My Frenemy ( AS 10 )

De Salwaliya

3M 284K 120K

Ikara sama Leo kalo disatuiin? Kacau balau. Ikara tau banget Leo nggak suka sama dia karena kerap dijadikan b... Mais

Cast AS 10
Prolog
1. 🥇🥈🥉
2. ⛳️ 📸📲
3. 🤳
4. 🚬
5. 📚
6. 👩🏼‍❤️‍💋‍👨🏼 ?
7. 👚🤦🏻‍♀️
8.
9. 📘📕
10
11. 🥟📲
12. 🫗
13. 😡
14. 📖
15.
16.📥
17. 🏊🏻‍♀️🚌
18. 🍓📸
19. ♨️
20. 🚑
21
22. ❤️‍🔥
23.
24. 🛤
25.
26. 🚲
27.
28
29
30.
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44 ( kebalik $
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
68
69
70
71
72. END

67

15.4K 3.4K 744
De Salwaliya


thr nya triple publish yh



67.







Malam itu mereka duduk berdua di depan api unggun yang Pak Seto buat.


Ikara kembali murung sejak mamahnya datang dan langsung pergi 2 hari lalu.



Suasana tidak hening, meski keduanya sama-sama diam. Ada suara api di atas kayu-kayu, dan musik yang Pak Seto setel dari dalam villa. Disusul suara percikan minyak karena Mba Yeni sedang membakar sosis.



"Kiraiin gue udah jadi orang yang paling kesulitan, tapi ternyata ada yang lebih parah." ucap Ikara dengan tatapan kosong. "Gue bahkan nggak bisa hubungin Mamah karena lagi sembunyi."

Leo menoleh. "Sorry,"

"Buat apa?"

"Gue denger obrolan kalian," katanya. "Kayaknya temen yang dia maksud nyokap gue."

"Tante Dilla?"

"Hm,"

"Kok?"

"Mamah pernah bilang mereka temenan dulu."

"Mamah lo juga ngalamin hal yang sulit berarti,"

Leo mengangguk. "Semua orang punya kesulitan mereka masing-masing. Tapi kadang walaupun punya kesulitan, mereka tetep ngurusin kesulitan orang lain. Nyokap lo tetep berjuang buat lo, nyokap gue tetep berjuang buat anak-anaknya."

"Mereka terlalu baik buat kita."

Leo menatap Ikara tanpa ekspresi. Ia kemudian menunduk sambil mendengus geli membuat Ikara menaikan alis. "Kenapa?"

"Nggak papa."

"Kenapa ih?"

Leo menggeleng sambil meneguk minumannya.

Hanya saja, Ikara dewasa. Itu daya tarik terbesarnya. Leo tau soal gimana perlakuan papahnya juga bukan dari Ikara, dia sendiri yang menangkap basah. Ikara nggak pernah umbar kejahatan papahnya, bahkan terkadang menutupi aib mereka. Ikara nggak pernah dendam sama mamahnya, malah merasa bersalah. Padahal selama ini dia nggak tau apa-apa. Ikara nggak pernah menghakimi orang.


"Sorry gue agak kasar sebelumnya," ucap Ikara membuat Leo menoleh.

"Kadang gue lebih kasar," Leo mengangkat bahu.

"Lo nggak perlu bayar sewa."

Leo menahan senyum. "Telat ngomongnya,"

Ikara menunduk sambil terkekeh. "Yaudah buat bulan ini nggak papa."

"Tai,"

Ikara tertawa kecil. "Salah sendiri buru-buru."

"Lo yang bawaannya pengen ngusir."

"Lagian nekat," Ikara memutar bola matanya. "Ke sini udah ijin? Kuliah lo gimana? Orang rumah gimana?"

"Nggak usah mikirin itu,"

"Lo minta orang kayak gue buat nggak mikir? Salah."

"Yaudah sih," Leo membuka botol soda yang baru. "Gue tau apa yang lagi gue lakuiin."

