Arga ; Pusaran Sesal (Tamat)...

By RefiaAndriana

2.8K 239 275

Hanya kisah kakak beradik Arga pulang ke rumah setelah sepuluh tahun pergi. Tak ada sambutan atau tegur sapa... More

prolog
1.Pulang
2. Kakak?
3. Menyusahkan
4. Egois
5. kemarahan
6. satu langkah maju
7. satu tanya
8. secuil kekecewaan
9. rumor yang baru didengar
10. terus mencoba memperbaiki
11. lembaran masa lalu
12. menggulung jarak
13. segenggam kebersamaan
14. mengambil hati
15. perbincangan hangat
17. beban
18. kotakmu harus sama denganku
19.melawan
20. di mana dirimu?
21. maaf
22. Terurai
23. Berakhir
24. bayang-bayang
25. Ulang tahun dan permintaan
26. kemenangan semu
27. kenyataan yang disembunyikan
28. berperang dengan waktu
29. Mengabulkan permintaan
30. Masih ingin bersama
31. Terima kasih, Kak
32. menemanimu
33. Aku menyayangimu
epilog.

16. kembali ke tim

57 5 16
By RefiaAndriana

"Kakak berencana mengubah halaman belakang menjadi lapangan basket. Bagaimana menurutmu?" tanya Arga keesokan paginya.

Mereka tengah sarapan dengan roti panggang, telur mata sapi juga sosis. Tak lupa buah potong, jus buah dan kopi.

"Apa itu tidak terlalu berlebihan? Aku bahkan belum mengatakan akan kembali masuk tim." Raut terkejut masih tersisa di wajah Aksa mendengar rencana kakaknya. Namun, dia berusaha menguasai keadaan walau jauh di dalam hatinya ada perasaan aneh yang tak terungkapkan.

"Gak masalah. Setidaknya kita bisa lebih sering menghabiskan waktu di rumah bersama." Arga mengambil kopinya dan menyesap pelan.

Aksa memilih melanjutkan sarapan. Sesekali menjawab pertanyaan juga melirik Arga yang terus mengatakan idenya. Dia tak menyangka kakaknya akan melakukan banyak hal untuk memahami dirinya.

"Kenapa lama sekali makannya? Cepatlah!"

Aksa mendorong kursinya mundur dan berjalan ke kulkas, mengambil air putih.

"Kamu bawa air putih ke sekolah?"

"Kenapa kamu bawel sekali? Sudah macam emak-emak!" Bukannya meminum di tempat, Aksa justru membawanya ke kamar.

Arga tersadar jika dirinya sekarang memang lebih cerewet, persis emak-emak dengan anaknya. Ah, tidak apa-apa. Bukankah ini pertanda baik? Jika dia memberikan lebih banyak kepedulian pada adiknya.

"Jangan lama-lama. Aku tunggu di mobil."

Tentu Aksa tak akan menjawab, sedang Arga sendiri menuju garasi. Membuka gerbang dan mengeluarkan mobil. Pagi ini pikirannya dipenuhi berbagai rencana. Setelah mengantar Aksa, tentu dia akan bertanya pada Adi di mana tempat yang menyediakan jasa tukang. Jika sudah sepakat mengenai harga, berbelanja adalah tujuan berikutnya.

Ah, mengapa sekarang dia ingin memberikan yang terbaik untuk adiknya? Mengapa dia tak menyadari hal ini sejak dulu? Haruskah dia menyesali sesuatu baru bertindak lebih?

Aksa masuk ke mobil memakai hoodie putih yang dibelikan Arga kemarin.

"Bukankah itu belum dicuci?"

"Ya."

"Jorok!"

"Bawel! Aku suka mencium aroma barang baru. Apalagi ini pertama kalinya kamu membelikannya untukku." Aksa mencium lengan hoodienya.

Mengalihkan dari rasa aneh yang menyerang mendengar ucapan adiknya. Entah bahagia atau bangga, dia geleng-geleng kepala. "Fetishmu sangat aneh." Arga tak paham apakah maksud adiknya. Aroma buku baru memang menyenangkan, tapi tidak mungkin baju baru dipakainya tanpa dicuci terlebih dahulu.

"Semua orang menyukainya. Tak terkecuali aku."

"Seperti anak kecil."

"Aku memang anak kecil yang tidak pernah tumbuh." Aksa mengalihkan pandangan. Dia tak mau Arga menatapnya dengan berbagai pertanyaan.

Dan benar saja, Arga menatap seolah tahu apa yang dimaksud. "Kalau begitu, tumbuhlah sekarang. Akan kubelikan pupuk urea-nya."

