ROSANGELYNZ

By ddnadil

30.7K 1.8K 239

Sebuah dunia baru mewujud disekelilingnya. Hal-hal ajaib terjadi. Namun, ini bukanlah dongeng, atau bahkan... More

Trailer
Prolog : Rosangelynz
Give Me Love - Ed Sheeran
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
CERITA BARU!
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 24
Part 25
PART 26
Masuk nominasi WAWA 2017!
PART 27
FINAL PART

Part 23

842 50 21
By ddnadil


Rosa menatap kosong dinding berwarna klasik dihadapannya. Jantungnya berdegup kencang. Dia bisa merasakan dagu Max sedang bertopang pada pundaknya. Deru napas pria itu terdengar lembut dan hangat di telinganya. Max melingkarkan tangannya di pinggang Rosa. Sentuhan tangannya terasa sekali hingga ia bisa merasakan kehangatan itu dibalik selimutnya.

Apa yang dipikirkannya saat ini adalah; mengapa ia tidak keluar dari tubuh Avril? Kenapa dirinya tidak tercampak dari tubuh itu? Padahal dia sangat kelelahan.

Kegilaan yang dilakukannya semalam benar-benar membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Semuanya terjadi begitu saja. Rosa tidak memikirkan apa yang terjadi jika mereka melakukuan itu semua. Mereka hanyut dalam kegilaan semalam. Dan mungkin itu akan terulang kembali.

Namun, Rosa tidak ingin memikirkan perasaan cemburunya terhadap Avril saat ini. Dia sedang menikmati sebuah keindahan yang benar-benar indah. Betapa tidak! Seorang pria yang dicintainya kini sedang memeluknya sangat erat. Dia tidak akan pernah melepaskan pelukan itu.

***

Hingga pagi itu tiba, ketika ia ingin menyentuh punggung tangan Max, ponsel pria itu bergetar.

Telinganya mendengarkan baik-baik apa yang sedang dibicarakan Max dengan lawan bicaranya. Raut wajahnya berubah tegang. Disudut jendela dengan kaos lengan panjang dan celana tidurnya, Rosa mendengar nama Claudia diucapkan beberapa kali, namun ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin saja, wanita itu berada di Paris dan sedang mengamuk.

Benar. Claudia berada di Paris. Menunggu Max. Diruang kerjanya dengan ekspresi wajah yang menyeramkan untuk dipandang berlama-lama.

Rosa meremas ujung selimut erat-erat. Jantungnya yang sedari tadi berdegup hebat seolah akan berhenti untuk saat itu juga. Apakah ia marah? Tidak. Lebih tepatnya, ia sangat ketakutan. Tanpa disadarinya, dia telah merusak suatu hubungan. Ia tidak berperilaku layaknya seorang peri yang selalu bahagia melihat suatu hubungan sepasang kekasih.

Max mematikan ponselnya. Ia masih menggenggam ponselnya. Pandangannya jatuh ke sebuah rumah tua yang tidak jauh dari penginapan yang ditempatinya. Dia sedang tidak mengagumi keunikan rumah bergaya klasik itu, melainkan, sedang berpikir. Berpikir bahwa ini akan semakin rumit.

"Max?" Rosa memanggilnya.

Max menoleh. Ia menatap kedua mata indah itu dari tempatnya berdiri. Lalu, ia tersenyum. Dia melangkahkan kakinya kearah Rosa yang tengah duduk diatas kasur.

"Apa sesuatu yang buruk yang sedang terjadi ?"

Udara tampak tersedot keluar dari ruangan selagi dia menarik napas, menantikan sebuah jawaban. Max tersenyum cerah, memamerkan deretan gigi putih rata yang membuat sejumlah gadis mendesah. Namun, mata hangatnya terlalu serius.

Max duduk di sisi kasur. Mengecup sebelah pipi Rosa yang memerah karenanya. "Selamat pagi, sayang."