"Tetep harus mikir resikonya, tau siapa yang lagi dihadepin."

"Hm," Leo cuma ngangguk pasrah doang.

"Sekarang gue tanya, kenapa lo dateng ke sini nemenin gue?"


Suasana hening.


"Gue nggak bakal ngelak soal ngerasa bersalah sama kejadian 2 tahun lalu, maaf buat itu. Gue nggak mikirin perasaan lo."

Ikara menaikan alisnya tak puas. "Udah itu doang? Ngerasa bersalah doang?"

Leo menoleh sambil tersenyum miring. "Kurang?"

"Dih," Ikara mendorong wajah Leo dengan telapak tangannya.

"Bilang aja lah,"

Ikara menghembuskan napas berat. "Sekarang gue udah nggak mau berharap sama siapapun, Le. Lo bener, people come and go. Ada yang bakal stay, ada yang pergi. Jadi terserah lo mau yang mana, gue udah nggak ngerespon pake hati. Kita emang udahan kan, jadi gue nggak masalah misal lo dateng ke sini karena ngerasa bersalah."

Garis wajah Leo menurun, tampak tak berharap kalimat itu akan dilontarkan. "Serius banget," katanya sambil menimang botol soda yang sudah kosong.

"Sebelum jadi mantan, pacar atau musuh, kita pernah jadi temen. Jadi balik ke masa itu aja,"

"Siapa juga yang mau," Leo berdecih.

"Lo nggak capek musuhan sama gue terus?"

"Nggak."

"Aneh."

"Emang."

"Gue nggak mau kita canggung cuma karena sekarang mantan. Kalo temen kan enggak,"

"Yang bikin canggung lo sendiri, gue enggak."

Ikara melengos. "Susah ngomong sama lo,"

"Emang."

Ikara menatap Leo cukup lama. Leo memang jahat 2 tahun lalu, tapi dia juga pernah kenal Leo yang menjadi support systemnya. "Lo baik-baik aja selama ini?"

Leo diam.

"Pasti berat banget setelah tau nyokap lo sakit,"

Leo mendunduk dengan gerak-gerik gusar. "Gue nggak papa."

"Kayaknya kita bisa dapet award terbanyak dari sok-sokan nggak papa." ucap Ikara sambil terkekeh. "Lo itu anak Mamah, jadi gue tau."

"Yaudah nggak usah ditanyaiin lagi." decak Leo.

Ikara menunduk agar bisa melihat wajah Leo. "Takut nangis, ya?"

"Enggak," Leo memalingkan wajahnya.

Ikara tertawa. "Selalu nolak dipeluk tapi ujung-ujungnya balik juga. Kenapa? Dasar cengeng."

"Diem lo," Leo meliriknya sinis.

"Next time kalo lo nolak lagi gue nggak mau dipeluk lagi," ucap Ikara sambil meraih botol soda. Ia menoleh ke belakang mendapati Pak Seto dan Mba Yeni tertidur di sofa. "Astaga."

"Excuse me?"

Mereka berdua menoleh saat seorang laki-laki berambut pirang muncul. Tampaknya bukan orang sini. "Ya?" Ikara merespon karena Leo hanya diam.

"Im a tourist anyway, Im John. If you don't mind, may I have your phone? I need to call my friends, I got lost when we were walking around this street."

"Oh sure," Ikara merogoh celananya. "Whats wrong with your phone?"

"The battery is low, I just need to call one of them."

"Wait,"

Ikara beranjak dari kursinya membuat Leo melirik. Menatap mereka berdua yang pergi keluar membuatnya menaikan alis. Kayaknya nggak perlu sampe ke sana buat minjem hp doang.

"Guys??? Where are you?? I was looking for yall, where did you go??"

Ikara melipat kedua tangannya sambil menunggu orang ini selesai bicara di telfon. Beberapa saat kemudian hpnya di kembalikan. "How is it?"

