itu. Ini baru lewat seminggu. Peristiwa buruk yang terjadi sepekan lalu pasti adalah penyebab mengapa Sergio terlihat murung selama beberapa hari belakangan. Kedua orang tua mereka terlalu sibuk mengurusi kepentingan perusahaan keluarga, hingga tidak sadar jika cowok sembilan belas tahun itu masih butuh dukungan moral.

"Gio, lo udah makan malam?"

Sergio tersentak, lalu mengerjapkan matanya berapa kali. "Kak Bas? Udah pulang?"

"Udah daritadi." Sebastian menjawab sambil melepas jaketnya, menyampirkannya begitu saja pada sandaran sofa ruang keluarga rumah mereka yang besar—dan terasa sangat kosong, karena hanya ada mereka berdua di dalamnya.

"Belum."

"Makan bareng, yuk?"

Sergio nyengir. "Lo yang yang traktir?"

Refleks, Sebastian mendengus. "Dasar oportunis."

"Yah, kan lo udah kerja, kak."

"Kerja jadi budak korporat maksudnya?"

"Salah sendiri," Sergio mencibir. "Lo nggak pernah nurut apa kata Papi sama Mami. Disuruh kuliah ekonomi atau bisnis, malah pilih informatika. Nikmati aja hasilnya sekarang."

"Laki-laki sejati itu berjuang, Gio. Bukan menadah jerih payah orang tua." Sebastian membuka satu kancing teratas kemejanya. "Tapi nggak apa-apa, gue yang traktir. Jadi maunya kemana?"

"Pizza?"

"Perfect," Sebastian cepat menanggapi. Sejak siang tadi, dia memang sudah benar-benar ingin makan pizza.

"Mau delivery atau cabut?"

Jika menuruti keinginan Sebastian, tentu lelaki itu bakal lebih memilih duduk bersantai di rumah sembari menunggu pesanan pizza kejunya datang. Tetapi tentu itu tidak akan berpengaruh banyak terhadap mood Sergio. "Cabut aja. Kayaknya lo butuh refreshing."

"Oke."

"Yaudah, gue mandi dulu. Sebagai gantinya, karena gue sudah jadi penanggung dana dalam acara makan malam kita hari ini, lo yang nyetir."

"SIM gue belum keluar." Sergio menyahut enggan. Ini sudah menjelang akhir pekan. Menyetir di Jakarta pada jam-jam sibuk dimana jalan kerap dipadati oleh mereka yang akan pergi hangout di pusat keramaian seperti mall sama saja dengan bunuh diri. Perutnya boleh saja kenyang makan pizza gratis, tapi kaki Sergio sudah pasti akan memiliki satu otot tambahan begitu mereka pulang nanti.

"Bagus," Sebastian terkekeh. "Kalau kayak gitu, lo bisa berusaha nyetir dengan sangat hati-hati biar nggak kena tilang."

Sergio mengeluarkan satu makian kasar dalam bisikan ke udara. Tidak cukup keras untuk bisa didengar Sebastian, karena cowok itu telah lebih dulu melenggang pergi menuju kamar tidurnya. Kadang, Sergio tidak mengerti bagaimana bisa orang-orang menilai Sebastian sebagai pangeran es dengan sikap dingin yang bukan hanya membekukan, namun juga membikin gemas. Mereka tidak pernah tahu kalau di balik wajahnya yang macam warga eskimo, tersimpan tingkah laku konyol dan kecenderungan untuk berbuat semena-mena—meski tidak bisa dipungkiri kalau Sebastian sering sekali menunjukkan rasa peduli yang besar pada adik semata wayangnya.

Tidak sampai dua puluh menit kemudian, Sebastian keluar dari kamarnya. Cowok itu tampak rapi, dengan rambut setengah basah yang sudah disisir dan kaus tangan pendek warna hitam berpadu dengan blue jeans. Sebastian terlihat lebih muda dari umurnya. Dengan penampilan seperti itu, tidak heran jika ada yang menebak dirinya paling banter baru berada di tingkat dua universitas. Padahal teknisnya, Sebastian lebih tua lima tahun dari adik laki-lakinya.

