My Frenemy ( AS 10 )

By Salwaliya

3M 283K 120K

Ikara sama Leo kalo disatuiin? Kacau balau. Ikara tau banget Leo nggak suka sama dia karena kerap dijadikan b... More

Cast AS 10
Prolog
1. πŸ₯‡πŸ₯ˆπŸ₯‰
2. ⛳️ πŸ“ΈπŸ“²
3. 🀳
4. 🚬
5. πŸ“š
6. πŸ‘©πŸΌβ€β€οΈβ€πŸ’‹β€πŸ‘¨πŸΌ ?
7. πŸ‘šπŸ€¦πŸ»β€β™€οΈ
8.
9. πŸ“˜πŸ“•
10
11. πŸ₯ŸπŸ“²
12. πŸ«—
13. 😑
14. πŸ“–
15.
16.πŸ“₯
17. πŸŠπŸ»β€β™€οΈπŸšŒ
18. πŸ“πŸ“Έ
19. ♨️
20. πŸš‘
21
22. ❀️‍πŸ”₯
23.
24. πŸ›€
25.
26. 🚲
27.
28
30.
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44 ( kebalik $
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72. END

29

19.5K 4K 2K
By Salwaliya


hi sis. tenang jangan esmosi jangan galau. semalem gue hapus part ini terus tulis ulang menjadi lebih sempurna. hehe.


leo ga sadar dia bakal selalu jadi orang terandom tiap lagi sama ikara. ada aja tingkahnya.







29.



Ela : udah keluar kelas beb?

Ikara : masih piket

Ikara : dimana

Ela : mau beli cilok bentar

Ela : nyusul ke sana aja ya

Ikara : oke



Ela memasukkan hpnya di rok. Kemudian melangkah keluar dari sekolah menuju gerobak cilok di dekat pagar. Hari ini Leo, Willy sama Abel masih di sekolah buat kumpul sama anak futsal jadi Ela pengen duluan. Akhirnya janjian sama Ikara buat pulang bareng.

"Mang, mau cilok 10 ribuan dua."

"Bentar ya neng tadi ada anak-anak yang lagi pesen

"Banyak nggak?"

"6 bungkus an, Neng. Duduk di situ dulu aja, cepet kok saya."

"Oke Mang Udin," Ela menarik kursi hijau di samping gerobak dan duduk. Di saat bersamaan ia melihat gerombolan keluar dari sekolah menuju gerobak cilok membuat perasaannya nggak enak.


Bener kan. Anak dance.


Ela langsung menunduk pura-pura menyibukkan diri dengan hp.

"Berlina anjing bh gue keliatan nyet jangan narik narik!"

"Woi gue laper beneran deh,"

"Mang Udin! Cilok kita mana, Mang?!"

Ada sekitar 5 orang yang muncul. Mereka anak dance yang waktu itu pernah komen nggak bener di twitter Ela sampai dia private akun. Berlina dan Anggun yang pertama sadar ada Ela di sana.

"Temen lo," Anggun menyenggol lengan Berlina.

"Paan anjir," Berlina tertawa. "Mang kita yang pesen duluan loh tadi, Mang??"

"Iya neng sabar,"

"Yang baru dateng jangan-jangan dijualin duluan nih??"

"Wah parah Mang Udin,"

"Jangan prioritasin yang goodlooking dong Mang nggak adil ah,"

"Kalian dulu kok."

Ela masih menunduk menyibukkan diri meski perasaannya sudah panik. Apalagi mereka mulai ketawa-ketawa nggak jelas sambil lihat ke arah sini.

Apa? Berharap dia negur? Nggak bisa. Lawannya serem semua. Anak dance tuh dikenal koar banget, soalnya kebanyakan kakak kelas.

Ela sebenernya cupu, dia bukan Leo yang langsung serang kalau ada yang rese. Makanya mereka berani bertingkah kayak gini karena Ela nggak lagi sama Leo.

"Woi gue mau TikTokan deh siapa tau fyp," celetuk Berlina sambil mengangkat hpnya. Sengaja mengarahkan ke arah Ela. "Angle yang bagus di mana, ya?"

"Susah Ber, harus ada tak tiknya dulu," sahut Anggun.

"Gimana tuh?"

"Minimal punya Abang ganteng lah, pasti fyp." jawab Yaya membuat mereka tertawa.

"Biar ada yang komen ihh iri deh berasa dijagaiin cowok-cowok," rengek Berlina.

"Kalo nggak bawa Abang nggak rame ya?"