"Finally, they are not far from here. I'll see them now,"

Ikara mengangguk. "Glad to know that,"

"Thank you so much for being helpful, can I have your number?? We can hangout next time, Im staying for one week."

Ikara tersenyum tipis. Orang luar memang bebas, baru bertemu bisa menawari bertemu lagi. "You can have my social media,"

John tertawa karena barusan termasuk penolakan halus. "So you have a boyfriend, thats why."

"Sorry?"

"He's starring at me," John menunjuk ke belakang membuat Ikara menoleh. Mendapati Leo menatap mereka dari kejauhan seakan ingin memangsa seseorang saat ini juga.

"Nooo," Ikara tertawa.

"So? Is it okay to have ur number?"

"She said she can give you her social media," Leo datang sambil menarik pagar rumah. "What about your friends?"

John tersenyum tipis. "We will see eachother,"

"Okay,"

"Your friend is pretty, thats why I asked her number." ucap John.

"I know she's pretty," jawab Leo dengan nada tidak bersahabat. Ikara mengerjap.  "She's not my friend. Who told you that?"

"Jhon," Ikara memanggilnya membuat Leo menoleh dengan tatapan tak suka. "You better—"

"Langsung sok akrab lo manggil-manggil nama orang asing?"

"Diem, Le." Ikara tersenyum tipis.

John melirik mereka berdua. "I think I should go..."

Leo mengangguk sambil menarik tangan Ikara masuk ke dalam. "Have a nice holiday, bring your charger next time." katanya sambil menutup pagar rumah rapat-rapat.

"Le, kasar tau nggak? Bawa charger lain kali? Serius?"

Leo mengunci pagar rumah. "Nyokap lo bilang jangan asal bawa orang masuk."

"Dia turis loh,"

"Turis sok asik."

"Nggak jelas lo,"

Leo mengangkat bahunya acuh. Ia melangkah pergi duluan, mengambil semua sampah dan mematikan api unggun. Saat Ikara hendak mengambil salah satu botol, Leo merampasnya duluan dan membuangnya ke tong sampah.

"Lo kenapa sih?"

Leo memakai tudung hoodienya dan melangkah masuk ke dalam villa. Ikara ikut masuk ke dalam dan menutup pintu.

"Minum obat dulu," Leo membuka kotak obat dan mengeluarkan beberapa pil sesuai takaran dokter. Ia mengambilkan segelas air juga dan memberikannya kepada Ikara.

"Makasih," Ikara menerimanya tanpa protes. "Jangan gitu lagi, gimana kalo lo di posisi dia?"

"Gue nggak bakal genit minta nomer ke orang baru,"

"Gue ada niatan ngasih sih," ucap Ikara sambil menelan obat berserta air. Sempat tersedak saat Leo menatapnya tajam. "Apa?"

"Sekalian date aja lah."

"Makasih idenya," Ikara mengangguk sambil berbalik pergi. "Kayaknya dia belum pergi jauh—"

"Ra!" Leo menarik pergelangan tangan Ikara dan membawanya merapat membuat cewek itu mengerjap kaget. Tidak menduga responnya akan seperti ini. "Nggak lucu anjir."

"Siapa yang ngelawak?"

Leo melengos kasar. "Mau apa lo?"

"Mau ngunci pintu." jawab Ikara pelan.

Ekspresi Leo langsung melunak, ia melepaskan tangan mereka. "Yaudah,"

"Yaudah kenapa narik-narik?"

"Ada semut lewat," Leo menunjuk lantai. "Awas jalannya."

"Dasar nggak jelas," Ikara tertawa heran. Ia kemudian mengunci pintu rumah.







"Di hari papah lo nangkep basah kita, gue dapet kabar Mamah masuk rumah sakit." ucap Leo secara tiba-tiba.



Ikara yang masih berdiri di depan pintu menoleh.


