[2] Dear Mr CEO | ✔

By wheniwasdreamingg

641K 32.5K 1.1K

*Sequel to 'Dear Mr Nerd'* Apakah Hana akan berpendirian teguh pada hatinya yang lama atau sekarang? Ketika i... More

BAB 1 - Hana and Begin Again
BAB 2 - Hana and First Night
BAB 3 - Hana and Unexpected
BAB 4 - Hana and Shock
BAB 5 - Hana and Him
BAB 6 - Hana and Meet Again
BAB 7 - Hana and That xx
BAB 8 - Hana and Annoyed
BAB 9 - Hana and Luck
BAB 10 - Hana and Surprise
BAB 11 - Hana and Complicated
BAB 12 - Hana and Curiosity
BAB 13 - Hana and New Job
BAB 14 - Hana and The Boss
BAB 15 - Hana and Infuriating Guy
BAB 16 - Hana and Trauma
BAB 17 - Hana and Different
BAB 18 - Hana and Madness
BAB 19 - Hana and Loser
BAB 20 - Hana and True Heart
BAB 21 - Hana and Rumour
BAB 22 - Hana and True Self
BAB 23 - Hana and Nightmare
BAB 25 - Hana and Invitation
BAB 26 - Hana and Date
BAB 27 - Hana and Kiss
BAB 28 - Hana and Misunderstanding
BAB 29 - Hana and Goodbye
BAB 30 - Hana and Hopeful
BAB 31 - Hana and Messages
BAB 32 - Hana and Lesson
BAB 33 - Hana and Now Here Us
BAB 34 - Hana and Three Words
BAB 35 - Hana and Revenge
BAB 36 - Hana and Crazy
BAB 37 - Hana and Apologize
BAB 38 - Hana and Dream
BAB 39 - Hana and Wishes
BAB 40 - Hana and Axel
BONUS
Side Story (His Little Girl)
PENGUMUMAN

BAB 24 - Hana and Sorry

10.4K 682 32
By wheniwasdreamingg

******************************

"Kamu bicara apa sih?" Hana tertawa hambar. "Dia terlihat baik... aja." Tapi Hana langsung teringat kejadian tadi.

Juna menggeleng. "Tidak. Dia adalah orang yang hebat dalam menyembunyikan sesuatu. Setelah dia pergi, dia masuk rumah sakit dan..." Juna kembali menggeleng.

"Dan apa?" tanya Hana penasaran.

"Dia koma. Bangun. Koma dan bangun lagi, sampai ia akhirnya memutuskan untuk melakukan operasi dalam hal ia tak tahu jika keputusan besar itu akan berhasil atau tidak. Ya, dia sedepresi itu ingin kembali."

Tatapan Hana ke bawah, berupaya menyembunyikan wajahnya yang memucat setelah mendengarnya. "Kenapa dia tidak pernah memberitahuku?" tanyanya setengah berbisik.

Juna terlihat terkejut, tapi mengganti ekspresinya dengan kecewa sembari bergeleng padanya. "Aku mengira kamu hanya sekedar reminis tapi ternyata kamu wanita yang tak... berperasaan."

Seketika wajahnya terangkat, terkesiap dan memiliki ekspresi tak mengerti atas lontaran Juna barusan. "Kamu bicara apa? Aku tak tahu menahu tentang ini!" kilahnya.

Juna mengerutkan kening. "Hah? Dia mencoba menghubungimu terus lewat telepon."

Hana makin bingung mendengar pernyataan Juna. "Telepon? Dia gak pernah... tunggu... kapan dia mencoba meneleponku?"

"Tiap waktu."

"Tolong definisikan!" 

Juna mengingat sebentar, sampai akhirnya menjawab, "Aku rasa beberapa bulan setelah kelulusan, kenapa?"

Hana mengusap keningnya, mencoba mengingat. "Mungkin... ponselku yang hilang itu..."