"Lo mau makan apa mau nge-date?"

"Makan sambil nge-date," Sebastian melemparkan kunci mobilnya pada Sergio. "Ayo, buruan. Pizza sudah menunggu."

Setengah hati, Sergio mematikan konsol game dan televisi yang masih menyala, lantas mengekori langkah kaki Sebastian dengan agak tergopoh. Setelah memberitahu pada Mbok Jum—asisten rumah tangga mereka—jika mereka akan pergi makan malam di luar, keduanya langsung pergi ke garasi. Tidak butuh waktu lama bagi Sergio untuk mengemudikan mobil mengitari halaman rumah, lantas keluar dan bergabung dengan lalu-lintas yang telah memadati jalan.

"Gimana kuliah lo?" Sebastian bertanya sementara Sergio mengemudi.

"Biasa aja."

"Jangan jadi kupu-kupu."

"Apa?"

"Jangan kerjaan lo cuma kuliah, terus pulang begitu saja," Sebastian mengulang. "Lo harus cari kesibukan lain di luar. Cari teman yang banyak. Apapun itu, yang sekiranya bisa bikin lo senang."

Dan bisa bikin lo ngelupain Kesha. Sebastian meneruskan. Dalam hati, tentunya. Tidak mungkin dia mengucapkan kalimat semacam itu keras-keras di depan adiknya.

"Alah, bacot lo bisa banget," Sergio mencibir. "Dulu, kerjaan lo sendiri jadi mahasiswa kupu-kupu. Lo cuma datang ke kampus kalau ada kelas. Atau mau ngumpulin tugas. Atau mau ketemu dosen pembimbing."

"Gue adalah gue. Lo adalah lo. Kalau ada hal bagus yang bisa lo lakukan, kenapa harus mengikuti contoh yang jelek?"

"Berarti lo contoh yang jelek?"

"Gue nggak bilang begitu."

"Yaelah, Kak," Sergio tertawa. "Tenang aja. Lagian gue juga masih maba. Belum kenal lingkungan kampus. Nanti setelah gue biasa, gue bakal melakukan sesuatu di luar kuliah kok. Sesuatu yang jelas gue suka."

"Baguslah." Sebastian berucap seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran jok kursi mobil. Selama sesaat, suasana diantara mereka senyap. Tidak ada yang bicara, hanya ada samar lagu Radiohead yang mengalun dari perangkat sound system. Jalanan ramai dan padat merayap. Sebastian sempat menatap ke luar jendela, dan berpikir betapa indah cahaya lampu kota yang selama ini terabaikan olehnya.

Kesibukan memang bisa membuat seseorang lupa mengapresiasi keindahan karena dianggap sepele dan kalah penting dari kesibukan itu sendiri. Ketika kesibukan itu terlupakan sejenak, barulah tersadari apa yang telah terlewatkan. Atau ketika keindahan itu telah menghilang, baru terasa betapa berartinya apa yang tak lagi ada.

Mendadak, ponsel Sergio yang tergeletak di atas dashboard bergetar pelan.

"Buka aja, kak. Siapa tau pemberitahuan penting," Sergio berujar pada Sebastian yang langsung mengambil ponsel adiknya tanpa berpikir. Kening lelaki itu sontak berlipat begitu mendapati satu pesan pribadi baru di akun Instagram milik Sergio.

"Kenapa?" Sergio bertanya, karena kakaknya tak kunjung bicara.

"Ada direct message baru di akun Instagram lo."

"Oh ya? Dari siapa?"

"Culi.. chu?"

"Hah? Lo ngomong apa?"

"Ini yang ngirim nama pengguna Instagramnya... Culichu. Lo kenal?"

"Perasaan gue nggak kenal siapapun dengan nama pengguna seaneh itu."

"Tapi dia tahu nama lo."

"Hah?! Masa?!"