"Gue nggak sempet mikir hal lain selain mamah sama papah waktu itu, gue takut kehilangan lagi kayak kehilangan nenek sama kakek. Gue nggak mau ngerasaiin trauma yang sama lagi,"





Leo diam sebentar untuk mengatur napasnya.





"Gue suka emosian kalo lagi ada masalah, gue nggak bisa mikir jernih. Makanya waktu Bokap lo dateng buat minta kita putus, gue bingung. Dia bilang bakal lebih kasar sama lo kalo kita nggak putus, harusnya gue nggak percaya karena gue kenal dia gimana."

"Tapi gue sempet takut anceman dia serius. Gue jadi mikir bakal jadi penyebab bokap lo ngelakuiin kekerasan lagi, makanya gue nggak berani hubungin elo."

"Pas tau lo masuk univ Bridga gue mikirnya lo udah nggak tertekan karena bisa masuk kampus itu, gue kira bokap lo udah nggak pernah kasar, gue kira lo udah bebas karena boleh tinggal sendiri, lo juga bilang bokap lo nggak pernah kasar jadi gue percaya."

"Jadi bener Papah yang ancem?"

"Sorry," ucap Leo.

"Kenapa minta maaf padahal lo yang diancem?"

"Gue denger lo lebih sering dipukul, jadi keputusan gue sia-sia. Lo mungkin dulu butuh kehadiran gue."

"Bukan mungkin, emang butuh," Ikara menunduk dengan helaan napas sedih. "Tapi di posisi lo juga berat, gue yang harusnya waktu itu tanya kondisi lo."

"Gue—"

"Waktu itu lo bilang bukan gue satu-satunya orang yang punya masalah, harusnya gue sadar kalo lo punya masalah juga. Tapi gue emosi duluan."

"Lo nggak tau."

"Itu masalahnya, lo tau banyak soal masalah gue tapi gue nggak tau soal masalah lo." lirih Ikara.

"Yaudah, udah masa lalu."

Ikara berdecak. "Jahat banget keadaan sama kita."

"Jangan usir gue lagi,"

Ikara menatap Leo lama, kemudian terkekeh. "Gue ngerasa jahat sekarang."

"Lebay," Leo mendengus. "Tidur sana lo."

"See? Kita cuma butuh jujur sama saling berkomunikasi. Harusnya nggak pernah ada salah paham."

"Lo maafin gue?" tanya Leo.

Ikara mengangkat bahunya. "Lo nggak sepenuhnya salah."

"Gampang banget," ledek Leo.

"Dih?? Mimimal makasih lah," protes Ikara.

"Seru berantem."

"Yaudah ayo berantem??" Ikara mengikis lengan kausnya.

"Nggak usah, badan lo lemes."

"Sialan," Ikara maju dan menoyor kepala Leo. Lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya. "Bilang aja takut kalah."

Leo menusuk pipinya dengan lidah, ia menunduk sambil terkekeh. Tanpa basa-basi menahan pintu yang hendak ditutup dengan kakinya, lalu menerobos masuk membuat Ikara kabur ketakutan.

"Bentar belum aba-aba!"

Ikara naik ke kasur sambil tertawa.

"Siapa yang takut kalah sekarang?" Leo ikut naik ke kasur.

"Pak Setooo! Mba Yeniiii Leo nakal tolong!" Ikara menggunakan batal untuk melindunginya. Tertawa takut saat cowok itu berusaha membalasnya dengan guling.


Sementara di ruang tamu Pak Seto dan Mba Yeni sudah duduk sambil menikmati soda. Hanya mendengarkan keributan mereka di kamar tanpa berniat memisah.

"Emang obatnya Non Ikara yang paling manjur cuma satu," ucap Mba Yeni. "Mas Leo."



"Lo lepas gue juga lepas," Ikara mencekal rambut Leo kuat-kuat karena cowok itu juga menjambaknya. "Serius kali ini nggak boong."

