Arga ; Pusaran Sesal (Tamat)...

By RefiaAndriana

2.7K 217 275

Hanya kisah kakak beradik Arga pulang ke rumah setelah sepuluh tahun pergi. Tak ada sambutan atau tegur sapa... More

prolog
1.Pulang
2. Kakak?
3. Menyusahkan
4. Egois
5. kemarahan
6. satu langkah maju
7. satu tanya
8. secuil kekecewaan
9. rumor yang baru didengar
10. terus mencoba memperbaiki
11. lembaran masa lalu
13. segenggam kebersamaan
14. mengambil hati
15. perbincangan hangat
16. kembali ke tim
17. beban
18. kotakmu harus sama denganku
19.melawan
20. di mana dirimu?
21. maaf
22. Terurai
23. Berakhir
24. bayang-bayang
25. Ulang tahun dan permintaan
26. kemenangan semu
27. kenyataan yang disembunyikan
28. berperang dengan waktu
29. Mengabulkan permintaan
30. Masih ingin bersama
31. Terima kasih, Kak
32. menemanimu
33. Aku menyayangimu
epilog.

12. menggulung jarak

63 7 8
By RefiaAndriana

Aksa termenung di tepi ranjang pagi ini. Setelah semalam mendengar permintaan maaf kakaknya secara tidak langsung, dia tak tahu harus bagaimana bersikap nantinya. Haruskah ikut melunak atau seperti sebelumnya. Yang diinginkan hanya sederhana, permintaan maaf dan semua yang terjadi di antara mereka akan dianggapnya berakhir. Walau tak sepenuhnya.

Tas ransel sudah disiapkannya, pun dengan dirinya yang sudah memakai seragam sekolah. Hanya turun dan berpura-pura tak mendengar, apa masalahnya?

"Sa, apa kamu sudah siap?" Arga membuka pintu setelah mengetuk. Mendapati Aksa sudah bersiap tanpa dimintanya. "Sarapan sudah siap. Makanlah."

Aksa membuang muka, tak ada sepatah kata yang keluar.

Kali ini tak lagi ada emosi. Arga harus lebih sabar dalam memahami adiknya. Benar yang dikatakan Adi jika harus bekerja lebih ekstra untuk meluluhkan hati yang sudah kecewa dan sakit. "Kakak tunggu di bawah."

Arga memutar tubuh dan kembali ke dapur. Menyibukkan diri mencuci peralatan masak hingga adiknya datang beberapa menit kemudian. Setelah selesai, dia menuangkan jus juga susu ke gelas dan meletakkan di depan Aksa. "Kamu harus lebih banyak minum susu."

Aksa masih diam, tapi tangannya tergerak menyendok sarapan. Kali ini menunya adalah nasi goreng komplit. Porsinya juga jauh lebih banyak dari milik kakaknya.

Menit demi menit berlalu dalam keheningan. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring. Arga berusaha mencari topik pembicaraan, sedang Aksa sendiri tak berniat membuka percakapan.

"Bagaimana kalau sepulang sekolah kita pergi ke makam Ibu?"

Pertanyaan Arga sukses membuat lelaki berseragam itu terbelalak. Kunyahannya memelan dan pandangannya tertuju pada lelaki yang memakai kaos lengan panjang berwarna putih itu.

"Untuk apa?" Akhirnya Aksa buka suara.

Arga menyandarkan punggung dan tertawa kecil mendengar pertanyaan adiknya. "Mukbang."

Aksa akhirnya tersadar dengan pertanyaan bodohnya. "Maksudku--." Ah, kenapa dia mendadak tidak tahu apa yang akan dikatakannya.

"Sejak datang, aku belum ziarah ke makam Ibu. Bagaimana kalau kita pergi bersama?"

Aksa tak meneruskan makan, tampak menimang-nimang penawaran kakaknya.

"Aku belum tahu letaknya. Tak mungkin aku mengajak Pak RT menemaniku."

Aksa berulang kali melirik kakaknya. Dia tak suka harus duduk berlama-lama bersama, apalagi jika hanya ceramah atau sindiran yang keluar. Namun, entah mengapa mulutnya berkata yang sebaliknya. "Baiklah." Sepertinya memberi satu kesempatan untuk memperbaiki hubungan tak masalah. Dia harap kakaknya memang berusaha memahaminya.