Rosa tersipu dengan ciuman dan panggilan romantic itu. Tetapi, ia tidak ingin terbuai. Rosa kembali menuntut jawaban dari pria itu.

"Jawab pertanyaanku tadi!"

Dan Max menjawab dengan tawa di bibirnya, "Kau tidak perlu mencemaskanku." Jawabnya lembut. " Semuanya akan baik-baik saja."

"Jawabanmu membuatku semakin yakin bahwa segalanya sedang tidak baik-baik saja." Rosa hendak beringsut dari kasur, tetapi Max meraih tangannya lembut.

"Tunggu." Max membetulkan napasnya sejenak, "Aku masih ingin bersamamu. Aku butuh cukup energi sebelum mengatasi segalanya. Yang kubutuhkan saat ini hanya kau."

Namun Rosa menggeleng. "Aku tidak bisa, Max. Kita harus berangkat pagi ini juga. Aku tidak mau semuanya semakin memburuk. Aku—"

"Baiklah kalau itu maumu." Dia memotong, sudah terlihat kesal layaknya anak remaja. "Kita berangkat sekarang."

Rosa mengedikkan kedua bahunya. "Baguslah." Serunya, terdengar ketus.

Alih-alih mereka beringsut dari posisinya, mereka masih membeku di tempat. Rosa tidak bisa meraih pakaiannya yang tergeletak di lantai. Sungguh menyebalkan, desisnya, saat dia merasa malu untuk berdiri di hadapan Max. Dia menarik selimutnya lebih tinggi saat Max tertangkap basah sedang memandangi bagian dadanya.

Rosa berdehem. "Bisakah kau ambilkan bajuku?"

Wajahnya menampakkan senyuman menggoda. "Aku sudah melihatnya, sayang. Kau tidak perlu malu begitu."

Rosa bisa merasakan pipinya memanas saat ini. "Max!" Gertaknya, seolah akan membuat pria itu ketakutan. Namun sia-sia, suaranya malah lebih terdengar seperti wanita yang tersipu karena gombalan seorang pria.

Max mengulum senyum melihat Rosa semakin salah tingkah. "Kau cantik sekali."

Rosa menenggelamkan kedua wajahnya pada telapak tangannya. "Cukup, Max! Hentikan!"

Max tertawa. Rosa benar-benar telah mengambil seluruh isi hatinya. " Dan kau semakin mempesona hanya dengan berbalut selimut itu. Percayalah."

Rosa tak kuasa tersenyum. "Oke. Kau berhasil menggodaku." Dengan wajah yang tertunduk, Rosa menghirup udara sebanyak-banyaknya. Lalu, ia mencondongkan wajahnya. "Jadi, apa maumu sekarang, Maxime Moise?"

Dengan seulas senyum bercampur rasa geli, Max menyibakkan selimut yang daritadi digenggam erat oleh wanita itu, lalu dia masuk kedalam selimut dan langsung membuatnya terbaring lagi. Max tertawa nakal dibawah selimut bersamanya. Tangannya menyentuh rambut wanita itu dengan lembut. Mata mereka saling beradu.

"Kita bisa tinggal lebih lama lagi. Ini bukan permintaan, tapi perintah."

Rosa bergumam sambil mengangguk pelan.

"Max."

"Hmm."

"Ini mungkin terdengar aneh, tapi dengarlah ini baik-baik." Rosa berhenti sejenak, kemudian melanjutkannya lagi. "Kelak, jika ada seorang wanita yang—"

Lidahnya kelu. Keinginannya untuk mengatakan bahwa jika ada seorang wanita yang muncul dan mengaku bahwa ia adalah Rosa, maka Max harus memercayainya. Entahlah. Otaknya memerintahkannya untuk tidak berkata seperti itu, meskipun ia sangat ingin.

"Kenapa kau berhenti?"

