SLUT [DITERBITKAN]

By badgal97

559K 24.4K 2.4K

[TELAH DITERBITKAN DENGAN JUDUL 'LUST'] Shay McConnell yang memiliki nama 'lain' sebagai Rita, dan berakhir d... More

PROLOGUE
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5°1
Chapter 5°2
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8°1
Chapter 8°2
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12°1
Chapter 12°2
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
AUTHOR NOTES
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Ini Penting
EXTRA CHAPTER
OPEN PO!!!!!!
CASHBACK!!!
EBOOK VERSION

Chapter 23

15.1K 729 51
By badgal97


*Budayakan vote sebelum baca. Nanti gak bisa kencing.

23

Shay berusaha meronta, seseorang itu masih menyeretnya mendekat ke arah taksi yang sudah menunggu tepat di depan pintu pagar sialan yang baru saja ia buka. Hell! Mengapa tidak ada penjaga di sekitar sini, batin Shay menyumpah serapahi para petugas keamanan yang menurutnya bodoh dan lalai.

Shay menghentak-hentakkan kakinya dengan keras, berusaha membuat keributan dengan ketukan sepatu fantofol yang ia kenakan. Ia berusaha menahan degupan jantung yang menderu tatkala asumsi-asumsi buruk mulai berkelebatan di otaknya. Siapapun yang tengah menyeretnya secara paksa dan keji seperti ini, Shay yakin orang itu tak lebih dari mafia kelas teri yang tak ada apa-apanya dibanding Jake. Tapi bagaimana jika pria ini termasuk dalam jajaran anak buah Louis? Tidak. Mengapa Shay harus takut? Rileks, Rita. Dia juga seorang mafia, benar? Oh, bukan, lebih tepatnya, mungkin Shay adalah kacung milik seorang mafia. Dan tentunya, kacung yang istimewa.

Shay dihempaskan begitu saja ke dalam taksi. Ia berusaha bangkit dengan cepat seraya mengeluarkan berbagai sumpah serapah dari mulutnya, berniat untuk menerjang pria yang dengan lancang menculiknya. Namun seseorang itu lebih dulu menerjang Shay dengan mendorong kedua pundaknya hingga tubuh Shay lagi-lagi terseret lebih dalam. Akhirnya pria bermantel tebal dan bertopi flatcap hitam itu ikut masuk dan duduk di samping Shay yang kini meronta-ronta lebih liar.

"Merde! Keluarkan aku!" seru Shay tajam. Kedua tangannya mulai gemas memukuli pria di sampingnya. Tak tanggung-tanggung, Shay nyaris mencakar wajahnya jika saja pria itu tak menghindar hingga flatcap yang dikenakannya terlepas.

"Tais-toi! Je. (Diam! Ini aku)"

Mendengar suara yang ia kenal serta aroma mint yang menguar samar membuat Shay membeku selama beberapa detik. Sialan! Jadi Justin yang melakukan semua ini dan membuatnya panik setengah mati!? Shay menggeleng tak percaya, lantas mengerang kesal dan kembali menerjang Justin dengan pukulannya.

"Apa-apaan kau!?" desis Shay kesal. "Dasar bodoh! Bodoh!"

"Sayang, hentikan." erang Justin sambil berlindung di balik kedua tangannya.

Shay menghentikan aksinya memukuli Justin saat dirasa mobil taksi yang dinaikinya mulai maju perlahan-lahan. Shay mendongak ke arah Justin dengan panik lantas mendesah penuh gelisah.

"Kita mau ke mana?" Shay mengerang frustasi. "Aku mohon, jangan berbuat aneh disaat yang tidak tepat."

Alih-alih menjawab, Justin menarik tubuh Shay ke dalam rangkulannya lantas mendekapnya erat. Bocah lelaki itu menempelkan bilah pipinya di atas puncak kepala Shay dan mulai sibuk menikmati perjalanan.

"Justin," rengut Shay kian frustasi. Tentu saja, siapa yang tidak frustasi jika dihadapkan dengan situasi yang Shay alami? Bagaimana jika Ambre tahu Shay menghilang dan tidak menjalankan suruhannya? Bisa-bisa ia mengamuk macam monster. Shay bergidik ngeri membayangkannya.

