My Frenemy ( AS 10 )

By Salwaliya

3M 283K 120K

Ikara sama Leo kalo disatuiin? Kacau balau. Ikara tau banget Leo nggak suka sama dia karena kerap dijadikan b... More

Cast AS 10
Prolog
1. πŸ₯‡πŸ₯ˆπŸ₯‰
2. ⛳️ πŸ“ΈπŸ“²
3. 🀳
4. 🚬
5. πŸ“š
6. πŸ‘©πŸΌβ€β€οΈβ€πŸ’‹β€πŸ‘¨πŸΌ ?
7. πŸ‘šπŸ€¦πŸ»β€β™€οΈ
8.
9. πŸ“˜πŸ“•
10
11. πŸ₯ŸπŸ“²
12. πŸ«—
13. 😑
14. πŸ“–
15.
16.πŸ“₯
17. πŸŠπŸ»β€β™€οΈπŸšŒ
18. πŸ“πŸ“Έ
19. ♨️
20. πŸš‘
21
22. ❀️‍πŸ”₯
23.
24. πŸ›€
25.
26. 🚲
27.
28
29
30.
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44 ( kebalik $
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72. END

61

19.6K 4K 1.8K
By Salwaliya




ak tuh suka buat konten mereka berdua di highlight IG "my frenemy" jd syg kalo ga diliat.








61.







"Mau lo apasih??"

Ikara memaksakan tangannya untuk menekan tombol lift tapi Leo menghadang. "Gue belum selesai ngomong,"

"Kenapa kita harus ngomomgin sesuatu?" tanya Ikara tak mengerti. "Apa alesan kita harus ngomong, Le? Hah?"




Ikara mendapati Leo terdiam.




Suasana hening.




Ikara menunduk sambil mengusap wajahnya. "Lo tau apa yang lagi lo lakuiin sekarang,"

"Gue nggak ngelakuiin apa-apa."

"Stop pretending, Le. Dari awal nanya soal pacaran aja udah salah. Gue masih nggak punya pacar karena trauma. Buat apa lo nanya gitu kalo lo sendiri tau siapa mantan gue yang jadi pengecut minta gue pergi?"

Garis wajah Leo mulai menurun. "Lo nggak tau—"

"Mutusin gue pake alesan nggak sanggup ngadepin papah, dan gue nggak bisa protes karena itu hak dia. Tapi tetep, dia orang paling munafik karena dulu pernah janji bakal selalu ada. Dan sekarang bertingkah seolah dulu nggak pernah nyakitin perasaann orang."

"Papah lo masih mukul?"

"Kenapa sih, Le?" Ikara mulai tidak tahan. "Perlukah lo nanya itu sekarang? Nggak usah pura-pura peduli. Kemana aja lo selama ini?"

"Seenggaknya keputusan gue bermanfaat buat lo,"

"Sorry?" tanya Ikara.

"Lo bisa raih mimpi lo tanpa hambatan."

Ikara sampai tak bisa berkata-kata. Bagaimana bisa Leo mengucap semudah itu? "Lo selalu sepolos ini atau emang belum cukup kenal papah kayak gimana?"



Leo diam.

Ting!

Ikara melangkah keluar tapi Leo mencekalnya lagi. "Jawab Papah lo masih kasar nggak?"

Ikara menatapnya tajam, lalu menepis tangan Leo. "Kalimat yang harusnya lo ucapin itu permintaan maaf, bukan basa-basi kayak gini."

"Gue serius nanya bukan basa-basi."

"Intinya gue bahagia tanpa lo." ucap Ikara membuat Leo mengendurkan cekalannya.

Ikara keluar dari lift dan berjalan cepat menjauh dari sana. Ia masuk ke dalam lift lain menuju lantai awal dan keluar lagi sambil melihat sekitar. Mendapati Gesya sedang berdiri di samping lift.

Mari kita jelaskan pelan-pelan.

"Jes,"

Gesya mendongak. "Udah?"

"Soal tadi—"

"Bahas nanti aja," Gesya tersenyum dan merangkul lengan Ikara. "5 menit lagi kelas kita mulai."









💞💞💞💞💞💞






"Jadi, Leo mantan pacar lo?"

