My Frenemy ( AS 10 )

By Salwaliya

3M 284K 120K

Ikara sama Leo kalo disatuiin? Kacau balau. Ikara tau banget Leo nggak suka sama dia karena kerap dijadikan b... More

Cast AS 10
Prolog
1. πŸ₯‡πŸ₯ˆπŸ₯‰
2. ⛳️ πŸ“ΈπŸ“²
3. 🀳
4. 🚬
5. πŸ“š
6. πŸ‘©πŸΌβ€β€οΈβ€πŸ’‹β€πŸ‘¨πŸΌ ?
7. πŸ‘šπŸ€¦πŸ»β€β™€οΈ
8.
9. πŸ“˜πŸ“•
10
11. πŸ₯ŸπŸ“²
12. πŸ«—
13. 😑
14. πŸ“–
15.
16.πŸ“₯
17. πŸŠπŸ»β€β™€οΈπŸšŒ
18. πŸ“πŸ“Έ
19. ♨️
20. πŸš‘
21
22. ❀️‍πŸ”₯
23.
25.
26. 🚲
27.
28
29
30.
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44 ( kebalik $
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72. END

24. πŸ›€

19.2K 3.9K 945
By Salwaliya






aku suka bgt sama conversation mereka di episode ini. karena mereka butuh banyak ngobrol. butuh dibuat inget kalo dulu pernah saling melengkapi.









24. Garden memories.



Ikara kembali ke rumah siang itu.


Rumah kosong, Pak Seto bilang papah dan mamah ada urusan bisnis dan mungkin tidak pulang beberapa hari. Ternyata Tante Dilla meminta kepada Pak Seto untuk berbohong bahwa Ikara sudah pulang. Mungkin papah pergi sejak tadi malam.

Seperti biasa Ikara pergi membersihkan diri, mengganti pakaiannya dengan kaos dan rok pendek lalu memakai skincare dan makeup sebelum mengambil jadwal bermain golf.

Seperti ini kira-kira yang terjadi setelah pertengkaran, kembali ke rutinitas biasa seolah tidak terjadi apapun.

Papah nanti akan pulang seolah tidak pernah memarahinya, dan melakukan hal yang sama jika ia mengulang kesalahan lagi.






Ting!

Ting!

Ting!


Hp Ikara terus berbunyi setelah ia mengisi dayanya. Ia pergi keluar sambil membaca pesan apa saja yang masuk.


Ela : beb

Ela : lo gapapa?

Ela : mau ke rumah gue aja ga?

Ela : lewat balkon

21.00


Abel : peri ikara lo oke kan
21.07



Fai : missed call 3

Fai : gaffin bilang lo pulang malem

Fai : lo aman kan ra

Fai : bales ra

Ikara : amannn

Fai : anjir

Fai : gue call dari semalem

Fai : serius gapapa?

Ikara : iyaaaa

Fai : berani banget lo pulang malem

Fai : jantungan gue

Ikara : udah ga marah?




"Jevan sini masuk sayang!"

Ikara mengangkat kepala saat hendak membalas pesan. Diam melihat sosok Kak Elia sedang manggandeng anak kecil, lalu ada pria yang menutup pintu mobil.


Udah punya anak kah? Udah nikah kah?


Ya, Ikara pernah bilang, Kak Elia orang yang Leo sukai sejak smp. Cowok itu sendiri yang mengaku dulu. Jika memang sudah menikah, apakah Leo masih menyimpan perasaan?

Pagar rumah Leo terbuka, muncul Tante Dilla yang sedang menyambut mereka. Detik berikutnya ia melihat Leo sempat mengobrol dengan Kak Elia sebelum keluar rumah dengan setelan olahraga.

Ikara yang sedang memperhatikkan langsung tersentak karena Leo melihat ke arahnya. Ia segera menunduk dan melangkah menuju mobilnya, menoleh sekali lagi karena Leo sudah tidak ada di sana.

Ikara kembali berbalik badan.

"Mau kemana lo?"

"Mamah!" pekik Ikara kaget. Cewek itu mendelik sambil mengelus dadanya. "Nggak usah ngagetin bisa?"

Leo menaikan alisnya. "Mau kemana?"

Ikara masih diam. Masalahnya ini Leo yang nanya, musuhnya. Seolah-olah mereka teman dekat yang selalu pergi bersama.


"Mamah manggil," decak Leo karena pasti Ikara sudah mengira yang tidak-tidak.