Juna makin memperdalam kerutan keningnya, ia lalu mendengus kencang. "Hilang? Tapi kamu balas pesannya dengan bilang "aku gak peduli"."

Mata Hana terbelalak. "Hah? Gak mungkin aku menulis i-"

Juna memotong ucapan Hana. "Bagaimana dengan pesan surat yang ia kirimi selama ini? Jangan bilang kamu kehilangan itu juga!" Juna tak habis pikir dengan wanita di depannya ini, apa ia pura-pura lupa atau memang ia bodoh?

"Pesan... apa?" Hana tak bisa membendung air matanya lagi. Jadi, selama ini... dia sendiri yang memutuskan semua komunikasinya? Selama ini ia mencoba menghubunginya... tapi ia tak pernah sekalipun membalasnya?

Juna tertawa kecut. "Kamu bohong kan?"

Hana menggeleng pelan, tatapannya kembali ke bawah. "Aku pikir dia... benci... dan... melupakankanku, Juna," ucapnya dengan terbata-bata.

Juna bergidik menyadari ini.

"Aku tak habis pikir denganmu. Dia bahkan gak pernah absen hadirin pameran bukumu itu." Ia berdecak. "Tapi kamu tak pernah sadar dia ada di sana. Kamu selalu sibuk dengan kekasih barumu itu."

Mendengar ini, Hana sangat tercengang. "Apa? Dia disana?" Ia tak pernah menyangka Axel selalu menghadiri acaranya, bagaimana ia tak tahu selama ini.

"Kamu wanita jahat, Hana." Juna menggelengkan kepalanya.

Hana langsung terduduk dan mengubur wajahnya, sedangkan Juna hanya diam memandangi Hana tak percaya.

"Jadi... kamu memang benar-benar tak tahu, huh?" tanya Juna pelan saat menyadari ekspresi wajah Hana. Ia bisa membedakan antara orang yang berbohong dan berkata jujur.

Hana perlahan mengangkat kepalanya dan menghapus air matanya dengan paksa. "Apa... apa ia sudah sembuh sekarang?"

Juna terdiam sejenak sampai ia menghela napas berat. 

"Beruntungnya... ia berhasil melaluinya."

Hana langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada Tuhan.

"Ya, walaupun dia tidak merasa dia dirinya lagi sekarang setelah operasi itu." Ia mengganti menatap Hana tajam. "Tapi, aku peringatkan padamu, jangan sekalinya kamu tanyakan hal macam ini padanya. Kamu tahu ia bagaimana kan? Atau kamu mau tetap jadi wanita jahat lagi?"

Hana menggeleng dengan senyum paksa. "Gak akan lagi."

* * * *

Juna bilang ia mengirimkan surat dari Axel ke alamat rumahnya dan satu-satunya orang yang tinggal dengannya tak lain adalah Hani sendiri.

Hana langsung menelepon Hani yang sekarang tengah ada di luar kota dan bertanya tentang apa maksud "pesan" yang dimaksud oleh Juna. Tapi, anehnya Hani terus mengelak dan mengalihkan pembicaraan sampai Hana membentak Hani di telepon dan menutup teleponnya paksa.

Hana terududuk di kursi tamunya.

Dari nada bicara Hani, ia tahu Hani menyembunyikan sesuatu, karena dia kembarannya dan paling mengenalnya paling lama dari yang lain dan lagi, sejak dulu ia memang tidak pernah menyukai Axel dan selalu memintanya untuk menjauhinya.

Hana mengubur kepalanya di kedua tangannya. "Kenapa semua orang selalu melakukan apapun yang mereka mau tanpa mendengarkan aku dulu sih?! Capek aku."

DORRR!!

Kepala Hana langsung terangkat saat mendengar suara kencang atau ledakan, kalau ditebak seperti suara senjata api.

DORRR!!!

