Loving Her Brother [Jaehyun ×...

By TyongBubu

107K 9.7K 1.5K

Jaehyun pikir segala hal akan berjalan sesuai rencananya. Pekerjaan dan pernikahan, ia memiliki segalanya. Ta... More

Blurb
01 - Kedatangan
02 - Pertanyaan
03 - Kesukaan
04 - Permintaan
05 - Kekecewaan
06 - Kedekatan
07 - Kesalahan
08 - Kehilangan
09 - Perubahan
10 - Rekaman
11 - Hubungan Beracun
12 - Insiden
13 - Ketidaksukaan
14 - Keputusan
15 - Saran
16 - Permulaan
17 - Rasa Penasaran
18 - Restoran
19 - Kesalahpahaman
20 - Kecemburuan
21 - Kemarahan
22 - Liburan
23 - Panggilan
24 - Kematian
25 - Ketahuan
26 - Tuntutan
28 - Perpisahan
29 - Penyesalan
30 - Kepergian
31 - Pertemuan
32 - Pengakuan

27 - Tawaran

1.6K 219 74
By TyongBubu

3,3k words

met weekend!

○○●☆●○○

Itu adalah hari terakhir Taeyong melihat Jaehyun

Satu minggu.

Dua minggu.

Tiga minggu.

Satu bulan telah berlalu.

Apa yang terjadi?

Taeyong merasa buntu.

Jaehyun tak pernah berusaha menghubungi apalagi menemuinya.

Mungkin Jaehyun enggak punya akses menghubunginya. Taeyong pun paham. Tidak seperti Taeyong yang punya niat menemui Jaehyun diam-diam di rumah maupun kantornya, tapi selalu berakhir sia-sia. Jaehyun tak bisa Taeyong temui dimanapun. Seolah sengaja menghilang untuk menghindarinya.

Sejak supermodel itu melakukan segala upaya untuk memutuskan komunikasi antara dirinya dan Jaehyun, Taeyong kesulitan menggapai pria itu lebih dulu. Krystal telah mengganti ponselnya. Ia pun hanya dibekali aplikasi Whatsapp untuk berkomunikasi. Whatsapp yang juga terhubung di tablet kakaknya. Ia juga tak mungkin menghubungi lewat aplikasi itu karena Krystal akan segera tahu. Menelepon dan mengirim pesan juga tidak bisa, sebab entah bagaimana komunikasi semacam itu akan masuk ke perangkat yang dimiliki kakaknya.

Sudah cukup Taeyong tersiksa karena keterdiaman kakaknya sejak hari itu.

Taeyong kehabisan cara. Jaehyun juga tak menggunakan sosial media apapun selain Whatsapp.

Sebenarnya tidak banyak yang Taeyong mau. Ia hanya ingin tahu kabar pria itu, dan kelanjutan hubungan mereka. Satu bulan tanpa komunikasi, apalagi saling bertatap muka, Taeyong nggak bisa.

Apa Jaehyun sungguh-sungguh nggak merindukannya?

Apakah pria itu masih pacarnya yang dulu? Yang pisah sebentar saja sudah mengumbar kata rindu?

Arnold bilang, besok kamu mau penelitian selesai kelas?”

Arnold adalah seseorang yang dibayar Krystal untuk mengantar jemput sang adik kemanapun pergi.

“Iya, Mbak. Deadline-nya sebentar lagi.”

Nyalain GPS. Kalau kamu udah selesai langsung pulang. Jangan kemana-mana lagi.”

“Iya, Mbak.”

Mbak sayang kamu. Jangan telat makan, ya.”

Taeyong menggigit telunjuknya sebelum menjawab. “Mbak juga, jangan telat makan. Jaga kesehatan ya, Mbak.”

Panggilan itu ditutup setelah Krystal mewanti-wanti adiknya untuk fokus pada pendidikannya saja.

“Coba tebak, gue sama Om Johnny abis ngapain?”