"Mamah lo?"

"Menurut lo?"

"Kenapa manggil?"

"Nggak tau, kesana sendiri lah." jawab Leo sambil memakai tudung jaketnya, lalu menempelkan satu airpods yang sempat ia lepas.

"Gue ke rumah lo nih?" tanya Ikara.

Leo berbalik dan mulai berlari kecil tanpa menjawab.

"Leo!"

Ikara jadi mengerjap bingung. Sementara Leo terus berlari menelusuri jalanan komplek dengan lagu milik Keshi. Hampir seminggu dia tidak olahraga karena banyak hal yang terjadi. Biasanya dia rutin tiap Selasa, Sabtu, Minggu.

Leo sempat melewati rumah Abel, melihat Tante Luna dan Om Gibran sedang berdebat di luar membuat ia mendengus. Udah bisa nebak Abel masih ngebo di dalem.

"Le! Tante mau ke rumahmu loh!"

"Tau!"

"Ada menantu Tante, Le! Udah liat belom??"

Leo mendengus, tak menjawab dan lanjut berlari. Ia juga melewati rumah Willy, melihat Om Ical sedang memberi makan kelinci-kelinci yang berkeliaran di depan halaman.

Leo berhenti berlari. "Ela nginep sini kan, Om."

Ical mendongak. "Loh enggak, dia ikut Anara ke apart barunya."

"Kak Anara?" tanya Leo. "Boleh?"

"Ya kalo masih seumur kamu nggak boleh tinggal sendiri," jawab Om Ical. Ayah Willy berdiri sambil mencuci tangannya. "Mau jemput Ela?"

"Disuruh Mamah," Leo menunduk untuk membasuh wajahnya dengan air yang masih mengalir.

"Matiin Le tolong. Semalem rumah rame bener ada si Abel, Willy, Egi, Nara, Jihan sama Ela pada nonton film horor. Semua ada dah, lah kok Leo kaga ada, tumbenan."

"Capek,"

"Pada bantu-bantu Nara pindahan kan, jadi ngikut semua semalem."

Leo menunduk melihat kelinci-kelinci yang mengelilingi sepatunya. "Itu bener menantu Tante Luna?"

"Siapa?"

"Cowok, punya anak."

"Ohhhh, lah iya yang dateng ke acara kemaren. Katanya mereka deket, palingan iya."

Leo menaikan alisnya sesaat. Mencoba memahami dirinya karena dia tidak bereaksi kesal seperti dulu saat Kak Elia mengabari berpacaran dengan Biska. Bahkan tadi dia biasa saja, hanya semacam penasaran.

"Le, masuk aja kalo mau ketemu Willy," Om Ical menawari. "Tantemu lagi sakit, masuk dulu ya buatin dia sarapan."

"Leo duluan aja,"

"Nggak mampir duluan nih? Ngopi kek, maling harta kek,"

Leo terkekeh, menggeleng dan berbalik untuk lanjut berlari. Saat keluar dari pagar melihat mobil melaju membuat Leo memundurkan tubuhnya.

"Anjing," umpatnya dengan kesal.

Mobil putih yang tadi lewat berhenti, Leo yang udah tau Ikara ada di dalamnya langsung mendengus. Ia memilih melangkah pergi untuk lanjut berlari.

"Leo!"

Ikara turun dan memanggil cowok itu. Leo berbalik badan dan berhenti melangkah.

Ikara berlari kecil, lalu menghadap cowok itu. Menarik napasnya dalam membuat Leo menaikan alis.

"Buruan ngomong,"

"Gue ikut olim lagi aja, jangan dihapus."

"Nggak usah,"

Ikara mengernyit. "Kenapa?"

"Bokap lo nggak bakal setuju, nggak usah ngrepotin kita."

Ikara mengerjap. "Lo nggak tau kan Papah setuju apa enggak,"

"Lo kan wajib nomer 1, satu-satunya, yang terdepan." Leo mulai berjalan karena tak ada alasan untuk singgah.

Ikara menghela napas jengah. "Bisa nggak cara lo nyindir jangan seolah-olah gue yang mau semua ini?"

"Gue nggak bilang gitu,"

"Yaudah stop nyindir,"

"Nggak ada yang nyindir."

"Cara lo ngomong itu selalu sarkas," Ikara melangkah cepat mencoba menyamai jalan mereka. "Gue masih bisa masuk kan?"

"Nggak bisa udah mau nyari pengganti,"

"Kok gitu?"

