SLUT [DITERBITKAN]

By badgal97

560K 24.4K 2.4K

[TELAH DITERBITKAN DENGAN JUDUL 'LUST'] Shay McConnell yang memiliki nama 'lain' sebagai Rita, dan berakhir d... More

PROLOGUE
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5°1
Chapter 5°2
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8°1
Chapter 8°2
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12°1
Chapter 12°2
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
AUTHOR NOTES
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Ini Penting
EXTRA CHAPTER
OPEN PO!!!!!!
CASHBACK!!!
EBOOK VERSION

Chapter 30

9.5K 687 129
By badgal97

*yang gak vote sebelum baca ntar bisul


30


Pembicaraan Kelvin beberapa jam lalu terus terngiang dan berputaran secara acak ke dalam otaknya. Bukan pembicaraan mengenai alasan Kelvin datang atas perintah ibunya, bukan pembicaraan mengenai foto sialannya saat liburan yang terus tersebar, bukan pembicaraan mengenai kenangan lamanya bersama Kelvin, atau topik menyenangkan lainnya. Justru sebelum membicarakan itu semua, pembicaraan lain sempat membuat Justin terguncang di tempat.

Jessica McConnell seorang pelacur?

Tentu saja bukan. Justin yakin jika Kelvin keliru. Tetapi, jika mengingat segala perangai Jessica selama ini, ia memang terlihat seperti Jalang. Jessica sangat hebat di atas ranjang, ia selalu meminta bayaran jika Justin menginginkannya. Selayaknya seorang Jalang. Tidak. Justin menggeleng dan berusaha mengelak konfrontasi pikirannya sendiri. Dan Jessica pernah mengakui--secara tidak langsung--bahwa ia peminum yang hebat. Banyak fakta lain yang mengarah pada pengakuan bedebah Kelvin yang tidak dapat dipercaya.

Semua asumsi bermunculan, saling beradu, membuat kepala Justin terasa pening dan gila. Justin bersandar di kepala ranjang dengan hati gelisah dan pikiran yang berat. Kini, ia tengah memancing kedatangan Shay kemari untuk membawa makan malamnya. Justin sengaja tidak turun untuk makan malam bersama kedua orangtuanya yang kini--mungkin--sedang sibuk membicarakan pengalihan isu untuk pemberitaan Justin yang batal dilakukan. Justin juga sengaja mengurung diri di kamar setelah Kelvin pulang. Ia butuh pemikiran yang jernih untuk menyikapi masalah apapun yang berhubungan dengan Shay. Apapun.

Tanpa diketuk, derit pintu terdengar. Tanpa perlu memastikannya, Justin sudah tahu siapa yang datang. Dia pun hanya terdiam dengan kepala tertunduk ke arah buku di atas pangkuannya. Tanpa bergeming. Membuat Shay yang baru melihat Justin setelah seharian saling berjauhan dilanda rasa heran. Shay mendengus, lantas melenggang santai untuk menghampiri Justin.

"Hey, ini makanan--"

"Letakkan saja,"

Shay cukup terkejut mendengar respon Justin yang sungguh berbeda dari biasanya. Dada Shay kembali bergolak tidak enak saat Justin menunjuk nakas dengan dagunya lantas bertekur kembali dengan buku di tangannya tanpa bersuara. Hey, ada apa dengan bocah itu?? Ini cukup mengejutkan mengingat mereka yang baru saja kembali dari liburan romantis bersama di Palawan. Apa kedatangan Selena Gomez membawa pengaruh yang begitu besar padanya? Tidak. Ini tidak bisa diterima, batin Shay berucap sarkastik.

"Jadi..." seraya meletakkan hidangan makan malam Justin di atas nakas, Shay melirik lelaki itu yang masih saja bertekur dengan bukunya. "...kedatangan Selena Gomez membawa pengaruh besar bagimu?"

Hening.

"Ooh..." Shay tersenyum kecut seraya mengibas pelan tangannya dengan gerakan hiperbolis. "Bahkan kau enggan berbicara denganku karena artis sialan itu??"