Tetapi, hatinya berkata bahwa; tahanlah dirimu. Mungkin, aku harus membuktikan sesuatu. Jikalau aku harus bertemu dengan Max dalam wujud asli, aku ingin tahu apakah pria itu bisa menjaga hati untuk tubuh yang saat ini dicintainya ataukah ia akan berpaling dan mengenaliku dengan wujud asliku, yang tentunya akan jauh lebih sempurna dibandingkan Avril.

Rosa tersenyum dengan nada yang mengancam, "Kelak, jika ada seorang wanita yang menggodamu, akan kusiram dia dengan sup perancis." Rosa berdusta.

Dia terkekeh. "Itu sama sekali tidak aneh. Itu masuk akal." Max menutup mata dan mulai menyapu bibir wanita itu.

Max telah berbuat kesalahan yang fatal. Dia telah berbuat curang dengan Claudia. Tetapi, cinta memang telah membuatnya hilang kendali. Dari banyaknya wanita yang ada didekatnya, hanya Rosa yang mampu membuat semuanya terasa berbeda. Tiga puluh hari ia sudah mengenalnya, dan wanita itu mampu meruntuhkan seluruh keyakinannya. Keyakinan bahwa ia mencintai Claudia, ternyata tidak.

Dan nanti, setibanya di Paris, Max ingin mengakhiri semua kisah dramanya bersama Claudia. Dia dan Claudia harus secepatnya mengadakan konfrensi pers. Awalnya, Max dan Claudia akan meresmikan hubungan mereka di depan wartawan, penggemar, keluarga, dan seluruh dunia. Namun, pada akhirnya, Max akan mengakhiri hubungan tersebut.

Dia akan membawa Rosa dan menunjukkan pada semua orang yang telah memandang buruk dirinya. Dan, tentunya mengumumkan hubungan tersebut. Max akan menyumbat kedua telinganya saat mendengar hujatan dan makian dari penggemar Claudia. Dia tidak peduli akan mendapatkan predikat pria brengsek atau tukang selingkuh. Orang-orang itu hanya senang bergosip. Nyatanya, mereka tidak tahu apa-apa.

"Papa! Tante!"

Suara dentingan bel yang terus berulang-berulang terdengar membuat mereka berdua terbangun dari mimpi dan kenikmatan itu.

"Sabine!" Sahut mereka bersamaan.

"Kita melupakan Sabine!" Pekik Rosa.

Max langsung melompat dari kasur. Ia mengambil pakain Rosa dan memberikannya pada wanita itu. "Pakailah selagi aku menemuinya."

Rosa mengangguk cepat dan saat itu juga ia memakai pakaiannya di atas kasur.

Gadis kecil itu memicingkan kedua matanya. Dimajukannya bibir kecilnya itu. Wajahnya merengut. "Papa! Kenapa Papa tinggalin Sabine sendirian di kamar, huh?"

"Ssst...jangan teriak-teriak, sayang. Maafin Papa." Max mengeluarkan jurus ampuh untuk membuat putrinya tidak merengut lagi. "Nanti Papa beliin cokelat—"

"—Dan buku peri atau tidak sama sekali!" Ancamnya dengan nada yang sangat lucu.

Max menuruti permintaan putrinya itu. Masalah selesai.

***

Delapan jam sebelum mereka tiba di Paris.

Max dan Rosa sibuk mengepak pakaian-pakaian dan belanjaan mereka ke dalam koper. Sedangkan Sabine tengah berbaring di kasur empuk sambil membaca buku cerita baru hasil ancamannya dua hari yang lalu. Liburan itu usai. Rosa memaksa untuk segera pulang. Dia tidak akan tenang sebelum permasalahan mereka selaesai. Dua hari setelah Claudia menelpon, Max enggan untuk menjawab semua panggilan Claudia maupun Aamber. Dan itu semakin membuat Rosa gelisah.

Apalagi, kehadiran Claudia di Paris membuat wanita itu dikejar-kejar oleh pemburu berita setiap detiknya. Keberadaan Max dipertanyakan. Sepekulasi pun bermunculan bahwa Max kabur dengan Rosa untuk menghindari awak media.