"Lo yang mau keluar."

"Tapi belum ada dua hari,"

Leo berhenti. "Berharap mereka mau nunggu lo?"

Ikara langsung diam. "Ya, mereka nggak bakal nunggu orang bermasalah."

"Tuh tau,"

Ikara menghela napas berat. "Tapi gue mau ikut olim,"

"Bokap lo—"

"Gue nggak peduli sama pendapat dia."

Leo melirik. "Lo?" tanyanya seakan tidak percaya.

"Iya." Ikara mengangguk yakin.

Leo berhenti melangkah. Ia melihat sekitar dulu sebelum mendengus. Orang tua cewek ini lebih menyebalkan dari yang ia duga ternyata. "Cari yang olim satuan aja."

"Nggak papa gue pengen—"

"Lo bisa kena," Leo berhenti bicara sambil berdecak. "Terserah."

"Kena omel Papah?" tanya Ikara. "Udah biasa."

Leo seketika merasa sensi. Masalahnya ngomong enteng banget. "Jalan di trotoar hujan-hujan abis dipukul juga udah biasa? Siapa lo? Hulk?"

"Kenapa disamaiin sama Hulk??"

"Dia kebal jalan di bawah ujan, kebal dipukulin orang. Lo apa?" Leo tiba-tiba mendorong bahu Ikara lalu menahan tangannya lagi sebelum jatuh. "Senggol dikit jatoh."

Ikara menepis tangan Leo. "Gue nggak lemah,"

"Terus menormalisasikan kekerasan karena lo ngerasa bisa kuat? Jangan ngaku ranking 1, nggak pantes."

Ikara kicep.


Leo tuh..... mulutnya. Pedes tapi bener.


"Aneh lo."

"Lo yang aneh ya Le, kemarin nyuruh berontak sekarang ngomel pas gue udah nyoba nentang mereka." gerutu Ikara.

Leo hanya mendengus.

"Liat kan? Nggak semua segampang yang lo suruh," ucap Ikara. "Gue selalu kesel tiap orang minta buat berontak, tapi mereka nggak tau kondisi keluarga gue gimana."

Leo melepas jaketnya karena mendadak gerah, padahal langit mendung. Memang kurang pas berolahraga saat sore.

Ikara mengangkat kepala saat merasakan rintik air mulai membasahi rambutnya. "Mau hujan kayaknya,"

Leo ikut mendongak ke atas, lalu menoleh menatap jalanan karena dia sudah berlari sangat jauh. Lalu menatap rumah Om Ical yang sudah terkunci rapat.

Leo menoleh pada Ikara yang baru saja lewat untuk masuk ke dalam mobil. Ia kembali memakai jaketnya dan memasang tudung jaketnya sebelum berniat untuk berlari pulang karena merasa ada sisa waktu.

"Sial," Leo langsung mengumpat saat hujan deras turun di langkah pertamanya. Ia berlari kecil meneduh di halaman rumah Om Ical.

Leo memundurkan langkah ketika percikan hujan mengenai sepatunya.

"Naik,"

Ia mendongak, menatap Ikara yang lewat di depannya.

Ikara menghela napas berat, manusia gede gengsi ini nggak bakal mau nerima gitu aja. "Lo disuruh pulang Tante Dilla makanya gue jemput,"


Leo meliriknya. Kalo nggak diboongin nggak bakal mau naik.


💞💞💞💞💞💞



'You're no good for me. But baby I want you I want...'

'Diet mountain dew, baby New York City. Never was there ever a girl so pretty.'

"Do you think we'll be in love forever? Do you think we'll be in love?'


Ikara memandang lurus jalanan sambil menyetir selagi lagu Lana Del Rey menemani kesunyian. Ia melirik Leo yang sedang menyender sambil melihat jalanan lewat kaca.

Cowok itu nggak sadar ya dia bukan pergi ke arah rumah? Tumben nggak komplain atau ngomel.

"Gue boong tadi, Mamah lo nggak manggil."

"Tau,"

"Oke."



Suasana hening lagi.




Saudara Papah akan datang ke rumah. Itulah mengapa ia mengambil kesempatan untuk berolahraga sore. Dan sekarang dia terlalu malas untuk pulang.



Sudah tak peduli orang di sampingnya adalah orang yang selalu berbeda pendapat dengannya, dan bertemu hanya untuk bertengkar. Leo cuma mau pergi jauh dari rumah.


