My Frenemy ( AS 10 )

By Salwaliya

3M 284K 120K

Ikara sama Leo kalo disatuiin? Kacau balau. Ikara tau banget Leo nggak suka sama dia karena kerap dijadikan b... More

Cast AS 10
Prolog
1. πŸ₯‡πŸ₯ˆπŸ₯‰
2. ⛳️ πŸ“ΈπŸ“²
3. 🀳
4. 🚬
5. πŸ“š
6. πŸ‘©πŸΌβ€β€οΈβ€πŸ’‹β€πŸ‘¨πŸΌ ?
7. πŸ‘šπŸ€¦πŸ»β€β™€οΈ
8.
9. πŸ“˜πŸ“•
10
11. πŸ₯ŸπŸ“²
12. πŸ«—
13. 😑
14. πŸ“–
15.
16.πŸ“₯
17. πŸŠπŸ»β€β™€οΈπŸšŒ
18. πŸ“πŸ“Έ
19. ♨️
20. πŸš‘
21
22. ❀️‍πŸ”₯
23.
24. πŸ›€
25.
26. 🚲
27.
28
29
30.
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44 ( kebalik $
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72. END

31

18.2K 4.2K 1.5K
By Salwaliya


kalian kok langsung tau sih soal willy padahal gue sindir sekali 😡


31.






Motor Leo masuk ke dalam rumah setelah satpam membukakan pagar. Ia membantu Haidar yang duduk di depannya untuk turun. Dilla juga turun sambil membawa tas belanjanya karena mereka sempat mampir di supermarket.

"Le? Mobil siapa itu?" tanya Dilla.

Leo menoleh. "Papah pulang?"

"Nggak dong, Papahmu pulang besok."

"Mamah tadi mainan Haidar mana??"

"Bentar sayang," Dilla melangkah masuk ke dalam rumah untuk memeriksa karena hari ini dia tidak ada janji temu dengan tamu.

"Leo mainan aku Leo,"

"Cari sendiri di tas,"

"Leo bisa bantu aku?"

Leo membungkuk untuk membuka tasnya, kepalanya sempat mendongak untuk melihat ke dalam. Seketika berubah ekspresinya melihat siapa yang muncul membuat Leo spontan berdiri.

"Ale mana?" Seorang pria muncul keluar.

Ini adik papahnya, Om Zidan. Leo sudah pernah cerita siapa orang yang tidak pernah ramah dengannya semenjak kecelakaan nenek dan kakek.

"Ale nggak ada di rumah," jawab Dilla.

"Yaudah bagi duit,"

Leo langsung maju membuat Dilla menahan lengannya agar tidak ikut campur. Selama ini Dilla sabar karena Zidan masih adik kandung suaminya.

"Bulan lalu Ale udah transfer uang kan? Kok minta lagi?"

"Gue butuh buat bayar sekolah anak-anak,"

Dilla menghela napas berat. "Dan, kamu juga harus nyari kerjaan sendiri,"

"Lo kata gampang?" tanya Zidan sambil tertawa. "Lu bedua enak udah punya bisnis sendiri."

Dilla sudah tau kemana topik ini berakhir jadi lebih baik dia mengalah. "Kirim rekening,"

"Mahhh," Leo menegurnya.

"Bocah nggak usah ikut-ikutan," decak Zidan.

"Lo kerja bukannya nguras duit orang," ketus Leo.

"Le," Dilla menarik tangannya. "Bawa Haidar masuk, ini urusan kita."

"Dengerin Mamah," suruh Zidan.

"Mobil lo jual jangan gede gengsi tapi anak ditelantarin," tukas Leo membuat Zidan melebarkan matanya.

"Leo!" decak Dilla. "Bahasanya dijaga."

"Yang bikin gue jadi gini siapa anjing?" Zidan mendekat. Dilla langsung berdiri di tengah-tengah mereka tapi Leo tidak mau kalah.

"Yang bikin gue melarat kalo bukan anak lo siapa?!" teriak Zidan pada Dilla.

"Jangan bentak Mamah!" Leo mendorong dada pamannya menjauh. Sudah tidak pandang bulu jika dia tidak menyukai seseorang.

Zidan tertawa sambil menepis tangan Leo. "Dill, anak lo kasih paham aja,"

"Leo masuk,"

"Mamah kenapa sih?" Leo bertanya heran. "Jangan mau ditindas."

"Le, please,"

"Jangan transfer uang ke dia."

