My Frenemy ( AS 10 )

By Salwaliya

3M 284K 120K

Ikara sama Leo kalo disatuiin? Kacau balau. Ikara tau banget Leo nggak suka sama dia karena kerap dijadikan b... More

Cast AS 10
Prolog
1. πŸ₯‡πŸ₯ˆπŸ₯‰
2. ⛳️ πŸ“ΈπŸ“²
3. 🀳
4. 🚬
5. πŸ“š
6. πŸ‘©πŸΌβ€β€οΈβ€πŸ’‹β€πŸ‘¨πŸΌ ?
7. πŸ‘šπŸ€¦πŸ»β€β™€οΈ
8.
9. πŸ“˜πŸ“•
10
11. πŸ₯ŸπŸ“²
12. πŸ«—
13. 😑
14. πŸ“–
15.
16.πŸ“₯
17. πŸŠπŸ»β€β™€οΈπŸšŒ
18. πŸ“πŸ“Έ
19. ♨️
20. πŸš‘
21
22. ❀️‍πŸ”₯
23.
24. πŸ›€
25.
26. 🚲
27.
28
29
30.
31
32
33
34
35
36
38
39
40
41
42
43
44 ( kebalik $
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72. END

37

18.2K 4.1K 1.7K
By Salwaliya


pagi sis, minimal mandi gasi.....

kalian ada bocil lusa misuh", tapi pas gaada nyariin... jgn kyk leo deh.

di part ini leo kembali menjai leo 4 tahun lalu HAHA. ya walaupun masih 10%





37.




"Jadi dulu lo bedua sahabatan?"

Leo berbaring di balkon kamar Willy sambil menghisap rokoknya.

"Anjir plotwist banget," Abel tertawa. "Kalo ketemu aja diem diem doang kayak orang nggak kenal, taunya lagi perang dingin."

"Udah ketebak dari awal," celetuk Willy sambil mengipasi udara agar asap Leo tidak masuk ke kamar.

"Nebak apa lo?" tanya Leo.

"Kalo kalian ada sesuatu," jawab Willy.

"Terus sekarang kenapa ngajakin akur?" tanya Abel. "Kemana aja lo 4 tahun?"

"Di rumah," jawab Leo.

"Tidurnya sama rasa gengsi." sahut Willy.

"Nah loh mampus kena ulit, makan noh." ledek Abel. "Udah ketebak lu gengsi minta maaf kan? Gila cuy, 4 tahun."

"Berarti udah kenal Ikara banget?" tanya Willy.

"Iya lah nggak usah ditanya," cibir Abel. "Yang hujan-hujanan keluar kalo nggak jemput Ikara tuh apa? Tau lah dia masalahnya apa,"

"Ck ck ck," Willy memandang Leo prihatin.

"Apa, jing?" Leo langsung sewot.

"Ikara terlalu sabar,"

"Gue kenapa anjir?" tanya Leo.

"Ya lo tiba-tiba mutusin pertemanan siapa yang nggak sewot, nyet? Gue jadi Ikara udah nggak mau liat muka lo," cerocos Abel.

Leo langsung diam.

"Terus sekarang akur?" tanya Willy.

"Nggak tau,"

"Cuma temenan?" tanyanya lagi.

"Lah terus apa bego? Nanya nggak jelas," ketus Leo.

"Kan cuma nanya."

"Ya nggak usah nanya,"

"Berarti nggak mau cuma temenan?"

Leo melirik Willy dengan tatapan menghujat membuat Abel tertawa terbahak-bahak. "Rumah lo gue bakar pake rokok."

Willy mengangkat bahunya cuek. "Masa cuma temenan,"

"Ya siapa yang mau lebih anjir?"

"Willy mah diajak omong nggak paham, Leo tuh nggak demen sama Ikara," sindir Abel. "Cuma temenan doang deh pokoknya."

"Lah emang," balas Leo.

"Iyaiin iyaiin," Abel berkedip pada Willy.




💞💞💞💞💞💞💞



Papah tidak pulang malam ini.

Pak Seto bilang pekerjaan bisnis yang ini tidak bisa ditinggal.

Ada yang bertanya-tanya mamah selama ini melakukan apa?

Mamah tidak pernah meninggalkan tugasnya sebagai ibu, sejak kecil merawatnya dengan baik, memberikan fasilitas hidup untuknya, mendidik Ikara, memberinya obat jika dia sakit.


Hanya satu, yang ia tidak mengerti dari mamahnya.


Mamah tidak akan datang ke kamar ketika ia menangis, tidak akan mengatakan kalimat seolah semua akan baik-baik saja.