"Iya lah sepi, kan orang ngincernya yang cakep-cakep."

"Yaudah besok gue cari Abang buat nemenin main TikTok biar fyp, siapa tau ada yang komen beruntung banget kamu cantikkk,"

"HAHAHAHAH Berlina anjing,"

"Woi tar ada yang ngadu mampus,"

"Mana anjir ngadu sini gue tatakin mana hah?"

"HAHAHAHHAHA,"

"Gue juga bisa kali modal senyum doang followers banyak," Anggun mengibaskan rambutnya. "Cuman nggak suka ngumbar aja."

"Asikkkk cakepp,"

Tangan Ela mulai gemetar. Cewek itu mendekat pada gerobak. "Mang, masih lama?"

"Bentar ya, Neng."

"Ber, temen lo mana kok nggak berdua lagi?"

Berlina mendengus. "Nggak tau tuh, ada yang ngembat."

"Nggak punya temen apa gimana ngembat temen orang?"

"Ya lo tanyaiin orangnya ya kok gue," Berlina memutar bola matanya. "Sipaling cowok semua temennya, atut gue."

"HAHAHAHAHHAAH nanti dispill ya Ber atut,"

"Aduh aku masih gemeteran ini mereka setega itu," Berlina pura-pura pingsan. Melirik Ela yang masih diam di pojok.

"Pick me kakak pick meeee,"

"Jagaiin temen lo kasian gaul sama pick me,"

Ela membuka hpnya lagi, berdecak karena tidak ada yang bisa ia hubungi. Perasaannya sudah campur aduk dan dia menahan tangis sejak tadi karena disindir habis-habisan sama kakak kelas sendiri.

Sementara itu Ikara masih berjalan menuju luar sambil melihat sekitar. Menautkan alis melihat gerombolan di gerobak cilok, dan melihat Berlina sedang diam-diam merekam Ela yang sedang berdiri sendiri di pojok.

Ikara menghela napas berat. Langsung melangkah ke sana membuat Berlina tersenyum ke arahnya, tapi dia terus melangkah sampai hadapan Ela.

"Udah, La?"

Ela mengangkat kepalanya, melihat sosok Ikara muncul dan anak-anak dance langsung diem. "Ra," Ia menunduk saat Ikara meraih tangannya dan menggenggam erat.

Ikara menaikan alisnya santai padanya seakan mengatakan bahwa dia tidak sendiri. Ia kemudian melirik Berlina yang menatap tajam ke arahnya.

"Mang, masih lama?" tanya Ikara.

"Ini udah selesai kok,"

Ikara mengangguk, langsung menoleh ke arah anak dance tanpa ekspresi. Menatap mereka satu persatu dari atas sampai bawah. Ela sampai merinding melihat ekspresi tak senang dari Ikara sampai mereka terkicep.

Baru kali ini liat anak dance nggak ada yang sewot, karena biasanya kalo ada orang yang ngelirik langsung disamperin.

Ikara menoleh saat sebuah mobil rolls royce muncul membuat anak dance menoleh bersamaan. Pak Seto keluar dan menghampiri Ikara untuk membawakan tasnya.

"Punya Ela juga, Pak." Ikara melepas tas di bahu Ela dan memberikannnya kepada Pak Seto.

"Baik, Non."

"Ini ciloknya ya,"

"Makasih," Ela segera menerima cilok tersebut.

"La, masuk mobil dulu gih," suruh Ikara. "Gue bayar dulu."

"Okey," Ela mengangguk. Merasa sangat terselamatkan dan lega dari mereka.

Sementara itu Ikara masih menunggu kembalian dari Mang Udin.

"Lo balik bareng dia?" tanya Berlina.

Ikara menoleh, lalu mengangguk. "Iya," jawabnya santai.

"Nebeng mulu ya," Berlina terkekeh.

"Hai Ra," Anggun menyapanya. "Inget gue kan?"

Ikara melirik Anggun tanpa menyahut, lalu menerima kembalian dari Mang Udin dan memasukkannya ke dalam tas. 

"Jangan mau dimanfaatin Ra," ucap Berlina. "Nih temen-temen gue yang tau Ela aslinya kayak gimana."

"Kalian bisa stop nggak? Terutama lo," Ikara menatap Berlina yang terkejut setengah mati.

"Apa?" Berlina terkekeh tak habis fikir.

"Jangan rusak pertemanan kita sama sikap lo yang kayak gini, serius. Kalian kayak nggak ada kerjaan lain nyindir adek kelas yang nggak pernah nyenggol kalian."