"Hm,"

"Wah.... Plot twist banget."

Ikara mau tak mau menganggukan kepala. Jujur dia paling nggak tertarik harus membicarakan hal ini, karena perannya sebagai mantan sudah tidak penting alias bukan siapa-siapa, jadi harusnya tidak menjadi hambatan orang baru untuk menjalin hubungan dengan Leo. Ikara pun nggak mau repot-repot menghambat.

"Jangan salah paham, kita udah nggak ada apa-apa. Gue udah moveon, begitu pula dia."

"Dia udah moveon dari lo?"

Ikara mengangguk yakin. "Bahkan mungkin lebih duluan dari gue, jadi kita udah clear nggak ada apa-apa. Yang tadi cuma karena kadang mulut dia nggak bisa difilter,"

Gesya mengangguk paham.

"Kita beneran nggak ada apa-apa, Jes. Gue dari awal kayak aneh banget mau ngasih tau, kayak nggak perlu—"

"Sans lah, lo tuh ngejelasin kayak gue udah jadi pacarnya Leo aja," Gesya tertawa heran. "Terus alesan putus kenapa?"

Ikara mengulum bibir. "Cuma hal sepele kok," jawabnya karena dia tidak terbiasa menceritakan masalah hidupnya ke orang baru. "Hubungan kita nggak seserius itu."

"Kaget aja," Gesya menggaruk alisnya. "Gue dari kemarin heboh soal Leo ternyata orang di depan gue pernah pacaran sama dia."

"Sorry..."

"Eh nggak nggak sumpah, kan lo duluan yang pernah punya hubungan sama dia sementara gue baru," ucap Gesya. "I mean, gue suka baru dua mingguan, jadi nggak yang gimana-gimana."

"Kita udah moveon masing-masing kok, beneran udah." jawab Ikara.

"Bener?" tanya Gesya.

"Hm," Ikara mengangguk.

"Lo pernah tanya Leo udah moveon atau belum?"

"Udah 2 tahun," Ikara terkekeh. Nggak susah buat Leo lupaiin Ikara, seperti yang dilakukan sebelumnya.

Gesya mengangguk sambil tersenyum tipis. Meski dalam hati ada rasa percaya dirinya yang muncul begitu tau mantan kekasih cowok yang dia suka begitu cantik. "Sorry ya, Ra."

"Kenapa kenapa?"

"Gue kayak heboh banget sharing soal Leo, lo mungkin ngetawaiin gue ya karena try hard banget."

"Nggak lah...."

"Tapi nggak papa?"

"Nggak papa gimana?" Ikara mengerjap.



"Kalo suatu saat gue ada hubungan sama dia?"



Ikara diam, lalu memundurkan wajah sambil menaikan alis. "Lo bukan lagi minta ijin sama gue kan?" tanyanya. "Gue cuma mantan dia."

Gesya tertawa. "Nggak nggak bukan itu, maksudnya, nggak ada pihak yang bakal sakit hati kan?"

"Selamat pagi anak-anak."

Mereka berdua langsung menghadap depan saat dosen masuk. Gesya kemudian memain-mainkan bolfoinnya, menoleh mentap Ikara dengan tatapan kosong.




💞💞💞💞💞💞💞




Leo meletakkan tasnya di meja lalu duduk dan mengeluarkan hp. Asahi yang sejak tadi di kelas menoleh. "Tumben telat?"

"Dosennya mana?" tanya Leo.

"Nggak dateng, ngasih tugas doang. Cek di bridgweb."

Leo mengangguk. Ia langsung membuka tugasnya karena tidak suka menunda-nunda sesuatu. Berhubung tidak ada dosen dia bisa cepat keluar kelas dan pulang karena ingin ikut mengantar mamah kontrol.



2 tahun Leo bagaimana?



Dibilang lancar enggak, kesulitan juga enggak.



Mamah mulai membaik keadaannya, dan Leo pindah ke kamar bawah sejak satu tahun lalu untuk berjaga-jaga jika mamah butuh bantuannya. Sekarang Ela dipasrahin ke Abel buat berangkat pulang bareng karena semester ini jam kelas mereka sama.

Dia semalam habis telfon dengan Willy, bocah itu memilih jalan berbeda dari yang lain dan Leo cukup bangga dengan sahabatnya.