Taeyong mengalihkan pandangan dari ponsel pada sahabatnya yang berdiri di ambang pintu kostan. Ten baru pulang, setelah berkata padanya hendak pergi kencan dengan seseorang.

“Om Johnny? Jadi kamu habis jalan bareng Om Johnny? Aku pikir kamu nggak mau lagi sama dia.”

Ten mengangguk penuh semangat. “Dia udah semingguan nge-DM terus, buat ngajak gue keluar.” Pemuda bertindik telinga itu duduk di tepi ranjang, tepat di sebelah Taeyong. “Rasain dah. Siapa suruh sok cuek sama gue. Nggak bakal gue ngemis-ngemis ke dia. Gue terlalu cakep buat ngelakuin hal bodoh kayak gitu. Yang mau sama gue mah banyak.”

Taeyong tertawa renyah. “Memangnya kamu apain dia?”

“Gue blokir nomor Whatsapp-nya, telepon dia nggak pernah gue angkat. Terus i-Mess dia nggak gue bales. Lo inget waktu dia bales chat pake kata 'selamat malam' padahal gue chat dia panjang lebar? Itu hari terakhir gue bales chat-nya. Setelah itu gue putus kontak, cuma di IG sih yang enggak di-block. Biar dia bisa lihat status gue. Biar dia tahu, kalau gue baik-baik aja, meskipun nggak sama dia.”

Mata bulat itu terperangah. Ten memang luar biasa. Taeyong tak pernah kepikiran melakukan hal seperti itu saat Jaehyun terus abai padanya.

Toh, Taeyong tak mungkin melakukan itu. Whatsapp serta nomor ponselnya diganti dan disadap Krystal, hingga ia tidak bisa mengirim pesan lebih dulu.

Taeyong bisa menghubungi Jaehyun lewat e-mail, kalau saja Krystal tidak me-log in e-mailnya di ponsel wanita tiga puluh satu tahun itu. Apapun yang ia lakukan pada ponselnya, kemanapun Taeyong pergi, dan siapapun yang ia hubungi, Krystal pasti tahu. Taeyong nyaris tak punya privasi, tapi itu lah yang harus ia terima karena terlibat dalam hubungan yang salah.

Kalau saja Jaehyun bukan pria beristri.

Tapi, bukankah Taeyong mengenal pria itu lewat kakaknya?

“Eh, lo jangan ngelamun. Kost-an ini agak angker, takutnya lo kesurupan.”

“Jangan ngomong gitu, Ten. Aku sering sendirian di kost kamu,” ucap Taeyong ngeri.

Ten tertawa renyah. “Becanda, elah!”

“Jadi, kamu sama Om Johnny habis ngapain?”

Ten menjentikkan jarinya. “Oh, iya. Gue hampir lupa.” Ia mendekati lemari, lalu mengambil celana pendek dan kaus.

“Kita habis ciuman dua jam,” aku Ten sembari tertawa canggung. Hilang lah image badass-nya di hadapan Taeyong. “Hampir make out, Yong!”

“Kok hampir?” Taeyong memiringkan kepala. “Kamu nggak mau?”

“Ya kali, bentukan kayak gitu gue tolak. Dia ditelpon terus tuh sama mantan lo.”

Ten melepas kemejanya. “Katanya ada kerjaan, makanya dia langsung anterin gue pulang.”

Taeyong manggut-manggut. Ia harap hubungan kedua orang itu lancar, tak seperti hubungannya yang tidak ada kejelasan.

“Berarti kamu sama Om Johnny udah jadian, ya?”

“Iya, doi nembak gue waktu kita dinner di JW Marriott. Abis itu ngamar, deh.”

“Selamat ya, semoga kamu sama Om Johnny langgeng,” ujar Taeyong tulus.

“Lo masih mikirin kakak ipar lo? Eh, mantan pacar lo maksudnya,” tanya pemuda bertindik itu usai mengganti pakaian.

“Nggak, kok.

“Boong lu.”