"Terima kasih, Sa."

Lagi-lagi Aksa terkejut mendengarnya. Dia melihat Arga yang melanjutkan makan. Ada sesuatu yang menyelusup dalam dadanya. Hangat. Sudah lama dia tak mendengar.

"Bagaimana kalau setelah ke makam ibu, kita makan di luar?"

"Apa rencana lo?"

"Hanya ingin menghabiskan waktu dengan Adikku saja."

Aksa terpaku untuk kedua kali. Sungguh jauh di dalam hati dia senang melihat kesungguhan kakaknya, tapi tak bisa mengatakan begitu saja. Rasanya canggung mengingat dia bukan lagi anak kecil yang mudah disogok. Akan tetapi hal-hal sederhana seperti itu yang selalu dinanti. Lalu mulutnya menjawab dengan dehamam sebagai tanda persetujuan.

Jawaban Aksa sudah cukup membuat Arga tersenyum senang. Satu langkah menggulung jarak sudah diterima tanpa ada perselisihan.

"Kita makan di mana? Apa kamu punya alergi?" Mendadak Arga heboh sendiri ketika gayungnya disambut dengan tangan terbuka oleh Aksa.

"Apa pun. Gue gak pernah pilih makanan." Aksa sibuk kembali dengan sarapannya, menyembunyikan rona bahagia di wajahnya. Sebagai seorang anak yang selalu diminta menurut, dia begitu senang saat ada yang memahami dirinya kali ini.

"Baiklah. Biar Kakak yang pilih tempatnya."

Aksa tak berani menatap Arga yang sedari tadi memperhatikannya.

Begitu selesai sarapan, Arga mengantarkan ke sekolah seperti biasa. Walau sepanjang perjalanan, Aksa masih menjaga jarak dan hanya menjawab seperlunya. Arga yang sudah membuang ego terus saja mengajak bicara. Tentu saja dengan intonasi yang menyenangkan.

"Belajarlah dengan bahagia. Kamu tak perlu melampauiku." Arga menepuk bahu Aksa yang kembali terkejut mendengarnya. Mengapa kakaknya mengatakan hal seperti itu? Apakah sebagai bentuk penyesalan atas apa yang dilakukan ibu akibat kepergiannya?

Aksa dengan segera menyingkirkan tangan sang kakak. Merasa kikuk dengan perubahan sikap yang jauh lebih lunak. Tanpa mengucapkan sepatah kata, dia berlalu pergi tanpa menengok ke belakang. Ada banyak perubahan emosi yang tak ingin ditunjukkan pada sang kakak.

***

"Jadi di mana tempat Ibu dimakamkan?" tanya Arga ketika Aksa sudah pulang dan berada di mobil.

Baru juga masuk mobil, keringatnya pun belum menguap, tapi antusiasme sang kakak begitu tercetak jelas di wajah. Entah hanya alasan untuk duduk lebih lama atau memang ada keinginan menemui ibu mereka untuk mengirim doa. "Di Tempel. Dekat Kakek juga Nenek."

Arga diam, tak juga melajukan kendaraan. Dia mengetuk-ngetuk ujung jari telunjuknya di stir kemudi. Berulang kali menghela napas panjang sebelum membalas tatapan penuh tanya adiknya yang seolah menanyakan mengapa tak kunjung berangkat.

"Aku lupa tempatnya."Arga nyengir tanpa rasa bersalah.

Aksa membuang muka begitu saling bertatapan. "Ada maps."

"Ya, dan kamu adalah mapsnya." Arga menepuk bahu adiknya. "Katakan kita mulai darimana."

Aksa tidak yakin jika kakaknya melupakan kampung halaman ibu mereka. Seingatnya, Arga mempunyai daya ingat yang tajam. Kemungkinan hanya berpura-pura agar dirinya mau buka suara dan menggulung jarak. Sebuah rencana yang apik dan telah berhasil menjebaknya secara tidak langsung. Tak mengapa. Bukankah sudah seharusnya seperti itu.

"Ikuti saja jalan provinsi menuju Magelang." Aksa masih tak menatap Arga.