Ikara menoleh ke belakang, lalu menghentikkan mobilnya tiba-tiba membuat tubuh Leo maju ke depan. Cowok itu menoleh heran.

"Le?"

"Apasih?"

"Tamannya masih ada," Senyum Ikara terbit. Cewek itu langsung membuka pintu mobil dan berlari kecil masuk ke taman yang rumputnya basah karena hujan baru reda beberapa menit lalu.

Leo masih diam di mobil, menoleh lagi menatap Ikara. Ia pun menghela napas berat dan keluar. "Gue nggak mau di sini,"

"Jarang lewat ke sini baru tau kalo tamannya masih ada," Ikara terkekeh. Melihat ayunan yang biasa mereka duduki masih ada juga, tapi kursinya sudah usang.

"Serius gue nggak mau di sini,"

Ikara melangkah dan duduk di ayunan tersebut membuat Leo melengos. "Ra,"

"Le, jangan ngajak gue berantem dulu, mending duduk di sini," panggil Ikara. "Semoga nggak roboh."

Leo berdecak, melangkah menuju ayunan sambil menghindari tanah yang becek. "Lo bukan anak kecil lagi,"

"Sejak kapan ada aturan ayunan nggak boleh buat orang dewasa?"

Leo memasukkan kedua tangannya di saku training, berdiri di depan Ikara yang duduk di ayunan. Cewek itu tersenyum sambil menginjak tanah agar ayunannya bisa bergerak.

Ikara terus menatap wajah Leo sambil tersenyum. Tak peduli apa yang sedang cowok itu pikirkan, dia hanya senang bisa duduk di tempat yang sama lagi dengan orang yang sama juga.

Leo tak pernah bersikap manis seperti cowok-cowok yang selalu berusaha menarik perhatiannya. Leo tak perlu mengarang hobi agar Ikara merasa mereka cocok. Kehadiran cowok itu saja sudah cukup mengalihkan segala perhatian Ikara.

Hanya dengan Leo senyum Ikara bisa terukir secara alami, tanpa dipaksakan. Kadang Ikara benci kenyataan itu.

"Can I be honest?"

Leo tak menjawab, ia maju melangkah sambil mencekal rantai ayunan. Mendorongnya ke belakang lalu bergeser dan melepasnya sehingga Ikara bisa terayun ke atas.

Ikara menoleh saat ayunannya kembali turun dan Leo mencekal rantainya lagi. "Gue nggak pernah anggep lo saingan, Le."

Leo mendorong ayunannya ke belakang lagi, kepalanya mendongak agar bisa bertemu tatap dengan Ikara. "Gue bakal langkahin ranking lo, jangan nyerah dulu."

Ikara mendengus geli. "Lo anggep gue saingan?"

Leo tidak menjawab, kembali bergeser agar ayunan Ikara bisa melambung ke atas. Lalu ia tahan lagi rantainya agar berhenti. "Lo tantangan gue."

"Tantangan atau rintangan?"

"Tantangan usaha yang punya tujuan, rintangan gangguan buat nempuh tujuan."

"Jadi gue bukan gangguan?"

"Gue nggak pernah merasa terganggu sama siapapun."

"Berarti lo yakin bisa ambil posisi gue?"

Leo tidak menjawab, masih berdiri di hadapan Ikara sambil mencekal rantai ayunan.

"Lo bakal diapaiin kalo ranking turun?" Leo tiba-tiba menanyakan itu. Harusnya dia tidak peduli karena baginya kemenangan adalah hal mutlak yang harus ia raih.

Ikara terkekeh. "Gue nggak bakal ngasih tau cuma buat bikin lo iba terus ngalah."

"Kenapa?"

"Kompetisi nggak boleh pake perasaan, lo kalo mau menang silahkan raih ranking 1, gue juga bakal usaha buat mertahanin."

Leo mendadak terusik dengan kalimat cewek itu, padahal ada kesempatan untuk membuatnya berubah pikiran walau Leo tidak akan. "Kalo gue menang?"

"Good for you."

"Sok baik lo."

"Nggak papa, orang jahat suka kaget ketemu orang baik."

"Tai." Leo menarik ujung rambut Ikara yang sedang tertawa lepas. Cowok itu menyisir rambutnya ke belakang dan memundurkan langkah. "Pulang aja."

"Gue tau lo nggak mau pulang ke rumah," Ikara bangun dari ayunan. "Have fun aja."

