My Frenemy ( AS 10 )

De Salwaliya

3M 284K 120K

Ikara sama Leo kalo disatuiin? Kacau balau. Ikara tau banget Leo nggak suka sama dia karena kerap dijadikan b... Mais

Cast AS 10
Prolog
1. 🥇🥈🥉
2. ⛳️ 📸📲
3. 🤳
4. 🚬
5. 📚
6. 👩🏼‍❤️‍💋‍👨🏼 ?
7. 👚🤦🏻‍♀️
8.
9. 📘📕
10
11. 🥟📲
13. 😡
14. 📖
15.
16.📥
17. 🏊🏻‍♀️🚌
18. 🍓📸
19. ♨️
20. 🚑
21
22. ❤️‍🔥
23.
24. 🛤
25.
26. 🚲
27.
28
29
30.
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44 ( kebalik $
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72. END

12. 🫗

18.2K 3.9K 1.3K
De Salwaliya


nulis karakter leo ini tantangan baru buat aku, karena baru dia anak yg sedikit susah alias karena keras kepala.

mungkin agak jadi tekanan ketika semua org nuntut dia balik jadi leo yang dulu, walaupun tujuan mereka baik karena sedih leo jadi kayak gini.

dia ga bener" menutup diri kok. masih bisa ketawa sama temennya, bisa diajak bercanda, masih bs fokus ngeraih mimpi, artinya dia ada usaha buat balik ke leo yang dulu.






12. Balkon.




Kakek dan Nenek adalah dua orang yang sangat berarti di hidup Leo.


Sejak kecil mereka selalu ikut andil merawat Leo. Jika mamah dan papah sibuk dengan pekerjaan, dia akan datang ke rumah mereka untuk menghabiskan waktu. Nenek suka sekali membelikan Leo barang-barang yang ia suka, sementara kakek melatihnya bermain bola sejak SD.




Kakeklah yang membuat Leo menjadi gigih meraih mimpinya.




Tapi Leo merusak semua itu.





Andai 1 tahun yang lalu dia tidak meminta kakek dan nenek menonton pertandingan bolanya karena papah mamah tidak bisa datang, maka mereka tidak akan mengalami kecelakaan besar. Kedua nyawa mereka tidak akan terenggut secara sia-sia.




Leo membenci dirinya sejak hari itu. Membenci isi kehidupannya karena dihantui rasa bersalah dan penyesalan.



Dia mudah emosi jika ada yang menyinggung keluarga karena Leo akan teringat kakek neneknya, itulah mengapa dia selalu terlibat perkelahian.


Leo mulai merokok karena mencari pelarian dari bayang-bayang mereka, dia menjadi tertutup karena takut sesuatu yang ia ungkap dan minta akan merugikan orang lain lagi.

Leo menghindar dari banyak acara keluarga karena takut mereka merasa dia penyebab utama kematian nenek dan kakek. Leo juga selalu pulang malam karena menghabiskan waktu di kuburan mereka untuk menceritakan keluh kesahnya. Karena Leo belum siap membuka diri lagi dengan keluarganya.



Dia masih ingat bagaimana dulu paman menyalahkan Leo. Membuat Leo selalu menganggap dia pembunuh kakek neneknya.




"Berantem lagi?" tanya Abel sambil duduk di atas motor Leo yang mendatanginya malam itu.

Sesaat kemudian Willy muncul dengan sandal jepit, hanya berjalan menuju rumah Abel karena mereka ada di satu komplek.

"Muka lo kenapa memar?" tanya Willy.

"Le, next time kalo berantem sama bonyok lo mending dalem hati berdoa biar mulut lo nggak asal ceplos," saran Abel. "Orang kan kalo lagi emosi omongannya nyakitin."

Leo yang masih duduk di atas motor menunduk sambil menimang-nimang korek di tangannya. "Gue tadi pulang malem karena protes sama yang jaga kuburan kakek nenek,"

"Kenapa?" tanya Willy.