Mereka seketika diam.

"Gue yang deketin Ela duluan buat jadi temen, karena ternyata dia nggak toxic."

"Maksud lo gue toxic??" tanya Berlina. "Serius lo yang rusak pertemanann kita anjir karena tuh bocah."

"Pertemanan yang mana?" tanya Ikara. "Yang suka ngatur ngatur gue? Yang nggak pernah mau ngalah, yang suka minjem barang tapi nggak pernah dibalikin, atau yang ngomongin di belakang?"

Berlina menoleh sambil terkekeh. "Jadi mau lo gimana?"

"Nggak tau," Ikara menggeleng sambil tertawa. "Gue nggak bisa temenan sama orang yang suka ngejudge cewek lain karena cemburu."

"Cemburu???"

"Lo suka sama Willy," ketus Ikara membuat Berlina melotot kaget. "Semua cewek yang deket sama cowok yang lo taksir, pasti lo benci."

"Mulut lo jaga ya Ra," Berlina mengepalkan tangannya. "Ngaca anjir, selama ini lo suka sama Leo kan makanya mau temenan sama adiknya??"

"Makanya lo maksa gue deket sama Kak Ali?"

Berlina terbungkam lagi. Ia kemudian berbalik dan pergi karena dibuat sangat malu dan marah dari sana karena dibuat sangat malu dan mara, diikuti teman-temannya di belakang.


Ikara masih berdiri diam di tempat dengan perasaan campur aduk.

Barusan dia mengakhiri pertemanannya. Mungkin setelah ini Fai dan Gaffin akan menjauhinya juga. Lagi-lagi Ikara yang ditinggalkan duluan.



"Lo suka sama Leo?" tanya Ela yang baru muncul.






"Gue temenan sama lo bukan karena Leo, La." Ikara mencoba meyakinkan.

"Nggak," Ela terkekeh. "Gue nggak kepikiran sampe sana. Berarti bener lo suka sama Abang gue?"

Ikara diam.

"Wah.... Bisa-bisanya gue nggak sadar." gumam Ela.




💞💞💞💞💞💞💞



"Jadi gitu ceritanya," Ela duduk setelah berdongeng panjang.

"Ikara labrak temennya sendiri?" tanya Abel. "Gila,"

"Gue tuh yang kayak syok abis gitu, kiraiin dia nggak bakal nyamperin gue," ujar Ela. "Pada takut semua anjir giliran Ikara nongol."

"Terus dia sama temennya gimana?" tanya Willy.

"Nggak tau juga gue, kasian deh jadi nggak enak sama Ikara," ucap Ela. "Gue ngerasa udah hancurin persahabatan mereka."

"Lebay," celetuk Leo.

"Sahabat dari mananya anjir," ucap Abel. "Temen-temen dia dari dulu toxic abis. Itu si Fai lebih parah, gue yang sekelas sama mereka."

Leo masih berbaring sambil bermain hp meski telinganya mendengar jelas percakapan soal Ikara membela adiknya yang diserang kakak kelas lalu melabrak temannya sendiri.

"Yang temenan sama Ikara nggak pernah jelas semua," gumam Willy.

"Sok tau lu," celetuk Leo.

Abel langsung melirik. "Napa jadi lu yang protes?"

"Merasa terpanggil?" tanya Ela.

"Emang dia pernah temanan sama Ikara?" tanya Abel.

"Nggak tau Mamah pernah nyeletuk mereka dulu satu sekolah," ucap Ela.

"Lah kok nggak tau?" tanya Abel.

"Kita kan SD nya beda," sahut Willy.

"Pasti pernah deket lah," ucap Ela. Dia terus memandang Leo, penasaran apa yang Ikara sukai dari abangnya ini. "Anjir anjir masih nggak nyangka gue."

"Kenapa?" tanya Abel.

"Le, lo make pelet?" tanya Ela. Ya dia tau Leo banyak yang naksir, tapi kalau Ikara kan cewek itu tau watak asli abangnya kayak gimana.

"Apasih?" tanya Leo.

"Dasar nggak peka," cibir Ela.

"Ini kenapa jadi ngerembet kemana-mana dah?" tanya Abel.

"Lo ada apa sih sama Audra?" Ela bertanya penasaran. "Kalian sering diomongin deket."

"Emang deket?" tanya Willy.

"Tanya Leo lah, mereka sering ketemu." jawab Ela.