"Sok tau,"

"Tingkah lo kebaca, Le. Nggak ada orang olahraga padahal tau sepuluh menit kemudian bakal hujan deres."

Leo tak menjawab. Menatap Ikara yang melepas ikaran rambutnya agar tergerai bebas.

Dia tidak suka ketika Ikara tau banyak hal namun masih bersikap tenang. Leo belum pernah membuat orang bisa menebak sikapnya.

Leo melangkah kembali ke ayunan, kemudian duduk di sana membuat Ikara menoleh. "Gantian," katanya.

"Apa?"

"Dorong."

"Nggak lo berat," tolak Ikara hendak pergi tapi Leo menarik tangannya mendekat. "Lo dorong gue cuma biar gue bales budi?"

"Cepet,"

"Manusia pelit,"

"Ayun sendiri lah."

"Ck,"

Ikara berdiri di belakang Leo, mencekal rantainya lalu memundurkan langkah untuk menarik ayunan. "Aa aaa," lirihnya karena tidak bisa tertarik. "Berat."

"Pake tenaga lah,"

"Tetep berat astagaaa,"

"Tarik lagi,"

Ikara masih berusaha menarik, tapi malah tubuhnya yang tertarik ke depan membuat cewek itu refleks meringis. "Leee,"

"Dibilangin tarik," Leo menoleh heran.

"Susahhh,"

"Dari depan,"

Ikara berpindah di hadapan Leo. "Kaki lo juga usaha lah,"

"Udah cepet,"

Ikara mencekal rantainya, mendorong rantai tersebut sekut tenaga tapi Leo sengaja menahan kakinya sehingga Ikara keberatan. "Tuh kan lo tahannnn,"

"Enggak," Leo mengangkat kedua kakinya untuk membuktikan. "Mana?"

Ikara berdecak kesal, mengubah posisinya menjadi di belakang Leo lagi lalu menarik rantainya dengan sekuat tenaga. Leo menunduk sambil menarik sudut bibirnya, akhirnya mengalah dan menekan tanah agar ayunannya bisa naik ke atas.

"Udahhh?"

"Lepas,"

"Oke," Ikara melepas rantainya sehingga Leo melambung tinggi, tapi cewek itu lupa bergeser jadi saat ayunannya kembali tubuh Ikara tertubruk sampai jatuh. "Mamahhhh."

Leo menoleh, refleks tertawa kecil melihat Ikara sudah duduk di atas rumput becek. Ikara langsung menarik paksa tangan Leo agar bisa berdiri, tapi cowok itu menepisnya membuat Ikara terjatuh lagi. Dan bisa-bisanya Leo tertawa lagi.

"Leo!"

"Salah sendiri,"

"Ihhhh," Ikara menatap jijik kedua telapak tangannya yang kotor.

Leo menghela napas dan beranjak dari ayunan, menarik lengan mungil Ikara sampai cewek itu berdiri. "Main juga pake akal,"

"Lo yang suruh,"

"Siapa suruh nurut?"

"Lo tadi maksa."

"Siapa suruh nurut?" tanya Leo lagi.

Ngeselin kan?

Ikara tersenyum jahil, sengaja mengusapkan telapak tangannya di jaket Leo membuat cowok itu menoleh. "Anjir,"

Ikara memundurkan langkah sambil tertawa, melihat Leo berancang-ancang mengejar ia segera berlari keluar dari taman dengan langkah kecilnya. "Bales nggak dapet tebengan, sumpah."

Leo pun berhenti mengejar, kini langkahnya menjadi santai. Cowok itu memasukkan kedua tangannya di saku training sambil memandang Ikara yang berjalan di depannya.



Suasana hening. Hanya terdengar suara angin kencang setelah hujan reda. Ada beberapa suara katak yang mungkin sedang bersembunyi di rerumputan.






Dan untuk pertama kalinya Ikara tidak khawatir karena belum pulang.


Cewek itu memandang langit yang mulai menggelap, lalu mengulas senyum penuh arti. Rasanya seperti mimpi. Dan dia ditampar kenyataan saat Leo menubruk bahunya membuat suasana menjadi rusak.

"Lagi di film lo?" ledek Leo.

Senyum Ikara seketika memudar. Memicing kesal sambil berlari kecil menyusul Leo menuju mobil.



Bersambung....

upcoming AS couple. older woman story, backgroundnya university.


Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 68.2K 31
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.9M 329K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.5M 129K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.3M 224K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Ada satu rumor yang tersebar, kalau siapapu...