Taeyong menipiskan bibirnya. “Aku sama Mas Jaehyun juga belum putus.”

“Nggak kontakan sebulan, dan lo masih bisa ngomong gitu?” Ten nyaris cursing. Merasa nggak percaya dengan apa yang dikatakan Taeyong. Dasar bucin. Gemas sekali Ten. “Dia enggak pernah chat lo, nemuin lo. Nanyain kabar lo juga nggak ada, kan? Dia tahu kampus lo di mana. Dia tahu tempat tinggal lo sekarang, tapi apa? Dia nggak ngapa-ngapain. Taeyong, sadar dong. He dump you.

“Aku yakin Mas Jaehyun punya alasan.”

“Oh jelas. Apalagi alesannya kalau bukan karena dia pengin menjauh. Hapal banget gue, kelakuan cowok macem Jaehyun gini.”

“Kamu nggak tahu dia gimana. Selama aku bareng dia, semuanya kerasa tulus. Mas Jaehyun–dia mungkin lagi banyak kerjaan.”

“Dia sayang aku. Mas Jaehyun sendiri yang bilang,” ujar Taeyong meyakinkan Ten–atau mungkin dirinya sendiri.

“Dia sayang lo? Orang yang genjot lo tiap malem ngomong gitu? Too naive.

“Ten, Mas Jaehyun nggak begitu. Kita ngelakuin itu karena sama-sama mau. Karena aku sayang Mas Jaehyun, dan sebaliknya.”

“Orang nge-fuck brutal ya karena sange, Yong. Enggak ada ngewe karena sayang, tapi sampe jam tiga pagi. Itu sih napsu.”

Terkadang Taeyong menyesal, kenapa mulutnya sulit direm saat bersama Ten. Jaehyun malah tampak buruk di mata sahabatnya karena cerita-ceritanya.

Ten menepuk bahu sahabatnya yang galau–lagi. “Gue sih enggak masalah. Mau lo ngewe sama dia sampe dengkul geter juga silakan. Tapi kalau sikap dia terus-terusan bikin lo sedih, ya lo juga harus sadar. Jangan bikin excuse yang sama. Kalau dia beneran sayang lo, dia bakal ngelakuin sesuatu supaya kalian bisa barengan lagi. Toh, Jaehyun sama kakak lo udah proses cerai.”

“Mungkin Mas Jaehyun nunggu proses cerainya selesai. Dia–”

“Dia bilang gitu ke lo?” potong Ten.

Taeyong tersenyum kecut, kemudian menggeleng.

“Ya udah, Yong. Dinikmati aja sampe lo capek sendiri.” Ten memilih menyerah. Memang susah kalau sudah cinta.

Kedua remaja akhir itu sibuk dengan ponsel masing-masing. Ten membuka grup seksi acara untuk melihat jadwal rapat selanjutnya. Sedangkan Taeyong menggulir laman aplikasi di ponselnya sembari mencari jalan menghubungi Jaehyun tanpa diketahui kakaknya. Ia sungguh rindu pria itu.

Apa Jaehyun nggak rindu padanya?

“Lo mau gue kenalin ke cowok, nggak?” celetuk Ten tiba-tiba. “Gue banyak nih, kenalan cowok. Ganteng kok, Yong. Lo tahu lah selera gue.”

Apa ada yang lebih ganteng dari Jaehyun?

“Gue tahu tuh om-om ganteng banget. Tapi yang lebih ganteng dari dia juga banyak.”

Taeyong bahkan nggak pernah melirik cowok lain setelah bersama Jaehyun.

“Gimana?” Ten mendesak.

“Makasih ya Ten, tawarannya.” Taeyong menipiskan bibirnya tak nyaman. “Tapi aku sama Mas Jaehyun belum putus.”

Ten menghargai keputusan Taeyong. Ia juga tahu Ten tak punya maksud buruk dengan mengatakan hal sefrontal itu. Ia tahu, Ten sedang berusaha mengurangi ekspektasinya terhadap hubungan yang nyaris kandas. Selama satu bulan ini, ia memang berusaha sendiri.

