Arga ; Pusaran Sesal (Tamat)...

Od RefiaAndriana

2.8K 239 275

Hanya kisah kakak beradik Arga pulang ke rumah setelah sepuluh tahun pergi. Tak ada sambutan atau tegur sapa... Více

prolog
1.Pulang
2. Kakak?
3. Menyusahkan
4. Egois
5. kemarahan
6. satu langkah maju
7. satu tanya
8. secuil kekecewaan
9. rumor yang baru didengar
10. terus mencoba memperbaiki
11. lembaran masa lalu
12. menggulung jarak
13. segenggam kebersamaan
14. mengambil hati
15. perbincangan hangat
16. kembali ke tim
17. beban
18. kotakmu harus sama denganku
19.melawan
20. di mana dirimu?
21. maaf
22. Terurai
23. Berakhir
24. bayang-bayang
25. Ulang tahun dan permintaan
26. kemenangan semu
27. kenyataan yang disembunyikan
29. Mengabulkan permintaan
30. Masih ingin bersama
31. Terima kasih, Kak
32. menemanimu
33. Aku menyayangimu
epilog.

28. berperang dengan waktu

64 6 3
Od RefiaAndriana

Arga keluar ruangan dengan sempoyongan. Berjalan menuju kursi yang disediakan dan duduk. Pandangannya kosong. Jiwanya belum kembali setelah dihajar dengan kenyataan jika adiknya menderita tumor otak.

Sekarang dia bisa melihat dengan jelas, sebuah tirai tipis yang membatasi dirinya dengan Aksa. Kematian. Sebuah vonis yang menjadi akhir dari perjalanannya mengembalikan hubungan saudara. Tidak! Semua bisa salah, termasuk dokter yang menanganinya.

Tanpa pikir panjang, Arga merogoh saku celana. Menghubungi nomor sahabatnya.

"Aku akan bekerja denganmu. Terserah kamu akan menempatkanku di mana, asal pinjami aku uang." Tanpa basa-basi Arga langsung mengatakan tujuannya.

Terdengar tawa menggelegar dari seberang sambungan. "Apa seorang Arga Satya Pratama sudah jatuh miskin?"

"Aku serius."

Ada keheningan sejenak dalam panggilan.

"Berapa yang kamu butuhkan?" tanya yang di seberang.

"Berapa yang bisa kamu pinjamkan? Aku butuh banyak."

"Kenapa kamu tiba-tiba ingin meminjam uang? Apa ada masalah?" Bukannya menjawab, yang di seberang penasaran apa yang terjadi sebenarnya.

Mulut Arga mendadak bungkam. Jawaban yang dinanti kembali mengingatkannya dengan vonis yang baru saja didengar. "Adikku ...  sakit. Aku butuh banyak uang untuk ...." Arga tak sanggup melanjutkannya.

Tak ada pertanyaan meski Arga tak melanjutkan ucapannya  Yang di seberang panggilan terdiam beberapa saat seolah paham. "Baiklah. Katakan berapa yang kamu butuhkan dan kapan aku harus mentransfernya?"

Sekuat tenaga Arga menahan napas agar air mata tak lolos dari pelupuknya. "Aku akan membayarnya, aku tidak akan lari. Thanks buat kebaikanmu."

"Tenang saja. Jagalah Adikmu baik-baik dan katakan jika kamu siap masuk ke perusahaan."

Panggilan terputus dan Arga segera memijit pangkal hidungnya setelah mencopot kacamata. Mendadak tubuhnya bergetar hebat. Menggigit bibir, mengalihkan dari rasa sakit yang mencekram erat hatinya.

"Adik Anda menderita kanker otak stadium dua saat pertama kali datang. Untuk sekarang, saya tidak tahu apakah sudah berubah menjadi stadium tiga atau tidak karena belum melakukan pemeriksaan lebih lanjut."

Penjelasan dokter yang menangani Aksa membut dunia Arga seketika gelap. Bagaimana tidak? Kanker stadium dua yang berada di otak, sudah pasti tak banyak waktu yang dimilikinya. Adiknya sudah sangat jelas menunjukkan penurunan kemampuan tubuh.

"Saat Adik Anda datang dan mengetahui kondisinya, kami juga sudah menjadwalkan jadwal operasi. Dia mengatakan akan memberi tahu walinya untuk memastikan. Tentu saja tentang biaya juga prosedurnya." Lelaki itu menjeda sejenak ucapannya. "Adik Anda datang dan menolak operasi beberapa bulan yang lalu, tanpa mau melakukan pemeriksaan lanjutan apakah sel tumor mengganas atau tidak, tapi mendengar cerita Adik Anda. Sepertinya sel tumor sudah bermutasi menjadi kanker."