Arga mendesah melihat adiknya yang tak mau bertatap muka, seakan wajahnya menyebalkan dan pantas mendapatkan pukulan. "Jadi kita mengikuti jalan biasa pulang bukan?"

"Berhentilah berpura-pura tidak tahu!"

Arga tertawa kecil. Dia sengaja bersandiwara agar adiknya mau buka suara. Tak banyak, tapi lumayan membangun kedekatan. Tak lama, dia menginjak pedal gas, meninggalkan sekolah Aksa yang mulai lengang.

Sepanjang perjalanan, Arga berhasil membuka mulut Aksa. Terkadang dia berpura-pura bertanya apakah masih lurus atau sudah harus masuk gang, sengaja memancing kemarahan dengan bertanya apakah harus membeli buket atau bunga tabur saat datang. Tentu saja hal itu memicu perdebatan. Akan tetapi Arga berusaha santai menanggapi dan Aksa sendiri paham. Ini hanya sebatas gurauan. Tanpa mereka sadari sudah sampai di tempat pemakaman umum yang dituju.

"Kenapa tidak turun?" Arga penasaran melihat Aksa yang belum membuka seatbelt. Ladahal dalam bayangannya, adiknya akan antusias bukan tak semangat seperti sekarang.

Mendengar pertanyaan kakaknya, mau tak mau Aksa turun. Mereka berjalan menuju tempat pemakaman umum yang seperti kebanyakan. Jauh dari pemukiman masyarakat. Berpagar batu bata setinggi satu meter dengan bunga kamboja di sekelilingnya. Memasuki tempat ibunya beristirahat, hari mulai menjelang sore. Suasana remang-remang dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi. Suara tonggaret seakan menjadi alunan selamat datang. Mereka membawa serta bunga yang telah mereka bawa.

Begitu tiba di depan makam yang berada di tengah-tengah area, Arga melihat bunga kering di sebuah vas. Beberapa potong bunga mawar. Sudah bisa menebak siapa yang sering datang. Pikirannya menjawab ke mana Aksa saat pulang dengan baju penuh lumpur. Makam ibunya masih hanya berupa gundukan tanah dengan nisan keramik seadanya bertuliskan nama ibunya.

Arga jongkok, memegang nisan ibunya dan menciumi seolah menyalurkan kerinduan. Lalu tangannya tergerak mengusap. Sedangkan Aksa masih terpaku di tempat semula melihat apa yang dilakukan kakaknya.

"Aku mau ke mobil dulu." Tangan Aksa terulur, meminta kunci.

Arga tak menduga dengan sikap adiknya. Dia memandang heran, tak lekas memberikan kunci.

"Apa kamu tak ingin menyapa Ibu?" Arga menatap penuh selidik, mencari jawaban dari bola mata Aksa yang kosong.

"Ibu sudah mati. Tak ada gunanya." Ada nada yang tak bisa ditafsirkan oleh Arga. Sikap yang mengundang tanya.m, tapi apa?

"Kamu yakin?"

"Bukankah kamu yang ingin menemui Ibu?"

Ucapan Aksa dibenarkan. Tentu adiknya sudah sering datang. Dia pun bangkit. Merogoh saku celana dan memberikan kunci. Begitu berpindah tangan, adiknya pergi tanpa mengucapkan apapun.

Arga beranggapan jika adiknya hanya sedikit menunjukkan sisi emosional mengingat selama ini tinggal bersama ibunya. Walau kenyataan dia tak tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan mereka berdua.

Arga tak lagi memerdulikan dan segera kembali dengan aktivitasnya. Menaburi bunga di atas makam ibunya. Sejenak pandangannya tertuju pada nisan. Dan masih belum ada kata yang keluar dari mulut Arga. Bingung harus merangkai kata dari mana. Semua penyesalan menyeruak dalam dada hingga pikirannya mendadak kosong.

Dia mendekat dan memegang nisan. "Maaf, Ibu. Keegoisanku sudah membuat masalah bagimu."

