SLUT [DITERBITKAN]

By badgal97

559K 24.4K 2.4K

[TELAH DITERBITKAN DENGAN JUDUL 'LUST'] Shay McConnell yang memiliki nama 'lain' sebagai Rita, dan berakhir d... More

PROLOGUE
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5°1
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8°1
Chapter 8°2
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12°1
Chapter 12°2
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
AUTHOR NOTES
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Ini Penting
EXTRA CHAPTER
OPEN PO!!!!!!
CASHBACK!!!
EBOOK VERSION

Chapter 5°2

15.4K 696 13
By badgal97

A/N: Mulmed di chapter 5-1 itu Lydia. Btw, 20+ vote yaaa? Pleaseeeee❤❤❤



Happy Reading!


Shay mengusap bibirnya dengan ibu jari. Membersihkan sisa sperma di sana lantas bangkit perlahan dari posisi berjongkoknya. Dengan lihai ia memakai kembali bra dan membenahi seragam pelayannya, membiarkan lelehan sperma di payudaranya begitu saja. Lalu dilanjutkan dengan menata kembali bandana di kepalanya yang bisa saja rusak karena aksi liarnya tadi. Setelah dirasa sudah cukup rapi, ia pun melihat keadaan Justin.

Dilihatnya lelaki itu yang tengah memejamkan mata kuat kuat dengan wajah memerah padam. Kepalanya masih bersandar di sofa, kedua tangannya terkulai lemas di sisi tubuh walaupun tangannya tak bergerak melakukan apa apa sedaritadi. Dan, napas Justin tampak terengah-engah.

Hebat! Batin Shay berucap senang. Ia terkekeh samar lantas berjalan khidmat menghampiri Justin yang tampak menyedihkan.

"Tuan muda." Lirihnya. Ia merunduk dengan gerakan erotisnya agar bisa menilik wajah Justin lebih dekat.

Justin menggeram. Sama sekali tidak menjawab. Tidak sadar akan kehadiran Shay tepat di depan wajahnya membuat Justin berani mengerjapkan matanya hingga iris mata hazel itu terbuka. Dan langsung membelalak saat melihat objek di depannya.

Shay memasang senyuman nakal andalannya. Matanya turun melihat milik Justin sekilas yang hebatnya masih tegak berdiri. Berkilau dan terlihat semakin merah.

"Milikmu nakal." Tukas Shay sembari mendongak kembali menatap Justin.

Justin memalingkan wajahnya. Deru napasnya masih tersengal, wajahnya semakin memerah disertai keringat yang masih membanjiri sekujur tubuhnya.

"Bagaimana rasanya keluar di dalam mulut yang hina? Oh Tuan harus tahu, itu banyak sekali." Sindir Shay telak. Justin seketika menoleh, tatapan tajamnya mulai ia pancarkan kembali ke iris mata milik Shay.

"Je vous prie, la tête. (Aku mohon, pergilah)."

Justin Allard Rousseau baru saja merajuk.

Shay tersenyum. Dengan senang hati ia menuruti perkataan Justin karena pembalasan dendamnya dirasa sudah selesai. Ia merunduk hormat dan bersiap untuk pergi.

"Maaf, satu hal yang perlu kuperingatkan sebelum pergi, Tuanku." Shay berdeham. Dan kembali memamerkan senyum nakal. "Jangan membuatku marah. Aku bisa saja menyebarkan kegilaan ini pada semua orang."

Apalagi, kau hanya seorang anak! Batin Shay. Ia mulai melangkah menghampiri pintu. Dan menengok kembali pada Justin sebagai sentuhan terakhir.

"Bersiaplah, Tuan muda. Makan siang dimulai sepuluh menit lagi."

Shay buru-buru keluar dari pintu. Namun, baru saja mulai melangkah, ia merasakan sesuatu yang lembab dalam dirinya. What the fuck!? Mengapa ia harus..basah?



***


Percaya atau tidak, Shay berhasil menjinakkan seorang Justin Allard Rousseau. Lelaki itu tidak seliar dulu lagi. Ia lebih banyak diam dan menghindar jika melihat Shay. Tentu itu sebuah anugrah bagi Shay, bahkan bagi Lydia juga Pierre yang senang melihat perubahan Justin sekarang.

Setidaknya begitu. Shay jadi cukup nyaman bekerja di tempat sialan ini.

Di siang siang hari, Shay ditugaskan mengepel di sekitar lorong lantai dua. Ia cukup sibuk hari ini. Rumah--istana--keluarga Rousseau selalu bersih, mengkilap, juga rapi setiap harinya. Tapi, ia sendiri juga tidak mengerti mengapa perkerjaannya dalam membersihkan rumah tidak pernah selesai.