"Apa, Sayang?" bisik Justin dengan nada manjanya yang khas.

"Ayo, kita kembali. Ambre bisa marah jika tahu aku menghilang."

Justin mendengus. Satu tangannya bergerak untuk mengelus lengan Shay dengan lembut. "Ambre! Ambre! Ambre! Aku sungguh akan memecatnya sepulang dari sini. Kau lebih peduli padanya dibanding aku."

"Geez, jangan memecatnya!"

"Lihat? Kau begitu peduli padanya. Jangan katakan padaku bahwa kau seorang biseksual."

Shay dengan cepat menengadah, menghadap wajah Justin yang kini menunduk menatapnya. Manik matanya memancarkan sesuatu yang membuat perut Justin terasa melilit selama beberapa detik. "Jangan asal bicara,"

"Maaf, aku hanya bercanda, Sayang." Justin memamerkan cengirannya. Membuat Shay mendengus sebal.

Mobil taksi itu terus melaju. Shay sempat bersikap defensif saat menyadari terdapat supir asing yang mengemudi di depan. Namun melihat sikap Justin yang santai dan terus mendekapnya di sepanjang perjalanan membuat Shay bisa sedikit lebih tenang. Entahlah, Shay merasa tenang begitu saja dan merasa bahwa dekapan Justin memberikan kenyamanan terbaik untuknya. Padahal, seorang bocah belum tentu mampu memberi perlindungan, bukan?

Sekitar dua puluh menit menempuh perjalanan di sekitar Paris yang padat, mobil taksi yang mereka naiki akhirnya berhenti di depan sebuah komplek perumahan. Shay mengernyit sambil memandang ke arah luar jendela mobil dengan bingung. Alih-alih mengikuti Justin yang mulai membuka pintu taksi.

"Cintaku, ayo keluar." ujar Justin yang sudah keluar dari mobil. Lelaki itu tengah kembali memasang flatcapnya. Shay mengerjap, lantas ikut keluar dengan batin bertanya-tanya.

"Kita mau ke--"

Shay yang sudah dirundung rasa penasaran kontan mendecak kesal saat Justin mendesis lantas melengos ke jendela depan taksi untuk berbicara dengan supir. Tanpa bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, Shay hanya bisa memerhatikan dengan saksama. Hingga ia dapat melihat Justin memberi supir taksi itu tumpukan euro--mata uang Perancis. Beberapa detik selanjutnya Shay tercengang melihat Justin sempat mencekik supir itu. Astaga, dasar bocah psycho. Bocah itu belum tahu cara mengancam yang elegan. Terlalu serampangan

Justin kembali dengan langkah tenang seraya membuka mantel besarnya, wajahnya sedikit ditutupi kegelapan oleh flatcap. Sementara taksi yang mereka tumpangi mulai melaju pergi begitu saja. Shay memerhatikan setiap langkah Justin yang teratur, setiap perangai bocah itu yang terjaga saat membuka mantelnya, sebagaimana etika seorang Bangsawan. Dan Shay sempat tak menyangka melihat penampilan Justin yang terlihat lebih santai dengan balutan kaus dan celana jins dan sepatu supra berwarna hitam. Bocah itu tampan, sungguh. Jika jiwa dan mentalnya tidak terganggu mungkin dia sudah lama menjadi sosok cassanova yang bisa meniduri banyak wanita.

"Justin, kita mau ke mana?" Shay bergumam kembali sembari membiarkan Justin yang kini menyampirkan mantel hitam itu di kedua pundaknya, menutupi seragam nanny yang dikenakannya.

Tanpa menghiraukan pertanyaan Shay, Justin mulai melangkah memasuki kawasan perumahan yang Shay tidak ketahui di mana tepatnya. "Ikut aku."

Shay lagi-lagi mendecak kesal dan terpaksa mengikuti langkah Justin yang cepat. Mereka mulai memasuki kawasan perumahan yang sunyi senyap itu. Terik matahari di siang hari menambah kesan panas yang membosankan. Shay merutuk dalam hati, untuk apa Justin membawanya kemari? Komplek antah berantah yang sepertinya tak dihuni banyak orang? Entahlah.