Hana kembali melonjak kaget dan kini ia berdiri panik. Suara tersebut tepat di apartemen sebelahnya, tetangganya. Jika, memang hanya ada tiga unit satu lantai apartemen ini yang satunya kosong, jadi suara tersebut berasal tak lain dari apartemen Axel sendiri.

Perasaan Hana tiba-tiba merasa tak enak, ia yang panik akan berlari keluar apartemennya. Tapi, langkahnya terhenti di ambang pintunya saat ia melihat beberapa orang dengan pakaian serba hitam keluar dari apartemen Axel. Hana sempat melihat salah satu wajah dari mereka, dan saat ia tiba-tiba menengok ke arah Hana, ia langsung masuk kembali ke dalam apartemennya lagi.

Dada Hana naik-turun tak beraturan. Dari penampilan mereka, sepertinya mereka bukan orang biasa apalagi memang dunia Axel penuh dengan kekerasan. Tak bisa diragukan lagi, mereka itu adalah musuh Axel kan?

Tanpa pikir panjang lagi, Hana segera keluar dengan membawa payung sebagai senjata karena di tengah situasi panik―untuk memasuki apartemen Axel.

Sebenarnya sudah beberapa hari ini ia tak melihat Axel. Hana sebetulnya tak sanggup untuk melihatnya sekarang ini, tapi anehnya Axel tidak meneleponnya padahal Hana izin lebih dari batas hari yang ia minta. Mungkin dia lupa atau masih marah akibat kejadian tempo hari itu? Entahlah.

Hana menggeleng. Fokus Hana!

Saat akan membuka pintu apartemennya, ia sebenarnya menyadari sesuatu sebelum masuk. Pintu apartemen Axel setelah ia selidiki sebelumnya sebentar, ternyata kunci apartemennya jebol. 

Dengan tangan bergetar Hana mendorong pintu ini dan kepalanya menyembul mengedarkan pandangannya ke dalam. Seberantakannya apartemen Axel, tak seberantakan apa yang Hana lihat sekarang yang terlihat seperti terjadi perampokan...

Perampokan?!

Hana seketika menjatuhkan senjatanya, lalu langsung masuk ke dalam saat pikiran negatif memenuhi kepalanya dan mencari Axel ke dalam di manapun. Apalagi ia sempat melihat beberapa titik darah di karpet pintu masuk apartemenya.

"Axel... Axel? Axel? Kamu di ma-"

Hana kontan menjerit kencang saat ia lihat seseorang yang dicarinya sekarang tergeletak dengan darah menyelimuti tubuhnya yang ia temukan di dapur.

Orang yang dia cari itu mengernyit sekaligus terkejut melihat Hana di sini.

"Kamu ngapain di sini?! Pergi!" bentaknya.

Hana menggelengkan kepalanya dengan cepat. Hana akan segera berlari memanggil bantuan tapi suara Axel menghentikannya,

"Hana, tarik napas kamu dan keluarin perlahan." Ia menyadari kepanikan Hana padanya, apalagi saat ia menyadari sumber darahnya berasal. Ditakutkan Hana akan lupa cara bernapas di keadaan begini.

Hana masih diam tapi masih penuh sarat kepanikan dari mata dan bahasa tubuhnya.

"Sekarang!"

Hana akhirnya mengikuti perintah Axel yang memperagakan cara bernapas sekarang padanya.

"Good. Sekarang, tolong... tolong ambil P3K sekarang... di kamar mandi," mintanya dengan sekuat tenaganya yang sebenarnya menahan nyeri akan lukanya.

Hana akhirnya mengangguk.

Setelah Hana menemukannya, ia membantu Axel menegakkan tubuhnya untuk bersender ke meja counter dapur dan Axel mengarahkan Hana cara mengobatinya.

Axel lalu merobek kaosnya untuk menekan lukanya, setelahnya ia ambil alkohol dari kotak yang diambil Hana itu dan menyiramnya ke luka tembakan di pundaknya. Ia lalu mengambil peluru yang tertancap dengan cepat dan setelahnya ia beri antiseptik dan meminta Hana untuk membantu melilit perban di pundak dan mengobati ujung mulutnya yang tergores dalam dengan tangan bergetar.