Apalagi, hari ini ia ditugaskan bersama seorang nanny seumur Lydia yang bernama Rose. Rose dikenal dengan wanita pendiam dan membosankan, seorang janda dan tidak memiliki anak. Dan wanita itu dikenal dengan pembagian tugasnya.

Rose selalu mengambil kendali dalam pembagian tugasnya bersama patner. Dengan siapapun. Dan tak ada yang berani membantah padanya, termasuk juga Shay. Contohnya sekarang ini. Shay ditugaskan mengepel lorong bagian tengah hingga ujung lorong. Sedangkan Rose memilih untuk mengepel bagian tengah hingga depan lorong. Dan bagian Rose lebih sedikit. Tentu itu tidak adil.

Shay tersentak dari lamunannya saat mendengar Rose berdehem keras. Ia segera menoleh sekilas tanpa menghentikan aktivitas mengepelnya.

"Aku sudah selesai." Ujar Rose datar. Ia membawa barangnya lantas berlalu begitu saja.

Shay mendengus melihat kepergian Rose. Lihatkan? Selain terkenal dengan pembagian kerjanya yang licik, Rose juga tidak ramah pada orang.

"Bagus! Sekarang aku sendirian." Gumam Shay sebal sembari terus mengepel di tengah lorong remang yang sepi.

Beberapa menit kemudian, ia hampir selesai. Dengan semangat ia mengepel bagian tengah lorong sembari bersenandung kecil. Hingga tiba-tiba tubuhnya menegang kala ia mendengar suara desahan. Catat; desahan!

Shay mengatupkan bibirnya seraya menajamkan telinganya untuk mendengar. Sekedar memastikan apakah desahan itu benar terdengar atau tidak. Dan beberapa detik menunggu, desahan itu terdengar lagi. Bahkan, lebih keras dari sebelumnya.

Otak Shay bertanya-tanya. Siapa yang bercinta di siang bolong seperti ini?

Ini lorong kamar khusus keluarga Rousseau. Ia tahu pasti saat mengantarkan makanan untuk Justin bersama Lili dulu. Ujung lorong ini masih memperlihatkan pintu kamar Justin yang tertutup rapat. Apa mungkin, Lydia dan Pierre? Tidak. Shay menyaksikan kepergian Pierre ke kantornya saat ia tengah menyapu teras.

Mata Shay memicing ketika desahan itu lagi lagi terdengar. Hingga iris matanya menemukan cahaya pipih yang berasal dari celah pintu yang terbuka. Pintu yang terletak di sisi kanan lorong, di dekat pintu kamar Justin. Pintu kamar Lydia dan Pierre.

Shay mengernyit, sebelumnya saat ia membersihkan permukaan lantai di sekitar sana, ia tidak mendengar suara desahan sama sekali. Dan setahunya, keadaan semua kamar tengah kosong. Justin tengah belajar bersama guru privat di bawah, Lydia tengah membaca majalah di halaman belakang. Dan Pierre? Jelas ia pergi ke kantornya.

Shay berjalan mendekat menghampiri celah pintu yang terbuka itu dengan hati-hati. Satu tangannya masih memegang alat pel. Dan desahan itu semakin terdengar jelas.

"Ahh! Ahh! Merde! Putain! Harder..please..!"

Wow, Shay menggeleng tak percaya. Siapapun yang bercinta di dalam kamar itu, Shay tahu pasti suara mendesah yang berasal dari wanita itu pasti seorang jalang. Terdengar dari kata kata kasar yang dikeluarkan. Persis seperti kebiasaan Vanessa saat bercinta.

Shay sudah sampai di depan pintu. Perlahan, ia mendekatkan wajahnya ke celah pintu yang terbuka. Hingga matanya membelalak kala menemukan pemandangan mengejutkan di dalam kamar Tuan dan Nyonya keluarga Rousseau.

Tuan Pierre tengah bercinta.

Dengan orang lain.

Shay melihat dengan jelas bagaimana buah pantat mulus Pierre yang bergerak-gerak memacu kenikmatan. Mata Shay menajam seiring dengan posisi bercinta Pierre yang berubah. Shay berusaha melihat wanita yang tengah disetubuhi Pierre.

Dan seketika darah Shay berdesir hebat kala melihat lawan Pierre di atas ranjang yang tak lain adalah salah satu rivalnya di Pigalle.