Justin berjalan mendahului Shay, dan berjalan di depannya. Sementara Shay tak berhenti merutuk seraya mengeratkan mantel yang membalut tubuhnya. Well, Shay juga masih memiliki rasa malu untuk berkeliaran dengan pakaian khas pembantu seperti ini--ditambah bandana sialan pula. Langkah Justin yang semakin cepat dan cepat membuat Shay rasanya ingin menendang bokong Justin untuk berhenti. Tetapi, karena Shay masih waras untuk bertindak, ia memilih untuk tak peduli dan mulai mengenyahkan rasa bosan dengan memandangi rumah-rumah yang ternyata sebuah paviliun itu berjajar di sisi kiri dan kanan.

Beberapa paviliun tampak begitu asri dan bersih. Namun ada juga yang tampak berdebu, tak terawat, dan angker tanpa penghuni. Shay yang melihat itu hanya bisa mendengus dengan rasa penasaran yang semakin meningkat. Hell! Mengapa Justin membawanya ke sini? Sungguh, Shay tak tahu di mana tepatnya komplek paviliun antah berantah ini. Iris mata cokelatnya memandang punggung Justin yang berjalan semakin jauh, apa-apaan? Shay seakan ditinggalkan di sini dan dianggap sebagai orang asing.

Mereka terus berjalan sampai akhirnya Justin melangkah pasti ke arah paviliun terbesar di komplek itu. Mata Shay menyipit seraya melangkah mendekati Justin. Paviliun yang kini mereka singgahi tampak sangat bersih dan terawat, namun terlihat sepi dari jangkauan manusia. Satu penjaga pun tak nampak di sekitarnya. Shay tentu terheran, Justin membuka pagar paviliun dengan mudah tanpa terkunci.

"Dulu aku dibesarkan di sini." Shay yang hendak bertanya kembali bungkam. Sementara Justin melangkah masuk ke dalam halaman paviliun yang cukup luas. "Tapi sekarang tidak lagi. Sejujurnya, aku lebih nyaman tinggal di sini. Itu sebabnya aku bersikeras mempertahankan paviliun ini meski aku nyaris meninju wajah ayahku yang bedebah itu."

Justin, Justin, Shay menggeleng tak percaya. Bocah itu kini berjalan lagi mendahuluinya. "Apa penjaga tidak akan menemukan kita di sini?"

Dua meter berjarak di depan Shay, Justin menoleh sambil mengedikkan bahu. "Tidak ada penjaga di sini, hanya beberapa petugas kebersihan yang datang satu kali dalam seminggu."

Shay ikut mengedikkan bahunya. Bersikap apatis, jalang itu mempercepat langkahnya, berniat untuk mendahului Justin. Dan belum-belum Shay menyamai langkahnya, Justin sudah lebih dulu menarik tangan Shay dan menuntunnya cepat menaiki tangga kecil di teras paviliun.

"Justin!" pekik Shay terkejut. Alih-alih berhenti, Justin melangkah semakin gusar memasuki paviliun.

Pintu paviliun sama sekali tak terkunci. Justin membukanya begitu mudah seakan-akan ia memang sering berkunjung. Shay yang tengah bertanya-tanya dalam hati hanya bisa mengikuti langkah Justin dengan tertatih. Setelah masuk ke dalam paviliun yang di dalamnya begitu besar, Justin menutup pintunya rapat-rapat dengan gerakan pelan. Beberapa detik kernyitan muncul di dahi Shay. Dan di detik berikutnya kernyitan itu lenyap digantikan oleh raut wajah terkejut karena tak di duga, Justin mendorong Shay penuh perhitungan hingga jalang itu menghempaskan punggungnya di dinding berwarna krem pucat. Tepat di dekat pintu berganda yang baru saja mereka masuki.

"Enfin, juste nous deux. (Akhirnya, hanya kita berdua)" Justin memamerkan senyum miringnya yang tampak culas. "Aku merindukanmu."

Shay menghela napas, menahan rasa gusar yang bergumul dalam dadanya. Aroma lavender yang menguar di paviliun ini tercium begitu wangi membuat kegelisahan Shay sedikit berkurang untuk sejenak. Jadi, Justin mengajaknya kemari untuk bercinta? Begitu? Lagi-lagi bocah itu memintanya di waktu yang tidak tepat.