Axel akhirnya bernapas lega dan membelakangi kepalanya ke counter, mencoba mengatur napasnya.

"Siapa yang lakuin ini kepadamu, Xel?" tanya Hana dengan mata teror, bahkan saat Hana mencoba memanggil ambulans―Axel terus mencegahnya dengan paksa.

Axel menggeleng. "Entah."

"Apa yang mereka mau?"

"Semua desain senjataku yang kurahasiakan. Tak usah khawatir, mereka gak akan bisa buat tanpa tangan Tuhanku ini, karena secara aku ini adalah Tony Stark mereka." Dia perlahan ingin bangkit berdiri tapi dicegah oleh Hana, ia malah memberikan Axel segelas air putih.

"Thanks." Axel lalu meminumnya walaupun ia harus mendesah nyeri akibat luka yang terasa menusuknya.

Setelahnya, ia lalu menatap Hana, ekspresinya melembut. "Kenapa kamu menangis?"

Hana yang tak sadar menangis segera mengerjap air matanya dan tersenyum sayu ke Axel. Hana terbata-bata akan bicara, namun Axel menghentikannya dengan menyentuh pipi sebelah Hana dengan senyum menyakinkan.

"C'mon, aku baik-baik aja kok. Aku sudah biasa begini."

"Biasa?" tanya Hana tak percaya dengan suara serak.

Axel akan membalas tapi sudah dipotong Hana, "Aku harus panggil bantuan!" serunya, tapi tangan Hana ditarik oleh Axel saat akan bangkit dengan tatapan kontradiktif.

"Aku serius, Hana." Axel kembali menyakinkan.

"Kenapa?!"

"Kamu tahu sendiri aku siapa Hana. Kejadian ini masih rahasia atau ini urusan pribadiku dan walaupun kamu lapor pihak berwajib, mereka tak bisa campur tangan masalahku atau masalah mereka."

Hana tak tahu harus membalas apa.

Tak lama, datanglah banyak orang berjas hitam masuk ke dalam apartemennya yang diantaranya adalah 'R' yang juga sama terkejutnya melihat keadaan ini. Mereka tak mengira apartemen yang mereka buat dengan teknologi tinggi bisa dibobol dengan mudah.

"Kalian telat, bodoh," ujar Axel dingin menatap mereka satu persatu.

'R' dan lainnya segera menunduk bahkan melipat kakinya di depan Axel. "Maafkan kami."

Axel lalu memaksa berdiri dengan berdesis, Hana membantunya berdiri dengan memapahnya.

"Kita tak bisa tinggal diam, kita harus-" 'R' seketika menghentikan bicaranya saat melihat Hana di sini.

Axel melirik Hana dan kembali menatapnya. "Dia sudah tahu."

"R" mengangguk dan kembali menatap Axel. "Saya rasa ini tak lain adalah perbuatan Clair."

Axel mendengus. "Siapa lagi," ucapnya. "Hanya Clair satu-satunya orang yang selalu berani menentang Sieghart."

"Kita harus pindah, sir," usul 'R'.

Axel kembali melirik Hana. "Gak perlu, sampai tempat ini rapi, aku akan berpindah sementara ke sebelah."

Hana mendelik saat menyadari maksud Axel. "A-Apa?"

Axel mengedipkan matanya sebelah pada Hana.

* * * *

Hana terlihat ragu akan situasi sekarang ini yang tak bisa Hana definisikan dengan perasaan campur aduk. Bingung, karena memang hidup Axel membingungkan layaknya sebuah misteri puzzle. Takut, karena memang hidup Axel sedemikian rupa setelah apa yang Axel ceritakan sebelumnya. Sedih, karena melihat keadaan Axel sekarang. Kenapa hidupnya tak pernah tenang, ditambah lagi atas apa yang beberapa hari yang lalu ia dengar, hidupnya lebih kelam dari yang Hana bayangkan.