Mamah hanya diam setiap papah marah atau memukulnya. Seolah dia tidak pernah melihat kejadian itu.

Mereka hanya mengobrol jika membahas sekolah, pekerjaan dan perawatan.

Mamah memang gerak cepat menghubungi dokter jika dia sakit, tapi mamah tidak datang ke kamar untuk menanyakan kabarnya.

Jadi sejak kecil ia tidak berharap banyak. Dulu dia hanya punya Leo sebagai tempat cerita setiap papah berlaku tidak adil kepadanya.

"Pagi, Pak."

Pak Seto membuka pagar, tertegun melihat gelagat ceria dari Ikara. "Non? Apa kabar? Sudah sarapan?"

Ikara menoleh sambil terkekeh. "Maaf kemarin saya nggak sopan."

"Tapi Non nggak papa kan?"

"Hm," Ikara mengangguk. "Papah pulang kapan?"

"Masih lusa, Non. Saya semalem udah deg degan banget kalo bakal pulang tapi ternyata enggak," lirih Pak Seto. "Baik-baik ya, Non."

"It's okay, Pak. Ikara nggak mau terus-terusan kayak gini,"

Pak Seto tersenyum penuh arti. "Yaudah saya anter."

"Nggak usah, Pak."

"Loh berangkatnya gimana?"



"Ikara!"

Mobil hitam baru saja muncul di depan rumahnya membuat Ikara tersenyum lebar. Ia kemudian menghampiri Ela yang menurunkan kaca mobil sambil menyalami Pak Seto.

"Saya perlu jemput, Non??"

"Nggak usah, Pak!" seru Ela. "Ikara punya supir baru!"

Leo di kursi depan menoleh dengan tatapan malas.

Ikara membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. "Nggak bakal kerekam cctv kan, ya?"

"Nggak, mobil Leo udah mojok banget," jawab Ela. Ia merangkul lengan Ikara semangat. "Seneng deh berangkat bareng gini, jadi bisa naik mobil."

Ikara mendengus geli. "Next time pake mobil gue aja,"

"Lo bisa bawa mobil, Ra?" tanya Ela.

"Lumayan bisa," jawab Ikara. "Kalo rutenya sekolah."

Ela menyender di bahu Ikara. "Btw gue denger dari Leo olim kalian dibatalin. Lo nggak papa kan?"

Ikara melirik Leo lewat spion. "Mau bilang enggak agak munafik, ya."

"Jahat banget Pak Abri sumpah, ada ya guru modelan kayak gitu?"

Ikara melirik Leo lagi, ternyata cowok itu tidak bercerita bahwa papahnya yang menyebabkan olim dibatalkan. "Iya,"

"Sabar ya kalian, sayang banget udah capek-capek belajar."

"Papah gue La yang bikin olimnya dibatalin," ucap Ikara membuat Leo melirik.

"Hah??" Ela melebarkan matanya. "Serius?"

"Hm," Ikara mengangguk. "Dia cuma mau gue ikut olim yang pemenangnya satu doang."

"Demi apa...." Ela menutup mulutnya syok. "Gue yang enggak jadi elo ngerasaiin beratnya juga serius."

"Lebay," celetuk Leo.

"Terus gimana? Mereka tau?"

Ikara menggeleng. "Gue bakal ngasih tau,"

"Nggak usah nekat," ucap Leo. Ia menepikan mobilnya di pinggir jalan raya.

"Loh kenapa berhenti?"

"Kelas gue jam 9," Ela membuka pintu mobil. "Mau ngadem di kantor Papah dulu, Mamah ada di sana juga soalnya."

"Tinggal bilang nggak berani sendirian di rumah," ledek Leo.

"Diemmmm," Ela menjambak rambut Leo kesal. "Ra, duluan ya! Tar pulang bareng loh, minta Leo mampir dulu ke Hailee kita makan dessert bareng, nanti rame sama ponakan Papah."

"Iyaaa,"

"Bawel, tutup pintunya," decak Leo.

"Bye bebb," Ela melempar kecup jauh dan Ikara membalasnya.

"Gedung baru kah?" tanya Ikara karena dulu dia sering main ke toko Hailee bersama Leo, tapi bukan yang di sini.

"Pindah depan," suruh Leo.

"Ha?"

"Gue bukan supir."

"Oh," Ikara langsung memindahkan tasnya di depan, kemudian membuka pintu mobil dan masuk lagi. "Emang kelas jam berapa?"

Leo mulai menjalankan mobilnya. "Delapan,"

"Sama berarti," Ikara menatap jam tangan yang menunjukkan pukul 7. "Masih agak lama."

Suasana hening.