Tidak ada jawaban.

Shay terkejut bukan main. "Justin! Apa yang terjadi padamu!?" jeda satu detik, golakan aneh dalam benaknya semakin terasa menyakitkan. "Oh, kau sudah tidak mencintaiku lagi dan lebih memilih artis bedebah itu!? Begitu!?--Justin, lihat aku!"

Justin menutup bukunya dengan keras, hingga menghasilkan bunyi debuman kecil yang menggaung di tengah keheningan. Bukan buku, lebih tepatnya Injil yang tengah dibacanya. Lantas ia menoleh ke arah Shay dengan rahang yang mengeras. "Apa?"

"Kau--" Shay menggeleng tak percaya. Golakan aneh di dalam dadanya kini terasa meledak. Menghancurkan dinding kokoh yang terbangun di dalam benaknya hingga melemahkannya. Membuat Shay merasa ingin menangis. "Apa yang terjadi padamu!?"

"Tidak ada apapun yang terjadi padaku, Jessica. Kau terlalu berlebihan."

"Berlebihan katamu??" Shay melangkah mundur perlahan sembari mengusap wajahnya, lantas mendesah. "Artis cantik datang kemari, kau menyambutnya, dan kau seperti ini! Lalu aku harus diam saja dan menerimamu yang sudah tidak mencintaiku lagi!?"

"Je t'aime." Justin menghela napas. "Vous savez le fait que je l'aime (Kau tahu kenyataannya bahwa aku mencintaimu)."

Shay terus melangkah mundur, ada sesuatu yang membuat Shay takut sekarang. Namun ia tak bisa memastikannya alih-alih merasa tersesat dan buntu. "Kau dijodohkan dengannya, benar, kan!? Kau sudah tidak mencintaiku lagi, kan!? Hatimu sudah berpaling padanya, kan!?"

"Apa yang kau bicarakan!?" dengan wajah yang tampak kuyu Justin bangkit dari atas ranjangnya, ia melangkah ke arah Shay yang semakin mendekati dinding. "Selena Gomez datang atas keinginan ibuku. Dia dijadikan umpan untuk pengalihan isu atas berita kita, Jessica. Tapi aku membatalkan semuanya. Aku bersumpah tidak jadi melakukannya."

"Kau bohong," desis Shay dengan iris mata yang menyorot penuh kekecewaan.

Dan Justin tersenyum di balik bibirnya yang kini tampak pucat sekaligus kering. Tubuhnya merosot perlahan hingga kini ia bersimpuh di atas lantai. Kepalanya menengadah tepat ke arah Shay. Iris matanya yang berwarna hazel memandang Shay dengan berbagai emosi. Terlalu abstrak. Hingga akhirnya Justin tertawa hambar diiringi air mata yang mulai meluruh di kedua pipinya.

"Mengapa begitu sulit mengambil kepercayaanmu?" bisiknya parau dan sedikit tersendat oleh isakan yang mulai timbul. Justin menggeleng pelan lantas kembali berbisik. "Tahukah kau bahwa aku sangat mempercayaimu selama ini, Jessica?"

Shay terdiam.

"Aku percaya padamu." Justin berbisik lagi, mengulangi kalimat yang sama berulang-ulang. "Aku percaya padamu." lantas meledakkan isakannya. "Dan aku terlalu mencintaimu."

Shay tersentak. Kini, seakan ada benda keras yang menghantam rongga dadanya. Membuat golakan itu hancur dan meledakkan kesakitan baru, melihat Justin bersimpuh dengan isak tangis dan dilingkupi berbagai emosi tentu membuat Shay terkejut. Ia tidak bermaksud membuat Justin sedih seperti ini. Shay hanya... hanya cemburu. Tanpa sadar air mata muncul di pelupuk matanya. Shay ikut terisak. Ia melangkah ke arah Justin lantas berhamburan memeluknya. Untuk pertama kalinya, sepanjang eksistensinya, Shay merasa begitu takut dan kecil. Ada sesuatu yang membuatnya takut dan gelisah. Lebih dari sekedar perasaan cemburunya pada Selena Gomez, lebih dari sekedar perasaan gelisah. Ketakutan terbesar setelah kematian ibunya. Dan Shay tidak tahu apa yang membuatnya setakut ini.