"Udah lama nggak dibersihin, padahal selalu gue kasih uang buat jagaiin," ucap Leo.

Abel dan Willy saling melirik dengan helaan napas berat. "Bro," Ia merangkul bahu Leo. "Gue sedih asli kalo lo gini terus."

Leo diam sambil menundukkan kepalanya. "Benci gue sama diri sendiri."

"Jangan gitu," sahut Willy.

"Gue ngecewaiin orang rumah mulu,"

"Nggak lah ege," decak Abel. "Lo tuh sangat-sangat membanggakan mereka, udah punya prestasi gede, kurang apa lagi?"

"Mereka cuma agak kehilangan versi lo yang dulu. Wajar orang tua kayak gitu kalo anaknya berubah," balas Willy.

"Bener," balas Abel.

"Kenapa ini kok kumpul di luar?" tanya Luna, mamah Abel.

"Leo abis ditamper Om Ale," lapor Willy membuat Abel menoyor kepalanya.

"Astagaaaa," Luna mendatangi anak kesayangannya itu. "Sini Tante liat!" katanya sambil mengangkat dagu Leo.

"Dikasih salep aja," saran Willy.

"Tambah panas ego," Abel menendang betis Willy sampai menjauh.

"Ini kamu ngapain Dilla?" tanya Luna. "Ale nggak bakal ngamuk kalo bukan itu alesannya."

Leo diam dengan perasaan bersalah. Harusnya dia tidak mengatakan kalimat itu. Mamah menceritakan masa lalunya karena percaya dengan Leo, tapi dia malah menyinggung hal itu di depan mereka.

"Ck," Luna menatap Leo prihatin. "Jangan gitu lah nak... sedih kita liat kamu jadi gini,"

Leo langsung menunduk dengan mata berkaca-kaca.

"Kita semua sayang sama kamu, Le. Terutama mamah kamu yang pertama kali jadi seorang Ibu, nggak ada sedetik pun mamahmu nggak khawatir sama anak-anaknya." jelas tante Luna.

"Dari dulu Mamahmu nggak ada yang ngerawat selain abangnya, dia survive sendirian, jadi wajar kalo mamahmu takut anaknya salah ambil langkah karena dia dulu sempet gitu."

"Leo nggak ada maksud gitu," katanya dengan nada ingin menangis.

"Makanya kalian perlu komunikasi, jangan apa-apa berantem dulu. Kasih tau apa yang ngeganjel di hati kamu, keluh kesah kamu, biar mereka paham oh anak gue tuh selama ini kayak gini,"

"Iya," sahut Willy.

"Sini sini," Luna mengusap bahu Leo yang mulai terisak pelan. "Capek kan apa-apa maunya diselesaiin sendiri."

Abel menoleh pada Willy dengan wajah tak tega, tapi Willy menjauh dulu sebelum Abel menyender padanya membuat Abel nyaris terjatuh dari motor.

"Sekarang pulang, minta maaf soal apapun kesalahan kamu tadi. Tante tau kamu bukan anak nakal, tau juga kamu peduli sama mereka, jadi tolong dikomunikasiin."

"Tapi bukan itu aja," Leo mengusap kedua matanya dengan tangan bergetar.

"Maksudnya?" tanya Luna membuat mereka menoleh pada Leo.

"Mamah," Leo tampak kesulitan berbicara karena belum berhenti menangis.

"Le?"

Leo berhenti menangis, lalu memakai helmnya membuat Abe turun dari motor dengan bingung. "Leo pulang aja."








💞💞💞💞💞💞





Sebenernya Ikara nggak pengen-pengen banget ikut olimpiade sekolah, sistemnya terlalu ketat. Dia udah sering ditawarin guru tapi belum minat. Sekarang malah ngejar-ngejar karena perintah papah.

Ting!

Ikara yang sedang membaca novel menoleh, meraih hpnya di kasur. Tersenyum kecil karena notif yang masuk dari teman-temannya.



Berlina : sejak kapan ra deket sama mereka wkwkwk

Fai : mereka siapa

Ikara : hah?

