Arga ; Pusaran Sesal (Tamat)...

By RefiaAndriana

2.8K 239 275

Hanya kisah kakak beradik Arga pulang ke rumah setelah sepuluh tahun pergi. Tak ada sambutan atau tegur sapa... More

prolog
1.Pulang
2. Kakak?
3. Menyusahkan
4. Egois
5. kemarahan
6. satu langkah maju
7. satu tanya
8. secuil kekecewaan
9. rumor yang baru didengar
10. terus mencoba memperbaiki
12. menggulung jarak
13. segenggam kebersamaan
14. mengambil hati
15. perbincangan hangat
16. kembali ke tim
17. beban
18. kotakmu harus sama denganku
19.melawan
20. di mana dirimu?
21. maaf
22. Terurai
23. Berakhir
24. bayang-bayang
25. Ulang tahun dan permintaan
26. kemenangan semu
27. kenyataan yang disembunyikan
28. berperang dengan waktu
29. Mengabulkan permintaan
30. Masih ingin bersama
31. Terima kasih, Kak
32. menemanimu
33. Aku menyayangimu
epilog.

11. lembaran masa lalu

74 8 11
By RefiaAndriana

Arga segera duduk di tepi ranjang setelah mengambil buku yang berada di bawah kasur. Berwarna biru dan tebal layaknya buku jurnal. Sejenak dia ragu dan urung membuka. Melihat buku yang diyakini sebagai milik ibunya. Apakah dia lancang jika membacanya? Keraguan menyelimuti hati, tapi rasa penasaran menguasai diri. Setelah kata maaf meluncur dari mulut, tangannya tergerak membuka lembar pertama, kosong. Lega. Tak ada tulisan apapun.

Namun, rasa ingin tahu membuat tangannya menyingkap lembaran kedua. Sebuah tulisan menarik atensinya.

"Ibu."

Kenapa wanita selalu disalahkan jika dalam rumah tangga terjadi perselingkuhan? Mengatakan tak pandai menjaga pernikahan. Sibuk dengan kehidupan luar dan lupa dengan kodratnya di rumah? Apakah aku salah bekerja di luar?

Mereka tidak pernah tahu. Aku tak mempermasalahkan jika gaji suamiku lebih rendah. Aku tidak marah kebutuhan rumah kutanggung sendiri. Tapi kenapa semua orang seenaknya mengumpat? Di mana empati mereka yang mengaku perempuan? Ah jangankan saudara, anakku sendiri mengatakan hal yang sama. Aku terlalu sibuk di luar. Siapapun orangnya butuh pelarian dari keringnya kasih sayang, begitu katanya. Bagaimana bisa anakku mentolerir sebuah perselingkuhan dan menyalahkan ibunya yang memperjuangkan segala hal untuk dirinya.

Bukankah menikah adalah berjuang bersama. Lalu mengapa harus mengatakan jarang di rumah sebagai alasan mencari pelampiasan di luar? Kenapa hanya aku yang berjalan pincang menyangga bahtera, sedangkan dirinya seenaknya berpindah haluan?

Aku terima semuanya. Hujatan juga kebencian, tapi masih bisakah aku menggenggam bahagia setelah hal ini terlewat? Sedangkan dirinya lebih memilih melepas diriku yang 'egois', katanya. Alih-alih meminta maaf dan merajuk meminta kesempatan kedua.

Benar yang ditulis Ibunya. Arga marah sudah sangat lama. Saat ibunya tak pernah hadir dalam pagi dan malamnya. Hangat tegur sapa menghilang berganti dengan kata 'tunggu sebentar' yang memuakkan. Walau saat itu dia sudah besar dan mempunyai dunianya sendiri. Dia masih membutuhkan ibunya kala pulang. Setidaknya bertanya basa-basi untuk hari yang dilalui. Mengapa tak paham? Bukankah ibunya dulu selalu melakukannya?

"Bukankah memang itu kenyataannya? Kenapa tidak instropeksi?"

Dia tak habis pikir dengan ibunya yang bertindak seperti korban. Bukankah tak ada asap jika tak ada yang memulai menghidupkan api. Sedangkan komunikasi tak pernah terjalin di antara mereka. Salahkah jika dia memilih pergi? Toh ada tidaknya dirinya bukan lagi masalah. Ibunya sudah memiliki dunia sendiri.

Arga menghela napas panjang. Dia membiarkan buku itu terbuka dan meletakkan di samping ranjang. Kesal, pikirannya terus bergumul di antara menyalahkan juga iba. Lalu pandangannya menyapu ruangan ibunya yang berukuran 7x6 meter.