"Justin--"

Belum sempat Shay berkata untuk menolak, Justin menciumnya. Tanpa menunggu lebih lama, Justin melesakkan lidahnya ke dalam mulut Shay, menggerakkannya dengan liar dan sensual, menelusuri setiap inci dalam mulut Shay, menyesapnya. Shay yang berusaha menolak tentu tak mampu karena tanpa bisa dipungkiri bahwa Shay juga membutuhkannya, untuk saat ini.

Shay membalas dengan tak kalah panas. Secara naluriah kedua tangan Shay terangkat dan melingkari leher Justin. Sementara bocah lelaki yang haus seks itu mulai merabai pinggul Shay lantas mendekapnya erat, menjaga Shay dan mengurungnya dengan aura protektif.

"Je t'aime, Je t'aime."

Bisikan Justin di sela ciuman memabukan mereka entah mengapa membuat tubuh Shay gemetar. Sial! Mengapa bocah ini menjadi berpengaruh dalam rangsangannya? Justin semakin handal melakukan suatu hal yang manis, yang memberikan sensasi tersendiri bagi Shay, yang tentunya menjadi sebuah kesalahan jika Shay membiarkannya. Tapi alih-alih menolak, relung hati Shay menginginkan lebih. Sisi lust dalam diri Shay seakan menuntut wanita itu untuk meraih selangkangan Justin yang dibalut jins lantas meremasnya lembut.

"Ahh... aku dapat merasakannya, Sayang."

Justin mendesah seraya melepaskan tautan bibirnya dengan Shay. Lalu beralih dengan menjilati leher mulus yang menurutnya terlihat seksi itu. Shay yang diperlakukan seperti itu hanya bisa mendongak seraya memejamkan mata lantas menggigit bibir bawahnya. Sedikit pun Shay tak mengeluarkan suara. Hanya deru napasnya yang terdengar lebih kasar.

"Apa kau membawa uangmu?" bisik Shay saat Justin mulai menggiti daun telinganya. Sejurus kemudian desahan Shay berhasil lolos dengan lepas.

"Tidak," desis Justin. "Tapi kau boleh meminta apapun padaku. Anggap itu bayarannya, Cintaku."

Shay menjauhkan kepalanya dari Justin yang tengah asyik menikmati daun telinga Shay. Lantas menatap bocah itu dengan sirat mengintimidasinya yang khas, begitu misterius. "Aku menunggu janjimu. Jika kau berbohong, kau akan tahu akibatnya, Tuan Rousseau."

Justin yang sudah terangsang setengah mati lantas mendecak tak terima karena Shay menginterupsinya di saat yang tidak tepat. Namun alih-alih mengeluarkan amarahnya, Justin menarik napas panjang lantas menghembuskannya kasar. "Kau benci pada orang yang pengingkar. Lalu apa kau pikir aku sudi dibenci olehmu? Tidak, Sayang. Aku mencintaimu, dan tidak akan pernah mengingkari janji."

"Anak pintar." Shay memamerkan senyum miringnya yang justru membuat milik Justin terasa semakin keras di bawah sana. "Je t'aime, Justin" gumamnya senang.

"Sayang, itu terdengar indah." Justin tak kuasa mengembangkan senyum bahagianya dan langsung kembali mencium Shay dengan rakus, yang dibalas Shay dengan tak kalah liar dan panas.

Nyatanya, Shay kembali gagal untuk mengalihkan haluan. Takdir yang ia ambil masih mengalir di arus yang sama, di jalan yang sama, di ruang lingkup yang Shay anggap sebagai kesalahan. Dan lagi-lagi Shay tak mampu melawan arus takdir itu, kesahan itu. Shay terhanyut cukup jauh dan jauh tanpa tahu caranya untuk kembali. Bahkan Shay tenggelam di dalamnya.

Berawal dari ciuman itulah kesalahan selanjutnya kembali bermula. Ciuman yang semakin meluas menjadi cumbuan. Kedua tangan Justin yang nakal bergerak liar membuka resleting seragam Shay yang terletak di sekitar punggung lantas menariknya secara kasar. Shay sendiri sudah berhasil melepas sabuk yang Justin kenakan dan menurunkan celaka jinsnya hingga celana itu hinggap sampai di betisnya, menyisakan Justin dengan dalaman berwarna merah--persis seperti warna kausnya. Mereka sudah tak kuasa menahan birahi yang mendera. Bahkan tanpa disadari, mereka masih tak bergeming di dinding dekat pintu paviliun. Tempat seakan tak berpengaruh dalam persenggamaan panas mereka.