Ten sekali lagi benar, tentang Jaehyun yang tahu dimana letak kampus, serta tempat tinggalnya saat ini. Sebuah unit apartemen di pusat kota adalah tempat Taeyong bernaung usai pindah. Ia tahu Jaehyun nggak berusaha, tapi Taeyong yakin ada alasan di balik tindakan pria itu. Bahkan jika kemungkinan terburuk yaitu Jaehyun sudah tak cinta padanya, Taeyong lah yang akan berusaha. Ia tak naif, ini hal yang Jaehyun lakukan saat Taeyong tak punya cukup kepercayaan pada perasaan pria itu.

“Hah, apa-apaan!!?”

Taeyong nyaris terlelap dengan ponsel masih menyala, kalau saja suara tinggi Ten nggak memenuhi seisi kamar kost.

“Liat, nih.” Ten menunjukkan IG story dari akun Johnny. “Lo inget, gue bilang Om Johnny ada kerjaan, makanya dia anterin gue pulang.”

Taeyong mengangguk. Sorot matanya terpaku pada seorang pria yang ada di IG story itu. Pria yang tersenyum lebar, sambil melihat ponsel. Pria itu tampak bahagia, sementara dia di sini mencari cara memperbaiki hubungan mereka.

Ponsel itu direbut ganas. Ten tampak murka. Dadanya kembang kempis dan wajahnya sangat merah.

“Lo bilang ada kerjaan, tahunya open table. Hebat banget lo, njing! Lupa hide gue ya?” Ten berteriak pada seseorang di balik panggilan. Ponselnya sengaja di-loadspeaker supaya Taeyong turut mendengar.

Loh, Ten... Kenapa tiba-tiba marah? Aku salah apa–

“Ah, brengsek lo!”

Ten menutup panggilan itu sepihak. Nyaris membanting ponsel keluaran terbaru itu, jika tak ingat bagaimana rengekannya sebulan penuh sebelum orang tuanya membelikan ponsel itu.

Tuh, Yong! Liat kelakuan orang yang lo bela dari tadi. Lo galau mikirin dia. Lah dia asik-asikan open table sama cewek.”

Ten sekali lagi benar. Mungkin memang ekspektasinya saja yang kelewat tinggi. Jaehyun tampak bahagia dan baik-baik saja tanpanya.

○○●☆●○○

Hari-hari berlalu seperti biasa. Walau terasa lebih berat sebab rindunya pada pria itu, serta status hubungan mereka yang mengambang. Taeyong berhasil melewati ujian akhir semester dengan baik, meski ragu pada hasilnya. Lusa adalah hari ulang tahunnya. Meski tak sekalipun mengabari, bolehkah Taeyong berharap Jaehyun akan menepati janji?

“Taeyong!”

Seorang cowok tinggi besar menghadang langkahnya. Taeyong menanyakan alasan tindakan cowok itu dengan kerjapan mata.

“Lo lagi cari materi buat tugas akhir, kan? Gua punya beberapa referensi dari senior,” jelas cowok itu. “Gua tahu, lo kesusahan ngerjain tugas dari Bu Mar.”

Taeyong meremas jemarinya. Masih ragu apakah harus meladeni cowok itu atau ia abaikan saja. Namun, Taeyong memang butuh referensi untuk tugas akhir ini. Tiga hari lagi deadline, dan pengerjaannya baru mencapai empat puluh persen karena kelompoknya tak punya referensi yang cukup. Taeyong dan teman-teman satu kelompoknya tak punya kenalan senior dengan dosen pengampu mata kuliah yang sama. Kalau bukan karena terlambat meng-input mata kuliah dan memilih kelas, sehingga kelas dengan dosen incarannya penuh, ia nggak akan memilih kelas ini. Karena dari desas desus yang beredar, dosen lulusan perguruan tinggi di Australia itu memang terkenal sering memberi tugas yang sulit bahkan pelit nilai. Sekarang Taeyong merasakannya sendiri. Kabar itu bukan sekadar berita burung, karena anggota kelompoknya hampir menyerah hingga ingin mengulang semester depan saja.

