My Bride (Finished)

By Debby_C

1M 40.6K 1K

Cinta akan hadir disaat kita selalu bersama... "aku tahu, dia itu mimpi yang paling indah, tapi yang paling t... More

Halte, Hujan & Malam
Cafe, Malam lagi
Datang dan Pergi
Hujan yang Ternoda
Try To Forget 'It'
Confused
Ayo Menikah
Terkuak
Demi Ayah, Demi Mama, Demi Nina
Mengenal Tingkahnya
Hamil
Terima Kenyataan
break
Melepas dan Menerima
Dia Suamiku
Rahasia Wulan
Di Raja Ampat
Suami yang Romantis Itu....
Saraswati Itu..
"Trust Me!"
Crash Your Party
Lost Memory
Kembali
Malam yang Panjang
Officially Missing You
Officially Missing You,Too
Titik Cerah
Remember Me!
Let Me Hug You
Keraguan
Tell Me!
I Can't Let You Go
Kencan di Frankfurt
Touch Me!
No More
Pregnant Mom
Bertemu Wulan
Menyesal?
Sebuah Awal
Lanjutan Kisah Rama dan Wulan
Saat Mereka Hadir
Tanda Tanya
Rumit
Why Don't You Love Me?
Kehadiran Seseorang
Mulai Jatuh Cinta
Yang Peduli dan Yang tak Dipedulikan
Rasa Yang Berpaling
What I Feel
Saat Kau Tidak Mengerti Perasaanmu Sendiri
Dilema
The Night (Spesial Azhari dan Citra)
Wait For What?
Tonight Is the Night
Kesungguhan
Kegelisahan Hati
Last Chapter

Strange Voice

20K 718 82
By Debby_C

"Seindah apapun harapanmu, waktulah yang menjawab sampai atau tidaknya kau pada angan-angan itu. Seperti sebutir beras, tidak tau nantinya akan menjadi nasi, bubur atau kerak."

***
16 tahun kemudian..

Nina POV

Ada dimana aku sekarang? Mengapa banyak sekali orang?? Cahaya menyilaukan ini berasal darimana? Entahlah semuanya abstrak. Apa itu cahaya blitz kamera atau petir, aku tidak tahu pasti. Yang pasti, diantara kebingunganku aku merasa saat bahagia saat ini. Seseorang yang berangkulku dengan erat inilah sumber ketenanganku. Tapi sekali lagi, cahaya menyilaukan ini membuatku tak bisa menatap wajahnya, hanya samar-samar.

"Perkenalkan semuanya, dialah ISTRIKU!"

Kata-kata itu terdengar berulang-ulang ditelingaku, hingga dadaku terasa sakit. Entah mengapa aku seakan merindukan suara itu.

"Bu, bangun bu." Itu suara Mika, sontak tubuhku rasanya melayang. Semua mimpi itu berpencaran dari fikiranku hingga perlahan aku tersadar dan mendapati Mika sedang berdiri disamping ranjangku. Aku duduk dan mengambil segelas air dari atas meja yang sudah disiapkan Mika seperti setiap harinya untukku. Dia memang asisten rumah tangga yang baik.

"Mengapa Mika?? Ini masih jam 6 dan hari Ini hari Minggu. Ada apa kau membangunkanku?"

"Begini bu, dari luar saya dengar ponsel ibu berdering sejak tadi . Dan ini yang ketiga kalinya. Mungkin itu dari orang penting."

"Benarkah? Tolong ambilkan ponselku Mika, ada disamping tv."

"Iya bu." Mika segera mengambilnya dan menyerahkan ponsel itu padaku.

Saat kuperiksa ada 3 panggilan tak terjawab dari kepala penjaga asrama anakku, Bu Yessi. Kutekan tombol dial untuk melakukan video call dengannya. Fikiranku dipenuhi dengan rasa cemas, mungkin saja terjadi sesuatu dengan anakku mengingat jantungnya bermasalah.
Aku sudah melarangnya untuk tidak sekolah dikota itu, tapi ini pertama kalinya Arum sangat gigih menginginkan sesuatu. Dia sudah mengurus semuanya untuk masuk kesekolah itu dan aku tahu ketika semuanya sudah terlambat untuk dibatalkan. Dia lulus dengan nilai tertinggi, jika kularang, dia pasti sangat kecewa.

"Halo, selamat pagi bu Nina." akhirnya aku tersambung dengan bu Yessi, dan dia terlihat cemas.

"Pagi bu Yessi, ada apa? Apa Arum baik-baik saja?".