"Kalo orang tua gue masih hidup gue nggak bakal minta-minta ke kalian," ucap Zidan membuat mereka menoleh. "Lo yang bunuh ya tanggung jawab lah."

"Zidan!" teriak Dilla.

Garis wajah Leo langsung berubah membuat Zidan tersenyum miring.

"Kenapa? Gue nggak salah. Kalo mereka masih hidup bisnis Papah nggak bakal hancur dan gue nggak bakal jatuh miskin. Paham lo semua??"

"Astaga," Dilla mengusap wajahnya frustasi. "Leo masuk sekarang tolong." katanya karena dia tidak mau Zidan makin kelewat batas karena putranya sangat sensitif.

"Mah?" Ela baru saja datang bersama Abel karena mereka pulang bersama. Ia langsung memandang malas kehadiran Om Zidan.

Semenjak kecelakaan kakek dan nenek, keluarga ini yang disalahkan terutama Leo. Om Zidan meminta pertanggung jawaban karena bisnis milik papah sudah bangkrut jadi dia tidak ada pemasukan uang lagi. Jadi keluarga ini yang ditagih uang.

Kadang Dilla yang capek tapi Ale tetap mau memberi karena Zidan adiknya. Ale yang mengatakan untul tidak ikut campur, biar dia yang mengurus Zidan. Tapi pamannya tidak akan menyerah membuat Leo merasa bersalah.

"Lo bisa balikin mereka biar hidup lagi nggak hah?" Zidan mencekal lengan Leo. "Lo kan segalanya harus diturutin, mau tanding bola aja ngrepotin orang."

"Om!" teriak Ela. "Bisa nggak jangan ngomong gitu??"

"Gila Om lo," Abel menganga tak habis fikir.

"Lo yang rusak semuanya," bisik Zidan. "Jangan kebanyakan protes padahal udah tau alesan gue minta duit."

Leo masih diam dengan ekspresi kaku. Dia benci sekali dengan kata merusak.

"Leo nggak bunuh mereka,"

"Lo bunuh orang tua gue."

"Zidan stop astaga," Dilla mendorong bahunya. "Kita udah berusaha baik sama kamu ya, ini terakhir kalinya kamu dateng!"

"Lah nggak bisa dong—"

"Pak Satpam! Usir dia, Pak!"

"Woi gila lo semua!" teriak Zidan. "BALIKIN ORANG TUA GUE YANG ANAK LO BUNUH ITU! DIA HANCURIN KELUARGA GUE TAPI MASIH BISA HIDUP BAHAGIA!"

"Leo awas lu seneng-seneng! Inget kakek sama nenek meninggal karena siapa! Dia sayang sama cucunya tapi lo nggak pernah peduli!"

Dilla menoleh pada Leo dengan helaan napas prihatin. Dia tau Leo akan mendengarkan ucapan pamannya dan membenarkan. Dia sudah kesulitan membuat putranya kembali seperti dulu, tapi lagi-lagi Leo dibuat tertekan. Setelah ini Leo akan kembali menyalahkan dirinya dan menutup diri.

"Jangan dengerin ayo masuk," Ela menarik tangan Leo ke dalam diikuti Abel. Dilla di luar menghela napas frustasi.

Ikara juga masih berdiri di depan rumahnya setelah mendengar perdebatan mereka, langsung menunduk saat paman Leo keluar dengan raut marah karena diusir satpam.

"Lo semua nggak ada yang peduli sama orang tua gue! Jangan pernah bahagia di atas penderitaan kita ya terutama anak lo Leo! Pembunuh dia!"

Ikara langsung melebarkan matanya. Ada yang orang sejahat ini mulutnya?

Sekarang dia mengerti kenapa Leo berubah. Ikara tau kakek dan nenek meninggal 2 tahun lalu. Ikara tau mereka dulu sedekat apa karena Leo selalu bercerita dengannya. Sekarang semua terasa masuk akal.

Ikara yang hendak masuk rumah terkejut saat Leo tiba-tiba keluar. "Le,"

"Gue nggak bunuh mereka!" teriak Leo sambil mendorong bahu pamannya. "Stop ganggu keluarga kita."

Zidan menarik kerah seragam Leo dengan kasar. "Gue tau lo ngerasa bersalah sampe sekarang. Tau nggak? Pas lo paksa mereka dateng ke pertandingan bola, mereka lagi sakit tapi nggak bisa nolak cucu kesayangannya yang nggak punya otak."

Leo tersentak dalam hati. Matanya langsung berkaca-kaca dan wajahmya memerah.