“Kalo mau, gua bisa kasih,” ujar cowok itu lagi.

“Serius, Kak?”

Cowok itu tersenyum. “Duarius,” katanya sungguh-sungguh. “Kebetulan gua bawa. Ada di mobil. Gimana?”

Mustahil Taeyong menolak. Kalau ada hal yang paling ia hindari, salah satunya adalah mengulang mata kuliah.

“Makasih ya, Kak Lucas.”

Cowok bertubuh besar itu mengangguk sebelum menggiring Taeyong ke sebuah gedung parkir tepat di samping kampus. Gedung itu baru seminggu yang lalu aktif dipakai untuk area parkir tambahan, usai pihak kampus menerima keluhan tentang minimnya parkiran mobil di tiap fakultas.

Taeyong masuk setelah Lucas membuka pintu untuknya. Menyusul Taeyong duduk di kursi penumpang, lantas mengeluarkan beberapa jilid laporan tugas dari jok paling belakang.

“Gua nggak dikasih soft copy-nya. Mereka juga pesen supaya nggak dicontek karena Bu Mar pasti tahu.”

Taeyong mengangguk. “Aku cuma butuh referensi, Kak.” Ia membolak-balik laporan itu. “Serius Kak, aku boleh pinjem ini?”

“Iya, Yong. Toh, gua udah lulus mata kuliah Bu Mar. Makanya gua ngerti lo pasti susah nyari referensi.” Tangan besar itu bergerak perlahan. Tanpa disadari Taeyong, tahu-tahu sudah melingkari pinggangnya. “Gua kasih ini, tapi nggak gratis.”

Entah kenapa Taeyong sudah menduga. Walau dia yakin anggota kelompoknya tidak akan keberatan, asal mereka bisa lulus mata kuliah ini.

“Aku harus bayar berapa, Kak?”

Taeyong harap tak terlalu mahal, sebab uang jajannya terbatas karena ini akhir bulan. Kakaknya belum mengirim uang lagi.

“Gua nggak butuh duit lo,” sahut Lucas dengan wajah serius.

Taeyong menggeliat risih karena usapan di pinggangnya. Hendak menepis, tapi takut dikira tak tahu terima kasih. Ini adalah momen di mana Lucas bertindak sebagai penyelamat kelompoknya.

Lucas tergelak kecil. Menyingkirkan lengan dari pinggang adik tingkat yang tak henti menggeser posisi duduknya. “Tenang aja, gua nggak mungkin apa-apain lo di tempat serame ini.”

Taeyong menelan ludah. “Jadi, Kak Lucas mau apa?”

Pemuda itu menyandarkan punggungnya di jok dengan tenang. “Jalan sama gua.”

“Gimana, Kak?” Taeyong tak memercayai pendengarannya.

Hangout biasa, kok. Gua mau ajak lo makan bareng. Gimana?”

“Dulu gua pernah kurang ajar sama lo. Anggap aja ini permintaan maaf dari gua.” Lucas meyakinkan. “Kita makan di tempat rame. Gua janji nggak bakal macem-macem.”

Taeyong mempertimbangkan banyak hal sebelum menjawab. Bagaimanapun, tindakan Lucas dulu membuatnya tak mau mereka memiliki interaksi apapun lagi.

“Iya, Kak. Aku mau,” putus Taeyong pada akhirnya.

Lucas tersenyum girang. “Deal ya, entar malem gua jemput lo.”

Taeyong menggeleng. “Kita ketemuan di tempat aja, ya?”

Mahasiswa semester enam itu tampak berpikir alot lantas mengangguk. “Oke, nanti gua kirim lokasinya. Lo bawa aja makalahnya. Gua tahu, lo enggak bakal ingkar janji.”