Ia tak layak membencinya karena ia tak pantas dibenci, karena ia hanyalah seorang anak laki-laki yang tak berdosa dipaksa masuk ke dalam dunia tak berperasaan ini. Bagaimana bisa ia menahan beban sangat berat ini seumur hidupnya tanpa seseorang di sisinya yang perlahan satu-persatu meninggalkannya?

Tidak, ia tak mau mengulang kesalahan yang sama seperti masa lalu itu. Apapun alasannya, ia ingin bisa menolongnya walaupun tak sebanding apa yang ia alami sepanjang hidupnya, demi waktu yang terbuang sia-sia. Dia tak bisa meninggalkannya lagi sendiri.

Hana dan Axel kini hanya duduk dalam sunyi. Mereka berdua sibuk dengan pikiran mereka berdua masing-masing. Axel duduk di sofa tamu Hana dengan memijit pangkal hidungnya yang mungkin sedang berpikir untuk langkah selanjutnya. Ia bergejolak dengan pikirannya sendiri yang ia sudah tahu akan meleset dari rencana awalnya saat ia sudah terlanjut melanggar sumpahnya.

Hana duduk di sebelahnya agak jauh dengan memainkan jarinya sedari tadi. Ia tak tahu apa yang harus dibicarakan, ia tak tahan akan keheningan ini. Ia lalu menatap Axel di sampingnya dengan ragu dan bertanya,

"Apa rencana kamu tentang ini?"

Axel mengangkat kepalanya dan menatap Hana sekilas dengan datar dan mengedik. Sebenarnya, untuk apa ia memberi tahu Hana jikalau ia punya rencana, ia tak mau melibatkannya lagi. Tapi, tentu saja selalu gagal dan lihat apa yang ia lakukan sekarang ini, melanggar sumpahnya lagi.

Hana berdehem dan menatap Axel lagi, kini dengan tatapan empati. "Mau aku buatkan makanan?" tawarnya.

Axel lagi-lagi mengedik. "Gak perlu, aku gak laper."

Hana tahu pasti Axel akan menolaknya, mungkin tak ingin makanannya kembali terbuang. Seperti jawaban Juna sebelumnya, Hana sempat bertanya apa yang ia lihat kemarin itu di kamar mandi Axel dan Juna bilang mungkin efek dari obatnya atau karena disebabkan stress.

"Gimana kalau aku-"

"Jangan bersikap baik padaku, Hana," Potong Axel yang sekarang menatap Hana datar namun tatapan matanya penuh kontradiktif.

"Kenapa?"

Axel tak menjawab.

Apa dia mengatakan ini karena ia tak ingin dikasihani? Tipikal Axel, pikir Hana.

Hana menggigit bibir bawahnya dan menatap Axel ragu. 

"Aku mau nanya sesuatu ke kamu." Hana menegakkan tubuhnya. "Apa yang akan kamu lakukan di situasi sangat krusial disaat kamu gak tahu kalau kamu akan selamat atau enggak? Hmm, seperti tadi?" tanyanya.

Kalimat pancingan, ia tahu. Hana sekarang sudah tahu Axel pasti selalu mengalami situasi krusial seperti yang barusan terjadi, dilihat dari sikapnya yang tergolong tenang tapi entah dalam hatinya. Ia hanya ingin tahu jawabannya. Apa sebenarnya yang membuatnya kuat untuk tetap hidup sampai sekarang? Jika Hana adalah Axel, ia mungkin lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Sungguh, ia ingin menangis sekencangnya sekarang dan memberi tahu bahwa ia tidak sendirian lagi, tapi tak mungkin di keadaan sekarang ini kan? Di hubungan mereka berdua ini?

Axel menaikkan bahu. "Berdoa, mungkin."

Hana mengangguk, jawaban penyelamat. "Apa kamu takut akan kematian?"