"Bisa kau rasakan milikku?" Justin menatap Shay dengan mata berbinar, iris karamel dengan pendar keemasan itu sangatlah indah. Jemarinya meraih tangan Shay dan menuntun wanita itu untuk meraba selangkangannya. "Ini. Namanya Jerry. Bisa kau rasakan bagaimana Jerry?"

"Kau menamai penismu?" Shay tergelak. Tak urung ia menggerakan tangannya sendiri untuk meremas milik Justin. "How cute, dan ya... ini keras."

Shay menelusupkan tangannya ke celana dalam milik Justin, jemari nakalnya bergerak merabai bulu Justin yang rimbun di dalamnya, mengelusnya lembut yang sontak membuat Justin mengeluarkan erangan. Lelaki itu mendongak sembari memejamkan mata menahan kenikmatan dan sensasi geli yang Shay berikan. Ekspresi itu... Justin tampak manis, sungguh. Dan karenanya Shay semakin sulit untuk mengambil haluannya.

"Bagaimana dengan milikmu? Apa kau juga memberinya nama?" tanya Justin dengan polosnya. Astaga, apa-apaan lelaki itu, batin Shay. Tangan Justin ikut masuk ke dalam roknya dan merabai miliknya di balik celana dalam. "Dan.. Mon Dieu, sudah terasa basah di bawah sini, Cintaku."

"Kau selalu cerewet." Shay berdalih menahan malu. Keparat! Shay merasa derajatnya sebagai pelacur ulung terhempas jatuh. Pelacur tidak bisa seperti ini!

Merasa tertantang karena ucapan Justin yang terkesan mencemooh, Shay mulai menurunkan celana dalam yang Justin kenakan lantas menyerang batang itu dengan jemari nakalnya. Membuat Justin kembali melenguh nikmat seraya meraih kedua payudara Shay yang sudah terekpos sempurna. Entah kapan tepatnya payudara itu terbuka, Shay tak peduli.

"Jess! Ahh..."

Shay menarik lengan Justin agar semakin rapat dengannya. Dan tak diduga, Justin menyingkap bawahan seragam pelayan yang dikenakan Shay lantas menggesekan miliknya sendiri di sekitar milik Shay yang masih tertutupi celana dalam renda berwarna biru. Shay berjengit selama beberapa detik atas tindakan lancang yang Justin lakukan. Berengsek! Batinnya mencemooh. Namun tak urung ia ikut menggoyangkan pinggulnya seraya melebarkan kedua kakinya, menikmati sensasi gesekan milik Justin yang terasa geli bercampur nikmat. Hah bersikaplah apatis, batin Shay. Persetan dengan derajat sebagai pelacur. Kenikmatan tak bisa dihentikan.

"Justin, Justin," Shay mengerang. Erangannya terdengar seksi sekaligus merdu bagi Justin. Dan goyangan atas gesekan yang Justin lakukan sangatlah tergerak dengan erotis. Sungguh menggairahkan.

Berpuluh detik mereka saling menggesek. Hingga mereka melampaui titik birahi dan siap untuk beradu. Tanpa bisa Shay cegah, Justin dengan gesit menarik turun celana dalam berendanya. Hingga dalaman itu hinggap sampai ke sekitar mata kaki, nyaris terlepas.

"Cintaku, kau sangat manis." bisik Justin penuh memuja. "Aku tak bisa hidup tanpamu."

"Jangan banyak merayu."

"Rayuanku bukanlah kilasan, Sayang. Tatap mataku."

Dan Shay mendongak, hingga manik mata mereka saling bertemu. Memandang penuh arti, saling bersirobok. Iris mata hazel yang sebening manisnya madu membuat Shay membeku selama sejenak. Menelisik lebih dalam, Shay memang mampu mendapatkan apa yang Justin pancarkan lewat matanya. Tulus. Jernih. Tanpa ada sirat tajam atau mengintimidasi setitik pun. Nyatanya, Justin mengungkapkan kejujuran. Meski hanya tersirat namun Shay mampu merasakan segenap hatinya yang bergetar. Justin Allard Rousseau... bisiknya dalam hati. Mengapa kau membuatku jatuh terlalu dalam? Batinnya. Sibuk dengan perang batin dan hanyut dalam tatapan matanya yang dalam, Shay tiba-tiba mengejang penuh nikmat. Tanpa berpaling mata dari Shay, ternyata Justin mampu mencuri waktu untuk menyatukan kelamin mereka.