"Arum pingsan bu, dia sudah dibawa kerumah sakit."

"Astaghfirullahh!" badanku melemas mendengar kabar dari ibu Yessi. Arum, ibu tau ini akan terjadi. Seharusnya aku tak menuruti perkataannya. "Dia dirumah sakit mana?"

"Anda akan datang?"

"Tentu saja, saya akan segera memesan tiket pesawat ke Jakarta. Bu Yessi, tolong jaga anak saya. Saya takut terjadi apa-apa pada Arum." tak kusadari airmataku terjauh membayangkan kondisi Arum sekarang.

"Baik bu, ibu tenangkan diri dulu. Nanti saya kirimkan alamat rumah sakitnya."

"Baik, terima kasih banyak bu Yessi." Video callnya saya putus. Mika yang berdiri mematung disamping kuminta untuk memesankan tiket sedangkan aku menyiapkan barang-barang untuk dibawa. Aku hampir melupakan keberadaan Hasan, putra keduaku. Umurnya masih 7 tahun, tidak baik jika dia kutinggal dengan pengasuhnya dirumah. Mereka harus ikut.

Bang Fauzi dan kak Aisyah harus kuberitahu kabar ini karena rumah mereka dekat dengan rumah sakit.

***
Aku setengah berlari menuju ruang ICU dilantai 3 setelah keluar dari lift. Dari jauh, tampak bang Fauzi, kak Aisyah dan Rifki anak mereka sudah menunggu disana.

"Kak Aisyah!" aku segera memeluknya dan menangis. Rasanya aku akan hancur jika terjadi apa-apa pada Arum.

"Tenang Nina, tenang. Berdoalah, semoga Arum baik-baik saja." ujar kak Aisyah. Bag Fauzi menepuk bahuku dan mengatakan hal yang senada dengan kak Aisyah.

"Kenapa ini bisa terjadi bu?" tanyaku pada bu Yessi yang berdiri termangu didekat kami.

"Dia kelelahan karena pagi ini kami melakukan gotong royong untuk membersihkan asrama. Aku sudah melarangnya melakukan pekerjaan yang berat, namun mungkin saja dia merasa tidak enak pada yang lain makanya dia tetap mengerjakannya. Ini salah saya bu, seharusnya saya tidak membiarkannya."

"Jangan salahkan dirimu Bu Yessi. Arum memang seperti itu, dia, dia... Ya Tuhan, andai saja dia tidak keras kepala. Ini salahku, jantungnya itu lemah, Jakarta tidak cocok untuknya.

"Sudah Nina, sabarlah.. Kita tunggu hasilnya dari dokter. Lebih baik kamu duduk dulu. Jangan panik!" ucapan bang Fauzi benar. Harusnya aku bisa bersikap lebih tenang.

***
"Arum hanya kelelahan, tapi itu tidak berarti dia baik-baik saja. Kondisi jantungnya semakin parah dan harus segera dilakukan operasi. Sebelum itu, pastikan dia tidak melakukan aktivitas yang berat." ujar dokter Gary.

Dokter ini sudah lama menjadi dokter pribadi keluarga kami. 13 tahun yang lalu, dia mengaku pernah berjumpa denganku sebelumnya. Tapi aku tidak bisa mengingatnya sama sekali. Dia berteman baik dengan Said, almarhum suamiku yang juga seorang dokter ketika dia masih hidup.

"Bagaimana dengan sekolahnya Gary?"

"Dia masih bisa bersekolah, tapi untuk kegiatan seperti olahraga atau ekskul lainnya, sebaiknya jangan dulu. Atau bila perlu, sebelum operasi, kamu harus tetap menemaninya disini."

"Baiklah!" jawaban itu meluncur begitu saja dari bibirku.

"Kau yakin Nina? Tanya bang Fauzi. "Bagaimana dengan butik dan restoranmu?"

"Aku bisa mengurusnya meski tidak datang kesana. Arum lebih penting dari apapun sekarang."

"Baiklah, abang cuma heran, biasanya bisnis adalah prioritasmu."

"Jangan menyindirku bang. Aku sedang tidak mood untuk berdebat."

***

Langit sudah gelap, Arum sudah dipindahkan kekamar inap. Kami bergantian menjaganya dan malam ini bang Fauzi bersedia untuk menjaganya. Arum masih belum sadar, mungkin itu efek dari obat-obatan yang diberikan kepadanya.

"Mama, apa kak Arum masih tidur? Kapan kakak bangun?"