"Semenit lalu lo nipu gue,"

"Kali ini enggak sumpah,"

"Gue nggak percaya sama lo, Ra."

Ikara tertawa. "Sumpah ih,"

"Lo lepas duluan baru gue lepas."

"Lo lepas aja nggak papa."

"Lo duluan nggak papa," Leo mengangguk.

"Lo aja nggak papa," Ikara tersenyum yakin.

Leo menghela napas berat, akhirnya mau melepaskan tangannya tapi ternyata Ikara tidak melepaskan jambakannya membuat Leo mengumpat kesal. Ia tak bisa membalas karena Ikara berdiri duluan.

"Udah Ra udah,"

"Ya ya udah," Ikara menarik tangannya sambil tertawa. Sebenernya Leo nggak bener-bener narik rambut Ikara, emang Ikara agak brutal di sini.

"Puas?" tanya Leo.

"Puas." Ikara mengangguk sambil cengengesan.

Leo beranjak dari kasur tanpa ekspresi membuat Ikara mengerjap. "Marah?"

Leo pergi ke kamar mandi sambil merapikan rambutnya. Menatap lewat cermin saat Ikara mengintip di ambang pintu.

"Sakit?" tanyanya sambil menggigit bawah bibirnya.

"Rontok semua rambut gue."

Ikara meringis. "Maaf."

"Nggak dimaafin."

"Masih sakit?"

Leo mengusap kepalanya. "Hm,"

"Sini coba liat," Ikara masuk ke dalam dan naik ke kursi kecil untuk meraih kepala Leo. Cowok itu langsung menunduk sambil menunjuk bagian mana yang nyeri jadi Ikara segera mengusapnya.

"Sini sakit juga?"

"Hm,"

Ikara mengusap pelan kepala Leo, tapi mendadak kesulitan menguasai diri karena kedua mata Leo menatapnya begitu intens. "Mana lagi yang sakit?" tanyanya dengan nada rendah.

"Sini," Leo menunjuk di bagian dekat telinga.

Tapi Ikara malah mengusap telinganya membuat wajah Leo berubah menjadi merah. "Bukan disitu, Ra." keluhnya.

"Oh? Salah?"

Leo mengusap hidungnya dengan jantung berdegub kencang. Dia mengumpat berkali-kali di dalam hati. "Nggak papa,"

"Nggak papa di sini?" Ikara mengusap telinganya lagi membuat Leo mencekal tangannya.

"Udah,"

"Ha?"

"Udah nggak sakit, Ra." Leo tampak jengah.

"Gue jadi serba salah...."

"Makasih yaaaa," Leo menekankan kata-katanya. "Udah nggak sakit. Lo nggak salah. Dah."

"Okey," Ikara turun dari kursi. "Next time jangan main jambak-jambakan deh, gue kadang suka khilaf gitu."



Leo mengikuti Ikara di belakang sambil menahan senyum.



Ikara yang teringat permainan lain segera berbalik badan. "Gue ada ide!" katanya. Tapi tak sempat melanjutkan kalimatnya saat Leo mendaratkan kecupan singkat di bibirnya.







Ikara menelan salivanya syok. "Kenapa lo cium gue...?"








Leo menggaruk alisnya salah tingkah. "Nggak papa. Kangen."







Bersambung......

nggak papa. kangen. NGGAK PAPA LE SUMPAH NGGAK PAPAAAAAA. kita yg kenapa napa.

Continue lendo

Você também vai gostar

HERIDA De Siswanti Putri

Ficção Adolescente

529K 19.8K 33
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
1.7M 76.4K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
561K 27.1K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
MUARA KIBLAT De Awaliarrahman

Ficção Adolescente

485K 51.8K 22
*Spin off Kiblat Cinta. Disarankan untuk membaca cerita Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengetahui alur dan karakter tokoh di dalam cerita Muara Kibla...