Leo masuk universitas Bridga dengan beasiswa karena setelah mendapat ranking 1 di kelas 11, dia tetap mampu mepertahankan ranking 1 nya di kelas 12.

"Cielah Ikara, demen lo?"

Leo berhenti mengetik, menoleh melihat Jefi sedang merecoki Asahi. Mereka teman baru Leo sejak semester 1, yang awalnya di sksdin terus Leo pasrah aja. Mereka sebenernya sefrekuensi, tapi lagi-lagi ia bertemu dengan manusia yang malas belajar seperti sahabat tengilnya si Abel itu.

"Emang cakep sih dia,"

"Ya kan anjir,"

"Tumben demen yang pendiem,"

"Beda aja dia Jef, ngeliat dia jalan aja menarik, apalagi pas ngomong sekata doang." jawab Asahi sambil memandangi akun Instagram Ikara. "Nih akun baru apa gimana? Followers 10 doang."

"Akun kedua kali,"

"Nggak, Jesi bilang ini akunnya. Gue follow diterima nggak ya," gumam Asahi. Lalu menoleh kepada Leo meminta pendapat. "Gimana, Le?"

"Paan,"

"Follow dia,"

"Serah,"

"Oke follow," ucap Asahi membuat Leo menoleh. "Nomernya minta langsung aja nanti kalo ketemu, Leo yang nyuruh kemarin."

"Kapan anjing," decak Leo.

"Lah kemarin katanya minta aja," jawab Asahi. "Sial nih cewek kenapa nyenengin banget ya, dimasukin Bridga cantik langsung jadi selebgram tuh."

"Palingan mau, siapa yang nggak mau terkenal?"

"Nggak Jef," Asahi menggeleng. "Dia nggak butuh itu, coba post satu foto no effort aja, orang yang mutusin buat ngefollow. Ig aja followers 10 diprivate,"

"Baru ketemu udah ngebela mulu bambang," Jefi menoyor kepala Asahi. Ia kemudian melirik Leo. "Lo naksir juga Le sama dia?"

"Siapa?" tanya Leo.

"Yang kemarin di bar lu bayarin," celetuk Jefi jahil.

"Gue nanya nggak pernah dijawab kenal apa kaga," cibir Asahi. "Suka juga nggak? Kalo nggak, gue gas dia. Kalo suka, gue tetep gas dia."

"Tai," Jefi langsung tergelak.

"Urusan doi kesampingkan temen dulu lah," jawab Asahi. "Ya nggak, Le??"


Leo memilih tidak merespon dan lanjut mengerjakan tugasnya.





💞💞💞💞💞💞💞






"Dibilangin nggak perlu anter," Dilla terkekeh saat Leo menggandeng tangannya masuk ke dalam ruangan dokter. "Tante Nayya yang mau nemenin."

"Ya nggak papa rame-rame," jawab Leo.

"Selamat siang," Dokter Ibra tersenyum dan menyapa mereka berdua. "Tiap kontrol beda-beda ya yang anter, sampe susah ngafalinnya. Leo apa kabar?"

Leo mengangguk. "Baik, Dok."

"Mamah Dilla apa kabar?"

Dilla mengangguk juga. "Baik."

"Kalian berdua ini mirip ya," Dokter Ibra tertawa. "Mamahnya udah diberitahu ya jangan lepas dari makanan sehat?"

"Kadang susah, Dok." lapor Leo.

"Loh loh, kok susah kenapa?"

"Bosen," jawab Dilla sambil mendengus geli. Menepuk tangan Leo yang sedang mengusap bahunya.

"Harus rutin dong, jangan mau makan enak doang. Ya?" Dokter Ibra mengeluar beberapa peralatan medianya. "Abis ini rontgen ya, Ibu Dilla bisa ikut suster Meli ke ruangan."

"Mari, Bu Dilla." Suster di samping dokter mengajak Dilla masuk ke dalam. Meninggalkan Leo dan dokter di ruang tunggu.

"Mamah kamu hebat, perjuangannya."

Leo menunduk sambil mengangguk. "Gimana, Dok?"