"Aku cemburu, Justin." isak Shay seraya membenamkan kepala Justin di dadanya, mendekapnya erat. "Aku takut kehilanganmu,"

"Percayalah padaku karena... aku begitu percaya padamu." balas Justin di sela isak tangisnya.

"Maaf," desis Shay seraya memejamkan mata, hingga air matanya semakin mengalir dengan deras. Menetes sampai ujung dagunya.

Bertepatan air mata Shay yang membasahi wajahnya, Justin menengadah. Betapa terpukulnya Justin melihat kekasih tercintanya menangis. Ia menatap Shay dengan deraian air mata, lantas kembali berbisik, "Je vous crois (Aku percaya padamu)."

"Maaf--"

Shay tersentak saat Justin tiba-tiba menerjangnya cukup kuat, lantas menciumnya dengan lumatan kasar. Isakan bahkan sesekali terdengar dari celah mulutnya, namun lidahnya bergerak dengan begitu lihai di dalam mulut Shay. Shay menggeleng kecil dengan bibir yang terkekang penuh oleh lumatan Justin. Justin seakan menguarkan segala kegundahan yang melandanya, ia melampiaskannya lewat ciuman itu.

"Justin--"

Seakan tuli, Justin menghiraukan interupsi Shay dan terus menerjangnya. Hingga tubuh Shay dengan terpaksa berbaring di atas lantai, Justin terus menerjangnya, menindihnya, bahkan tak memberi Shay kesempatan untuk mengambil napas. Cairan hidung yang keluar akibat tangisannya tak Justin pedulikan alih-alih membiarkannya menyatu bersama keringat yang menitik di wajahnya.

Kedua tangan Justin bergerak untuk mencekal kedua tangan Shay, lantas ciumannya terlepas diiringi kecupan kecil yang Justin berikan di sekitar leher Shay, ia berkelana dengan lidahnya tanpa berhenti menangis. Membuat Shay kian terkejut dan gusar akan sikap Justin kali ini. Ada yang berbeda. Dan selayaknya seorang Jalang yang kehausan, Shay hanya bisa merintih dan membiarkan Justin menjalankan aksinya.

"Je vous crois (Aku percaya padamu)." isak Justin tanpa berhenti mengecup sekitar leher Shay. "Je vous crois."

Shay melenguh diiringi isakan tangis.

Sejurus kemudian Justin menggeram, sedang air mata masih gencar mengaliri pipinya, mengeluarkan segala kesedihan yang bergolak dalam hati. Perlahan, Justin bangkit seraya membuka atasan seragam pelayan yang Shay kenakan dengan cekatan nan tangkas. Shay sempat meronta. Sikap Justin yang seperti ini membuatnya gelisah.

"Apa yang kau lakukan?" lirih Shay tanpa berhenti menangis. Kini ia nyaris telanjang, Justin hanya menanggalkan korset serta dalaman yang ia kenakan.

Isak tangis Justin semakin kuat dan dalam, seperti sesegukan. Kini ia duduk di samping Shay yang berbaring pasrah di atas lantai. Menunduk sebentar, Justin kembali mengangkat kepalanya seraya menyeka air matanya dengan kasar. Tanpa melirik Shay sedikit pun, Justin membungkuk seraya membuka celana dalam Shay. Shay membeliak terkejut, sementara Justin tak memedulikannya alih-alih melebarkan kedua kaki Shay lantas membenenamkan wajahnya di sekitar bagian inti Shay. Menjilat lubang di dalamnya.