****

Beberapa hari kemudian Arga sudah mengeksekusi idenya. Menyulap sedikit ruang di samping kolam renang menjadi lapangan basket mini. Tak besar memang, tapi setidaknya dapat dipakai Aksa untuk berlatih. Hanya berukuran 5x3 meter.

"Bagaimana? Apa kamu menyukainya?" tanya Arga ketika pengerjaan sudah selesai beberapa hari kemudian.

Hari ini Minggu dan Arga membawa adiknya ke belakang melihat hasil jadinya. Dia tersenyum puas melihat hasil yang persis diinginkan. Ring basket tanam dengan lantai polypropylene berwarna hijau. Tak apa merogoh kocek lebih dalam jika hubungan mereka semakin akrab.

"Bagaimana kalau kita berolahraga pagi ini. Sementara kamu bisa bermain basket, aku akan berenang." Arga memutar tubuh dan mengambil bola basket yang digantungkan di dinding.

"Aku harap Minggu bisa tidur lebih banyak, bukan berolahraga." Bukannya mengambil bola yang baru saja disodorkan, Aksa justru duduk di kursi santai yang berada dekat pintu. Wajahnya lesu seperti kurang tidur.

"Apa-apaan kamu ini. Tidur itu hanya untuk tubuh yang sakit."

"Memang aku sakit."

Ucapan Aksa tak mendapat respon dari Arga yang sudah berlari menuju ring. Sebuah keberuntungan membuatnya berhasil memasukkan. Menoleh ke arah Aksa, dia menyuruh untuk bangkit. Dengan ogah-ogahan Aksa mengikuti keinginan sang kakak. Kini mereka sudah berada di depan ring. "Lemparlah!" Tak hilang akal, dia kembali memberikan bola pada Aksa yang mau menerima.

Pandangan Aksa tertuju pada ring. Beberapa detik. Namun, bukan melemparkan, dia justru berlalu pergi setelah melempar bola ke sembarang arah. "Mungkin lain kali."

Arga menatap kecewa dengan kepergian Aksa. Mengapa susah membujuk adiknya bermain sebentar saja? Apa yang menyebabkannya tak mau melakukan olahraga itu?

Hari berlalu cepat. Masih belum ada perubahan. Aksa belum menyentuh lapangan basket. Dia lebih memilih mengurung diri di kamar dan hanya keluar saat makan. Namun, malam ini berbeda. Ketika Arga sudah terlelap. Dia mengendap keluar menuju belakang rumah.

"Mengapa kamu melakukan hal ini untukku?"

"Aku akan mendukung apa pun yang kamu sukai, Sa."

Ucapan Arga masih terngiang di benaknya. Bahkan mengganggunya selama ini.

"Mengapa baru sekarang? Padahal aku membutuhkanmu sejak dulu?" Bola mata Aksa mengabur. Sesak memenuhi dada. Sesuatu mencekik tenggorokan. Tubuhnya mendadak tak bertenaga dan dia merosot dengan bertumpu pada salah satu kaki.

"Terima kasih karena selama ini selalu berada di samping Ibu dan membahagiakannya. Sekarang giliranku menemanimu, Sa."

Lagi-lagi suara kakaknya terdengar begitu nyata di telinga. "Telat!"

Beberapa menit berlalu hingga Aksa berhasil menguasai diri menjadi lebih tenang. Dia bangkit, mengambil bola basket yang sudah beberapa hari tak berpindah tempat.

Suara pantulan bola menggema, membangunkan Arga dari tidurnya. Dia membuka gorden dan melihat Aksa sedang mendrible lalu berusaha memasukkan ke ring. Entah berapa kali.

Penasaran dengan aksi adiknya, dia turun setelah memakai kacamatanya dan memperhatikan dari kejauhan. Begitu melihat sebuah shot yang berhasil masuk ke keranjang, dia bertepuk tangan melihat keberhasilan adiknya.

Aksa menoleh ke sumber suara dan mendapati kakaknya bersandar pada daun pintu. Sontak dia menghentikan aktivitas dan berjalan masuk. Seperti seorang wanita, dia tak suka dilihat oleh kakaknya.

"Mau ke mana? Aku baru saja datang." Arga protes ketika Aksa justru masuk ke rumah. Dia mengekori adiknya.

"Katamu cukup satu shot saja dan aku sudah melakukannya." Aksa menuju dapur dan mengambil air putih. Tenggorokannya haus setelah beberapa kali berlatih.

"Gak gitu konsepnya, Sa." Arga bersedekap seraya bersandar di pintu penghubung dapur dengan ruang makan. Pandangannya tertuju pada Aksa.

"Telat. Permainan sudah berakhir." Lelaki bermata sipit itu masih saja beralasan. Dia mengambil botol baru dan berniat membawa ke kamarnya.