"Kau yakin ingin pulang?" Sahut Max. "Masih banyak tempat yang menarik disini."

"Keliling pasar, mengunjungi gereja, berburu bazaar makanan, berfoto di setiap sudut strasbourgh, bermain ice skating, dan yang paling keren adalah—" Ia terkekeh sebelum mengatakan, "—Saat kita terpeleset di jalan batu yang sempit dan Sabine puas sekali mentertawakan kita."

Max mendecak. "Keren? Kau bilang itu keren?"

"Mm..hmm. Ah, rasanya tak cukup kata-kata untuk memuji tempat ini. " Rosa mendesah lega sembari ia menyentuh pipi pria itu. "Aku sangat menikmati liburan ini. Dan aku merasa lebih baik. Jauh lebih baik. Terima kasih."

Max menarik tangan wanita itu dan mulai menggenggam tangannya sambil berkata, "Masih ada banyak hal yang ingin aku lakukan bersamamu. Aku akan membawamu ke tempat dimana bunga-bunga bermekaran di musim semi. Kau akan melihat banyak sekali bunga-bunga kesukaanmu. Kita akan melakukan banyak hal. Berpiknik, berjemur di pantai, bersepeda, memetik anggur, dan tentunya melihat festival bunga."

Benarkah? Apakah musim semi semi seindah itu? Apakah harapan itu akan terwujud? Max, aku takut sekali. Aku sangat takut menanti musim semi, dimana itu adalah akhir dari kisah kita. Dimana aku akan melihat dengan siapa kau akan jatuh cinta. Dimana aku harus memilih. Aku sangat takut.

"Tante, aku mau dengar kelanjutan cerita peri itu. Apa dia akan bersama-sama dengan pangeran pujaannya?"

Rosa melipat sembarang bajunya dan memasukkannya ke dalam koper. Ia berjalan mendekati Sabine. Merangkulkan tangannya ke pundak gadis yang mengenakan piyama bergambar peri. Dibawah selmut itu, Rosa berkata, "Tante akan memberitahukannya saat musim dingin berakhir."

"Kenapa tidak sekarang saja?"

"Mmm...biar buat penasaran saja." Ucapnya .

Gadis itu cemberut, tampak kecewa. "Kalau begitu Sabine mogok tidur!"

"Benarkah? Padahal, tante mau nyanyi sebuah lagu tentang peri."

Kedua mata Sabine membulat dan berbinar. Sontak wajahnya yang cemberu itu berubah menjadi wajah memohon. "Nyanyikan untukku."

"Nyanyikan juga untukku." sahut Max yang entah sejak kapan sudah memeluk putrinya disisi yang berbeda.

***

Lihatlah bunga-bunga itu. Berdansa dengan angin

Dengarkanlah bunga salju, membisikkan namamu

Rasakanlah keajaiban yang akan mengangkat mimpimu

Raih bintang paling bersinar ,yakin lah kau kan temukan sayap-sayapmu.Terbanglah menembus langit

Sentuhlah tiap pelangi yang melukis langit

Lihatlah sihir-sihir mewarnai hidupmu

Percikan debu peri lingkupi malam

Dan kau bisa terbang kemanapun kau inginkan

***

Malam harinya setelah mereka tiba di Paris...

Tatapannya begitu tajam. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sangat menakutkan. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Wanita itu berdiri tegak memandangi pria yang sudah lima hari membuatnya menunggu. Pria yang sudah mengkhianatinya. Pria yang sudah membuat namanya tercoreng. Pria yang untuk pertama kalinya menyakiti perasaannya. Max.

Amarahnya membuncah. Rasanya akan meledak. Bibirnya bergerak-gerak karna menahan rasa yang sudah bercampur aduk. Ia memandangi Max yang kini berdiri dengan sangat percaya diri di hadapannya. Rasa kesal itu semakin membuat Claudia muak saat melihat ekspresi Max yang sama sekali tidak menunjukkan rasa menyesal.