"S'il vous plaît (Aku mohon)." Shay menggeliat resah, bibirnya bergetar diiringi isakan. "Ce qui est arrivé avec vous (Apa yang terjadi padamu)?"

Justin menghiraukan suara menyedihkan Shay yang terdengar begitu tersiksa. Tidak bisa seperti ini. Hanya karena pengakuan Kelvin, Justin menjadi begitu bodoh dan hilang kendali. Namun apalah daya seorang remaja yang begitu mencintai kekasinya yang--katanya--seorang Jalang? Apa yang Justin lakukan saat ini hanya sebatas pelampiasan. Justin bisa gila jika ucapan Kelvin terus menghantui kepalanya. Maka, ia berusaha beralih dengan menjilati milik Shay, memainkannya semampu yang ia bisa. Ujung lidah Justin meraih klitoris Shay, lantas menekan-nekannya cukup kuat. Membuat Shay menggelinjang seraya meliukkan tubuhnya.

"Hentikan!" Shay nyaris berteriak, ia tak kuasa menahan isakan tangisnya lagi. "Ada apa denganmu, Sayang? Hentikan..."

Alih-alih menjawab, Justin memejamkan matanya dengan kuat. Lidahnya semakin gencar bermain dalam milik Shay. Diiringi air mata yang terus berderaian di pipinya. Dan tanpa bisa dipungkiri, milik Shay mulai basah akibat rangsangan tak terelakan yang Justin lakukan.

"Justin," bisik Shay tanpa berhenti terisak. Ia merasa begitu hina karena masih bisa menerima rangsangan di tengah ketakutan dan kegelisahan yang menderanya. Apa tabiat seorang Jalang sebegitu rendahnya?

Bagikan ilusi, pandangan Shay sempat mengabur dalam sekejap. Diiringi bayang-bayang mengenai takdir semu yang mengabur dalam ingatannya. Terlalu banyak misteri hidup yang tidak bisa ia pecahkan. Terlalu sulit. Bahkan Shay sempat melupakan segalanya. Segala masalah yang seharusnya segera diperbaiki. Hingga tanpa disadari, Justin sudah menindih tubuhnya. Dengan ujung penis yang siap memenuhinya, masih dalam keadaan kering. Diiringi tetesan air mata yang mengenai wajahnya, Justin menatap Shay dengan sirat yang tetap terlihat abstrak. Sedangkan Shay hanya bisa terdiam dengan bibir bergetar menahan tangis.

"Oui , je vous crois." lirih Justin parau. "Je t'aime."

Dan Shay hanya membeliak seraya melenguh tertahan ketika milik Justin masuk dalam keadan kering. Meski miliknya sudah dalam keadaan lembab dan basah, namun milik Justin yang belum tersentuh cairan atau ludah sedikit pun cukup sulit diterima. Milik Shay terasa sesak, ada sedikit rasa perih di sana. Namun alih-alih menyadari kesakitan Shay, Justin hanya menatapnya diiringi sirat yang masih abstrak. Terlalu semu. Bak mata mati yang dimiliki patung porselen.

"Tolong, hentikan." bisik Shay begitu lirih.

Justin mulai menggerakkan pinggulnya, lantas menunduk menatap peraduan kelaminnya sendiri. "Désolé (Maaf)."

Dan Shay meloloskan isakannya. Ia mengerang kecil diiringi kepala yang menggeleng gelisah. Ia merasakan bagaimana milik Justin yang menghujam miliknya dengan kasar, bagaimana milik Justin yang membesar dan berkedut dari dalam. Dan bodohnya, tubuh Shay menikmati semua itu. Shay menikmati cara bercinta Justin yang kini diliputi kenjanggalan. Di bawah lantai yang terasa dingin, Shay hanya bisa menerima hujaman Justin yang berantakan dalam selangkangannya.

