Arga ; Pusaran Sesal (Tamat)...

By RefiaAndriana

2.8K 239 275

Hanya kisah kakak beradik Arga pulang ke rumah setelah sepuluh tahun pergi. Tak ada sambutan atau tegur sapa... More

prolog
1.Pulang
2. Kakak?
3. Menyusahkan
4. Egois
5. kemarahan
6. satu langkah maju
8. secuil kekecewaan
9. rumor yang baru didengar
10. terus mencoba memperbaiki
11. lembaran masa lalu
12. menggulung jarak
13. segenggam kebersamaan
14. mengambil hati
15. perbincangan hangat
16. kembali ke tim
17. beban
18. kotakmu harus sama denganku
19.melawan
20. di mana dirimu?
21. maaf
22. Terurai
23. Berakhir
24. bayang-bayang
25. Ulang tahun dan permintaan
26. kemenangan semu
27. kenyataan yang disembunyikan
28. berperang dengan waktu
29. Mengabulkan permintaan
30. Masih ingin bersama
31. Terima kasih, Kak
32. menemanimu
33. Aku menyayangimu
epilog.

7. satu tanya

82 5 12
By RefiaAndriana

"Kamu pecat Mak Ris juga Pak Tomo?" Arga bertanya saat makan malam. Sudah sejak lama dia ingin bertanya, hanya saja keadaan tak memungkinkan. Berbicara dengan adiknya seperti menyulut api peperangan. Dan sekarang, setelah kejadian yang setidaknya mendekatkan mereka. Dia pun menanyakan sopir juga pembantu yang selama ini mengurus rumah.

"Elo harusnya tahu alasan gue melakukannya." Aksa menjawab ala kadarnya. Siapa pula yang bisa mempertahankan dan menggaji pembantu sedang dirinya masih sekolah. Mungkin uang ibunya memang bisa membantu, tapi dia sendiri tidak tahu pasword atm. Hanya berbekal uang tabungan yang dia punya. Itu juga tak yakin akan menghidupi dirinya hingga lulus sekolah. Ah, jangankan untuk sekolah, melanjutkan hidup saja dia enggan sejak kepergian ibunya. Jika boleh meminta, dia akan bertahan dengan segala hal yang menyesakkan daripada ditinggal begitu saja.

"Lalu di mana ponselmu?"

Aksa diam, tak berani menatap kakaknya.

"Kamu jual buat mabuk?"

Aksa mengalihkan pandangan ke luar jendela. Melihat suasana malam yang sepi dan tak berniat menjawab. Napasnya yang tadinya teratur mulai tak beraturan, entah oleh apa.

Tak mendapat jawaban. Arga berdiri, mengambil piring Aksa dan menyatukan dengan miliknya lalu membawa ke wastafel.  Dia melirik adiknya yang masih bungkam dan berjalan menuju kulkas, mengambil minuman cola seraya menghela napas panjang.

Saat kembali ke meja makan, Dia membawa paper bag berisi ponsel yang baru dibeli dan menyerahkan pada Aksa.

"Kenapa tidak pulang saat pemakaman?" Aksa mendongak, menatap bola mata Arga yang melebar sedetik begitu pertanyaannya keluar.

Bukan ini yang ingin didengar oleh Arga. Apa tidak ada hal lain yang bisa dijadikan topik kecuali kematian ibu mereka.

Pertanyaan Aksa membuatnya tak bisa berkutik. Dia duduk dan meletakkan gelas cola seraya mendesah. Tak mungkin rasanya jika dia mengatakan alasan sebenarnya yang mungkin bagi adiknya terdengar bukan sebuah masalah besar.

"Aku sedang mengurusi berkas pengunduran diri." Arga beralasan lalu meneguk minuman dengan pandangan yang meyakinkan.

"Lo bisa izin cuti dahulu." Aksa masih tak terima dengan alasan yang dikatakan lelaki yang memakai kaos putih berlengan panjang itu.

"Tak semudah mengatakan, Sa."

"Apa susahnya?" Intonasi Aksa meninggi.

"Kamu belum tahu apa-apa tentang dunia kerja." Bukannya tenang, kini Arga kembali tersulut emosi.

"Gue memang gak tahu, tapi minimal telepon. Apa susahnya telepon. Jangan suruh gue yang harus memahami dan mengalah."

Lagi-lagi adiknya kembali mengungkit kesalahan. "Chandra Angkasa, kita tak perlu membicarakan hal seperti ini. Bukankah kita sudah menyudahinya. Lagipula aku sudah di rumah sekarang."

"Kita bahkan belum membahasnya!" Aksa memundurkan kursi, memilih pergi. Bukan ke kamarnya yang berada di lantai dua, melainkan kamar ibunya. Dia menghempaskan pintu dengan kesal tanpa berniat mengambil ponsel yang sudah dibelikan atau mengucapkan terima kasih untuk segala kepedulian.