Ikara : gapaham

Berlina : leo dkk

Fai : ha?


Ikara is typing....



Berlina : sering liat kalian bareng kan

Berlina : di story ela jg akrab bgt

Gaffin : cie temen baruuu

Berlina : ciew

Fai : iya ra?

Ikara : kebetulan pada naik bis jadi barenggg

Berlina : tuh cewek rese ga mulutnya? wkwkwk

Berlina : kan terkenal lemes

Ikara : lemes gimana?

Berlina : ytta

Gaffin : spill ber

Ikara : dia baik kok

Fai : leo?

Fai : dari mananya?

Fai : mereka problematik

Ikara : kok nyimpulin gituuu

Berlina : dah lahhh udah

Berlina : pasti ela ya ra yang maksa ngajakin buat story? wkwkwk ketebak

Gaffin : berat berat




Ikara is typing...




Ikara menggigit bawah bibirnya, mendadak bingung mau ngetik apa karena untuk pertama kali teman-temannya menyindir siapa yang bermain dengannya. Dia tau Fai emang ada masalah sama Leo, tapi kalau Berlina ke Ela yang dia tau mereka tidak dekat, itu aja.


Nggak mungkin kan Ikara nolak waktu Ela buat story waktu itu....



Ikara : heh

Ikara : lu gamarah kan

Berlina : kenapaa

Ikara : cuma pulang bareng woi....

Berlina : siapa yg marah wkwk

Berlina : random aja tiba" lu masuk story dia

Berlina : kaget

Ikara : hmmmm

Berlina : lagian sejak kapan dia naik bis dah

Ikara : mungkin dia gamau nebeng kakaknya lagi

Berlina : harus bgt bareng ya?

Ikara : ya gimana huhu pulang bareng terus...

Berlina : yaudah

Ikara : yakali gue tiba" nolak bareng

Berlina : gue takut aja lo gaul sm dia

Ikara : emang ada masalah apa sih sm dia?

Berlina : males aja liat orangnya

Berlina : ela rebut doi gue anj

Berlina : huft

Ikara : yang siapa woi??

Berlina : Kak Iblar

Berlina : ips 5

Ikara : lah kiraiin udah moveon

Berlina : ya moveon gara" tuh cewek-_-

Ikara : dia tau lo naksir iblar emang?

Berlina : gasi

Berlina : ttp aja kesel

Ikara : hmmm

Berlina : dahlah gamau bahas dia males wkwkwk

Berlina : apa besok lo nebeng gue aja?

Ikara : gausa lah beda arah

Berlina : lagian lo unik udah dibeliin mobil malah naik bis

Ikara : hehe

Ikara : orangnya juga ga neko" kok. mungkin lo nethink aja

Berlina : yyy serah

Ikara : jangan marahhhh

Berlina : ga

Ikara : gue beliin ramen

Berlina : dihhh tukang nyogok

Ikara : wkwkkw lupyu

Berlina : besok gausa sama dia lah kxmenxiejsje sayang gue ga??




Ting!

Ting!



Ela : ikaraaaaaa

Ela : besok pulang jam berapaaa





Duh, bingung.



Jujur dia nggak menduga Berlina sampai tak mau dia bertemu Ela. Mau negur tapi dia sahabat Ela jadi agak sungkan. 




Ting!

Ting!


Ela : lo sibuk ga :(

Ikara : nggaaaa la

Ikara : besok blm tau pulang jam berapaaa

Ela : sekarang sibuk gaa?

Ikara : gajugaa si

Ikara : why

Ela : boleh main? heheh

Ikara : eh?

Ikara : rumah gue??

Ela : iyaaa

Ikara : bukan ide bagus :)

Ikara : tau kan orang tua kita

Ela : abis ini bukaiin boleh?


"LEO!" Ela berada di depan kamar Leo yang sedang bermain game di kamarnya. Cowok itu hanya melirik tapi tidak merespon. "LE!"

"Sialan," Leo yang kalah dalam permainan langsung mengumpat. Mau tak mau membuka pintu. "Paan sih?"