Arga ternganga. Mengapa adiknya bersikap bodoh. Bukannya lekas mengatakan padanya agar segera melakukan tindakan, tapi justru berpura-pura tidak terjadi apa-apa. "Lalu apa sekarang masih memungkinkan untuk operasi?"

Dokter dengan nama Samuel Antono itu mengangguk pelan. "Tentu saja. Semakin cepat akan lebih baik. Lagipula Adik Anda juga masih mengonsumsi obat untuk mengurangi gejala. Namun, sebelumnya kita harus melakukan pemeriksaan lagi sudah sejauh mana sel kanker menyebar." Lelaki itu mengambil foto rongsen kepala dan menunjukkan pada Arga letak kanker Aksa.

Arga bisa melihat dengan jelas kanker yang dimaksud oleh dokter dan sekuat tenaga menelan ludah. "Sampai berapa lama Adik saya bisa bertahan hanya dengan mengonsumsi obat?"

Lelaki itu meletakkan foto hasil rongsen dan mencopot kacamatanya. "Semua kemungkinan dapat berubah, tergantung pilihan Anda untuk segera melakukan tindakan."

"Apakah kemungkinan untuk sembuh jauh lebih besar?"

Menghela napas panjang, lelaki itu menatap lekat Arga. "Saya bukan Tuhan. Semua hal bisa terjadi."

Arga meraup wajahnya dengan kasar. Dia hanya punya waktu sebentar sebelum kondisi Aksa semakin parah. Sekarang dia paham mengapa adiknya sempat mengalami depresi. Sel kanker sudah menyebar ke pusat emosi bahkan memori. Dan kemungkinan yang paling besar mengapa Aksa memutuskan keluar dari tim basket adalah kemampuannya yang menurun, selain fokus juga gerakan yang tak selincah dulu. "Bagaimana bisa aku berpikir jika kamu lemah? Padahal kamu tengah berjuang mati-matian."

Tak mau membuang waktu dalam kesedihan, dia memilih pulang. Begitu membuka pintu, suara Aksa yang sedang muntah terdengar di kamar mandi yang berada di dekat tangga. Tak lama muncul dan kaget melihat kakaknya.

"Kupikir Kakak kencan dan akan pulang malam." Aksa berpura-pura tidak terjadi apa-apa dengannya dan duduk di hadapan mangkuk mi ayamnya.

"Kenapa kamu berpikir aku kencan?" Arga melirik Aksa yang menopang kepala dan mengaduk-aduk mi ayam tanpa berniat memakannya.

"Karena kamu selalu berpenampilan rapi, jadi aku selalu berpikir kalau kamu akan kencan."

Arga terdiam. Mengapa ingatannya justru teringat dengan ayahnya yang memang selalu berpenampilan rapi dan juga formal seperti halnya dirinya. Lalu ucapan Aksa seakan mengingatkan dengan kejadian beberapa tahun silam, yaitu perselingkuhan ayahnya. Apa mungkin peristiwa itu begitu membekas hingga adiknya selalu menghubungkan dengan dirinya. Ah, tidak. Arga hanya sedikit berlebihan.

Dia berjalan menuju kulkas dan mengambil soda. Duduk di samping adiknya.

"Kenapa tidak dimakan? Jangan menyia-nyiakan uangnya pengangguran." Arga membuka kaleng soda dan meminumnya.

"Kalau begitu, aku minta tolong dengan sangat. Tolong habiskan, Kak." Aksa menyodorkan mangkuk mi ayam ke hadapan kakaknya. "Aku ingin berbagi denganmu, berhubung tak punya apapun. Jadi ini saja sepertinya cukup."

Arga tertawa getir dan menatap lekat adiknya yang cengengesan tanpa rasa bersalah. Padahal di balik tawanya, dia menyembunyikan duka laranya sendirian.

Mau tak mau Arga menerima. Mi ayam yang sudah dingin dan baginya tak menggugah selera. Dipandangi sesaat sebelum memakan dengan terpaksa.

"Kapan ujian?"

"Mei." Aksa bangkit dan berjalan menuju dapur. Mengambil jus buah kemasan.

"Bagaimana kalau setelah kenaikan, kita pergi ke Bali?"