Arga menyandarkan punggung ke kursi. Selalu seperti itu. Setiap mengira hubungan mereka lebih baik, nyatanya masih ada kebencian yang belum Aksa selesaikan. Pun dengan dirinya yang terkadang mudah tersulut amarah dan melampiaskan pada adiknya.

Kini dia sendirian di kamar makan. Padahal dia berharap sudah bisa berkomunikasi lebih baik. Setidaknya perbincangan yang lebih hangat juga akrab. Tanpa mengungkit cerita lama.

Apa memang sebaiknya dia beberkan semua. Alasan mengapa tak segera pulang. Ah, adiknya mana paham. Yang ada hanya buang tenaga. Sia-sia.

Waktu beranjak malam, sudah hampir satu jam dia duduk. Masih dengan harapan Aksa keluar dan mau berbincang seperti saat pulang dari rumah sakit. Seketika dia teringat jika Aksa belum minum obat. Ah, rasanya dia begitu malas jika apa yang dilakukannya berakhir menjadi pertengkaran. Terkadang terbersit pikiran untuk mengabaikan, tapi hati kecilnya selalu menolak keinginan. Sudah terlalu lama dia menuruti ego. Sekarang adalah waktu yang tepat membayar walau itu berarti harus bekerja lebih keras mengambil hati Aksa dan bersabar dengan segala kelakuan.

Beranjak bangkit, Arga segera menyiapkan obat. Membuka satu per satu dan membawa masuk ke kamar ibunya. Saat membuka pintu, sejenak berpikir bagaimana cara membangunkan tanpa menimbulkan perdebatan mengingat adiknya baru saja terlelap.

Menghela napas panjang, dia meletakkan di nakas dan menunggu beberapa saat di tepi ranjang. Melihat bingkai kebersamaan beberapa tahun silam, tangannya sontak mengambil dan tak sengaja menyenggol pil hingga berjatuhan.

"Sialan! Kenapa kamu bisa seceroboh ini!"

Pil yang sudah disiapkan di piring kecil berhamburan ke lantai. Dengan terpaksa dia mengembalikan foto dan memunguti.

"Kurang satu, di mana lagi?" Arga jongkok dan mencari obat terakhir yang ternyata berada di kolong nakas. Tangannya meraba dan mendapati dua pil.

"Kok ada dua?" Dia heran ketika mendapatkannya. Melihat dua pil dengan bentuk hampir sama di bawah kolong nakas. Sembari mengingat, tangannya mengambil keduanya dan memperhatikan dengan seksama. "Seingatku cuma ada tiga, kenapa jadi empat?"

Arga kembali ke dapur, melihat bungkus obat Aksa yang tergeletak di atas kulkas. Benar ada tiga yang harus diminum, lalu kenapa ada sisa. Milik siapa? Dia terus memperhatikan. seraya memastikan obat milik adiknya lalu menyimpan pil yang sekarang memicu keingintahuan.

Mungkin hanya obat sakit kepala. Dia tak ingin memikirkan lagi. Setelah memastikan obat Aksa dia kembali ke kamar. Membangunkan dengan hati-hati. Beruntung Aksa menurut dan tidak menggunakan emosi seperti beberapa jam sebelumnya.

***
Pagi ini tenang, tak ada kegaduhan atau perdebatan seperti hari-hari sebelumnya. Tanpa diminta, Aksa sudah mandi dan bersiap untuk sekolah saat Arga berniat membangunkan. Sedikit melegakan baginya. Setidaknya dia tak perlu menggunakan otot dan emosi.

"Apa kamu masih berniat mabuk lagi?" tanya Arga ketika mengantarkan dan sudah sampai di depan sekolah Aksa.

Aksa tak berniat menjawab dan keluar begitu saja diikuti Arga.

"Katanya kamu anak yang pintar, kenapa malah menyia-nyiakan--"

"Gak usah ceramah!" Lelaki setinggi 179 itu berlalu pergi. Siapa yang mau mendengar ceramah di pagi hari. Membuat perutnya mulas saja.

"Nanti kujemput. Awas! Mulai sekarang aku akan mengawasimu!"

Aksa melengos, tak memperdulikan ancaman kakaknya.

Arga menatap adiknya, memastikan hingga jam pelajaran dimulai baru masuk kembali ke mobil dan pergi. Sebuah pesta reuni kecil akan dihadirinya. Itu pun hanya dihadiri dua orang teman SMA-nya yang tahu kepulangannya. Bertempat di sebuah restoran di sebuah mal ternama menjadi lokasi berkumpul mereka.

Tak sampai setengah jam, Arga sudah datang. Berhubung Adi sudah memesan sebelumnya, dia langsung menuju tempat yang disediakan. Berada di outdoor sehingga bisa melihat keindahan kota Jogja. Memang masih pagi. Sengaja agar tak terlalu ramai dan bisa puas bercerita.

Baru saja duduk, kedua temannya yang kebetulan sudah membangun usaha dan tidak terikat jam kerja datang.

"Calon pengangguran bertambah satu," celetuk lelaki tak begitu tinggi yang baru saja datang.

Arga berdiri dan memberi sebuah pelukan.