Kening Axel berkerut samar. "Kenapa kamu tiba-tiba bertanya hal begini?"

Hana gantian bergedik. "Cuma nanya."

Axel terdiam menatap Hana sampai ia mengalihkan pandangannya dan menghela napas lelah. "Tentu, dan mungkin berlaku untuk semua orang. Aku sadar aku masih ingin melakukan banyak hal sebelum aku mati."

Hana bisa merasakan matanya sendiri berkaca-kaca. "Seperti apa?"

"Seperti..." Axel menelan ludah, tatapannya ke depan lurus dengan senyum miris. "Seperti... ingin menghabiskan waktu lebih banyak lagi dengan seseorang yang aku sayangi. Aku sadar bahwa waktu itu sangat penting," balasnya dan tersenyum sendu pada Hana.

Hana menunduk, berupaya supaya Axel tak melihat wajahnya yang sekarang memanas yang menahan air matanya untuk tak meluruh jatuh. 

"Maaf," ucap Hana pelan dan suara serak.

Axel meringis kecil. "Untuk apa?"

Hana menggeleng. "Gak ada, Aku hanya ingin minta maaf ke kamu."

Axel tersenyum samar dan perlahan mengangkat tangannya untuk mengelus kepala Hana. "Kamu tuh perempuan yang aneh tahu gak?"

Hana tertawa garing. "Tahu kok."

Tak disangka oleh Hana, Axel menggeser tubuhnya dan merangkul tubuh Hana. Ia mengelus lengan Hana naik-turun berulang dan berbisik di kuping sebelahnya,

"Maaf. Aku menakuti kamu tadi kan? Aku baik-baik aja kok."

"Apanya yang baik-baik aja...?" elak Hana pelan. Ia mengarahkan pada kondisi Axel yang lainnya, ia tak terlihat baik-baik saja menurutnya. Bagaimana bisa ia menutupinya dengan baik selama ini?

"For Godsake, kamu menangis?" tanya Axel kaget saat meneliti wajah Hana diam-diam.

Hana sendiri juga kaget, ia tak sadar air matanya turun. Hana menyentuh pipinya yang basah dan setelah sadar, ia tiba-tiba terisak dan langsung mengubur wajahnya di tangannya.

Axel lalu menarik tangan Hana dari wajahnya dan mengangkat dagu Hana untuk menyamai letak wajahnya. "Lihat aku."

Mata Hana berlarian kemanapun selain ke wajah Axel. Melihat ini, Axel langsung mencangkup wajah Hana dan memaksa untuk melihatnya, ke arah matanya. "Lihat aku," ulang Axel.

Hana akhirnya menangkap sepasang mata Axel yang menunjukkan keseriusan.

"Aku baik-baik aja, ok? Nothing is wrong with me," ucap Axel meyakinkan.

Tapi, entah Hana masih ragu akan perkatanya. "Ta-" 

Belum sempat Hana menyelesaikan kalimatnya, mulutnya sudah bungkam saat tiba-tiba saja bibir mereka berdua kini sudah bersentuhan dengan lembut dan rapat. Secara perlahan, Axel memperdalam ciumannya dan perlahan juga Hana larut di dalamnya.

Dengan pelan, Hana membalas ciuman penuh arti tersebut padanya yang membuat lawannya sedikit tertegun namun ia masih melanjutkannya. 

Ya, rasa ini. Rasa nostalgia yang penuh kerinduan akan kehangatan ini. Hal yang terasa sangat pas, seperti menemukan kepingan yang hilang dan kembali tersusun layaknya sebuah menara yang tersusun dari dua hati yang terpisah. Kedua hati yang pecah dan rapuh kini menemukan pasangannya dan bersatu kembali.

Disaat seperti ini cocok dengan isitilah "ingin rasanya waktu berhenti", bukan?

Tapi... tiba-tiba saja, persatuan itu kembali runtuh dalam kenyamanan ini.