Justin menggeram, berusaha menahan desahan yang keluar dari mulutnya. Ia bahkan belum mampu mendekat ke arah Shay lagi untuk menciumnya alih-alih terus menerjang Shay dengan posisi berlutut. Kedua tangan Justin mencengkram kedua pergelangan tangan Shay semakin kuat. Membuat Shay merintih penuh rasa tak percaya. Tubuhnya terhentak-hentak dengan menyedihkan di atas lantai. Tanpa perlawanan.

"Ahh! Ahh!" Shay memejamkan mata dengan kuat, hingga air mata kembali merebak turun mengaliri pelipisnya. "Kumohon..."

"Aku percaya..." Justin mengejang sebentar. "... padamu."

"Aku mencintaimu, Justin. Kumohon jangan seperti ini."

Kedua telinga Justin seakan tersumpal sesuatu. Ia enggan mendengar permohonan apapun, alih-alih menerjang pundak Shay lantas mengigitnya. Air matanya kembali turun seiring dengan miliknya yang menghujam semakin keras. Membuat tubuh Shay semakin terhentak diiringi desahan dan rintihan menyedihkan.

"Ada apa denganmu, Sayang..." rintih Shay dengan napas yang memburu dan air mata yang terus mengalir.

"Je t'aime," gumam Justin di sela geraman tertahannya. Ia kembali membenamkan bibirnya di sekitar pundak Shay.

Tempo gerakan Justin semakin berantakan, Justin hilang kendali untuk menghujam Shay. Miliknya mulai dilingkupi perasaan nikmat yang tak berujung. Surga dunia yang membuatnya gelap mata. Tempat yang menurutnya tepat untuk dijadikan pelampiasan. Melihat Shay merintih dan menangis cukup membuat Justin yakin bahwa Shay hanyalah miliknya. Hanya wanitanya. Sampai kapan pun.

"Justin--Ahh!"

Dan Justin tak sanggup menahannya lagi. Ia keluar. Menyemburkan puncak kenikmatan lewat cairan cinta miliknya yang meledak-ledak. Justin kehilangan orientasi selama beberapa detik. Tubuhnya mengejang di atas tubuh Shay dengan mata membeliak diiringi air mata. Sementara Shay hanya bisa mendesis serta terisak seraya meliukkan tubuhnya, ia pun mencapai puncak di waktu yang sama.

Selesai. Mereka selesai dengan detik orgasme yang melegakan. Baik Justin maupun Shay sama-sama terengah. Hanya deru napas kasar mereka yang terdengar di tengah keheningan. Mereka mengabaikan segala keadaan, mengabaikan waktu, mengabaikan takdir, mengabaikan masalah. Bahkan hidangan makan malam Justin sudah dalam keadaan dingin tanpa tersentuh sedikit pun. Masih dengan kelamin yang saling menyatu, Justin melirik Shay. Tanpa bisa tertahankan lagi ia langsung meraih tubuh Shay ke dalam dekapannya. Lantas menangis sejadi-jadinya.

"Maaf," Justin menangis lagi. Pernyataan Kelvin sangatlah mengguncang hatinya. "Jangan tinggalkan aku. Aku percaya padamu, Cintaku. Aku percaya padamu. Kumohon, katakan bahwa kau akan selalu di sini."

"Aku di sini," Shay tersenyum kecil diiringi isak tangis. Nyatanya ia tetap berdusta. "Aku selalu bersamamu."

Dan kata-kata itu cukup meyakinkan Justin saat ini. Ia percaya pada kekasihnya. Bukan pada pernyataan tolol teman semasa kecilnya. Justin terus menangis tanpa melepas pelukannya pada Shay. Sementara Shay hanya bisa terdiam tanpa berhenti menangis. Mereka kembali mengabaikan banyak hal. Mengabaikan semuanya. Untuk saat ini mereka menghindari semua itu dengan mengabaikannya. Bahkan, mereka mengabaikan celah pintu yang terbuka. Hingga sepasang mata gelap yang penuh dengan air mata dapat melihat adegan itu semua. Seseorang mengintip dan menyaksikan semua yang mereka lakukan.