"Sayang mama, kak Arum pasti bangun.. Dia sedang bermimpi panjang, mungkin besok pagi kak Arum bangun. Jadi, dedek harus pulang sama mama ke tempat paman Fauzi yah, kak Rifki punya banyak mainan disana."

"Mainan???" dia terlihat bersemangat. "Asyiiikkk ada mainan. Ayo ma, cepetan,, Hasan pengen mainannya.

"Ya nak." mataku berkunang-kunang. Sedih karena tak ada tempat bersandarku saat ini. Sejak mas Said pergi, aku tidak tau mau berbagi cerita dengan siapa. Semua kutelan sendiri. Dan usaha yang diwariskan almarhum suamiku padaku, menjadikanku sibuk tak menentu.

Ingin rasanya aku berhenti dan istirahat lalu bersama dengan anak-anakku tapi itu tidak mungkin. Kuseka air mataku kemudian kami pamit kepada bang Fauzi dan dengan senyum kubawa Hasan pergi dari rumah sakit.

Kami berdiri didepan lift untuk turun kelantai 1. Saat pintu lift terbuka, hanya ada seorang wanita berdandan modis bak sosialita dan yang disampingnya mungkin saja asistennya.

"Nyonya Saras, anda harus jalan pelan-pelan."

"Saras??" mendengar nama itu semua yang sering datang ke mimpiku berkelebat dan membuat kepalaku pusing.

"Jangan MENGATURKU!" aku mendengar wanita itu berteriak kasar pada asistennya.

"Ada apa dengan diriku??? Barusan itu apa? Rasanya semua bayangan yang menggangguku selama belasan tahun itu nyata."

"Mama, mama kenapa?" Hasan memandangiku dengan cemas.

"Gak kenapa-napa sayang. Ayo kita masuk."
Wanita itu, bernama Saras. Aku masih memandanginya sebelum pintu lift benar-benar tertutup.

***
Gary POV

Aku memerhatikan Nina diam-diam dari ruanganku setelah mereka keluar. Nina menghapus airmatanya, dan setiap airmata itu keluar aku selalu merasa bersalah padanya.

"Said, kau lihat hasil perbuatanmu. Dia tidak bahagia. Dia berbeda dari Nina yang dulu sejak pertama kali aku melihatnya. Keceriaannya sudah hilang bersama ingatannya. Tapi bagaiman jika mantan suaminya, itu hadir disini?? Tidak mungkin. Belasan tahun Iqbal pergi ke Jerman. Mana mungkin dia kembali. Kalaupun dia kembali, Nina tak akan mengingatnya."

Lamunanku berhenti saat ponselku berdering dengan keras disakuku. Ternyata yang memanggil adalah istriku.

"Halo sayang!"

"Papa, mama gak tahan lagi. Si Icha gak mau diam, dia mau ketemu kamu terus. Bagaimana ini??"

"Baiklah, sebentar lagi aku pulang ma. Kamu tenangkan saja dia dulu."

"Thank you, papa. Icha, kasih kiss sama papa dulu."

"Papa?? Ummach,, cayang papa!!!"

"Ummachh, papa juga sayang Icha. Jangan rewel lagi ya sayang.."

"Iya papa. Icha gak rewel.. Bye Papa.."

"Bye!" teleponnya terputus. Kujatuhkan tubuhku keatas sofa dan menenangkan diri sejenak.

Sebelum pulang, aku memeriksa kondisi Arum. Keadaannya masih stabil dan dia masih tertidur. Anak ini, dia sangat mirip dengan Iqbal.

#tbc

Maaf bru update,, bagi yg tdk mengerti alurnya, silahkan tanya di komen yahhh

Continue Reading

You'll Also Like

844K 21.9K 39
(Gua menulis cerita ini disaat SMP jd maklum) kisah seorang gadis cantik berumur 23 tahun bernama desi asilla yang hidup nya tidak dilengkapi adanya...
777K 30.7K 40
Shanum dan Sabda menikah karena keterpaksaan, tak ada cinta di sana. Mereka sepakat untuk tidak bercerai. Namun, Shanum merelakan suaminya untuk berh...
107K 8.4K 35
Erick, pria Playboy dengan sifatnya yang kekanak-kanakan bahkan terkadang manja jika berada disekitar orang-orang terdekatnya. Ketika pertama kali be...
1.3M 69.2K 33
Karena sebuah kesalahpahaman, sebuah pernikahan harus kandas tanpa adanya penjelasan terlebih dahulu. Dirgantara Al-Fatih malah memilih berpisah, kar...