"Lo nggak pantes bahagia di atas penderitaan kita. Kalo bukan karena lo kita nggak bakal sengsara." Zidan mendorong Leo dan pergi dari sana.

Leo nggak pantes bahagia. Memang dia yang menyebabkan kecelakaan itu. Dia yang membunuh kakek dan nenek. Seberusaha apapun Leo mengelak, kenyataannya memang seperti itu.

"Leo," panggil Ikara karena tau cowok itu sedang tidak baik-baik saja.

Leo menunduk karena pernapasannya mulau tidak teratur. Pemuda itu memegang dadanya sambil terisak karena sudah tidak kuat.

"Jangan dengerin dia Le,"

"Gue yang bunuh mereka." Leo menggelengkan kepalanya dengan air mata menetes.

Ikara mendongak karena langit yang menggelap mulai meneteskan air hujan. "Lo bukan pembunuh, Le. Stop saying that."

Leo menunduk dengan kedua tangan bergetar. Ia tidak tau antara menenangkan diri atau menghentikkan tangisannya. Semua terasa bersamaan dan sakit.

"Anjing," Leo mengusap wajahnya yang basah karena air hujan. Pemuda itu mulai terisak dengan perasaan terluka.

Ikara ikut merasakan sakit tiap melihat Leo seperti ini. Tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup dihantui rasa bersalah. Walaupun tak tau jelas apa yang terjadi, dia tau Leo tidak bersalah. Tapi anak ini menjadi sangat sensitif jika menyangkut keluarga. Kalimat yang diucapkan pamannya tadi akan sangat didengerkan Leo dan dianggap benar.

Ikara berusaha meraih tangan Leo yang bergetar hebat. "Ayo masuk,"

"Nggak usah ikut campur urusan gue."

"Stop nyalahin diri lo kayak gini."

"Lo nggak tau apa-apa,"

"Gue tau lo."

Leo menggelengkan kepala, terus berjalan pergi tapi bukan ke rumah membuat Ikara mengejarnya. "Le, mau kemana??"


Leo terus berjalan dengan tatapan kosong. Semua memang salahnya. Andai dulu Leo tidak meminta mereka datang, andai dulu dia bertanding sendiri, andai dulu dia lebih dewasa.



"Halo?? Kalian belum dateng?"

"Bentar cucuku sayang," Nenek tertawa sambil mengarahkan kameranya pada kakek yang sedang menyetir. "Leo langsung tanding aja, kita mungkin telat."

"Nggak mau, nunggu kalian baru Leo ke lapangan."

"Yaudah Kakek ngebut ini,"

"Di sana apa nggak hujan, Le??"

"Kalian kapan sampenya? Bentar lagi mulai,"

"Ini Kakek udah ngebut, Leo sabar, ya." ucap nenek. "Ayo lebih cepet bentar lagi cucu mu tanding."

"Iya iya ini susah liat jalan karena hujan,"

"Loh kamu nggak pake kaca mata??"

"Iya lupa tadi buru-buru,"

"Astaga lah bisa liat nggak??"

"Bisa dikit-dikit."

"Leo sayang, kita mau sampe—"

BRAK!

Senyum Leo langsung memudar karena dia tidak bisa melihat apapun di layar hp. Hanya suara rusuh, klakson mobil yang keras, dan suara hujan serta petirnya. "Kakek? Nenek?"

Panggilan mati. Mimpi buruk Leo datang sejak saat itu.




Langit semakin menggelap. Hujan yang tadinya deras kini berubah menjadi rintik-rintik. Kedua sejoli itu masih berjalan di jalanan tanpa ada yang mengatakan sepatah kata.

Ikara masih setia berjalan di belakang Leo, mengikutinya kemanapun cowok itu pergi. Karena dulu Leo juga melakukan hal yang sama untuknya. Leo juga pernah ada untuk Ikara.

"Le? Udah jalannya, capek."

Leo bisa mendengar tapi tidak memberi sahutan.

Ikara akhirnya mempercepat jalan dan menarik tangan Leo membuat cowok itu berbalik. "Orang rumah bisa khawatir—"

"Nggak ada yang minta lo ikutin gue!" Leo menepis tangan Ikara.

"Iya gue emang bego ngikutin orang ujan-ujanan sejauh ini," ucap Ikara mencekal tangan Leo. "Tapi lo lebih bego pernah marah karena dulu gue juga kayak gini. Bedanya kita apa?"