"Aman, selalu diusahakan aman," Dokter Ibra tersenyum. "Selalu diberi dukungan yang penting, Mamahmu nggak boleh banyak beban pikiran, terlalu capek juga jangan."

"Iya, Dok."

"Leo udah dewasa, sekarang dijaga keluarganya dengan baik, kamu anak laki-laki pertama."

Leo mengangguk paham.

"Saya seneng liat seorang anak yang mau rutin anter orang tuanya buat periksa, beberapa ada yang milih buat acuh. Saya pernah punya pasien yang luar biasa keras kepala dulu, nggak mau ditemenin siapa-siapa kalau dateng."

"Mungkin dia nggak mau tau keluarganya khawatir,"

Dokter Ibra mengangguk. "Leo yang sabar ya, yang kuat, jangan sedih di depan Mamah dulu."

Leo terus mengangguk sambil mengusap hidungnya, siapapun bisa melihat anak ini sedang menahan tangis sampai matanya berkaca-kaca. Tapi tidak mau orang melihatnya.

Leo melangkah keluar menuju ruang administrasi sambil menelfon papah yang meminta dikabari setelah selesai. "Iya, lagi diruangan, paling setengah jam lagi."

"Ikara Pearce, masuk."

Leo berhenti melangkah, lalu menoleh ke belakang. Melihat koridor yang kosong, sepertinya hanya salah mendengar. "Halo, iya, Pah." Ia menoleh sekali lagi ke belakang sebelum lanjut berjalan.

Setelah membayar biaya obat Leo melangkah keluar bersama mamah dan papah yang baru datang. Ia masuk ke dalam mobil dan mengeluarkannya dari parkiran selagi mereka menunggu di lobi.

Saat memundurkan mobil ia mengalihkan perhatiannya di mobil sebelah yang wajah supirnya terlihat tidak asing. Semakin ia lihat semakin yakin itu Pak Seto.





💞💞💞💞💞💞




"Boleh liat...?"

Mba Yeni duduk di depan Ikara sambil menahan tangis. Saat Ikara mengangguk ia menggulung lengam bajunya dan meringis melihat memar di sana. "Kenapa Non kok dipukul lagi?"

Ikara menggeleng. "Nggak tau, mungkin lagi berantem sama Mamah."

"Kok kamu yang jadi pelampiasan," bibir Mba Yeni bergetar karena tidak tega. "Mas Seto! Sini obatnya mana?? Yang salep itu loh yang salep,"

"Bentar lagi buatin air gula," Pak Seto berlari kecil ke ruang tamu dan meletakkan segelas gula. Ia kemudian mengeluarkan plastik obat yang diberikan oleh dokter. "Pake salepnya aja ya berarti."

"Sini aku aja," Mba Yeni meraih salep tersebut. "Pelan-pelan ya, Non."

Ikara hanya duduk dengan tatapan kosong. Menatap tangannya yang sedang diolesi salep. Mungkin beberapa hari kemudian memarnya akan hilang dan bersih lagi kulitnya jika ia beri lulur.

"Saya bentak anak aja nggak berani Non Ikara," Mba Yeni mengusap tangannya pelan. Dia baru beberapa minggu kerja bersama keluarga ini, tapi sudah mengelus dada. Bagaimana temannya Seto yang mengabdi bertahun-tahun.

"Saya juga minta maaf sejauh ini nggak bisa bantu apa-apa," Pak Seto menunduk.

"Nggak lah, aku yang larang." jawab Ikara karena Pak Seto masih butuh pekerjaan untuk menghidup keluarganya.

"Besok absen dulu, ya?" tawar mba Yeni. "Istirahat aja."

"Nggak usah nggak papa,"

"Kamu pucet banget loh,"

"Ikara mau sendiri aja, Mba."

"Ayo," Pak Seto beranjak dan menarik mba Yeni. "Nanti kita panggil buat makan malem, ya."

"Hm," Ikara mengangguk.

"Kok nggak lapor kamu, Mas?" bisik Mba Yeni sambil menutup pintu. Ia mengguncang lengan Seto khawatir. "Gimama itu mentalnya? Apa nggak hancur dia,"

"Kita bisa apa, Yen? Cuma pembantu,"

"Ya itu kasiannn," rengek mba Yeni. "Kedengeran loh tadi suara mukulnya sampe luar, denger kan kamu gimana Non Ikara teriak tadi? Kita mau diem aja?"