Taeyong mengangguk. “Sekali lagi makasih, Kak. Aku pulang–”

“Gua anter pulang, gimana?”

Cepat-cepat Taeyong menolak mentah usul itu. “Nggak usah, Kak. Aku pulang dijemput sopir. Pasti udah ditungguin.”

Taeyong bergegas keluar dari gedung parkiran itu usai meyakinkan Lucas bahwa ia tidak perlu diantar kembali ke kampus.

Sepanjang menuju gedung fakultasnya, Taeyong tanpa henti meyakinkan diri bahwa ajakan Lucas bukanlah apa-apa. Mereka hanya hangout biasa, seperti ia dan Ten ataupun Daniel.

○○●☆●○○

Pukul tujuh malam Taeyong sampai di sebuah restoran yang menyediakan makanan Korea sebagai menu utama. Restoran ini terdiri dari tiga lantai. Cukup besar dan ramai. Bahkan di luar gedung ada beberapa pelanggan yang masuk ke waiting list karena di dalam sudah full. Untungnya Taeyong tidak perlu menunggu, karena Lucas telah mem-booking satu meja untuk mereka.

Taeyong diarahkan naik ke lantai dua usai menyebutkan nomor mejanya. Tak butuh lama hingga Taeyong menemukan Lucas sedang asik dengan ponsel, lantas melambaikan tangan saat melihatnya.

“Gua udah pesen makanan,” ujar cowok itu sesaat Taeyong duduk di hadapannya. “Lo liat dulu, kalo ada yang mau dipesen lagi, panggil waitress aja. Bills on me.

Taeyong mengangguk sembari melihat buku menu. Cukup merasa nggak enak, sebab seharusnya dia yang meneraktir. Tapi Taeyong juga nggak mau berdebat, jadi dia menurut saja.

“Dulu, gua sama Ten sering ke sini. Dia sering pesen jjampong.” Lucas kembali bersuara. “Padahal tuh makanan pedes banget.”

“Ten emang suka makanan yang pedes,” sahut Taeyong sekenanya.

“Lo suka pedes?”

Uhm... nggak terlalu.”

Lucas manggut-manggut. Merasa tidak salah memilih menu. “Lo udah lama ya, temenan sama Ten?” tanyanya lagi.

Mendengar cowok itu beberapa kali menyebutkan Ten dalam percakapan mereka, Taeyong cukup curiga tujuan Lucas tiba-tiba mendekatinya adalah untuk mengajak Ten balikan. Mungkin, Lucas butuh bantuannya untuk itu.

“Yong?” Panggilan Lucas memutus lamunannya.

“Oh! B-Belum lama, Kak. Ten teman pertama aku sejak pindah ke kota.”

“Lo beneran tinggal di kampung?”

Taeyong mengangguk pasti. “Kalau Kak Lucas tahu berita tentang proyek rumah sakit yang dikorupsi baru-baru ini, aku tinggal nggak jauh dari situ. Kampungnya masih masuk ke dalam lagi.”

Lucas hanya mengangguk sambil ber-oh ria. “Gua pikir Ian bohong, waktu bilang lo tinggal di kampung. Muka lo artis banget, sih.”

“Ah, bener kok. Aku emang lahir dan besar di kampung,” timpal Taeyong. “Uhm, kabarnya Kak Ian gimana? Dia baik-baik aja?”

Lucas tertawa. “Lo tenang aja, Yong. Selama duit bapaknya masih banyak, dia bakal baik-baik aja,” tandasnya.

Tak lama, dua orang waitress datang membawa pesanan mereka. Taeyong dibuat kaget melihat betapa banyaknya piring di atas meja. Pantas saja mereka duduk di meja untuk empat orang.

Hanya beberapa menu yang Taeyong tahu, seperti kimbab, tangsuyuk ayam, chicken karaage dengan saus gochujang, dan ada beberapa menu lain entah apa namanya.

“Gua enggak pesen nasi lagi soalnya udah ada kimbab, bisa-bisa kenyang makan nasi doang.”