Entah kenapa, Axel melepas Hana dari ciuman dan dekapannya ini. Ia langsung berdiri seperti ia terkena kobaran api saat ia menyentuh Hana.

Hana sekontan menatap Axel heran dan merasa jika ia melakukan hal bodoh padanya, "Ada... apa?"

Axel menggeleng dan membelakangi rambutnya dengan frustasi dan mengumpat pelan.

Hana berusaha menggapai tangan Axel yang langsung dibalas dihentaskan olehnya.

Axel yang menyadari perbuatannya barusan segera melembutkan ekspresinya pada Hana yang terkejut. "Shit, sorry." Axel tersenyum nanar padanya dan memilih berbalik pergi meninggalkann Hana tanpa berkata apapun.

Hana ditinggal Axel dalam kebingungan. Disaat semuanya terasa sempurna, kenapa ia harus memutuskannya?

Hana tersenyum miris. 

Tentu semuanya tak akan berjalan seperti yang ia inginkan, bodohnya.

* * * *

Hana tentu tak bisa tidur malam ini, tentu saja karena ada penghuni lain yang tidur di apartemennya malam ini atau tepatnya di sofanya.

Baru tengah malam tadi, ia kembali pulang entah darimana dan Hana tak ingin bertemu empat mata dengannya sekarang ini. Tidak setelah apa yang baru terjadi beberapa jam yang lalu dan ia yang meninggalkannya begitu saja tanpa alasan.

Tapi, Hana baru mengingat bahwa ia tak memberikan kenyaman untuknya tidur malam ini. Bodohnya! Ia mengutuk dirinya sendiri.

Ia lalu mengambil selimut baru dari lemarinya beserta bantal miliknya demi kenyamanannya.

Perlahan Hana mendekati Axel yang tertidur di sofanya, karena tubuhnya yang tinggi daripada panjang sofa ini, kakinya terpaksa melipat.

Hana tersenyum kecil melihatnya, ia lalu memberikan selimut pada tubuh Axel dan mengangkat kepalanya untuk memberikan bantal untuk kenyamanannya.

Sebelum kembali ke kamarnya, Hana kembali menatap wajahnya sekali lagi. Ia tersenyum miris, ia merasa seperti orang paling bodoh. Ia harusnya tahu Axel tak akan pergi darinya tanpa alasan, karena apa? Karena dia adalah Axel.

Hana melipat kakinya dan perlahan menaikkan tangannya sampai ke pipi sebelah Axel yang terlihat begitu tenang saat tertidur, andai saja ekspresi wajahnya selalu begini tiap waktu.

Ia kemudian menempelkan keningnya dengan miliknya dan kemudian berbisik pelan padanya,

"Sekali lagi... aku minta maaf."  Hana mengerjapkan air matanya yang lagi-lagi terjatuh. "Kamu memang benar, Xel. Aku yang meninggalkanmu selama ini."

******************************

a/n: apa pendapat kalian....? Akankah mereka bersatu di akhir? Ciah wkwk.

VOTE. COMMENT. SHARE.

*****************************

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 88.1K 43
"Kau tahu, Bri? Aku sangat rela jika Zayn Malik meniduriku walaupun hanya sekali." "Hati-hati dengan ucapanmu, Maia." Ranking #7 in Fanfiction (15 J...
22.9M 566K 67
SILAHKAN BACA NEW VERSION CERITA INI DI STORIAL. 17+ Bijaklah dalam memilih bacaan! DON'T COPY MY STORY! Demi memenuhi keinginan sang Ibu, Devan terp...
1M 4.7K 8
15+ Saat kesalahan telah melukai yang dikasihi, akankah ada kesempatan kedua? Evelyn harus berjuang keras meraih hati pria yang pernah ia lukai dima...
4.6M 369K 105
Qarletta Averly hanyalah seorang perempuan berumur 21 tahun, fotografer yang membutuhkan uang banyak untuk pengobatan kanker paru-paru ibunya. Ketika...