***


Shay berbaring di atas ranjangnya tanpa bisa terlelap. Di tengah malam, setelah melakukannya bersama Justin dengan cara yang berbeda, Shay kembali merasa takut dan resah. Ada sesuatu yang terjadi pada Justin. Mereka melakukannya diiringi isak tangis yang sungguh mengerikan. Setelah selesai dengan persenggamaan mereka, Justin sempat mengangkat Shay ke atas ranjang besarnya lantas menyuapi Shay makan malam yang seharusnya menjadi hidangannya sendiri. Tanpa bicara. Dengan mata sembab, tak memakai celana. Justin hanya cekatan menyuapi Shay. Setelahnya, ia mencium kening Shay lantas menyuruhnya pergi.

Tidak seperti ini, biasanya Justin akan meminta ikut untuk tidur di kamarnya. Dan tingkah Justin yang berbeda ini justru membuat Shay gusar. Membuatnya terus terjaga tanpa terpengaruhi obat tidur sama sekali. Shay mengubah posisi tidurnya berkali-kali. Ke kiri, ke kanan, terlentang, tengkurap. Tak ada kenyamanan yang dapat ia raih. Sampai terdengar suara ketukan pintu di kamarnya yang membuat Shay terdiam sejenak. Lantas segera bangkit dari tidurnya untuk melihat siapa yang datang. Shay berharap itu Justin.

Shay membuka kunci perlahan hingga menarik pintu hingga terbuka. Jauh dari ekspektasinya, Shay menangkap tubuh mungil seorang gadis yang terbalut piyama dengan motif kelinci. Ia terpaku ketika sosok itu muncul di depan pintu. Dengan rambut hitamnya yang tergerai, wajah memerah, serta air mata yang sudah membasahi wajahnya. Ada sesuatu yang menyakitkan menghantam perutnya kali ini, Shay hanya bisa terpaku menandangi seseorang yang berdiri di depannya.

"Lili--"

Ucapan Shay melebur begitu saja bertepatan dengan satu tamparan keras yang menghantam pipi kanannya. Shay terdiam dengan mulut sedikit terbuka, wajahnya ikut terhempas dengan hantaman keras itu. Sementara Liqiu melangkah masuk seraya membanting pintu di belakangnya tanpa beralih sedikit pun dari Shay. Iris matanya yang gelap menatap Shay nanar diiringi air mata, bibirnya bergetar diikuti tangannya yang terkepal setelah berhasil menampar Shay cukup keras. Bak melesatkan kemarahannya di sana.

Denyutan nyeri mulai terasa di pipinya. Shay kemudian menatap Lili dengan kebingungan sekaligus gusar. Shay kehilangan orientasi. Ia hanya mampu menatap Lili dengan mulut yang perlahan terkatup rapat. Berbagai konfrontasi berputaran dalam kepalanya. Menyentak Shay pada sebuah kenyataan yang mungkin saja bisa terjadi. Ketakutan dan kesalahan yang melanda Shay selama ini bisa saja terkuak. Kemunculan Lili yang tiba-tiba menangis serta melayangkan tamparan keras padanya membuat Shay takut bila Lili mengetahuinya. Ini tidak mungkin terjadi.

"Aku percaya padamu," ucap Lili diiringi getaran, suaranya menggaung di tengah keheningan. Membuat Shay merinding dan tertohok saat mendengarnya. "Aku percaya padamu!"

Shay terdiam.

"Tapi selama ini kau! Kau yang merebutnya dariku, kau yang menariknya dariku! K--kau! Selama ini kau!" Lili tersentak tak percaya, telunjuknya teracung dengan lemah ke arah Shay. "Kau mencintai Justinku!"

Shay hanya bisa terpaku, tubuhnya menegang di tempat. Tanpa mampu bergeming.