Lurus dari tempatnya duduk, ruang kerja ibunya yang berada di sebelah kiri pintu atau persis menghadap kolam, dibatasi sekat kaca seakan menjadi pemandangan. Menempel di tembok, berjajar lemari kaca yang berisi buku dan jurnal. Setumpuk kertas yang telah menciptakan jarak di antara mereka. Lalu pandangannya beralih pada pernak pernik yang terdapat di atas meja. Hanya pulpen yang masih pada tempatnya, lampu baca juga foto kebersamaan saat mereka masih kecil. Hal yang memantik kembali memori.

Setelah jauh lebih tenang, dia berniat membuka buku secara acak. Mengira hanya lembaran ratapan penyesalan saja. Dia membuka perlahan hingga melihat namanya tertulis di atas kertas.

Arga, apa kabarmu, Nak? Ah, aku yakin kabarmu baik sampai tak ada waktu untuk menelpon. Kamu pasti sibuk dengan dunia barumu yang sudah pasti menyita waktu. Sekarang Ibu mengerti dan merasakan dengan apa yang kamu katakan dulu. Seharusnya aku paham dan bisa memberikan waktu lebih banyak. Sayang semua sudah terlambat.

Sungguh Ibu begitu rindu. Sudah berapa tahun kita tidak bertemu? Apa tak ada keinginanmu untuk pulang setelah kuliah? Apa tawaran bekerja di luar negeri sangat menggiurkan? Ibu sudah berubah, Nak. Apa kamu tak merasakannya? Apa ucapan juga pertanyaanku terkesan basa basi saja sekarang? Apa kamu tak bisa merasakan ketulusan juga kerinduan di dalamnya?

Pada akhirnya, aku hanya bisa menatap fotomu, mengira-ngira sudah seganteng apa kamu sekarang? Tak ada foto satu pun yang kamu kirimkan untukku. Pun dengan media sosialmu.

Apakah selama ini kamu tidak kangen masakan lebaran? Apa kamu bahagia dan sudah memiliki pacar? Aku ingin mendengar ceritamu, tapi hanya kata 'ya' dan 'tidak' yang lebih sering kudengar. Apakah sekarang kamu balas dendam padaku?

Rasanya aku ingin mengatakan 'pulanglah, Nak. Ibu rindu.' . Sayang setiap kali sambungan telepon berhasil tersambung, semua kalimat itu membeku, seperti hubungan kita yang semakin dingin. Tak jarang berakhir di kotak suara, tanpa pernah mendengar suaramu. Padahal aku sungguh ingin memeluk dan mengusap wajahmu, Nak.

Setiap tahun, aku menunggumu. Berharap kamu akan memberi kejutan, mengetuk pintu rumah lalu mengatakan 'ibu, aku pulang.' Membayangkan saja rasanya mata ini sudah basah. Kenyataan semua hanya angan-angan belaka. Setahun, dua tahun, tiga tahun ... tak ada yang berubah. Kamu semakin menjauh.

Ada kalanya, aku ingin mengatakan jika mungkin saja waktuku tak akan banyak. Penyakit ini semakin menyiksa, pun dengan kerinduan yang tak pernah menemui muara. Ingin sekali kujadikan rasa sakit ini sebagai alasan, tapi siapa aku? Aku hanyalah wanita yang melahirkan dan merawatmu. Ketika kamu sudah besar dan cukup untuk menantang dunia, bukankah aku yang harus mendukungmu? Membiarkanmu bebas mengarungi kehidupan yang maha luas dan bukan membebanimu dengan kata 'pulang'. Maka aku akan menunggumu di rumah, mengatakan jika aku sangat menyayangimu. Dan akan menunggumu hingga kamu kembali pulang. Semoga bukan saat pemakamanku nanti, sayang.

Buku dalam tangan Arga bergetar, menandakan dia tengah berjuang melawan gejolak emosi yang menghampiri. Air sudah menggenang di pelupuk mata dan cukup yakin akan tumpah jika tak berhasil menguasai diri. Sejenak dia melepaskan kacamata dan meletakkan buku di sampingnya untuk mengontrol emosi.

"Jadi aku hanya salah paham, Bu?"

Arga menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata. Namun, semakin lama butiran bening menganak pinak di wajah mengingat apa yang tertulis di buku ibunya. Tubuhnya bergetar hebat dan tangannya terulur mengambil foto di nakas.

"Bu, maafkan Arga." Dia mendekap dengan penuh kerinduan lalu bayang-bayang masa kecil yang selama ini dikubur dalam, mencuat. Kenangan saat masih bersama. Hangat dekapan. Tawa dan canda menggema di telinga lalu kesadarannya kembali utuh sepenuhnya. Tak ada lagi kebencian juga kekecewaan, yang ada hanya penyesalan.

"Bu. Arga sudah pulang. Maafkan aku."