"Awas awas," Ela mendorong Leo sampai termundur. Ia kemudian membuka pintu balkon membuat Leo mengernyit.

"Ngapain ege?"

"Harusnya dulu gue pilih kamar ini ya biar gampang ke rumah Ikara,"

"Mau ngapain??" Leo bertanya lagi.

"Ssssst diem," Ela keluar dan pergi ke rumah sebelah membuat Leo melangkah keluar juga.

"Sinting lo?"

Ela baru saja lompat di rumah Ikara, lalu mengetuk pintu balkon pelan-pelan. Leo masih memperhatikkan tingkah adiknya heran. Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan munculah Ikara.

"Gila lo??" Ikara tertawa sambil menutup mulutnya.

"Aman kan?" Ela cengengesan.

Ikara langsung menarik tangan Ela panik, mereka berdua tertawa sambil masuk ke dalam. Leo di balkon kamarnya menautkan alis tak paham.

Sejak kapan mereka deket?





💞💞💞💞💞💞





"Jadi, dia udah punya pacar???"

Ela memain-mainkan tali guling sambil mengangguk sedih. "Gue juga kaget,"

"Lo tau dari mana?"

"Jadi gini," Ela duduk mendekat pada Ikara yang berbaring. "Kemaren sore kan anak-anak pada ngajakin kumpul, nah temen gue bilang ada Kak Iblar, ya gue excited dong. Di chat juga Kak Iblar nawarin dateng,"

"Hm terus,"

"Akhirnya gue join, nah pas udah sampe kafe kok banyak banget orang?? Mostly tuh dari sekolah sebelah, ya gue kagok dong, mana temen-temen gue sibuk sendiri,"

"Iblar nya mana?"

"Nah ini paling nyebelin, dia kumpul sama temen-temen ceweknya padahal tau gue di situ,"

"Dih??" cibir Ikara.

"Jujur gue agak gimana ya, berasa nggak dianggep gituloh, apalagi Kak Iblar yang gue kira orangnya pendiem gitu karena di sekolah temennya dikit."

"Nyatanya friendly yaa hmmm," Ikara memutar bola matanya. "Terus dia nemuiin elo nggak?"

"Nah pas gue duduk sendiri ya sekitar hampir setengah jam, terus dia nyamperin dengan wajah tanpa dosanya ya udah nyuekin gue kayak orang dongooo," Ela menggebu-gebu. "Tau nggak dia nanya apa??"

"Apa?"

"Loh Ra, kok diem-diem di sini?"

"Dihhhh??" Ikara langsung duduk. "Ya elo yang sibuk sendiri,"

"Jelas-jelas gue duduk depan lo ya setan tapi lo sibuk sama cewek-cewek lo itu," julid Ela. "Kayak kalo misal kita temenan biasa mah respon gue nggak gini ya, tapi kita udah deket sebulan lebih, lo yang maksa anter balik, ngirim makanan dan lain-lain."

"Parah sih, nggak banget dia,"

"Tau paling nyebelin? Temen-temen gue tau kalo Kak Iblar punya cewek,"

"Sialan," celetuk Ikara refleks. "Eh maaf sumpah gue emosi."

"Nggak papa sumpah," Ela tertawa. "Gue juga kesel, makanya kita nggak ngomong dari tadi pagi. Gue berasa dibegoiin tau nggak,"

"Iblar kok gitu ya, udah punya cewek masih aja gatel." gumam Ikara.

"Gue tuh takut kalo sampe dicap pelakor atau apa ya ihhhh," rengek Ela. "Gue berasa digibahin sama circle ceweknya tau di kafe kemarin."

"Pasti ada yang nyebar hoax,"

"Iya kan?? Ihhhhh,"

"Udah nggak sama Iblar kan?"

"Nggak lah gila gue baca doang chat dia,"

"Sialan emang tuh cowok,"

"Harusnya gue nurut sama Leo.... Dia udah larang gue deket-deket sama Kak Iblar tapi gue yang maksa."