"Iya. Nih isi pesannya," Sebastian membacakan pesan itu. "Halo Sergio Dawala yang gantengnya nggak ada obat. Nama gue Oriana Suri Laksita. Bisa dipanggil Suri. By the way, bisa ketemuan nggak? Gue adalah masalah penting yang mau gue omongin sama lo."

Sergio menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ori—apa tadi katanya?"

"Oriana... Suri Laksita."

"Gue nggak kenal orang dengan nama begitu." Sergio menyentakkan kepala, lalu sambungnya, "Yaudah. Enggak usah dibalas. Paling juga orang iseng."

"Eh, bentar. Dia ngirim pesan lagi."

"Apaan lagi?!" Sergio berusaha keras membagi perhatian antara pada Sebastian dan pada jalanan Jakarta yang kini disekap kemacetan.

"Ini berhubungan sama Kesha."

Otomatis, Sergio menekan pedal rem secara mendadak. Mobil berhenti seketika, diikuti oleh suara klakson yang bersahutan di belakang mereka. Sebastian melotot pada Sergio, sementara Sergio balik menyunggingkan ringisan meminta maaf.

"Sori, gue kaget."

"Kaget sih kaget, tapi sumpah lo hampir bunuh kita berdua dan—" Sebastian melirik sekilas pada kaca spion mobil. "—beberapa pengendara di belakang kita. Gila lo. Buruan cabut, gue lagi males adu mulut!"

Menuruti kakaknya, Sergio kembali melajukan mobil. "Darimana dia tahu Kesha?"

"Bentar, gue tanyain."

"Kak, gue nggak nyuruh lo bales!"

"Lah," dahi Sebastian langsung berlipat. "Tadi kenapa ngomong?"

"Gue hanya menyuarakan rasa penasaran gue."

"Halah, ribet amat." Sebastian mendengus. "Eits. Dibalas lagi."

"Karena Kesha datang ke gue."

Senyap lagi di dalam mobil. Mendadak, udara menjadi terasa lebih dingin dari sebelumnya. Sebastian melotot, sementara tubuhnya bergidik tatkala bulu kuduknya berdiri secara serempak seakan dikomando.

"Maksud dia—"

"Sini!" Sergio merebut ponsel dari tangan Sebastian, kemudian menepikan mobil di depan sebuah deretan warung kaki lima. Dia tidak bisa terus mengemudi dengan topik bahasan seserius ini. Salah-salah, mereka bisa saja berakhir terlibat atau lebih parah, menyebabkan kecelakaan mayor di jalan.

Dengan tangan yang hampir gemetar, Sergio meneruskan percakapan antara dirinya dan Suri, sementara kakaknya hanya menonton dengan wajah khas orang paranoid.

@sergiodawala : maksud lo apa?

@culichu : kesha ngedatengin gue

@sergiodawala : nggak mungkin

@culichu : karena kesha udah meninggal?

Hening sejenak. Sergio menatap pada Sebastian yang balik melotot.

"Jangan ngeliatin gue kayak gitu!" Sebastian berseru keras. "Sumpah, pandangan mata lo kayak orang lagi kesurupan. Bikin parno!"

Mengabaikan seruan Sebastian, Sergio kembali meneruskan percakapannya dengan Suri.

@sergiodawala : darimana lo tau?

@culichu : ya kan sudah gue bilang, kesha ngedatangin gue

@sergiodawala : lo anak indigo?

@culichu : bukan, gue anak ayah-bunda

@sergiodawala : ye, bocah. kalau itu sih gue juga tau.

@culichu : jangan panggil gue bocah. kita cuma beda setahun, btw. gue kelas tiga SMA.

@sergiodawala : terus lo mau dipanggil apa?

@culichu : panggil Suri nggak apa-apa. tapi kalaupun lo mau manggil gue 'sayang' atau 'cinta', gue nggak nolak kok.

@sergiodawala : -_-

@culichu : gue serius. kita harus ketemu.

@sergiodawala : dimana?

@culichu : kampus lo?