"Lah kiraiin masih gamon sama Kak Elia," celetuk Abel. "Mundur aja sih kata gue, cowoknya kemarin nginep di rumah."

Leo melirik. "Pacaran?"

"Palingan iya, anaknya manggil mamah ke Elia," balas Abel.

"Serius Leo belum moveon dari Kak Elia?" tanya Ela. Biasanya Leo ngataiin tapi kali ini diem doang. "Belum, Le??" tanyanya lagi.

Leo tidak menjawab karena dia tidak bisa bilang belum atau sudah. Akhir-akhir ini perasaannya sedang aneh dan tidak menentu. Leo masih kesulitan memecahkannya.



💞💞💞💞💞💞




Leo menutup buku pelajarannya setelah membaca beberapa halaman untuk olimpiade hari rabu. Dia tidak suka memforsir diri harus belajar berjam-jam kalau sebentar tapi mudah memahami.

Leo melangkah keluar balkon untuk menghirup udara segar. Ia kemudian duduk dan memakai airpods sambil mendengarkan musik. Mulai memejamkan mata untuk mengistirahatkan diri.

Sudah ada kurang lebih 1 jam dia di luar, jadi Leo memutuskan untuk bangun dan masuk ke dalam. Tapi berhenti di jendela saat melihat pemandangan aneh di dalam kamarnya.

Apa itu?

Leo memajukan wajahnya untuk mengintip lewat jendela. Cowok itu langsung berbalik badan sambil menggaruk alisnya setelah melihat Ibu-ibu sedang menyusui anaknya di dalam.

"Anjir kenapa di kamar gue,"

Mamah atau papah dari dulu sering kedatengan berbagai macam tamu. Leo paling males kalo mereka bawa anak, nanti tiba-tiba nyamperin kamar Leo terus nggak mau keluar. Sekarang malah Ibu Ibu menyusui anaknya.

Ting!

Ting!


Dilla : le km di rumah abel kan?

Dilla : nginep aja ya

Dilla : tadi ada tamu mamah suruh nyusuin anaknya di kamar ela

Dilla : dia salah masuk kamar kayaknya

Dilla : mamah gaenak mau negur anaknya rewel




Terus Leo harus nunggu di sini?? Gila apa.


Leo berdecak karena tiba-tiba ingin kencing. Cowok itu menautkan alisnya bingung, berusaha menelfon mamah tapi tidak diangkat lagi.

Leo mulai mondar-mandir di balkon.


Misal masuk gimana? Terus suruh orangnya pergi karena Leo mau belajar. Tapi nanti mamah ngomel.

Leo menunduk, melihat jam yang menunjukkan pukul 10 kurang.

Malem-malem masih aja keluyuran di rumah orang....

Leo mulai bingung karena dia kesulitan menahan lagi. Cowok itu tidak punya pilihan. Jadi dia naik lewat pagar menuju balkon sebelah.

"Sial," umpatnya.

Tok Tok Tok!

Leo menunduk sambil menghentakkan satu kakinya di lantai.

Tok Tok Tok!

"Siapa, ya?"

"Gue," Leo menempelkan dahinya di jendela karena sudah tidak kuat.

"Siapa?"

"Bukaiin bentar ini Leo."

Sial. Leo benci harus meminta tolong seperti ini.

Klek!

Ikara mengucek matanya sejenak, mencoba memastikan penglihatan. "Leo?"

"Pinjem toilet,"

"Hah?"

"Anjir," Leo menggeser bahu Ikara dan masuk ke dalam karena sudah tidak tahan. Kali ini ia kesampingkan egonya karena ini masalah hidup dan mati.

"Leo??" Ikara menatap Leo yang berlari kecil menuju toiletnya.

Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Ikara masih duduk di kasur menunggu cowok itu selesai. "Lo kenapa serius?"

Leo melirik Ikara.

"Ditanyaiin jawab lah,"

"Cuma pinjem toilet."

"Emang nggak punya di rumah??"

"Nggak bisa,"

"Apanya yang nggak bisa?"

Leo yang paling males ditanyaiin menghela napas berat. "Ada tamu,"

"Terus?"

"Gue kejebak di luar," decaknya.

"Kok bisa?"

"Males ngejelasin,"

Mereka berdua saling menatap.

"Yaudah keluar," Ikara menaikan alis karena Leo masih berdiri di dalam kamar. "Nunggu apa?"

"Bentar," Leo menggaruk alisnya.

"Kenapa sih, Le?"