“Iya, Kak. Ini juga udah banyak, kok...” Taeyong mengira-ngira apakah ia bisa menghabiskan makanan sebanyak ini.

Taeyong pun makan sambil sesekali ditanyai Lucas mengenai banyak hal. Jujur, ia ingin cepat pulang, sebelum kakaknya sadar kalau Taeyong pergi tanpa ijin.

Pagi tadi, Krystal mengirim pesan kalau wanita itu ingin tidur seharian, usai tiga hari disibukkan dengan jadwal tak kenal waktu. Kalau nanti Krystal menanyainya, Taeyong mungkin terpaksa berbohong. Ia akan dihujani pertanyaan kalau jujur soal kepergiannya kali ini, meski ia tak lakukan hal aneh.

“Lo ke sini naik apa?”

“Ojek online, Kak. Supaya nggak kena macet.”

“Pulangnya gua anter, ya?” tawar mahasiswa semester enam itu.

Sebenarnya Taeyong merasa Lucas nggak perlu melakukan itu.

“Gua yang ngajak lo keluar. Gimanapun lo tanggung jawab gua. Gua mau pastiin lo sampe rumah dengan selamat, Yong.”

Taeyong enggan berdebat. “Ya udah, Kak. Makasih,” putusnya setelah yakin, bahwa yang dilakukan Lucas tempo waktu murni karena mabuk saja.

Taeyong–mungkin akan menyesalinya. No. Tepatnya, ia sedang menyesalinya.

Di tengah perjalanan, Lucas tiba-tiba saja mendapat telepon dari temannya. Cowok tinggi itu, lantas memutar arah menuju ke sebuah club malam. Lucas berkata salah satu temannya butuh cash segera. Ia juga dibujuk agar masuk ke club. Lucas jelas berkata hanya sebentar, namun keduanya sudah dua puluh menit berada di table ini. Taeyong merasa Lucas membohonginya.

Kalau saja Taeyong mau sedikit berdebat, ia mungkin nggak berakhir duduk di table bersama Lucas, serta empat cowok yang salah satu di antaranya adalah teman Ian di organisasi panjat tebing. Taeyong tidak menyangka kalau dirinya akan berakhir di posisi seperti ini. Terlebih, GPS-nya masih aktif dan kakaknya pasti akan segera tahu. Alasan macam apa yang dapat diterima kakaknya, kalau tahu Taeyong berada di club malam.

Apa yang akan terjadi ke depannya terlalu menakutkan untuk dibayangkan.

“Kak, aku mau pulang sekarang.” Taeyong bersuara, setelah merasa nggak bisa lagi menoleransi sikap labil Lucas. “Kak Lucas nggak perlu anter aku pulang.” Ia hendak beranjak tapi lagi-lagi Lucas menahannya.

“Sebentar lagi, Yong. Di sini susah dapet ojek online. Gua pasti anter lo pulang.”

“Nggak usah, Kak. Aku bisa jalan kaki,” putus Taeyong kesal.

“Oke, oke.” Lucas mengangkat tangan tanda menyerah. “Kita pulang sekarang.”

“Tapi lo minum dulu,” pinta cowok itu. “Temen gua udah pesenin minum buat kita.”

Taeyong menggeleng. “Nggak mau. Aku gampang mabuk.”

“Tenang aja, lo nggak bakal mabok cuma gara-gara minum ini segelas,” salah satu teman Lucas menimpali.

“Kita pulang setelah lo minum ini,” putus Lucas seraya menggeser gelas cocktail ke hadapan adik tingkatnya.

Taeyong nggak punya pilihan. Cowok itu mendekap pinggangnya sangat erat. Jangankan beranjak. Bergerak pun, ia nggak bisa. Taeyong mengerang dalam hati. Ian, Jaehyun dan sekarang Lucas. Bagaimana caranya mengalahkan tenaga cowok-cowok itu?

Dalam keadaan genting begini, Taeyong berpikir untuk ikut keanggotaan gym agar dapat mengalahkan cowok-cowok yang berniat buruk padanya.