@sergiodawala : jangan. ketemuan sama anak SMA di kampus cuma bakal bikin gue jadi bahan omongan

@culichu : orang ganteng dimana-mana mah emang selalu jadi bahan omongan

@sergiodawala : plis-_-

@culichu : oke. terserah lo aja.

@sergiodawala : di kedai es krim dekat SMA gue aja, mau nggak?

@culichu : SMA lo dimana?

@sergiodawala : SMA 44

@culichu : oke. kapan?

@sergiodawala : semerdeka lo aja

@culichu : hm, malam ini?

@sergiodawala : lo gila ya?

@culichu : bercanda. besok gimana? jam tiga sore?

@sergiodawala : deal

@culichu : see you tomorrow, ganteng

Anak SMA bernama Suri itu jelas punya kelainan mental, Sergio menyimpulkan setelah obrolan singkat mereka via sosial media selesai. Namun dia tidak mungkin tiba-tiba tahu tentang Kesha jika dia berbohong. Sembari menghela napas, Sergio meletakkan ponselnya ke atas dashboard, lalu balik menatap pada Sebastian yang masih terdiam dengan wajah tak enak macam musafir tengah menahan dorongan untuk buang air besar.

"Apa katanya?" Sebastian bertanya hati-hati.

"Gue dan anak aneh ini bakal ketemuan besok sore di kedai es krim dekat SMA gue dulu." Sergio menghela napas lagi, lalu menatap frustrasi pada cahaya remang-remang dari deretan warung kaki lima sisi jalan. "Dia kelihatannya nggak waras. Aneh. Tapi dia nggak mungkin tahu begitu saja soal Kesha."

"Kalau bocah itu beneran gila, gimana?"

"Kak," sempat ragu, Sergio memutuskan bertanya. "Lo percaya sama yang begituan nggak?"

"Begituan apanya?!" Sebastian jelas tidak suka topik bahasan yang Sergio munculkan.

"Alam ghaib."

"Sumpah?!"

"Mungkin nggak kalau Kesha—"

"Gue nggak mau bahas yang begituan!" Sebastian berseru memotong, kemudian mengusap-usap bulu halus lengannya yang sudah berdiri sejak tadi. "Mending kita lanjut cabut ke mall deh sebelum gue kehilangan mood dan nyuruh lo puter balik buat pulang!"

Sergio mendengus, namun dia menurut. Dalam diam, cowok itu mengemudikan mobil mereka kembali ke jalan raya. Sepanjang perjalanan sampai mall, keduanya tidak mengatakan apa-apa, meski Sergio jelas tahu bagaimana Sebastian diserang oleh rasa paranoid, sementara dirinya terkungkung oleh penasaran berbalut rindu.

Rindunya untuk Kesha.

***

Jarum pendek jam di dinding tengah berhenti pada angka sebelas saat ketiga cowok itu berkumpul untuk perundingan rahasia di kamar Cetta. Mereka sengaja melakukannya menjelang tengah malam, setelah memastikan Suri benar-benar sudah tidur. Jika Suri sampai tau ketiga kakaknya menguping dan berniat ikut campur dalam urusannya dengan bocah bernama Sergio Dawala itu, bisa dipastikan rumah mereka akan berubah jadi Jalur Gaza. Gadis itu memang kerap tampak tidak berdaya setiap kali abang-abangnya menegaskan kalau dia belum diizinkan berpacaran, namun masalah memata-matai seperti ini adalah sesuatu yang lain. Suri paling anti urusan pribadinya dicampuri, karena dia merasa dia tidak pernah mencampuri hubungan antara Chandra dengan gadis-gadisnya, atau Calvin dengan tumpukan buku tebalnya.

"Jadi bagusnya gimana?" Chandra bertanya, membuka rapat rahasia mereka secara resmi.

"Katanya besok sore mereka mau ketemuan. Lo dengar sendiri dia bilang apa sama makhluk ghaib yang mungkin dia ajak ngomong di kamar tadi."