"Di kamar gue ada orang,"

"Ya terus?" Ikara mendorong punggung Leo agar keluar. Cowok itu berbalik dan masuk ke dalam lagi. "Astaga,"

"Bentar,"

"Coba deh ngejelasin yang bener, lo tuh—"

"Mamah kira gue nginep di rumah Abel. Sekarang kamar dipake sama ibu lagi nyusuiin anaknya. Gue dari tadi ada di balkon jadi nggak tau. Puas?"

"Yaudah tunggu balkon,"

"Dingin."

Ikara memicingkan matanya. "Terus?"

"Apa?"

"Gue mau tidur,"

"Yaudah tidur,"

"Dengan keberadaan lo di kamar gue??"

"Kenapa? Takut?"

"Iya lah," Ikara memeluk tubuhnya. "Who knows."

Leo berdecih. "Nggak minat,"

"Mulut sama hati suka beda,"

"Gue masih punya akal sehat."

"Gue juga,"

Leo menghembuskan napa berat, mendorong Ikara sampai berbaring di kasur lalu menarik selimut. Cowok itu mengambil gelas di meja dan memberikannya pada Ikara. "Pukul kalo gue kurang ajar,"

Ikara mengerjap. "Gila—"

"Ssssst."

Leo duduk di dekat jendela sambil menyender tembok. Dia memang kuat dingin, tapi kalau angin luar Leo angkat tangan.

Ia menoleh, menatap Ikara yang sedang melihat langit-langit kamarnya. Cewek itu kemudian menoleh membuat Leo refleks menunduk. Detik berikut heran karena dia tidak pernah memutuskan pandangan duluan karena ditatap balik. Sial.

"Tidur aja,"

"Nggak bisa,"

"Gue nggak bakal—"

"Bukan karena elo, emang nggak bisa tidur."

Leo diam.

Ikara menghela napas berat, memutuskan untuk mengambil buku-buku di meja dan mengeluarkannya membuat Leo melirik.

"Lusa kita ada olim, kayaknya karena itu gue nggak bisa tidur."

"Ragu?"

"Enggak, pengen lebih maksimal aja."

Leo masih menyender di tembok, menatap Ikara yang sudah berbaring tengkurap sambil mencatat sesuatu. Cewek itu punya metode belajar mencatat dulu baru memahami materi. Menurutnya menghabiskan waktu lebih banyak.

"Kenapa nggak dibaca dulu?" Leo jadi gatal bertanya.

"Biasanya kalo udah baca, niatan buat nyatet bisa berkurang karena ngerasa udah cukup paham abis baca materinya."

"Emang cukup kan,"

Ikara menggeleng. "Dalam beberapa menit, materi yang lo sempet baca cuma bisa keinget 30% kalo nggak dicatet ulang."

Leo diam.

"Akhirnya karena lupa besok lo baca ulang dan ngabisin banyak waktu."

Leo ikut berbaring tengkurap dan mengambil buku catatan Ikara, memandangnya sesaat dengan teliti. "Makan banyak ruang lo,"

"Gue lebih suka gitu."

"Lo nyepeleiin waktu,"

"Maksudnya?"

"Tolak ukur belajar sempurna bukan seberapa lama lo belajar, tapi seberapa cepet lo paham."

"Selagi nggak kekurangan waktu nggak masalah,"

"Tapi energi lo kekuras, bakalan gampang lupa kalo terlalu maksaiin." decak Leo. Kali ini Ikara yang diam merenung.

Leo menyobek halaman kosong dan memberikannya pada Ikara. "Catet ulang materi tadi tanpa baca,"

"Apa?"

"Bisa nggak?"

"Bisa lah," Ikara langsung mengambil bolfoin dan mulai mencatat membuat Leo diam memperhatikkan sampai mana cewek itu akan bertahan.

Ikara berhenti menulis, diam untuk mengingat karena dia lupa apa saja yang dia pelajari. "Ck,"

"Lupa?"

"Enggak,"

Leo mendengus dan mengembalikan buku Ikara. "Kurangin rangkuman lo, nggak semuanya harus dicatet."

"Gue nggak mau ambil resiko ada materi yang ketinggalan,"

"Catetan bukan buat patokan belajar, itu buat dibaca ulang biar ingatan lo kuat."

Mereka adalah anak IPS, jadi sebagian besar materi diisi dengan teori dari pada perhitungan. Leo sadar dia mudah memahami materi hanya sekali baca, tapi daya ingatnya tidak kuat.