Aksa memutar tubuh, menatap Arga dengan keheranan. "Buat apa? Mau mengenalkanku dengan pacarmu? Atau menjadikanku obat nyamuk?"

"Kita jalan-jalan."

Aksa yang duduk menatap belum paham arah pembicaraan.

"Apa kamu pernah ke Bali sebelumnya?"

"Kamu tahu jawabannya, Kak."

Arga tahu, adiknya tak pernah pergi. Bahkan untuk bersenang-senang. Dia terlalu keras dengan dirinya sendiri untuk mendapatkan prestasi terbaik dan melupakan masa remajanya.

"Kita habiskan liburanmu di sana."

"Kenapa?"

Giliran Arga yang tidak paham dengan pertanyaan adiknya. "Apa maksudmu?"

"Kenapa mendadak berubah pikiran? Kamu sedang tidak kesambet setan bukan?"

Arga tertawa kecil, walau hatinya kembali patah. Tak mungkin dia mengatakan jika tak mau menyia-nyiakan waktu yang dia miliki sekarang. Bisa saja Aksa akan menghabiskan waktu lebih banyak di ranjang rumah sakit. Oleh karena itu dia ingin mengabulkan keinginan walau itu berarti harus berperang dengan waktu. "Aku cuma takut kalau sudah kerja justru lupa dengan janjiku."

Merasa alasan yang diterima Aksa masuk akal, dia pun menyanggupinya. "Kudengar di Bali serba mahal. Bagaimana kalau kita kehabisan uang di sana?"

"Kamu harus kerja. Cuci piring atau tukang parkir. Atau gunakan ketampananmu untuk memikat wanita kaya. Aku tidak mungkin melakukannya."

Aksa tertawa lepas hingga tidak sadar Arga menatap dengan sorot yang tidak bisa dijelaskan. Mengalihkan dari perasaan yang berkecamuk, dia menghabiskan mi ayam adiknya.

"Sa."

"Apa?"

Bukannya lekas menjawab, Arga justru bingung harus memulai dari mana. "Kamu tak perlu keras dengan dirimu sendiri. Jika nanti ujian dan kamu tak bisa mengerjakan, tinggalkan saja."

"Gak bisa, ya, nyontek atau pakai jurus andalan." Aksa masih saja bercanda, padahal raut Arga menunjukkan keseriusan.

"Apa itu?" Arga penasaran.

"Mengarang bebas atau hitung kancing." Lagi-lagi Aksa tergelak. Sebuah tawa tanpa beban membuat Arga tak berhenti menatapnya.

"Kakak pasti gak pernah melakukan itu bukan?"

Arga tersenyum paksa. Tentu saja dia tak pernah melakukannya. Baginya semua soal pasti ada jawabannya. Konyol sekali mencoba peruntungan dengan menghitung kancing atau justru mengarang bebas. Dia pikir sedang membuat novel apa.

Seketika dia penasaran dengan nilai Aksa yang selama ini dikatakan berprestasi. Bukan ingin membandingkan dengan dirinya. Hanya ingin tahu sekeras apa usaha yang telah dilakukan demi membahagiakan ibu mereka.

"Di mana kamu simpan raportmu SMP?"

"Gak tahu. Ibu yang menyimpannya."

Keheningan tiba-tiba menyergap mereka berdua. Kakak beradik itu berada dalam mode serius.

"Aku tak yakin bisa meraih juara untuk semester ini."

"Aku juga tidak akan memberimu hadiah, jadi tak perlu khawatir dengan nilai dan peringkat. Lebih baik kamu mencemaskan mangkuk ini." Arga menyodorkan mangkuk mi ayam pada Aksa yang paham jika dia harus mencuci sebagai hukuman.

Dengan terpaksa, Aksa mengambil dan menuju wastafel.

"Yang bersih!"

"Bawel!"






Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

10.2K 274 15
Arbian Mandala Harris hidup dalam bayang-bayang keinginan Mamanya. Sulung keluarga Harris itu tidak pernah bisa mengatakan TIDAK terhadap apapun yang...
2.7K 204 6
Cinta gidara dan nara
MAS BULE ~ BL Od July

Nezařaditelné

1.5M 123K 157
"You do not speak English?" (Kamu tidak bisa bahasa Inggris?) Tanya pria bule itu. "Ini dia bilang apa lagi??" Batin Ruby. "I...i...i...love you" uca...
809K 13.4K 21
Megan tidak menyadari bahwa rumah yang ia beli adalah rumah bekas pembunuhan beberapa tahun silam. Beberapa hari tinggal di rumah itu Megan tidak me...