"Gue dengar. Maksud gue, besok bagusnya gimana? Kita ngikutin Suri sejak dia masih di sekolah? Atau gimana?" Chandra menukas sewot.

"Alah, biar simpel, larang aja dia pergi kemana-mana setelah sekolah bubar!" Calvin berseru diiringi dengusan.

"Bacot lo bangor banget, deh," Chandra mendesis keras, "Jangan keras-keras. Nanti ketahuan sama Suri!"

"Oh, iya. Sori-sori."

"Kita nggak mungkin ngelarang Suri pergi kemana-mana setelah sekolah bubar, kecuali lo mau pura-pura kena asma dadakan," ujar Cetta, memandang pada Calvin yang langsung melotot.

"Asma? Sejak kapan gue punya asma?"

"Yaelah, namanya juga pura-pura, cuk."

"Kalau kutu kasur ini pura-pura kena asma, Suri bukannya prihatin malah bakal balik ngomel. Lo tau sendiri gimana Suri adalah pengkritik kebiasaan Calvin merokok nomor satu."

"Kelemahan cowok itu ada empat, Chan. Pertama, harta. Kedua, tahta. Ketiga, wanita. Keempat, ganja."

"Gaya lo selangit, padahal cuma ngehisap tembakau."

"Soalnya ganja masih dilarang di negara ini," tukas Calvin.

"Masokis. Hobi lo menyiksa diri lo sendiri." Cetta menimpali, yang dibalas Calvin dengan senyum santai.

"The truth is, everything is going to hurt you. You just got to find the ones worth suffering for."

"Bob Marley gadungan," Chandra mencibir. "Back to the topic. Bagusnya besok kita ngapain? Opsi pura-pura kena serangan asma jelas nggak mungkin. Suri nggak akan percaya, apalagi setelah dia ngelihat berapa batang rokok yang sudah Calvin bakar mala mini. Opsi gue tiba-tiba ketilang polisi atau sakit mendadak juga nggak mungkin. Kita sudah pernah pake metode itu, dan terakhir kali dipakai, Suri sudah nggak percaya lagi. Satu-satunya yang masuk akal hanya mengikuti dia dari bubaran sekolah sampai dia ketemuan sama si bocah Sergio itu."

"Terus yang jemput dia nanti siapa dong?"

"Ye, bego. Kalau dia emang bakal ketemuan sama Sergio, dia nggak akan minta jemput. Pasti dia pakai alasan kerja kelompok atau main ke rumah teman. Pegang omongan gue."

Cetta mengerutkan dahi. "Gue baru tahu kalau Suri sudah bisa bohong."

"Kan gue yang ngajarin,"

Sedetik kemudian, Calvin melempar buntalan kaus kaki Cetta ke wajah Chandra yang menyiratkan ekspresi congkak. "Sampah."

"Bohong itu kadang diperlukan untuk menghindari masalah, adik-adikku sayang."

"Bacot, Chan."

"Adik-adik yang sangat laknat." Chandra mendecakkan lidah seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Yaudah. Sepakat nih ya? Besok kita ngikutin Suri dari sekolah sampai dia nyampe ke tempat ketemuan di dekat SMA 44?"

"Bentar. Gue cek jadwal dulu."

"Gue juga."

Chandra mengernyit, menunggu dengan jengah sementara Calvin dan Cetta mengeluarkan agenda mereka masing-masing. Kedua cowok itu tampak serius membaca gurat demi gurat tulisan di atas lembar kertas buku agenda mereka, langsung mendengus keras-keras begitu setengah menit berlalu dan baik Calvin maupun Cetta masih sibuk membaca.

"Kampret, lo berdua baca ensiklopedia apa agenda?!"

Cetta menutup buku agendanya. "Duh, besok gue ada photoshoot di Kelapa Gading."

"Besok... gue ada janji ketemuan sama anak-anak komunitas mahasiswa arsitektur sekota Jakarta."

"Hanya ada satu jalan; batalkan!" Chandra berseru macam kandidat presiden lagi pidato.