"Kau..." erang Shay tertahan. "...nakal, Justin. Bocah Nakal!"

"Apa aku hebat?" tanya Justin alih-alih menanggapi makian Shay. Lantas mengangkat tubuh Shay seraya melingkarkan kedua kaki jalang itu ke sekitar pinggulnya. Shay secara reflek bersandar di dinding. "Ya, aku memang hebat. Ayo, Gerakan pinggulmu, Sayang."

Keparat! Makian Shay bergaung di rongga dadanya. Tanpa bisa menutupi rangsangannya lagi, Shay menggoyangkan pinggulnya dengan tempo teratur. Cepat, lamban, terpatah-patah. Shay sengaja mempermainkan batang keras milik Justin yang dipanggil jerry itu di dalamnya. Biarkan anak Bangsawan itu merasakan nikmatnya goyangan seorang pelacur.

"Ahh..! Ahh..Jess, Jess!" Justin terus meloloskan lenguhannya, tak kuasa menahan kenikmatan yang semakin membara. "Vous avez fait de moi la dérive. (Kau membuatku melayang)"

Shay terus menggoyangkan pinggulnya tanpa enggan membalas ceracau Justin yang berisik. Alih-alih menunduk untuk menjilati leher Justin dan merambat ke rahangnya.

"Jess! Ma Belle! Jangan membuatku gila." erang Justin tertahan sambil terus menerjang Shay dengan dorongan kelaminnya. Membuat Shay lagi-lagi berjengit merasakan tohokan di dalam sana.

"Bodoh!" umpat Shay seraya menjambak rambut Justin. Keringat mulai gencar membasahi mereka berdua yang bergumul dalam persenggamaan panas.

"Aku tak bisa berhenti! Aku tak bisa berhenti!" Justin menggeleng tak kuasa menahan nikmat. "Kau membuatku gilaaa..Merde!"

Mulut Justin yang cerewet itu memang perlu disumpali sesuatu. Apa dia tidak sadar bahwa sedaritadi mereka berada di dekat pintu? Ceracaunya yang penuh kata-kata kotor dan desahan cabul itu bisa saja terdengar sampai keluar. Maka dari itu, Shay segera membungkam mulut Justin dengan bibirnya. Dan seakan kehausan Justin membalasnya begitu rakus. Memagut penuh nafsu.

"Emh..." erang Justin tertahan di sela ciumannya. Shay menggigit kecil bagian atas bibir Justin. Memperingatkan lelaki itu untuk diam.

Goyangan yang Shay lakukan kian liar. Bergerak tanpa tempo atau bedebahlah. Sementara Justin semakin gencar memaju mundurkan miliknya hingga semakin menohok ke lubang inti milik Shay yang merekah. Sialan! Ini begitu nikmat, batin Shay. Shay nyaris saja jatuh dari gendongan Justin karena tak kuasa menahan nikmat yang melemahkan sekujur tubuhnya. Namun dengan jantan Justin mampu menahannya tanpa melepas ciuman mereka. Ketika mereka kian terhanyut dan nyaris kehilangan kendali untuk menggencarkan peraduan kelamin mereka, bunyi derit pagar di luar sana seketika menginterupsi. Shay yang lebih dulu mendengar kontan berjengit terkejut.

"Ada yang datang." gumam Shay pelan seraya membekap mulut Justin penuh gerak defensif kala Justin nyaris meloloskan lenguhannya. Mendengar gumaman Shay, Justin berhenti menggerakkan pinggulnya seraya mengernyit.

"Tidak. Itu mustahil" gumam Justin menggeleng kecil sembari menghapus keringat yang menitik di sekitar wajah Shay. Beberapa detik mereka terdiam dan menghentikan persenggamaan mereka selama sejenak sambil menajamkan telinga masing-masing. Dan mereka tersentak bersamaan kala suara ketukan pintu berkali-kali terdengar. Tepat di samping mereka.