Leo masih dengan tenang menyetir mobil melewati jalan besar menuju sekolah. Dia memilih berangkat pagi karena malas terjebak macet. Dia atas jam 7 mobil dan motor ada di mana-mana.


"Ra," Leo tiba-tiba memanggil.


Ikara menoleh, dengan jantung berdesir tiap Leo menyebut namanya. "Hm?

"Liat," Leo menunjuk resto yang baru ia lewati membuat Ikara menoleh cepat. "Pindah di situ."

"Resto yakiniku??" Ikara langsung antusias. "Ih nggak ngeh padahal sering lewat sini. Kiraiin udah ditutup,"

"Pindah karena kasus,"

"Kasus apa?"

"Ada kejadian pembunuhan,"

Ikara melebarkan matanya. "Jadi mereka tutup daerah sana karena sepi pelanggan?"

"Hm,"

"Kasian juga ya kena imbasnya," gumam Ikara. "Keinget dulu di deket sekolah, ada warung fotocopy, sempet rame kan? Yang dibunuh pake mesin printer,"

Leo memutar stirnya untuk belok. "Hm,"

"Parah sih sampe sekarang belum ditemuiin pelakunya."

"Belum?" tanya Leo.

"Belum lah, pelakunya masih bebas di mana-mana. Nggak tau gimana cara kerja mereka yang handle kasusnya,"

"Ponakan Papah yang handle," ucap Leo.

"Polisi??"

"Detektif kejahatan,"

"Oh," Ikara mengangguk sambil melotot kecil karena nggak tau. "Mungkin kasusnya susah ditanganin ya."

Leo melirik sekilas, lalu menoleh pada jendela sambil tersenyum singkat. Mobilnya masuk di halaman sekolah. Ikara melepas sabuk pengamannya, menoleh pada Leo yang sedang membawa tas kecil dan keluar duluan.

Ikara memiringkan badan untuk melihat ke belakang, ternyata Leo sedang memberikan tas tersebut pada Pak Somadi satpam sekolah. Beberapa saat kemudian kembali lagi.

"Turun lah nunggu apa?"

Ikara membuka pintu mobil dan keluar. "Thanks, pulangnya gue bisa sendiri kalo lo ada latihan."

Leo menyampirkan tasnya. "Nggak ada,"

"Apa?"

Leo menarik pergelangan tangan Ikara agar berjalan di depannya. "Ke kantin,"

Ikara menoleh. "Emang jam segini udah buka?"

Leo melirik ke bawah karena walaupun Ikara tinggi, dia tetap harus menunduk untuk bicara. "Warung Bu Atun,"

"Istrinya Pak Somadi?"

"Hm,"

"Kalian akrab banget kayaknya,"

"Hm,"

"Halo Kak Ikara,"

"Haiii," Ikara tersenyum kecil pada beberapa adik kelas yang menyapanya. Mereka langsung senyum malu-malu saat melirik Leo membuat Ikara mendengus geli.

"Sampe nggak berani nyapa lo," ucap Ikara.

Leo mengangkat bahunya acuh. Terus dia harus gimana? Tersenyum sambil menyapa balik semua orang yang lewat? Dia akan terlihat seperti resepsionis hotel.

Ikara dan Leo sudah duduk di meja kantin sambil menunggu makanan datang. Ikara sibuk membuka buku catatannya sementara Leo bermain hp.


Mereka akur. Seperti dulu lagi.



Dan Ikara bahagia dengan kenyataan ini.





💞💞💞💞💞💞💞💞




"Cieeee yang abis berangkat bareng,"

"IKARAAA PAJAK BERANGKAT BARENGNYA MANA???"

"CIHUYY IKARA MAH DIEM DIEM MAINNYAAA!"


Ikara masuk ke dalam kelas dengan ekspresi bingung. Bella dan gengnya bergerombol sambil menyorakinya.

Yang jadi pertanyaan, kok mereka pada tau? Dia baru aja balik dari kantin.


Mau heran tapi ini Alega Highshool.


Jadi semenjak hubungannya dengan Fai merenggang, Ikara duduk sebangku dengan Bella. Mereka juga asik semua, ya emang hobinya pada gibah, tapi Ikara nggak bosan.

"Sini nyonya Ikara mohon klarifikasinya," Bella menepuk kursi di sampingnya. "Ada apasih dengan kalian berdua??"

"Ikara lucu banget ya kalo dibayangin jalan sama Leo, sama-sama tinggi." celetuk Salna.

"Leo suruh berdiri ngibarin bendera bisa tuh, tinggi bet."

"Iya anjir samping dia kayak tikus,"

"Lo nggak disamping Leo juga gitu Met bentukannya,"

"Kalian berangkat bareng??" Abel di depan mereka menoleh. "Pantes..."