Dan Lili mulai terisak, ia membungkuk seraya meluruh di atas lantai. Bersimpuh dengan menyedihkan dengan bahu bergetar. "Selama ini kau, Jessica. Aku melihat semuanya, pembicaraan kalian. Bahkan aku baru hendak bertanya mengenai foto yang tersebar baru-baru ini padamu. Tapi, itu kau. Kau berlibur dengan Justinku. Kau mengambil Justinku!"

"Lili--"

"Jangan bicara!" Lili kembali membungkuk seraya menjambaki rambutnya sendiri. Ia tampak begitu hancur dihadapkan kenyataan. "Mengapa kau melakukan ini padaku, Jess!?"

Shay tak mampu melakukan apapun, alih-alih terdiam. Mematung di tempatnya.

"Mengapa kau melakukan ini padaku!? Kau mengambilnya secara utuh. Terlalu utuh. Kau ambil semuanya dariku!" Lili terus terisak dengan keras, terdengar pilu. "Sebenarnya kau ini siapa!? Siapa kau ini!? Mengapa kau begitu mudah mengambil Justinku dengan cara seperti itu! Kau siapa! Kau siapa!?"

Dan Lili terus menangis. Bak mengeluarkan luapan emosi yang terlalu menyakiti dirinya. Kembalinya Lili terlalu mengejutkan. Membuat Shay hanya mampu terdiam dengan sekujur tubuh yang menegang dan hati yang mendingin seperti mati rasa. Lili tahu? Lili melihatnya? Lili melihat segala tingkah jahatnya? Tingkah rendahannya? Semua terbongkar. Dan Shay sadar bahwa ini adalah bagian dari takdirnya.

"Justinku," Lili meratapi dirinya sendiri. Bersimpuh di atas lantai diiringi air mata dan rambut yang menutupi wajahnya. Matanya terpejam kuat diikuti mulutnya yang terbuka mengeluarkan isakan. "Mengapa kau tega melakukan ini padaku, Jess?"

Shay tertohok mendengar Lili yang menggumamkan pertanyaan yang sama dengan benaknya sendiri; mengapa ia tega melakukan ini pada Lili? Sadarlah bahwa ia hanya seorang pelacur. Cepat atau lamat Shay harus menyadari ketidakselarasan jati dirinya bersama Justin. Dan Shay dengan tega merebutnya dari Lili yang terlalu bersih. Akan menjadi kisah yang lebih baik jika Shay tidak hadir di tengah-tengah mereka. Dan seharusnya Shay sadar akan hal itu.

Namun, ia hanya bisa terdiam. Dengan wajah tertunduk serta tenggorokan yang terasa sakit, ia tetap terdiam di tempatnya. Helaan napas terdengar berat dari hidungnya. Sampai akhirnya ia hanya mampu menggumamkan satu kata; "Maaf,"


***

Sampai akhirnya semua pelayan merayakan euforia kebahagiaan atas kembalinya Lili dari kampung halaman, Shay hanya mampu memandangi kebahagiaannya serta wajah cerianya yang khas tanpa bisa meraihnya. Dibayang-bayangi perasaan bersalah, Shay berjanji akan segera mundur dari kisah ini dan mengubah haluan takdirnya. Ia membiarkan Lili meraih kebahagiaannya tanpa gangguan.

Dan sampai di mana Justin yang baru menyadari eksistensi Lili yang menyambutnya di meja makan pagi ini, ia terkejut. Bahkan ia melirik Shay yang ikut berbaris mengitari meja makan sekali-kali dengan gelisah. Lili menyadari itu dan segera menatap Shay dengan pandangan dingin yang tak pernah ia pancarkan sebelumnya. Menatap Shay penuh benci sebelum akhirnya kembali tersenyum ceria di hadapan orang-orang.

"Oh, kau sudah kembali?" ujar Lydia hangat sembari tersenyum ke arah Lili. Lili melangkah ke depan, lantas membungkuk hormat. "Bagus, selamat datang."

Shay tahu kini semuanya sudah berubah. Rasanya tak nyaman membendung perasaan bersalah yang terlalu besar seperti ini. Terlalu menderita. Ia bahkan berusaha mengabaikan tatapan Justin yang tanpa henti melirik ke arahnya. Shay hanya bisa melirik sepatu fantofolnya dengan pandangan monoton saat ini.