Shay menegang sambil mengeratkan pelukannya di leher Justin, mulai merasa panik. Sementara bocah itu membenarkan posisi gendongannya pada Shay. Sekujur tubuh mereka saling menegang. Bahkan mereka menghiraukan peraduan kelamin yang masih menaut erat. Untuk sejenak, mereka mengalami hal semacam disorientasi.

"Tuan Muda," terdengar suara bariton rendah di luar sana. Lalu ketukan pintu kembali mengejutkan Shay dan Justin. "Tuan Muda, ini aku."

"Putain! Antoine!" desis Justin tak percaya, tentu saja. Bagaimana bisa Antoine datang kemari? Ajudan itu tidak mungkin meninggalkan sang Presdir yang berada di Chicago. Ia ikut bersama Pierre dan Lydia pergi saat itu.

Shay mulai merasa gemetaran sekaligus panik. Birahi yang menggebu-gebu dalam dirinya seakan teredam oleh rasa panik yang mulai meletup-letup. Sial! Bagaimana ini, batinnya. Shay mulai menggigiti bawah bibirnya gelisah seraya memikirkan sebuah rencana agar bisa bersembunyi. Tapi, semua terasa buntu. Shay tak bisa menemukan ide barang satu pun. Alih-alih kian panik saat suara ketukan pintu kembali terdengar. Aroma lavender di sekitar ruangan seakan tak menenangkan lagi. Desiran angin yang berhembus melalui ventilasi mendadak meremangkan sekujur tubuh Shay yang setengah telanjang dengan seragam pelayan yang tersingkap berantakan.

"Tuan Muda, kumohon, buka pintunya."

Shay berjengit lagi lantas mendongak dengan panik ke arah Justin. "Bagaimana ini?"

Shay bisa melihat air muka Justin yang tampak gamang. Wajahnya yang memerah serta dipenuhi banyak keringat membuat Shay merasa kasihan melihatnya.

Alih-alih panik, Justin mengerling ke arah Shay lantas mengarahkan kecupan lembut di dahi jalang itu. "Cintaku, kau harus tahu bahwa aku menyukai tantangan."

Dan tak diduga, Justin mengangkat tubuh Shay yang mengangkang di depannya tanpa melepas peraduan kelamin mereka. Shay sontak membeliak terkejut dan berusaha menahan diri untuk tidak histeris. Merde! Apa yang baru saja dilakukan bocah itu? Sungguh, Shay merasa sangat sangat sangat panik sekarang.

"Bodoh! Apa yang kau lakukan!?"

Alih-alih meredam kepanikan Shay, Justin berbalik lantas berlari kecil memasuki paviliun lebih dalam dengan Shay yang berada di gendongannya. Shay kontan kian terkejut dan terus mendesiskan makian-makian keji atas tindakan gila yang Justin lakukan. Kira-kira ke mana mereka pergi? Tentunya, bersembunyi.


TO BE CONTINUED!

A/N: Krik..Krik. Mengecewakan yaaaa?:( maaf ya kalau gak sesuai ekspektasi, emang ini alurnya. Terus sori telattt, ada kesalahan teknis wqwq. Semoga dimaklumi yaa guys. Plisss kasih gue komentar yang banyak, vote yang bejibun. Masa yang liat prolog sampe duarebu tapi yg vote segede upil:'( kasian dong gue pliss jangan sampe gue down lagi dan ngerasa minder:')

95votes, 35comments, next!

Love, Badgal:*

Continue Reading

You'll Also Like

501K 37.2K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
4.6K 730 28
[AU lokal, on going] "yang minum loveade ini, bakal fall in love sama gue, hehe." Umaira Jian disclaimer « ateez×viviz, seonghwa × umji « theboyz×viv...
494K 52.4K 110
Book I [Sudah Tamat] Jeon Jungkook dan Kim Taehyung. Dua manusia yang tak bisa di hilangkan dari benakku. Dua nama yang ingin ku miliki, aku ingin me...
13.8K 2.3K 34
Kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan sepertinya membuat Tzuyu menciptakan kisah cintanya sendiri. Dengan bekal keahlian dalam bidang sketsa, Tzuy...