Cukup lama Arga terisak, menyadari kesalahpahaman yang tak bisa dijembatani dengan komunikasi. Prasangka dan ego yang telah menjadi akar permasalahan mereka. Cukup lama, dia menahan gejolak emosi yang menyerang. Penyesalan juga rindu yang menjadi satu. Semua sudah terlambat. Ibunya sudah tertidur di bawah tanah. Dia tak mungkin bersujud untuk meminta maaf pun membongkar makam untuk mengatakan betapa bodohnya dia sebagai anak tertua.

Setelah lebih tenang, dia kembali mengambil buku dan membuka lembaran lainnya.

Aksa! Kenapa kamu sangat menyebalkan! Kenapa kamu selalu membuat masalah?! Tidak bisakah kamu menurut seperti kakakmu? Tidakkah kamu tahu Ibu sudah sangat lelah? jiwa dan raga? Apa kamu tak bisa melihat berapa banyak air mata yang sudah keluar? Kenapa kamu tak juga memahami betapa hancurnya Ibu sekarang? Kakak juga ayahmu pergi dan ibu sendiri. Tak ada teman berbagi. Harusnya kamu tahu itu? Bukankah kamu yang ada di sisi ibu selama ini?

Kumohon, Nak. Menurutlah! Jangan menambah beban pikiran. Ibu harus kerja, itu juga demi dirimu. Seharusnya kamu paham itu? Sekolah juga makanmu tidak murah, sedang ibu harus pontang-panting mencari uang. Apakah yang ibu lakukan tak terlihat di matamu? Hargailah Ibu.

Berhentilah membuat ulah, Nak. Kamu seharusnya belajar yang giat. Memberikan prestasi yang gemilang seperti halnya kakakmu. Kenapa kamu tak bisa menirunya? Padahal kamu adiknya? Lihatlah dia yang selalu membawa juara di setiap ulangan! Medali di setiap kompetisi. Bukankah itu adalah hal yang mudah? Kakakmu saja bisa lalu kenapa hanya kenakalanmu yang ibu lihat. Mengapa kamu berubah sekarang?

Jangan sia-siakan pengorbanan ibu, Nak!  Kamu harus sehebat kakakmu atau kalau perlu menjadi dirinya. Agar rasa kesepian ini hilang saat kamu mempersembahkan nilai dan angka yang sama hebatnya dengan kakakmu. Agar aku bisa merasakan hadirnya dalam dirimu. Ya, bukankah kamu anakku? Sudah sepantasnya menurut padaku.

Lagi dan lagi, Arga menyeka air mata dengan tisu yang berada di nakas. Meski yang terjadi padanya hanya sebatas kesalahpahaman, kenyataan ibu memang melakukan hal mengerikan pada Aksa.

Meletakkan buku begitu saja, dia berlalu menuju lantai dua. Ketika membuka kamar, Aksa tengah tidur dengan napas teraturnya. Dia mendekat dengan mata memerah. "Sekarang aku sadar. Akulah yang memberimu masa-masa sulit ini, Sa."

Kalimat yang akan terucap seakan tercekat di tenggorokan. Bahkan menyakitinya. "Kamu berhak marah dan melampiaskan padaku karena memang aku yang salah. Aku akan menerimanya mulai sekarang."

Tangan Arga bersiap membelai rambut Aksa, tapi lagi-lagi dia menariknya. Matanya mulai berkaca-kaca. Dengan cepat dia memandang langit-langit kamar agar butiran bening tidak terjatuh di wajahnya. "Maafkan aku, Sa."

Dia tak bisa membayangkan betapa tertekannya Aksa selama ini. Dituntut menjadi dirinya agar sang ibu bisa mengobati sedikit rasa sedih juga rindu akibat kepergiannya. Memaksa untuk seperti dirinya. Benar. Ibu sama egoisnya dengan dirinya dan Aksa yang harus mengalah juga menerima segala hal yang menyakitkan padanya, hanya karena dia seorang anak. Dibilang menurut, tidak. Dikatakan berbakti terlalu memaksa.

Arga memutar tubuh dan menutup pintu sepelan mungkin. Dia tak mau adiknya terbangun karena ulahnya. Begitu pintu tertutup, Aksa membuka mata.

Continue Reading

You'll Also Like

REAL LOVE By chovies

Teen Fiction

33.9K 3.5K 21
-lanjutan World Light- Di saat kebahagiaan di rasakan dua orang yang terikat oleh syariatNya. Maka di situ pula kan di uji olehNya berbagai permasala...
13.7K 465 13
Tentang Fania yang tiba tiba saja jatuh cinta pada lelaki lemah yang baru saja dilihatnya. Tentang Rivan yang menanti secercah cahaya untuk menjadi...
189K 16.7K 51
Solo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo...
2.7K 204 6
Cinta gidara dan nara