"Aku udah larang kamu buat kerja di sini tapi kamu maksa,"

"Ya bagus jadi aku tau—"

"Pak Deno bahaya, Yen. Sebahaya itu. Walaupun gaji kita besar tapi kita harus ngadepin pemandangan kayak gini."

"Kok kamu bisa diem aja itu loh heran,"

"Aku bertahan 22 tahun kerja di sini ya buat Non Ikara, emang buat siapa lagi?" tanya Pak Seto membuat mba Yeni menghela napas sedih.

"Dia apa nggak punya siapa-siapa buat cerita? Selain kita? Kasian itu, ngadepin sendirian."

"Harusnya ada tapi dijauhin sama Papahnya."

"Mamahnya aja nggak pernah dateng," cibir mba Yeni. "Sini jadi anak angkat ku aja beres."

"Iya tapi diteror setiap hari,"

"Emang sampe segitunya?"

"Bisa lebih parah."

"Edan tenan."



Ikara di dalam kamar sedang melamun. Sudah tidak sempat memikirkan perih dan nyeri di tangannya. Karena dia tau semua ini nggak akan pernah berakhir. Akan datang luka baru yang lain.




"Argh," Ikara menunduk sambil terisak. Matanya terasa panas tiap kali meneteskan air mata. Dia sampai kesulitan bernapas kala menangis karena tenaganya sudah habis.





"Kenapa?" Leo berlari kecil mendatangi Ikara yang berdiri di balkon kamar dengan wajah sembap. Tanpa bertanya dia langsung menggulung pakaian Ikara dan menemukan bekas luka di sana. "Sialan,"

"Gue bisa minta orang lain buat lapor, Ra."

"Jangan," Ikara menggeleng.

"Ra,"

"Papah bisa keluar lagi dalam sehari, tapi hukumannya buat gue bisa tambah lama."

Leo mengusap tangan Ikara, lalu menariknya ke dalam pelukan. "Nangis aja, puasin sampe capek. Besok makan eskrim vanila, ya? Hm? Pulang sekolah gue ijinin ke Pak Seto." katanya sambil memijat bahu Ikara.




Ikara berdiri dan melangkah menuju kulkas, meraih satu wadah es krim vanila di freezer yang tersisa setengah bagian. Lalu menyendoknya dengan ukuran besar dan melahapnya. Karena terlalu dingin dia menunduk sambil meringis ngilu. Lalu menangis lagi.




Sejak 2 tahun lalu Ikara hanya bisa memeluk dirinya sendiri, karena tangan Leo tidak ada.








💞💞💞💞💞💞💞




Pagi itu Ikara berlari cepat menuju lift sebelum ditutup, namun langkahnya terhenti begitu melihat ada sosok Leo di dalamnya. Lagian, kenapa jam kelas mereka harus sama?

Ikara langsung berbalik dan pergi dari sana membuat Leo menaikan alisnya sesaat, dengan cuek menutup pintu lift.

Di lain waktu Ikara juga melakukan hal yang sama, di saat Gesya mengajaknya untuk makan tapi malah mampir ke fakultas kakaknya.

"Bang Asa! Ayo makan!"

Ikara mendapati Leo sedang berjalan di samping Asahi dan Jefi, jadi ia segera memundurkan langkah dan kabur secara tiba-tiba membuat Gesya menoleh mencarinya.

Ikara nggak tau kenapa gedung kampus seluas dan sebesar ini harus mempertemukan mereka hampir setiap hari. Memang kebetulan fakultas mereka bersebelahan dan kadang Ikara ada matkul di fakultas Leo begitu pula sebaliknya.

Hari ini Ikara berangkat 30 menit lebih awal dari sebelumnya. Ia dengan santai dan tenang memasuki lift karena merasa tidak perlu susah payah menghindar dari siapapun.

Ikara menekan tombol 4 lalu menyender di dinding lift. Menatap intes angka demi angka yang berganti di depannya. Lalu harus berhenti di lantai 2 dan pintu lift terbuka.