Setelah Taeyong minum, apakah Lucas menepati janjinya? No. Cowok itu masih asik ngobrol dengan teman-temannya.

Sejak masuk ke club ini, ia sudah dibuat pusing dengan bau rokok bercampur beragam aroma parfum. Pusingnya kian bertambah sebab khawatir Krystal akan marah jika tahu kelakuan adiknya yang dianggap polos dan tak tahu dunia malam.

Taeyong mengusap kasar pipinya. “Jangan cium-cium, Kak!”

Saat dekapan di pinggangnya mengendur, di situlah Taeyong mati-matian beranjak. Meski lagi-lagi Lucas menariknya, dan ia jatuh di atas sofa sebab kakinya selemas jelly. Taeyong dorong tubuh itu menjauh. Ia hampir nggak merasakan apa-apa selain pusing yang hebat.

“Kak...” Itu suara yang Taeyong keluarkan susah payah. Ia memiringkan kepala saat merasa wajah Lucas terlalu dekat dengan wajahnya.

“Kenapa, sayang? Pusing?”

Taeyong mengangguk. “Pu-lang...”

“Pulang ke apart gua, ya?”

Taeyong menggeleng. Kesadarannya kian menipis.

“Gua bikin enak, Yong.” Suara berat itu tepat di depan lehernya. “Kita buat film bareng, terus mau gua tunjukin ke Ian.

Sorot mata doe itu dipenuhi perasaan menyesal. Apa salahnya hingga pantas diperlakukan seperti ini?

“Gua jamin, lebih enak main sama gua daripada Ian.”

Taeyong jijik sekali mendengarnya. Ia ingin meminta tolong. Tapi jangankan bergerak, bersuara pun dia nggak bisa. Bahkan Taeyong yakin, nggak seorang pun akan menolongnya.

“Gantian, nggak?” salah seorang cowok yang duduk di table yang sama lantang bersuara.

“Dia jangan, dah.” Lucas menimpali sembari tertawa, membawa Taeyong bersandar penuh padanya. “Mau gua pacarin dulu. Cakep gini, sayang kalo dipake sekali.”

Itu adalah hal terakhir yang Taeyong dengar sebelum semuanya menggelap.

to be continued...

karna orang ini bukan tipe yang suka nabung chapter, kalau sekiranya buku ini belum di-update, berarti memang belum selesai ditulis, ya. sebelum nulis kan baca buku dulu, kalo masih buntu biasanya aku bacain kolom komentar buat cari inspirasi (kayak chapter 20) hehe thanks buat komentar dan juga inspirasinya. jasa kalian pasti ku bales😉

see ya next chap!

Continue Reading

You'll Also Like

155K 4.1K 79
Stray Kids is on tour! Ella wins a prize at the concert that ends up turning her entire life upside down. She uncovers the dark secrets to K-Pop and...
140K 2.8K 44
"You brush past me in the hallway And you don't think I can see ya, do ya? I've been watchin' you for ages And I spend my time tryin' not to feel it"...
701K 11.3K 65
ˏˋ°•*⁀➷ 𝗔𝗱𝗱𝗶𝗻𝗴 𝘁𝗵𝗲 𝘄𝗿𝗼𝗻𝗴 𝗻𝘂𝗺𝗯𝗲𝗿 𝘁𝗼 𝗮 𝗴𝗿𝗼𝘂𝗽𝗰𝗵𝗮𝘁 𝗶𝘀 𝗲𝗮𝘀𝗶𝗹𝘆 𝗱𝗼𝗻𝗲 𝗻𝗼 𝗺𝗮𝘁𝘁𝗲𝗿 𝗵𝗼𝘄 𝗳𝗮𝗺𝗼𝘂𝘀 𝘆𝗼�...
883K 54.2K 119
Kira Kokoa was a completely normal girl... At least that's what she wants you to believe. A brilliant mind-reader that's been masquerading as quirkle...