Untuk jeda yang cukup panjang. Suara mereka belum terdengar. Mereka sibuk dengan pikiran yang berkecamuk. Bahkan, suasana yang teramat hening itu, mereka bisa mendengar detak jarum jam yang berbunyi di atas meja kerja Max.

"Maaf." Max memutuskan keheningan itu.

Claudia mendecak sebal. "Aku tidak mengerti arti 'maaf' itu. Apakah 'maaf' karena kau menyesal atau 'maaf' karna hubungan ini tidak bisa diteruskan?"

"Hubungan kita memang tidak pernah berjalan baik Claudia."

"Hubungan kita baik-baik saja Max. Semuanya baik-baik saja sebelum wanita murahan itu datang dan merusak segalanya." Pekiknya tajam.

Max menatap sinis ucapan Claudia tentang Rosa. Tidak. Dia harus menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Ia tidak boleh terpancing. "Dua hari lagi kita akan mengadakan jumpa pers."

Claudia melangkahkan kakinya dengan cepat kearah Max. Wanita itu emosi. "Kau, kau tidak bisa seenaknya mengadakan jumpa pers disaat hubungan kita seperti ini!"

Max mencengkram kedua pundak wanita itu."Claudia, dengarkan aku baik-baik." Nadanya terdengar serius. "Dari awal, kita tidak pernah saling mencintai. Kita tidak pernah menginginkan hubungan ini. Dan satu-satunya jalan untuk mengakhiri masalah ini adalah jumpa pers. Mengakui dan membuktikan segalanya."

Max melepaskan cengkraman itu. Ia memasukka tangannya ke dalam saku celananya. "Bukankah ini baik. Dengan jumpa pers, orang-orang tidak akan menyalahkanmu. Kau tetap menjadi artis dan model terkenal. Kau tidak perlu khawatir. Karena aku akan bertanggung jawab atas apa yang sudah kulakukan."

Kedua tangan wanita itu memerah akibat kepalannya yang terlalu kuat. Kerongkongannya sangat sakit. Sekuat tenaga Claudia menahan air matanya yang sudah tergenang. Ia mengangkat sebelah alisnya dengan suara yang tecekat emosi. "Tentu! Kaulah yang bertanggung jawab atas kekacauan yang kalian ciptakan sendiri. Aku tidak perlu merasa khawatir.

Claudia mengambil tasnya di atas sofa. Sebelum ia meninggalkan ruangan itu, Claudia membisikkan kata-kata yang membuat Max tidak bisa menahan emosinya.

"Wanita murahan itu sangat profesional. Semoga kau korban terakhirnya."

Max mendecak. Ia tertawa sinis. Tangannya mencengkram lengan wanita itu. "Aku berharap, ini terakhir kalinya aku mendengar kata-kata itu."

Claudia mengumpat. Ia melepaskan cengkraman itu dengan kasar dan pergi meninggalkan ruangan pria itu dengan cepat.

Dan, setelah dua hari pertengkaran itu usai, Jumpa pers tetap diadakan. Mereka menghadiri jumpa pers tersebut. Mereka tidak datang bersama-sama dan semakin membuat para pemburu berita berspekulasi aneh-aneh. Bagiamana tidak! Para wartawan yang menduga adanya jumpa pers untuk mengumumkan hubungan mereka dan menyangkal semua gosip murahan yang belakangan ini menyerang mereka—pada akhirnya, dugaan mereka salah.