Saat sedang bermain hp Ikara sempat melirik sekali, tapi sejurusnya ia mengangkat kepala begitu melihat sosok berkemeja putih masuk ke dalam membuatnya refleks menghembuskan napas berat.

"Mau keluar?" tawar Leo. "Gue kasih waktu."


Ikara tidak menjawab. Ia melipat kedua tangannya di depan dada sambil menunduk dalam. Terus bergeser sampai pojok sementara Leo sedang sibuk bermain hp.

Ikara besok naik tangga aja.




Suasana hening.




"Halo?"

Ikara melirik ke samping.


"Iya, Pah."



Ikara memain-mainkan sepatunya sambil bersenandung dalam hati. Sudah tidak mendengar Leo bicara lagi di telfon. Ikara sampai terheran melihat Leo menekan tombol dengan gerakan tergesa-gesa.

"Anjing," Leo masih menekan asal tombolnya karena salah.

Ikara jadi menegakkan badan dan memperhatikkan cowok itu. Leo akan seperti ini jika ada yang membuatnya buru-buru, atau ada kabar buruk yang datang.

"Bangsat," Leo menendang pintu lift emosi, lalu menunduk sambil mengatur napasnya.

"Le," Ikara memanggil, alias mengikuti kata hatinya.

Leo menunduk sambil mengusap wajahnya dengan tangan bergetar, napasnya mulai tidak teratur dan tubuhnya panas dingin. Ia berulang kali mengeluarkan kata kasar untuk meluapkan emosinya.

Papah baru saja menelfon dan bilang mamah dibawa ke rumah sakit. Pikiran Leo sudah tidak bisa jalan dengan baik. Dadanya sekarang terasa sesak dan sekujur tubuhnya melemas.

Cowok itu mengepalkan kedua tangannya dengan erat sampai ujung kukinya memutih. Lalu tiba-tiba ada sebuah tangan menyentuhnya dan berusaha membuka kepalan tangannya. Leo menoleh ke belakang dengan mata berkaca-kaca.


Ikara menunduk dan berusaha membuka kepalan tangan Leo karena gara-gara itu telapaknya ada yang luka. "Udah, jangan disakitin lagi tangannya."

Leo menggeleng resah. "Lifnya rusak,"

"Nggak, Le—"

"Gue harus keluar."

"Crishtian Leo."



Leo langsung terdiam.



Karena napasnya masih belum teratur, cowok itu menunduk memandang kedua tangannya yang sedang diusap oleh Ikara jadi perasaannya jatuh menghangat. Alhasil napasnya mulai melambat.

Ikara sempat terkejut melihat setetes air mata jatuh. Membuatnya bertanya-tanya, ada apa dengan Leo sampai bereaksi seperti ini?

"Lo nggak papa?" Ikara sampai lupa hubungan mereka sedang tidak baik. Ternyata dia masih sekhawatir itu.

Leo menarik tangannya dengan cepat membuat Ikara menunduk merasa kehilangan. Leo tidak menjawab pertanyaannya.

"Le," Ikara hendak menyentuh lengan Leo tapi cowok itu bergeser menjauh membuat dadanya mencelos begitu saja. Merasa tertolak mentah-mentah.





Ting!



Pintu lift terbuka.




Leo langsung pergi begitu saja membuat Ikara mengerjap lemah. Lantas menunduk berusaha untuk menahan rasa malu. Tapi setelahnya menyesal sebesar-besarnya kenapa harus bersikap sekhawatir itu. Harusnya tadi dia biarkan saja, harusnya tidak usah memegang tangan Leo untuk menenangkan.


Harusnya sekarang pintu lift tidak terbuka lagi dan Ikara mencium wangi yang sama. Kepalanya mendongak, seketika melebarkan mata melihat sosok Leo kembali dan menjatuhkan tubuhnya di pelukan Ikara membuat jantungnya meledak detik itu juga.





Ikara tidak pernah tahu apa yang ada di dalam isi kepala Leo.




Tapi sebenarnya dia juga sedang butuh pelukan ini.


Dan lift selalu menjadi saksi mata mereka.







Bersambung.

dah lah lu berdua balikan, lama.

see u kah

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 126K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
686K 9K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
2.9M 146K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
1.3M 95.7K 43
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...