"Barbara?" Gumamnya tak percaya. Shay pikir, bagaimana bisa seorang Pierre Allard Rousseau--si presdir tampan, sudi menyewa jalang sejenis Barbara yang banyak omong dan menyebalkan!?

Oh! Tentu Shay bisa lebih unggul jika ikut andil memuaskan Pierre! Barbara tidak ada apa apanya dibanding dirinya. Jake bahkan menjadikan Shay sebagai anak emas, dan bukan Barbara.

Shay mendengus. Setelah memastikan untuk terakhir kalinya, Shay memilih pergi meninggalkan kamar itu lantas berlalu meninggalkan lorong seraya membuang pikirannya jauh jauh mengenai peristiwa mengejutkan tadi. Dan satu hal yang akan Shay ingat, ia harus memberitahu Vanessa secepatnya.


***


Bagaimana pun Shay berusaha, nyatanya Shay tidak bisa melupakan kejadian gila yang baru saja ia lihat begitu saja. Pergumulan Pierre dan Barbara masih terbayang jelas di otaknya. Ocehan Lili yang tengah mengelap kaca di ruang perpustakaan keluarga Rousseau bersamanya sudah tidak ia hiraukan lagi.

Kejadian gila yang pertama, Shay baru baru ini berani melakukan blowjob pada seorang bocah yang tak lain adalah anak dari majikannya sendiri. Dan sekarang, di kejadian yang kedua, ia baru melihat majikannya yang bercinta dengan seorang jalang. Yang tak lain adalah rivalnya sendiri. Keanehan apalagi yang akan dia dapat setelah ini!?

Shay bahkan masih merasa syok jika mengingat bagian intinya yang basah hanya karena melakukan blowjob pada Justin beberapa hari yang lalu. Dan melihat kejadian tadi? Tentu dia semakin syok.

Shay berjengit ketika seseorang menepuk bahunya cukup keras. Ia menoleh cepat ke arah Lili yang baru saja menepuk bahunya.

"Jess! Kau dipanggil Torey sedaritadi, kau tidak mendengarnya?" Gerutu Lili kesal.

Oh, tentu Shay tidak akan mendengarnya. Ia masih belum terbiasa dengan nama samaran Jessica.

Shay memilih untuk beralih pada Torey. "Ada apa?"

"Nyonya Lydia memanggilmu, kau disuruh datang ke ruangannya." Tukas Torey yang tengah melanjutkan pekerjaannya yakni mengepel lantai Perpustakaan.

Shay mengernyit sekilas. Ia sempat menaruh curiga, apa jangan jangan Lydia akan membicarakan soal Pierre? Namun semua itu buyar ketika suara Lili menginterupsinya untuk cepat-cepat pergi. Shay segera beranjak dari tempatnya dan mulai berjalan menuju ruangan Lydia yang terletak di dekat aula.


***



"Mademoiselle."

Shay merunduk hormat lantas kembali mendongak menatap Lydia yang tengah terduduk anggun di atas sofa. Ia sempat terkejut melihat kedua mata Lydia yang terlihat sembab. Benar. Ada sesuatu yang terjadi.

Lydia menghela napasnya. "Duduklah."

Shay mengangguk kecil lantas mendudukan tubuhnya di atas sofa yang berhadapan dengan Lydia. Wanita cantik itu mulai menatap Shay penuh intimidasi. Bibirnya terbenam membentuk satu garis, dan Shay bisa melihat dengan jelas air mata yang mulai timbul di kedua mata Lydia.

"Kau melihatnya." Lirih Lydia dengan suara bergetar. Air mata semakin menggenang di pelupuk matanya, siap untuk jatuh kapan saja.

Shay menegang. Ia tahu betul apa maksud Lydia. Beberapa detik ia menahan napas, ia berusaha menyembunyikan keterkejutannya dengan berdeham. Lantas menggeleng.

"Aku tidak mengerti apa yang anda bicarakan, Mademoiselle." Tukas Shay lugas.

"Kau melihatnya! Pierre. Kau melihat Pierre!"

Bagai terhantam halilintar, Shay lagi lagi menegang. Ia mengerjapkan matanya beberapa saat, dan tetap berusaha menyangkal.

"Nyonyaku, ada desahan mencurigakan terdengar dan aku hany--"

"Dan kau mengintipnya. Kau mengintip suamiku yang bercinta dengan orang lain!"

Lydia memandang nyalang iris mata coklat gelap milik Shay. Air mata dibiarkannya mengalir mulus menyusuri pipinya. Dan tak ada yang bisa Shay lakukan selain terpaku. Dalam hati ia mengumpat kesal, bagaimana bisa Lydia tahu dan bagaimana nasibnya nanti?