Hanya permintaan maaf sederhana, tapi membuat pertahanan Arga langsung porak poranda. Bagaimana tidak? Penyesalannya sudah terlambat. "Sebagai anak sulung, seharusnya aku bisa diandalkan untuk melindungimu, Bu. Tapi apa yang kulakukan?" Arga memegang ujung hidung, meredam emosi yang mulai bergejolak. "Hanya karena masalah kecil, aku menjadikannya alasan untuk pergi dan membencimu."

Arga menggigit bibir bawah, mengingat kenyataan yang dipaparkan di buku harian ibunya. "Aku tak bisa mengembalikan waktu ataupun dirimu, Bu. Tahukah jika aku sangat menyesalinya sekarang." Dia tak sanggup melanjutkan semua kalimat penyesalannya dan membiarkan air mata sebagai perwakilan.

"Aku anak durhaka ya, Bu? Bagaimana bisa Ibu sendiri sakit dan aku tak peduli? Bahkan saat kematianmu, aku tidak datang untuk mengucapkan terima kasih ataupun meminta maaf. Namun, aku memaksamu untuk mengatakannya." Arga menyeka air matanya dan menguasai diri.

"Ibu, aku pulang. Maafkan aku sudah terlambat datang. Yang bisa kulakukan sekarang hanya menghidupkan dirimu dalam ingatan dan mendoakan." Arga merapatkan tubuh ke nisan dan memeluknya.

Lalu angin sore berembus, menyibak anak-anak rambut Arga. Daun juga bunga kamboja yang tumbuh tak jauh dari makam ibunya berjatuhan. Wangi khasnya menusuk indera penciuman.

"Aku harap Ibu tidak marah, walau aku yakin pasti kecewa dengan sikapku selama ini." Arga menghirup napas dalam-dalam. "Sebagai gantinya aku janji akan menjaga Aksa. Jadi tenanglah di sana. Besok giliranku yang bercerita, bagaimana hebatnya anak Ibu yang ganteng itu." Dia tertawa kecil.

"Aku menyayangimu, Bu." Sebelum memutuskan kembali ke mobil, dia mencium nisan sebelum beranjak bangkit. "Lain kali Arga datang, memberi persembahan doa yang lebih lama."

Arga memutar tubuh, kembali ke mobil. Rasanya ada kelegaan luar biasa. Walau bukan raga yang dijumpainya, melainkan hanya gundukan tanah. Setidaknya kalimatnya tersampaikan.

Begitu membuka pintu mobil, dia mendapati Aksa justru tertidur. Tak berniat membangunkan dan membiarkan untuk beberapa saat. Dipandangi wajah lelah adiknya yang terlelap dan bersandar di jendela pintu.

"Kamu pasti sangat lelah." Arga menyandarkan punggung setelah mengatur posisi kursi. Dia melihat wajah lelah adiknya lalu beralih pada pemandangan sekitar pemakaman yang mulai gelap. Semburat senja di ufuk barat menandakan waktu akan mendekati Maghrib dan dia harus bergegas pulang. "Kamu hebat bisa bertahan hingga sekarang, Sa." Dia menoleh pada Aksa.

Arga memasukkan kunci dan bersiap menghidupkan mobil. Namun, gerakannya terhenti. Atensinya teralihkan. "Ibu, maafkan Aksa." Butiran bening meleleh di atas pipi putih adiknya.

Arga tertegun tak percaya. Mengapa Aksa harus meminta maaf pada ibu? Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah ada bagian yang terlewat baginya?


Continue Reading

You'll Also Like

618 74 21
Dia selalu dituntut menjadi seperti kakaknya. Berprestasi dan sehebat keinginan ibunya. "Bu, jika aku memenuhi semua tuntutanmu? Apakah kamu bisa mel...
1.7M 65.5K 42
"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan." Tapi apa setelah perpisahan akan ada pertemuan kembali? ***** Ini cerita cinta. Namun bukan cerita yang bera...
1M 102K 51
Ketika menjalankan misi dari sang Ayah. Kedua putra dari pimpinan mafia malah menemukan bayi polos yang baru belajar merangkak! Sepertinya sang bayi...
13.5K 446 13
Tentang Fania yang tiba tiba saja jatuh cinta pada lelaki lemah yang baru saja dilihatnya. Tentang Rivan yang menanti secercah cahaya untuk menjadi...