Ikara mendengus geli. "Insting kakak kuat ya,"

"Kalo Leo tau bisa abis tuh Iblar,"

"Jangan dikasih tau deh, tar makin runyam," saran Ikara. "Udah mending lo nggak usah nanggepin Iblar lagi, you deserve better."

"Iyaaa kan," rengek Ela. "Sorry deh ya harga diri nomer satu."

"Good," Ikara mengajak tos. "Jangan mau diinjek-injek cowok,"

"Harus donggg," Ela membalas tos tersebut. "Asli lega banget abis cerita, gue sampe bingung mau curhat ke siapa. Lo nggak papa kan??"

"Santai lah,"

"Btw lo sama Leo gimana?"

"Hah??" Ikara sampai melotot.

Ela tertawa. "Kenapa kaget banget dah?"

"Oh," Ikara mengerjap. "Ya pertanyaan lo tabu."

"Kalian kan lagi beradu ranking," Ela tertawa. "Leo walaupun bandel, gue akuiin ambis banget deh anaknya."

"Makanya kita saingan,"

"Pasti dia bingung gue nyamperin elo,"

"Bisa-bisanya lewat kamar dia..."

"Ya mau lewat mana lagi, nih nih orangnya telfon," Ela berdiri dan berlari kecil keluar. "Apasih ihh?"

"Masuk udah malem,"

"Baru main bentar!"

"Gue mau kunci pintu,"

"Bentaran Leeeee,"

"Gue panggilin Mamah,"

"Sumpah ya ngeselin banget jadi orang???"

"Pulang,"

Ela menoleh. "Beb, duluan, ya?? Makasih lo udah dengerin curhatan gueee,"

Ikara terkekeh. "Masuk sana sebelum Abang lo ngamuk,"

"Au dah nih orang," Ela berusaha naik ke pagar menuju balkon rumahnya. Menubruk bahu Leo sebelum keluar dari kamarnya.

"Ngapain lo sama dia?"

Ela berbalik badan. "Bukan urusan lo,"

"Nggak usah bergaul sama dia,"

"Dih? Ngatur,"

"Kenapa? Dia minta gue ngalah?"

"Ck ck ck," Ela menggeleng heran. "Hebatnya dia nggak minta, berarti nggak takut kalah saing sama lo."

"Belum aja,"

"Serah,"

"Udah nggak punya temen?"

Sumpah, Leo kalau ngomong nggak kira-kira. "Apaan sih?"

"Pulang naik bis terus biasanya nebeng temen-temen lo," decih Leo.

"Buat apa punya temen kalo toxic semua," cibir Ela.

"Terus ngincer temen baru?"

"Ngincer siapa?? Ikara? Astaga, siapa yang nggak mau temenan sama orang asik kayak dia??" gerutu Ela. "Gue nggak modelan ngincer-ngincer gitu kali. Bye!"


Leo mendengus sambil menutup pintu kamar setelah Ela pergi. Dia selalu mengawasi apapun kegiatan Ela di sekolah. Adiknya tidak begitu pandai memilih teman jadi mudah dibohongi. Akhir-akhir ini dia malah melihat Ela menghabiskan waktu dengan Ikara.


Tok Tok Tok!


Leo menoleh, mendapati Ikara berdiri di sana karena jendela masih terbuka. Ia hanya menaikan alis dan tidak bergerak dari tempatnya.

"Kipas adek lo ketinggalan," Ikara meletakkannya benda kecil itu di meja kamar Leo. Kemudian berbalik untuk pulang karena itu saja niatnya.

"Jangan ladenin Ela kalo nggak ada niatan temenan sama dia,"

Ikara menoleh. "Apa?"

"Temen lo nggak suka sama kita, lo juga ragu ngeladenin adek gue karena nggak enak sama mereka."



Kok bisa ya langsung tau gitu?



"Jangan sok tau," bantah Ikara.

"Jangan bikin Ela berharap bakal jadi temen lo kalo ujung-ujungnya lo ngehindarin dia."