"Aku-aku tidak bermaksud melihatnya, Mademoiselle. Aku hanya..tidak sengaja. Maaf, maafkan aku."

Lydia tampak mendesah dan air mata lagi lagi meluruh membanjiri pipinya. Ia mengusapnya kasar lantas beralih memijat pelipisnya. Shay hanya bisa menunggu dengan gusar. Dalam hati ia menyesal telah mengintip Pierre dan Barbara. Walaupun bonusnya, ia bisa melihat pantat mulus Pierre yang menggairahkan.

"Lantas apa yang akan kau lalukan setelah ini?" Lydia menghela napasnya. "Kau akan menyebarkannya pada media bahwa suamiku gemar bercinta dengan orang lain?"

Shay menggeleng. Sejujurnya, sempat terbesit dalam pikirannya mengenai perkataan Lydia tadi. Menyebarkan pada media, Shay pasti akan mendapat bayaran mahal. Siapa yang tidak suka uang? Tapi, melihat keadaan Lydia sekacau ini membuat Shay jadi tidak tega. Ia ambigu, sungguh. Ini bukan seharusnya menjadi wilayahnya.

"Tidak, Nyonyaku. Aku tidak akan melakukan itu. Itu bukan wilayahku, bukan urusanku."

Lydia yang tengah sibuk memijit pelipisnya sontak mendongak setelah mendengar penuturan Shay. Iris matanya tampak berbinar dan semakin bersinar dengan adanya sisa air mata di sekitar matanya.

"Maafkan aku telah berbuat lancang, Mademoiselle." Ujar Shay dengan kikuk. Ia mulai memainkan jemari tangannya sendiri menahan gugup. Ia jengah, sungguh! Lebih baik ia kembali bekerja dan mendengar ocehan konyol Lili. Itu lebih baik.

Lydia mengangguk seraya tersenyum lega. "Terima kasih."

Keheningan mulai menyeruak di dalam ruangan yang kelewat besar ini. Ruangan serba putih yang lengang. Hanya terdapat perapian yang mati dan sofa berwarna merah marun di tengah-tengah ruangan yang kini tengah ditempati oleh Lydia dan Shay.

Shay semakin gugup. Dalam hati ia bertanya-tanya. Kapan semuanya selesai agar Shay bisa terbebas dari segala skandal keluarga Rousseau ini? Sesungguhnya ia tidak ingin ikut campur. Segala masalahnya di Pigalle yang membuatnya terdampar di sini, itu lebih berat untuk dipikirkan. Dan yang terpenting, ia harus cepat-cepat keluar dari sini. Keluar dalam artian yang sesungguhnya.

"Masalah ini sebelumnya pernah terjadi." Akhirnya Lydia kembali bersuara. Tangannya mulai bergerak mengambil segelas teh hangat yang tersedia di atas meja.

"Ada seorang nanny yang memergoki Pierre, sama sepertimu." Lydia menyesap tehnya. "Dan dia picik, memanfaatkan segalanya untuk keuntungannya sendiri. Untungnya aku bisa bergerak cepat. Memecatnya seraya membayarnya untuk menutup mulut."

Shay tertegun. Ia benar benar menyesal telah memilih untuk menutup mulut tanpa dibayar. Sialan. Wajah menyedihkan Lydia memang benar benar menipu.

"Kini semua terulang kembali dan untungnya, kau bersedia menutup mulut. Aku sangat berterima kasih." Tutut Lydia lagi sambil memandang dalam iris mata Shay. Shay hanya bisa mengangguk kikuk seraya membenarkan posisi duduknya.

Lydia terkekeh. "Tidak perlu canggung." Ia menyesap kembali tehnya. "Aku akan bercerita banyak, minum tehmu. Kau bisa beristirahat sejenak di sini."

Shay hanya bisa tersenyum kikuk menanggapinya. Memberanikan diri, ia mengambil segelas teh hangat yang disediakan Lydia di atas meja. Ia mencium aroma menenangkan dari teh tersebut lantas menyesapnya perlahan. Sesungguhnya ia memang sedikit haus. Memalukan memang, tapi persetan. Lydia yang menyuruhnya.

Dehaman Lydia menginterupsi. Ia menunduk sekilas lantas kembali mendongak menatap Shay tepat di mata. "Aku..aku tidak tahu mengapa, tapi kurasa..sepertinya kau pendengar yang baik."

Shay tidak menjawab. Hanya bisa tersenyum canggung. Apa yang harus ia lakukan selain pasrah?

"Kau tahu bagaimana malunya aku mengatasi semua aib sialan ini."