Saat jumpa pers itu berlangsung, Max yang lebih mendominan menjawab semua pertanyaan dari wartawan. Sedangkan, Claudia? Dia hanya melempar balik pertanyaan-pertanyaan itu pada Max. Berita-berita hasil jumpa pers tersebut tersebar begitu cepat. Dan, ya, pada artikel tersebut Max mengaku bahwa ia sudah berbuat salah. Dia mencintai wanita lain. Namun, Max meyakinkan pada media bahwa hubungan antara dirinya dan Claudia memang tidak bisa diteruskan lagi. Dan Max, meluruskan semua pemberitaan tentang Rosa dan profesi wanita itu. Dia mengaku telah menjalin hubungan dengan Rosa. Dan dia sangat mencintainya.

***

Setelah dua belas hari berlalu...

Seluruh media di Paris masih setia mengejar-ngejar Max dan Claudia. Namun, tidak se-intens dulu.

Claudia masih berada di Paris. Ia disibukkan dengan premiere film terbarunya dan masuk ke dalam festival film paling bergengsi di dunia. Dan, Max? Hidupnya berubah. Hubungannya dengan Rosa semakin mesra dan banyak mengundang decak kagum dari semua orang yang melihatnya. Saat ia menemani Rosa ke supermarket untuk membeli perlengkapan dan bahan makanan untuk Natal—semua orang memandangi mereka, dan saling berebut untuk memotret pasangan kekasih itu. Max sama sekali tidak terganggu. Selama Rosa baik-baik saja dan berita tentang mereka baik, ia akan dengan senang hati membiarkan dirinya di potret.

Selama dua belas hari itu, Rosa merasakan dirinya seperti manusia yang sesungguhnya. Setiap hari pria itu selalu ada. Mereka sama-sama disibukkan dengan perayaan Natal yang akan tiba. Pohon Natal, hiasan-hiasan, kado-kado yang sudah terbungkus cantik, dan juga aroma kue-kue buatannya yang lezat. Mungkin, selain berbakat melukis, Avril punya bakat terpendam yang Rosa tidak ketahui. Eleanor selalu memuji kue-kue buatannya.

Dan, saat Natal sehari lagi akan tiba, Rosa semakin gerogi. Ia tidak sabar menunggu hari itu tiba. Hari dimana ia akan merasakan nikmatnya berkumpul dengan orang-orang yang disayangi, bercerita di depan perapian, dan saling mengucapkan sebuah harapan. Dan, mungkin, rasa gerogi yang menyelimuti dirinya karena hari yang semakin berkurang. Dan ia tidak tahu waktu yang tepat untuk bisa tampil dihadapan Max dengan wujud aslinya.

Rosa tersenyum sesaat melihat salju turun dari luar jendela. Tidak banyak. Hanya salju-salju tipis yang jatuh menutupi aspal dan pohon-pohon. Pagi itu, ia sedang menunggu kedatangan Neva dan Alex setelah mereka menikmati libur panjang . Ia sangat bahagia bisa mewujudkan impian Neva sebelum Natal tiba. Dan sekarang, mimpi Neva untuk dapat berkumpul dan mengingat kembali, terwujud.

Wanita itu merapatkan sweater pinknya. Tiba-tiba Ia merasakan lagi sensasi aneh di dalam tubuh Avril. beberapa hari ini, ia selalu merasakan pusing di pagi hari. Tubuhnya juga lebih cepat lemas. Rosa mengira, mungkin ia sudah menggunakan tubuh Avril secara berlebihan. Tapi, saat ini, ia merasakan mual hebat bergejolak di perutnya. Dan mual di perutnya semakin menjadi-jadi saat ia menghirup bau aroma susu cokelat.

Saat dia menoleh kebelakang. Dugaannya benar. Max sedang menuju kearahnya dengan segelas susu cokelat yang selalu dibawanya setiap pagi. Bau yang sangat memualkan itu semakin menusuk hidungnya. Rosa mengatup mulutnya rapat-rapat, dia berlari ke kamar mandi. Ia memegang pinggiran wastafel erat dan memuntahkan semuanya.

©️ All Rights Reserved 2017 ddnadil    

Continue Reading

You'll Also Like

9.7M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
697K 53.5K 30
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
15.5M 875K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
1.3M 35.4K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...