"Bukannya itu kebiasaan lo, ya?" tembak Ikara.

Leo langsung mendengus. "Nggak ada hubungannya—"

"Tenang aja, gue bukan orang egois yang nggak mikirin perasaan orang lain." sindirnya.

"Kalo perlu jauhin Ela aja,"

"Kenapa sih? Dibilangin gue nggak kayak elo, nggak usah sekhawatir itu lah,"

"Dia adek gue anjir lo enak banget minta nggak usah sekhawatir itu," decak Leo jadi emosi.

Ikara menghela napas berat. "Adek lo nggak semenyedihkan itu, dia orang baik, asik juga buat diajak ngobrol. Jadi kalo temen dia ngejauh, yang salah temennya bukan Ela. Lo nggak usah khawatir dia bakal dapet temen atau enggak."


Leo hanya diam mendengar kalimat panjang yang tak ia duga akan keluar dari mulut Ikara.


"Satu lagi, perbanyak komunikasi sama adek lo jangan terlalu tertutup."

"Tau apa lo?" tanya Leo tersinggung.



"Dia nggak bakal lari ke orang baru kayak gue buat curhat kalo abangnya mau terbuka buat dicurhatin."



Leo seketika diam. Sedikit tertampar dengan kalimat itu. Sekaligus kesal karena ucapan cewek itu benar.

"Sorry kalo omongan gue salah," Ikara mengangkat bahu. "Tapi kalo bener direnungin aja." katanya sambil kembali menuju kamarnya. Merasa beruntung karena ucapannya tidak membuat Leo melemparnya ke genteng.


Leo masih diam di tempatnya dengan isi benak yang penuh.


Ia kemudian melangkah keluar dari kamar untuk ke bawah memeriksa apakah orang tuanya sudah tidur, karena lampu kamar gelap artinya mereka tidak terjaga.

Saat kembali ke atas dengan segelas air Leo berhenti dulu di depan kamar Ela, lampunya masih menyala dan pintu sedikit terbuka. Leo mengintip sedikit, ternyata adiknya tertidur di meja belajar dengan komputer yang masih menyala.

Leo masuk ke dalam, awalnya ingin memuji karena sekarang rajin. Tapi ternyata sedang melihat video grub kesukaannya sedang berjoget.

"This, that pink venom This, that pink venom! Get 'em, get 'em, get 'em. Straight to ya dome like woah, woah, woah!"

Leo mengetuk kepala Ela. Kemudian menghentikkan video tersebut dan mematikan laptopnya.

"Bangun," Leo menarik ujung rambut Ela. "Pindah ke kasur ege."

Ela masih memejamkan matanya. "Jangan dimatiin gue masih streaming..." gumamnya.

"Ck," Leo menarik kedua lengan Ela agar berdiri, lalu membawanya ke kasur.

"Blackpink abis comeback..." Ela hendak kembali ke meja tapi Leo menghadang. "Streaming yang banyak."

"Sssst," Leo mendorong dahi Ela sampai berbaring di kasur, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh bocah itu.


Belajar nggak mau, streaming lancar banget. Penasaran apa yang dia dapat dari mendukung mereka sampai segitunya. Ela juga sering trasnfer untuk beli album lewat rekening Leo agar tidak ketauan mamah.


"Perbanyak komunikasi sama adek lo, jangan terlalu tertutup. Dia nggak bakal lari ke orang baru kayak gue buat curhat kalo abangnya mau terbuka buat dicurhatin."


Leo mengambil gelasnya di meja, lalu menoleh menatap adiknya sesaat. "Sorry kemarin kasar," ucapnya sangat pelan. Lalu keluar dan menutup pintu kamar.



Ia melangkah menuju kamarnya sendiri, mendorong pintu jendela dan melangkah menuju balkon. Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya dengan cepat.

Kedua tangannya memegang erat pagar balkon, ia menundukan kepala untuk waktu yang lama. Berusaha menguasai dirinya sendiri, berusaha tenang, mengenyahkan segala teriakan di kepalanya.