"Jangan bilang kamu malu dilihatin Kakak!"

"Gak. Aku bukan wanita."

"Lalu kenapa kamu main diam-diam tengah malam?"

"Bukan aku. Sepertinya ada setan yang merasuki tubuhku." Ucapan Aksa saat menaiki anak tangga membuat Arga tertawa renyah. Dia bisa membayangkan seperti apa adiknya sebelum kematian ibu mereka. Pasti anak yang ceria dan memiliki selera humor yang bagus.

Bukannya kembali ke kamar, Arga justru duduk di kursi santai yang berada dekat pintu setelah mengambil minuman cola dari kulkas. Menikmati keheningan malam dan mencoba menghidupkan ibunya.

"Benar, hidup tak ada sempurna." Arga membayangkan ibunya datang membawa cemilan sedang dirinya asyik membaca buku di kursi santai yang berada di dekat kolam. Aksa sendiri asyik dengan permainan bola basketnya dan ikut bergabung. Mereka tertawa bersama menikmati waktu. "Aku ingin mengutuk diriku sendiri. Bodohnya kamu baru menyadarinya sekarang."

****

Arga sedari tadi menunggu kepulangan Aksa. Padahal jam sudah lewat jam empat. Hampir seluruh siswa sudah keluar. Namun, yang ditunggu belum juga nampak batang hidungnya. Berulang kali dia menelpon, tak diangkat. Pesannya juga belum dibaca.

"Ke mana lagi anak itu?" Dia takut jika adiknya bolos walau sepertinya tidak mungkin. Dia cukup yakin adiknya sudah waras sepenuhnya dan tak membutuhkan alkohol.

Dia keluar mobil dan berjalan menuju gerbang. Disambut oleh satpam yang berjaga.

"Nunggu pacarnya, ya, Mas?"

Satpam yang menegur Arga bukanlah orang yang dulu pernah mengantarnya masuk, tentu tidak akan tahu jika dia mencari adiknya. "Oh, bukan. Adik saya."

"Sisa anak kelas ekstra saja. Mungkin nanti jam lima baru keluar. Apa mungkin ikut kelas ekstra?"

"Saya juga tidak yakin dia ikut kelas ekstra. Dia juga tidak bilang."

"Kalau begitu ditunggu saja. Sebentar juga selesai."

Arga kembali ke mobil dengan kecewa. Kenapa satpamnya tak mengizinkannya masuk untuk memastikan keberadaan Aksa. Justru menyuruhnya menunggu hingga selesai ekstra. Bukankah ekstra hanya tambahan saja?

Dia menyandarkan punggung ke kursi dan kembali menunggu hingga jam lima. Saat mendengar suara riuh, segera dia keluar. Mencari keberadaan adiknya di antara para siswa.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, Aksa berjalan bersama teman-temannya seraya berceloteh. Sebuah tawa lepas terukir di wajah. Hal itu membuatnya tercengang. Di antara rasa tidak percaya dan bahagia.

Menenteng hoodie pemberiannya, dia berjalan mendekat setelah beradu tos dengan teman-temannya.

Arga segera masuk dan menghidupkan mobil. Angin Ac berembus menguarkan aroma keringat dari tubuh Aksa yang hanya memakai kaos jersey tipis.

"Jadi ...." Sengaja Arga tak melanjutkan ucapannya.

"Ya, aku kembali ke tim. Dan ini adalah permainan terakhirku."

Akhirnya. Helaan kelegaan terdengar jelas. Pun dengan raut yang berbinar bahagia. Tak sia-sia upayanya. "Baiklah. Sepertinya kita perlu pergi ke toko dulu."

"Untuk apa?"

"Aku mau beli pom pom pemandu sorak."

"Aku tak yakin kamu akan melakukan hal itu." Sekarang giliran Aksa yang menyindirnya.

"Ini hanya basa-basi saja. Siapa juga mau melakukannya."

Continue Reading

You'll Also Like

4.7K 397 25
Ezra merupakan representasi nyata dari asa yang dirangkai sedemikian rupa hanya untuk berakhir lara. Satu asa yang tak pernah bisa dia wujudkan seker...
1.6K 118 31
Sejak awal, dia merasa ada yang ganjil dalam hidupnya. Hingga menemukan sebuah foto kakaknya yang sama sekali tak bisa diingat. "Jadi, cerita jika ak...
45.4K 2.5K 27
Daun tidak dihadirkan untuk membenci angin yang menjatuhkannya. Tak pula menaruh dendam pada alam yang membuatnya mengering dan terinjak. Bersedia me...
616K 11.1K 19
suka suka saya.