"Kenapa?" tanya Ikara sambil mengeluarkan buku.

"Gue mau nebeng nggak boleh," cibir Abel. "Anjir si Ela sama Leo, pilih kasih."

"Takdir lo emang diginiin Bel," Bella menepuk bahunya. "Banyakin sabar aja."

"Gitu ya sahabat kalo udah nemu cewek, suka lupa." lirih Abel.

"Ini pada ngomongin apa, ya?" tanya Ikara heran. Baru berangkat bareng aja udah nebak yang enggak-enggak.

"Lo disamping Leo gimana?" tanya Bella masih penasaran.

"Ya harus gimama Bel anjir, dia bukan elo yang disamping Leo ngereog."

Bella tertawa cekikikan. "Woi Leo dari jarak semeter aja kecium wanginya, gimana yang duduk sebelahan?? Kepo gue tuh,"

"Percaya sama gue, Leo nggak sespesial itu," ucap Abel sambil membawa bukunya ke meja belakang. "Bell, bagi contek nomer 4,"

"Belum gue jawab,"

"Nih nih ada," Ikara memberikan buku tulisnya. "Dipahamin jangan dicontek doang."

"Kemungkinannya 1 persen kalo Abel,"

"Bener," Abel mengangguk. "Ini nomer 7,8,9 sekalian liat ya, Ra? Mau gue pahamin."

"TAIIIII!"







💞💞💞💞💞💞💞💞



'Seluruh pelajaran hari ini telah selesai, sampai jumpa besok pagi dengan semangat belajar baru.'

'All of today's lessons have ended, see you tomorrow morning with the new learning enthusiasm.'


Leo melangkah sendirian keluar dari kelas karena hari ini Willy absen. Cuma ngeluh batuk satu keluarga langsung heboh, dan Willy setuju-setuju aja. Om Ical sampai telfon Leo buat ijinin dengan alasan demam tinggi sampai nggak bisa gerak dari kasur.

Satu keluarga memang lebay. Mau heran, tapi dia juga punya papah kayak gitu.

"Woi singa!"

Leo refleks menoleh, bukan karena panggilan singa, tapi suara nyaring tadi milik Abel. Ternyata sedang berjalan bersama Ela dan Ikara.

Leo sampai membungkuk karena Abel berusaha merangkulnya. "Minum obat tinggi," ledeknya.

"Dih lo yang ketinggan bukan gue yang pendek," cibir Abel langsung sakit hati. Paling males kalau Leo ngeledek soal tinggi badan.

"Sumpah kenapa malah pada ngeship Raila sama Hekal? Padahal gue prefer Hekal sama Lulu," cerocos Ela. "Netizen mah kebiasaan."

"Mereka berdua deserve better sih," jawab Ikara. "Hekal redflag."

"Iya sih..."

"Redflag tuh contohnya apa?" tanya Abel.

"Elo," jawab Ela.

"Serius anjir siapa tau gue bisa intropeksi,"

"Yang abis makan bareng pura-pura ke toilet biar cewek yang bayarin," ucap Ela membuat Ikara tertawa.

"Aman," Abel mengelus dadanya. "Gue pura-pura ke parkir soalnya."

"DIHHH IHHHH,"

"Nggak nggak canda," Abel cengengesan. "Sultan masa minta bayarin?"

Leo langsung meliriknya dengan tatapan menghujat.


"Buat Leo pengecualian," tambah Abel.

"Tai," Leo mendengus.

"Terus apa lagi, La??"

"Mau gue sebutin semua, Bel? Hah?" Ela menantang.

"Buru cepet,"

"Nggak pernah ngaku salah, bohong soal hal hal kecil, punya sejarah selingkuh, pengennya ngatur cewek, ngebandingin sama cewek lain di depan kita, ngerahasiaiin hubungan dengan banyak alesan, terlalu insecure, ngejelekin mantannya, terus—"

"La, udah," Abel menepuk bahunya.

"Kenapa? Ngerasa lo?" tanya Ela. Ia kemudian menoleh ke kanan karena Ikara sama Leo udah nggak ada, kemudian melihat kedua sedang sibuk sendiri di belakang.

"Bukan ngerasa ya anjir—"

"Ayo cepet jalannya," Ela menarik lengan Abel untuk maju duluan. Menoleh ke belakang sambil tersenyum geli. "Lucu deh."

"Baru nyadar?" tanya Abel. "Gue bukannya apa ya La, tapi lo udah gue anggep kayak adek sendiri—"

"Apasih tolol?" Ela mendorong tangan Abel.