Leo terkadang menjadi terlalu panik dan kesulitan bernapas dengan baik jika kepalanya terlalu diisi banyak hal.

Ikara yang baru saja keluar menuju balkon dengan buah di tangannya terdiam kaget. Ia letakkan pelan-pelan piringnya di atas kursi, lalu melangkah mendekat ke sana.

"Leo?"

Leo menoleh dengan napas tidak teratur, menatap Ikara yang berjalan menghampirinya dengan raut khawatir. Ia segera melangkah mundur untuk pergi tapi Ikara menahan tangannya.

"Lo nggak papa, Le?"

"Lepas," Leo berusaha menepis Ikara dengan tangan lemasnya.

"Gue bantu,"

Leo duduk di kursi balkon. "Air,"

"Apa??" Ikara mendekatkan wajahnya.

"Air,"

"Wait," Ikara masuk ke dalam kamar Leo, mencoba mencari apakah ada air. Ia melihat satu gelas di meja tapi isinya sudah habis membuat Ikara berdecak.

Cewek itu berlari kecil ke kamarnya membuat Leo yang sedang menyender memperhatikkan cewek itu. Ikara masuk ke kamarnya untuk mengambil air, lalu kembali lagi dan berusaha naik dengan membawa gelas tapi isinya terus tumpah.

"Ish," Ikara membungkuk untuk meletakkan gelas di lantai balkon Leo dulu baru dia naik. Tapi saat menaiki pagar tak sengaja kakinya menyenggol membuat gelas tersebut jatuh dan airnya tumpah.

"Astaga..." Ikara mengambil gelas itu lagi tapi tangannya menyangkut di dalam pagar membuat cewek itu berdecak.

Ikara menarik napas dalam, berusaha mengeluarkan tangannya sekaligus gelas tersebut. Tali gelasnya malah terjatuh di lubang antara pagar membuat cewek itu memejamkan matanya.

"Non? Nggak papa non??" Pak Seto yang mendengar suara keras berlari mendekat.

"Nggak papa, Pak." Ikara menyender di pagar sambil menunuk. Masih panik karena papah memarahinya di bawah dan Leo tiba-tiba membuatnya khawatir.

"Gue udah nggak papa," Leo datang dan duduk di pojok pagar. Melirik Ikara yang duduk membelakanginya.

"Gue nggak pernah bener ngelakuiin sesuatu," gumam Ikara.

Leo memain-mainkan lantai dengan telunjuknya. Sama.

"Gue ambilin airnya dulu—"

"Nggak usah."

Ikara menoleh.

"Kenapa?"

"Itu air rumah lo,"

Ikara menoleh dengan tatapan kesal. "Lo jangan buat gue makin emosi, Le."

Leo melirik dengan alis terangkat. "Kan selera,"

"Emang air rumah gue kenapa? Jamuran?"

"Siapa tau,"

"Sialan lo,"

"Lo juga."

"Cowo sinting."

"Lo lebih."

Ikara menarik napasnya dalam, lalu ia hembuskan secara perlahan. Cewek itu memutuskan berdiri membuat Leo melirik, mengumpat saat tiba-tiba Ikara menjambak rambutnya.

"Anjing!"

"Kembaran lo." Ikara masuk ke dalam dan menutup pintu jendelanya.

"Dih." balas Leo.



Lalu diam setelah sadar kepanikannya hilang lebih cepat dari biasanya. Karena berdebat dengan cewek itu.



Bersambung...

ada yang relate sama ikara? kalo panik jadi buru-buru dan ceroboh. kalo di posisi itu coba buat tenang dulu bbrp detik, terus ngelakuiin sesuatu pake gestur pelan jgn cepet.

ketemu kpn syg. oke lusa

Continue lendo

Você também vai gostar

2.7M 276K 64
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
4.1M 318K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
1.5M 130K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
10.6M 675K 43
Otw terbit di Penerbit LovRinz, silahkan ditunggu. Part sudah tidak lengkap. ~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN D...