"Pulang, Ra."

"Sama lo."

Leo mengepalkan tangannya. Benci karena orang ini masih mau berdiri mengikuti Leo yang berjalan tanpa arah padahal Leo selalu mengucapkan kalinat menyakitkan. Padahal Leo sudah melalukan banyak hal untuk mengusirnya pergi. Cewek ini tidak pernah berubah, sejak dulu. Selalu setia. Dan dia kesal dengan kenyataan itu.

"Lo nggak bakal ngerti yang gue rasaiin."

"Terus lo mau nanggung semuanya sendiri? Apa nggak capek?"

Leo kembali berjalan dengan mata berkaca-kaca, dan Ikara bisa melihat sirat terluka dari matanya. Cowok itu tidak pandai menyembunyikan perasaannya.


Ikara menarik tangan Leo lagi, berusaha memeluknya tapi Leo mendorong Ikara menjauh membuat cewek itu terkejut dengan ekspresi tertegun.



Suasana hening.


Leo berbalik untuk pergi dengan air mata menetes, lalu menunduk sadar apa yang baru saja ia lakukan. Menoleh melihat Ikara hendak berbalik pergi dan ia mendadak tak rela, jadi Leo segera melangkah mendekat dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Ikara agar dipeluk untuk menahan kepergian cewek itu. Ikara sempat terkejut saat tubuh Leo menariknya merapat jadi kedua tangannya datang untuk membalas pelukan Leo. Cowok itu menangis.


Leo bohong.


Dia masih ingat persahabatan mereka. Dia masih ingat dulu mereka saling melengkapi. Dulu Ikara selalu ada begitu pula sebaliknya.


Leo yang telah merusak segalanya. Dan dia sengaja melakukan itu. Bahkan sampai sekarang dan kedepannya.





💞💞💞💞💞💞💞



"Kakek sama nenek kecelakaan waktu gue minta mereka dateng buat nonton pertandingan bola."

"Paman lo nyalahin elo?" tanya Ikara sambil memegang kedua rantai ayunan.

"Emang gue yang salah."

"Tapi salah kalo lo anggep diri lo pembunuh, nggak boleh ngomong kayak gitu."

Leo menoleh sambil menatap Ikara. "Terus?"

"Mereka bakal marah denger cucunya harus hidup kayak gini, menutup diri, ngerasa bersalah, nyalahin diri sendiri. Lo emang pengen kejadian itu ada?"

Leo menggeleng.

"Mau hidup kayak gini terus?" tanyanya. "Banyak orang yang ikut ngerasa dampaknya karena lo berubah, Le."

Leo langsung diam merenung.

"Lo punya pengaruh besar di keluarga lo, ada yang berubah dikit mereka bakal notice. Nggak perlu takut sama anceman paman lo, dia yang nggak bisa dewasa."

"Dia bakal tetep minta uang Papah," Leo menendang batu di depannya. "Sialan."

"Karena mereka adik Kakak maybe? Emang kalo urusan hubungan darah susah, Le."

"Dia sendiri nggak tau diri, kenapa kita harus?"

"Ya itu perbedaan kalian."

Leo diam lagi.

"Mungkin bokap lo ngerti posisi paman lo sebagai Kakak kandungnya. Kalo Ela di posisi lo pun lo nggak bakal setega itu ngusir,"

Leo tak bisa mengelak karena ucapan Ikara ada benarnya. Ia menendang lagi kerikil di depannya, lalu menoleh menatap Ikara dari samping.

"Kenapa lo masih stay sama sikap gue?" tanya Leo.

Ikara menoleh. "Gue masih anggep lo sebagai sahabat."

"Gue rusak 4 tahun lalu."

"I know,"

"Terus?"

"Ada banyak alasan yang lo nggak tau, Le."

"Apa?"

"Gue nggak mau ngasih tau." Ikara beranhak dari ayunan. Ia membersihkan bagian belakang celananya lalu melangkah pergi. "Gue mau pulang."

Leo menundukan kepala, menoleh pada Ikara yang melewatinya. Ia raih pergelangan cewek itu untuk menahannya pergi.

Suasana hening.


"Kenapa?" Ikara bertanya.

Leo mengangkat kepala untuk menatapnya. "Nggak jadi."

Ikara menghela napas berat. "Iya bener,"

Leo menatapnya.

"Gue suka sama lo."




Bersambung......


alega series spesialis cewek confess duluan :)


Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 176K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
1.5M 130K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
2.7M 134K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
7M 295K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...