"Pengalihan isu bersama Selena Gomez batal, dan kami perlu memikirkan matang-matang mengenai langkah selanjutnya hanya untuk menutupi kesalahanmu, Allard." Pierre berkata di tengah keheningan. Tanpa peduli eksistensi orang-orang yang terdapat di ruang makan.

Batal? Jadi Justin tidak berdusta, bisik Shay dalam hati. Namun ia tetap bertekur memandangi sepatu fantofolnya sembari sibuk berpikir. Ia berusaha mengabaikan keadaan sekitar yang membuatnya rikuh. Begitu pun dengan eksistensi Lili yang berbaris jauh dari posisinya.

"Bagus. Jadi aku bisa bernapas lebih lega." balas Justin acuh seraya mengunyah makanannya. Suaranya yang menggema di tengah keheningan entah mengapa membuat dada Shay terasa sesak. Diam-diam, ia melirik Lili. Gadis itu tengah menghela napas berat tanpa berhenti memandangi Justin.

"Di akhir keputusan, kami akan mengadakan Royal Ball besar-besaran. Dan kau harus ikut berpesta tanpa menghilang sedikit pun dari jangkuan media." tukas Lydia seraya meminum segelas air putih di sampingnya. "Klarifikasi semua berita itu nanti, mengerti?"

Pilihan itu tidak sama baiknya bagi Justin. Mendengar media dan segala kepura-puraan yang harus ia jalani membuat Justin muak. Tanpa bisa ditahan ia melempar pisau di tangannya seraya bangkit dari kursi. "Merde! Aku bisa gila jika terus begini!"

Dan ia melenggang gusar meninggalkan ruang makan. Dengan pakaian rapi serta sepatunya yang mengetuk-ngetuk permukaan lantai di tengah keheningan panjang membuat semua orang diliputi ketegangan. Shay hanya bisa terdiam memakluminya sementara Lili tampak kecewa dan kesal menyaksikan kepergian Justin. Sampai seruan terakhir membuat Lili menegang sekaligus merasa sesak.

"Jessica, ambilkan minuman untukku!"

Shay tentu berjengit mendengarnya. Semua orang kini menatapnya. Apalagi tatapan menusuk Lili yang ikut mengarah padanya. Namun Shay tahu ini perintah. Ia hendak membuka mulut untuk menolak, tapi rasanya mustahil setelah melihat Ambre yang menggerakkan sedikit kepalanya dengan raut wajah kesal. Mengisyaratkan Shay untuk segera mengikuti perintah.

"Justin Allard Rousseau! Kau tetap harus melaksanakannya karena semua ini salahmu!" seru Pierre mengiringi kepergian Shay saat keluar dari ruang makan. Semua terlalu cepat, terlalu membingungkan. Membuat Shay semakin bertanya-tanya mengenai takdir hidupnya yang rumit.


A/N: Itu ena2 terakhir guys. Dengan ini gue memutuskan Slut nggak akan gue tunda. Karena setelah chapter ini nggak ada adegan mesum lagi. Bersih. Paling cium-cium doang dan well bisa diatasi dengan baik, Insyaallah. Trims. Kasih gue komentar plis:')

Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 440K 63
[TAMAT - LENGKAP] Demeter Ceysa Crusader, seorang model juga ceo brand terkenal di kota A. ia mengalami kecelakaan hingga membuatnya koma 3 tahun. sa...
14.3M 1.1M 68
[BAB MASIH LENGKAP] Kayla mengalami ketakutan paling besar yaitu hamil saat masih duduk di bangku SMA. Dan hidupnya seketika tak berarti ketika menge...
7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...
572K 26K 34
BULLIED BY MY CRUSH (COMPLETED) ~By : @Lifeofzyailomilox "The reason why i always bully you is because i want to..." F...