"Padahal gue udah inget ini,"

Leo melirik Ikara yang masih sibuk membaca materi. Matanya turun menatap wajah cewek itu, lalu melirik rambut panjangnya yang tergerai bebas. Dan Leo tidak tau kenapa seperti ada setan yang merasuki kepalanya untuk bergerak menyelipkan helaian rambut Ikara yang menganggu pandangan cewek itu.

"Lo udah pelajarin ini?"

Leo tertegun. Cowok itu menunduk dengan ekspresi tenang meski sempat tersentak dan tidak tau kenapa. "Itu udah di luar kepala,"

"Padahal rangkuman gue nggak banyak," gumam Ikara memandangi buku catatannya. Cewek itu mendesah pelan. "Apa catet ulang?"

Ikara menatap Leo, sempat tersentak karena dua pasang mata biru itu menatapnya dengan intens. Jadi Ikara refleks menyibukkan diri dengan buku padahal detak jantungnya sudah berantakan. Cewek itu terus menyelipkan helaian rambutnya yang jatuh.

"Rambut lo bisa diiket nggak?" Leo berdecak.

"Kenapa?"

Leo melepas karet hitam di tangannya, bangun dan duduk di kasur sementara Ikara masih mengerjap bingung. "Hadep depan,"

"Ha?"

"Cepet bawel," Leo berdecak.

Ikara pun berbalik memunggungi Leo. Cowok itu mendekat dan mengulurkan kedua tangannya untuk meraih semua helai rambut Ikara. Jarinya sempat meleset karena terlalu lembut dan halus. Wangi juga.

"Lo mau iket rambut gue?" Ikara tertawa heran.

"Ssst,"

"Bisa rapi nggak?"

"Nggak usah ngremehin,"

"Kan nanya,"

"Nada lo nanya nggak enak."

Ikara mengulas senyum kecil.

Cewek itu memain-mainkan bolfoin di tangannya selagi Leo menyisir rambutnya dengan jari agar naik ke atas dan menjadi satu. Ia melirik ke bawah saat jari Leo merambat di dekat telinga untuk mengambil helaian kecil yang tertinggal.

Leo mulai mengikat rambutnya sampai karetnya tidak tersisa lubang. Ia kemudian memutar wajah Ikara untuk memastikan. "Liat,"

Ikara mengerjap saat Leo sedang mengabsen wajahnya. Ia refleks menjauh. "Udah rapi kok,"

"Belum," Leo menarik tangan Ikara lagi agar mendekat, lalu melepas ikat rambutnya. Dia tidak suka melakukan pekerjaan tapi belum sempurna.

"Malah dilepas lagi,"

"Ssst,"

Leo memutar wajah Ikara untuk memeriksa lagi. Sudut bibirnya refleks tertarik saat merasa ikatan rambutnya sudah terbantuk rapi. "Dah,"

Ikara jadi menyerngit sambil menahan senyum. "Bangga banget lo kayaknya,"

Leo langsung menarik senyumnya. "Rambut lo jelek,"

Ikara memicing. "Abis dipuji malah ngataiin."

"Fakta."

"Perawatan rambut gue lebih banyak dari pada elo, ya."

"Sok," Leo menarik ujung rambut Ikara.

"Ih jadi berantakan lagi kan," Ikara berdiri dan melihat rambutnya di cermin. Sempat terkekeh karena Leo bisa mengikatnya dengan rapi. "Lo belajar di mana?"


"Mamah kalo sibuk gue yang urus rambut Ela,"

"Gue dari dulu nggak boleh iket rambut biar rambutnya nggak bergelombang, padahal sebenernya nggak ngaruh kalo rambut aslinya lurus."

"Jadi dari kecil dikasih minyak kemiri, dan gue cuma pernah potong sekali seumur hidup." Ikara terkekeh.

Ia menoleh, lalu menautkan alis dan mendekat ke kasur. Membungkuk untuk memastikan. "Malah tidur...."



Bersambung....

aku lagi nyicil naskah mak comblang hehehe, karena versi novel lebih banyak momen ale luna ical. dan versi gibran yang lebih gemes.

Continue Reading

You'll Also Like

482K 17.9K 32
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.5M 11.4K 4
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
253K 15.3K 34
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
907K 47.3K 76
The endβœ“ [ Jangan lupa follow sebelum membaca!!!! ] β€’β€’β€’ Cerita tentang seorang gadis bar-bar dan absurd yang dijodohkan oleh anak dari sahabat kedua...