Shay terkejut. Penuturan Lydia disertai umpatan yang keluar dari bibir manisnya benar benar tak terduga.

"Aku mengatasi semuanya sendiri. Padahal dia yang berbuat kesalahan. Aku menanggung semuanya sendiri sementara dia bersenang-senang layaknya pria brengsek. Sesungguhnya..aku lelah. Sangat lelah.

Aku membiarkan dia melakukan apa saja. Dia seorang presdir, darah Rousseau yang mengalir di tubuhnya membuatku tidak bisa bertindak lebih jauh. Terlebih lagi, aku mempunyai Justin. Hartaku yang paling berharga." Jelas Lydia. Ia mengerjapkan matanya, sirat lelah terlihat jelas. Lalu dengan gerakan anggun yang menawan, ia kembali menyesap tehnya.

Tak ada yang bisa Shay lakukan selain mendengar. Mendengar dengan baik dan tanpa ia sadari, ia ikut merasakan penat dan lelah yang dirasakan oleh Lydia. Mereka berdua sama. Memiliki masalah berat yang cukup pelik dalam kehidupan masing-masing. Shay salah, nyatanya esedihan Lydia tidak menipu.

"Aku rela jika memang dia ingin bercinta dengan orang lain. Siapapun, aku tidak akan mempermasalahkannya. Tapi, dia tidak pandai berkamuflase. Dia tidak apik menutupi semua ini. Kau tahu bagaimana memalukannya semua ini. Maksudku..dia ceroboh. Dia bodoh tidak menutup rapat pintunya. Aku hanya ingin dia menyembunyikan aibnya sendiri dengan baik.

Ini melelahkan. Terkadang aku tidak sanggup bertahan. Apalagi setelah kematian Skandar, membuat Justin berubah. Tapi, aku tidak bisa berbuat banyak. Aku ingin Justin menjadi seorang..CEO. Dia harapanku satu-satunya, dan aku harus menunggu 3 tahun lagi untuk semua itu. Aku harus bagaimana?"

Suara Lydia kembali terdengar gemetar diakhir penuturannya. Hingga lama kelamaan isakan kecil mulai terdengar. Lydia menangis dalam diam, isakannya begitu dalam. Membuat kedua bahunya terhentak-hentak mengikuti isakan pilunya.

Sekian lama hati Shay membeku karena kehidupan keras yang memaksanya. Kini Shay mulai merasakan sesuatu yang dalam menikam jantungnya. Ada aliran hangat disertai sesak yang menggetarkan hatinya. Semua itu terasa hanya karena melihat..Lydia menangis?

Shay beranjak dari duduknya. Perlahan, ia menghampiri Lydia. Duduk di sampingnya. Dan tanpa bisa berbuat banyak, Shay memeluk Lydia dari samping. Mengusap pundaknya perlahan dan seketika tangisan Lydia pecah. Ia meraung dan isakannya semakin menjadi.

Shay tidak menyangka. Seorang wanita cantik yang menawan, yang menjadi inspirasi banyak wanita, yang mempunyai nama besar seantero dunia, yang merupakan seorang istri dari presdir besar, ternyata memiliki kehidupan yang pahit dan bisa serapuh ini.

"Memilih, Mademoiselle. Banyak pilihan di dalam kehidupan ini. Nyonya hanya perlu memilih. Memilih untuk bertindak, atau membiarkan semua ini mengalir."

Shay menghela napasnya. Kembali melanjutkan. "Satu hal yang harus diingat, Nyonyaku. Kebahagiaan akan datang jika kau meraihnya."

Shay membenamkan bibirnya. Hanya itu. Tak ada lagi yang bisa Shay perbuat. Namun, tanpa Shay sadari, tangisan Lydia seketika berhenti.

Continue Reading

You'll Also Like

633K 13.1K 6
Setelah mendapat panggilan interview oleh sebuah perusahaan besar di Seoul, Wendy Son nekat merantau kembali ke tanah kelahirannya, meninggalkan oran...
66.3K 8.1K 17
Aku akan selalu menjadi penggemar nomor satumu, Jeon Jungkook. Aku mencintaimu! June, 2019. ©alkaloids
85.4K 6.1K 40
Gue cuma takut yg dulu terjadi lagi •Bahasa non baku •Banyak kata kasar •Imajinasi tingkat spongebob •Fanfiction 09032018-06062018✔
62K 9.3K 31
(18+) Jika eksistensi manusia bertujuan mendapat kebahagiaan, apakah hal salah bisa menjadi benar? Kadang kala kau membiarkan egoisme menuntunmu mend...