"Lo red flag, La." Abel menunjuknya dengan tatapan dramatis.

"Lo kali black flag," balas Ela.


Sementara itu di belakang Ikara sedang memperhatikkan soal yang diberikan Leo lewat hp. "Jawabannya D, Le. Kenapa nggak coba diklik dulu sih?"

"Cuma bisa klik satu kali," decak Leo. "Nanti kalo salah."

"Ya itu jawabannya,"

"Bisa jadi A,"

"Le, pertanyaannya jelas-jelas yang BUKAN alesan Sultan Agung ngelakuiin serangan ke Batavia. Jadi jawabannya D, VOC nggak ngakuiin kedaulatan kerajaan Mataram."

Leo diam sebentar. "Tapi VOC nggak ngelakuiin monopoli dagang,"

"Ngaco deh, ya ngelakuiin lah. Itu malah point penting, yang bikin Sultan Agung marah. Mereka juga ngehalangin kapal dagang Mataram kan," jelas Ikara.

Leo menghela napas berat, akhirnya menekan huruf D di layar. "Dah nih,"

"Lo masih nggak percaya kan?"

Leo diam karena Ikara benar. Dia merasa apa yang dijawab sudah tepat, tapi penjelasan Ikara membuatnya tidak bisa mengelak. "Enggak,"

Ikara mendengus geli. "Kalo jawaban gue salah, lo boleh minta apa aja."

Leo memicingkan matanya. "Lo tau lo bener,"


Ikara mengulas senyum.


Leo menunduk sambil menyelesaikan sisa soal yang menurutnya tidak sulit. Kemudian memasukkan hpnya di saku. Ia menatap Ikara yang sedang berjalan di depannya. Salah fokus dengan pita berwarna putih yang menjadi ikat rambutnya.


Leo menarik sedikit sudut bibirnya. Lucu.


Ikara menoleh membuat Leo memandang objek lain. "Le, lo biasanya dapet akses ikut olim dari mana?"

"Banyak lah,"

"Yang selain sekolah,"

"Instagram, akun-akun akademik."

"Kita daftar sendiri?"

Leo merasa tidak perlu menjawab pertanyaan itu karena harusnya Ikara cukup pintar untuk memahami ulang.

"Ya pasti daftar sendiri," gumam Ikara. "Lo pernah ikut yang bukan dari sekolah?"

"Sering,"

"Bakal ngaruh ke nilai sekolah nggak?"

"Nggak,"

"Buat apa ikut kalo nggak ngaruh ke nilai sekolah?"

Leo menghela napas berat. "Nggak semuanya tentang nilai. Lo nambah pengalaman, ketemu orang yang mungkin skillnya lebih gede dari kita, bakal terbiasa sama soal susah,"

"Ada lagi manfaatnya?"

Leo berdecak malas. "Sengaja?"

Ikara menahan senyum.

Dia tau ini aneh, tapi Ikara suka tiap kalo Leo menjelaskan sesuatu, mendengarkannya bicara panjang.

Leo mengulurkan tangannya untuk menyentuh rambut Ikara karena sejak tadi terusik. Ia maju membenarkan ikaran rambutnya karena terlihat kendur. Membuat Ikara berjalan di depan Leo dengan tertegun.

"Kalo lo sering juara olim, nama lo bakal sering dikenal, kita bisa dapet tawaran beasiswa dari pihak mana aja buat simpenan. Soal olim pasti lebih tinggi dari kemampuan kita, makanya bakal banyak tantangan." jelas Leo panjang lebar.

Ikara ber oh ria. Ia mengusap rambutnya yang baru saja dibenarkan oleh Leo. "Kalo gue ikut olim tanpa ada kaitan sekolah, bakal ketauhan Papah nggak ya," gumamnya.

"Nggak tau," Leo mengangkat bahu.

"Gue lagi nanya sama diri sendiri," jawab Ikara karena tau Leo nggak bakal ngasih solusi.



Leo menatap Ikara yang berjalan duluan menuju parkiran. Ia lama menatap tangannya, lalu mencium sesaat jarinya yang beraroma mawar dengan mata memejam setelah ia gunakan untuk menyentuh rambut halus Ikara.



Bersambung....

AAAAKKKKKJIEJSMNDNDMDNDNJXKXKXKDKD CRISHTIAN LEO ANAKNYA ALEEEEE??!!

it's okay Le. I mean, siapa yg ga pengen nyentuh rambut ikara?!!! shessss an angel.



see u jam 5 sore.

Continue Reading

You'll Also Like

7M 293K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
534K 58K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 69.7K 32
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.3M 224K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Ada satu rumor yang tersebar, kalau siapapu...