"Chan,"

"Lo berdua pilih mana, Suri atau kegiatan lo berdua itu?"

"Tapi kan—"

"Denger nggak apa kata Suri? Kalian semua tuh terlalu sibuk dengan kegiatan masing-masing sampai hampir lupa memperhatikan dia. Kalau dulu sih mending, masih ada Bunda. Lah, sekarang? Kalian mau bilang apa ke Ayah kalau terjadi apa-apa sama Suri?"

Untuk kesekian kalinya, Calvin dan Cetta berpandangan. Kali ini dengan ekspresi takjub yang kentara. Mereka seakan tidak percaya jika yang baru saja bicara itu adalah Barachandra Aryasatya, kakak tertua paling brengsek yang pernah ada dan hobi gonta-ganti cewek semudah mengganti celana piyama.

"Tumben otak lo bener?"

Chandra memejamkan mata dengan syahdu. "Sebenarnya gue selalu bijak dari dulu. Lo semua aja yang nggak pernah mengerti," ujarnya, dengan kebijaksanaan setara biksu vihara.

"Deh, najis."

"Intinya, besok kalian harus batalkan jadwal kalian."

"Gue harus bilang apa sama sista-sista online shopnya?!" Cetta hampir memekik. "Gue udah janji bakal photoshoot penuh waktu besok. Konon dia punya koleksi terbaru yang datang dari Pusat Grosir Bangkok. Mumpung kelas gue lagi kosong juga."

"Bilang aja lo lagi berduka soalnya kucing lo baru meninggal."

"Chan,"

"Kucingnya kucing istimewa, masih saudaraan sama kucingnya Ratu Elizabeth II, jadi harus diberi prosesi pemakaman yang layak macam purnawirawan angkatan udara."

"Sista online shop yang ngontrak gue nggak bego kayak lo, Chan."

"Terserah. Itu solusi yang bisa gue tawarkan."

"Terus gimana dengan gue?" Calvin ikut angkat bicara.

"Sama. Bilang aja, lo sibuk ngurus tahlilan kucing lo di rumah."

"CHANDRA!!" Calvin dan Cetta membentang serempak, seperti dikomando.

"Sst, jangan berisik. Nanti Suri bangun." Chandra berujar, kemudian beranjak dari duduknya. "Oke, dengan demikian, kita bertiga sudah sepakat. Jangan lupa, besok kosongkan jadwal. Rapat gue tutup. Sampai jumpa pada rapat berikutnya. Selamat malam!" ucapnya dengan gaya serupa direktur yang baru saja menutup rapat dewan direksi, kemudian tanpa menunggu respon dari kedua adiknya, Chandra berlalu keluar begitu saja, meninggalkan Calvin dan Cetta dalam kemumetan pikiran mereka masing-masing.

"Kita harus gimana?" Cetta bertanya.

"Bilang aja sama sista online shop yang ngontrak lo kalau kucing lo mati." Malas berpikir, hanya jawaban itu yang dapat Calvin berikan. Cetta mendengus jengkel ketika Calvin akhirnya mengikuti tindakan Chandra—dia bangkit dari duduk dan pergi ke luar kamar, meninggalkan Cetta sendirian.

Cetta berusaha keras menahan diri untuk membenturkan kepalanya ke tembok. Dia tidak bisa datang pada janji photoshoot yang telah diatur jauh-jauh hari hanya karena kucingnya mati dan dia masih berduka? Gila. Siapa sih yang bodoh sebenarnya? Siapa yang harus disalahkan? Saudara-saudaranya yang berkelakuan abnormal atau dirinya karena sudah terlahir dalam rumah penuh orang-orang aneh?

Atau mungkin keduanya.  





Bersambung. 

***********************************

*********************************** 

a.n : Di konten multimedia ada visualisasinya Sebastian. 

Karena part bagian karakter sudah gue takedown, jadi gue kasih rincian umur merekanya disini aja ya 

Chandra - 24  tahun 

Calvin - 22 tahun 

Cetta - 20 tahun 

Suri - 18 tahun 

Kenapa umurnya genap? Ya biar Bunda mereka enak mrojolinnya, harap diketahui, mrojolin anak terutama yang bentukannya kayak suri dan abang-abangnya itu melelahkan. pahami, oke. 

Sergio - 19 tahun 

Sebastian - 24 tahun 

Rana - 20 tahun 

Khansa - 20 tahun 

Siena - 18 tahun 

Kat - 25 tahun 

Btw, fyi aja, gue sudah mengetik cerita ini sampai part 10. Wkwk. Ada banyak jenis hantu oke. Ada yang menyenangkan kaya Asmi dan Wati, tapi juga ada yang berbahaya dan menyedihkan. Ada juga yang melas. Karena teknisnya, di cerita ini, gue bikin tiga kelompok makhluk ghaib (hasik dah) 

- Malaikat (ini mah ceritanya pelayan Tuhan gitu dah) 

- Iblis (gausah ditanya lah ya), jadi nanti iblis ini terbagi ke dalam tujuh bangsa/kategori/kelompok/fakultas/apapun itu suka-suka lo aja mau mengkategorikannya gimana wkwk kenapa tujuh? karena terilhami dari The Seven Deadly Sins dan The Devil Codex dimana ada tujuh iblis paling powerful di neraka (you name it, like leviathan, lucifer, belzeebub and etc) (gila gue apal banget masalah iblis-iblisan)

- Jiwa-jiwa yang tersesat, dalam artian hantu-hantu penasaran. Jadi semua hantu penasaran itu tertahan di dunia orang hidup karena ada urusan mereka yang belon kelar. Kita akan ketemu beberapa jiwa yang tersesat di cerita ini. Dan mereka punya background masing-masing.

Dah ah, ku tidak mau spoiler.

Gue bukan penyuka horor, dan gue tidak pernah memandang alam tidak kasat mata sebagai sesuatu yang menyeramkan. Pertama, karena 'mereka' tidak semenyeramkan itu. kedua, karena gue percaya 'mereka' tidak jauh beda sama kita, cuma beda dimensi doang. Ketiga, karena gue doyan makeup dan gue selalu berpikir penampilan serem mereka tidak lebih dari makeup special effect belaka. Wkwkwk. Jadi, sebisa mungkin gue nggak akan membuat cerita ini jadi horor menyeramkan. 

Apalagi kalau ada cewek-cewek macam Suri, Rana dan Khansa yang pantang mundur cuma gara-gara hantu. 

Gue juga sudah menuliskan bagian gemesh Dimi/Cetta/Tri bersama pacarnya tercinta. Tenang aja, gaya pacaran Cetta tidak menye-menye kok. Soal Chandra dan Calvin, lihat aja nanti deh ya. 

Oke, sekian. Sampai ketemu di chapter berikutnya. 

Makasih loh udah komen :''3 gue selalu melihat komen sebelum memutuskan dilanjut atau tidak (eeeeee) (keceplosan) 

JANGAN LUPA SHARE DENGAN TEMAN-TEMAN ANDA!!!!!!!!!!!!!!! 

(ini nggak wajib) (tapi kalau dilakukan, Chandra-Calvin-Cetta sayang kalian) (wkwkwkwk) 

Continue Reading

You'll Also Like

955 166 7
Malika Marwan tidak pernah menyangka kalau suami yang dicintainya dan adik yang dipercayainya akan tega membakarnya hidup-hidup. Sebelum ajal menjemp...
852K 83.2K 29
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
798K 57.9K 58
Andra dan Berlian bukan lagi sekadar pengawal dan atasan, tetapi sebelum dapat melanjutkan hubungan mereka, mereka masih harus menghadapi masa lalu y...
2.7M 78.7K 34
Tidak ada yang Oninda lebih sukai daripada es krim dan Melvin hingga rela dirinya diberikan nama panggilan Oon oleh sang pujaan hati. Namun, ketika M...