"Jangan kamu anggap enteng dia, meski pengangguran duitnya bisa buat makan setahun lamanya." Tak seperti Frank yang baru bertemu setelah sekian lama, Adi yang sudah berbincang sebelumnya langsung duduk dan menyandarkan punggung. Tak ada niat untuk menyambut kedua kalinya.

"Ya, setahun kalau cuma makan tempe tahu saja."

Lalu gelak tawa menggema. Suasana langsung berubah, atmosfer dipenuhi kegembiraan. Sejenak Arga bisa melupakan permasalahan tentang adiknya dengan cerita dan gurauan.

"Eh, bukannya kamu punya adik ya, Ga?" Lelaki yang mempunyai kulit sawo matang itu teringat.

"Iya."

"Gak jadi pewaris tunggal dong." Frank mulai menggoda.

"Warisan apa? Yang ada warisan beban."

Kembali gelak tawa terdengar. Lalu tak lama pelayan mengantarkan pesanan. Hanya minuman dan cemilan sebagai teman cerita.

"Gimana rasanya ngurus Adik yang baru SMA?" Frank penasaran. Sebenarnya bukan sepenuhnya ingin tahu, tapi lebih menjurus untuk mengejek karena tahu betapa susahnya mempunyai adik dengan jenis kelamin yang sama. Dia mengambil mocktail lalu mengaduk-aduk sebelum meminumnya.

Arga mengacak-acak rambut. Bingung bagaimana menjelaskan kenyataan yang ternyata tak sejalan dengan pikirannya. Dia pikir akan mudah saja mengurus Aksa yang dulunya begitu penurut dan menyenangkan. Tidak seperti sekarang yang sudah berani membangkang. Jauh sekali dengannya yang tak berani berbuat macam-macam saat seusianya. Jangankan mabuk, bolos saja tak pernah dilakukan.

"Gila asli! Ini lebih stres daripada kerja. Real beban."

"Beban pikiran?" Adi menebak lalu mereka tertawa bersama.

"Bisa gila aku kalau begini terus. Kalau gini terus gak usah nikah deh. Yang ada masuk rumah sakit jiwa ntar."

"Ya, gak usah nikah, kawin saja yang enak." Frank menimpali seraya melirik Adi yang memberikan jari tengahnya.

Arga masih belum sadar apa maksud kedua temannya dan mengabaikan. "Kamu tidak punya tips? Bukankah kamu punya Adik juga, Frank."

Mereka saling bersitatap. Dengan isyarat mata, Frank mempersilahkan teman yang jago ceramah. Siapa lagi kalau bukan Adi  "Baik cewek atau adik itu sama saja kuncinya. Memahami dan mengalah."

Kedua teman Arga saling beradu tos lalu suasana kembali berubah. Gelak tawa tak henti-hentinya terdengar dan waktu bergulir dengan cepat. Makan siang dia lewatkan bersama. Tentu saja sebagai bos yang harus membayar. Tak masalah memang, toh dia memang sedang butuh hiburan dan kedua temannya sudah memberikan.

Sudah hampir seharian mereka bercanda. Waktunya kembali ke pengaturan awal. Mereka pun keluar menuju tempat parkir bersama.

"Jangan dianggap beban, anggaplah aset yang menguntungkan." Adi memberi nasehat pada Arga sebelum pulang.

"Salah, aset yang tidak bisa diperjualbelikan." Frank, lelaki berhidung pesek kembali mengimbuhi.

Arga hanya tertawa menanggapi gurauan kedua temannya lalu mereka berpisah. Meski sebelumnya Adi sempat menanyakan lagi kesanggupan kerja di perusahaannya. Tentu saja dia belum memikirkan lebih.

Tujuannya sekarang adalah ke sekolah Aksa, memastikan tidak lagi ada acara membolos apalagi mabuk. Walau dia yakin adiknya sudah tobat. Setidaknya dalam waktu dekat. Entah jika mereka bertengkar lagi.

Beruntung jalanan tak macet walau waktu pulang sekolah. Setengah jam dan dia sudah sampai.Seperti biasa, dia menunggu di bahu jalan. Sekolah yang berada agak ke dalam dari jalan utama itu masih lengang. Hanya beberapa mobil dan sepeda motor yang lewat. Di sisi kiri dan kanan pohon perdu menambah kesan asri. Apalagi menjelang sore, angin berembus sepoi-sepoi.

Arga mengedarkan pandangan yang tertuju pada sebuah tempat tak jauh dari sekolah. Ruko kecil dengan tulisan apotek. Lalu ingatannya menuntun pada obat yang ditemukan semalam. Di mana dia menyimpannya? Oh, ya di plastik di atas kulkas. Kenapa dia tak membawanya untuk ditanyakan? Untuk apa? Bagaimana jika memang hanya obat sakit kepala biasa? Bukankah dia hanya malu saja karena terlalu penasaran..

"Kenapa malah kepikiran obat semalam? Ah, nambah beban saja! Sialan!"

Continue Reading

You'll Also Like

1.6K 118 31
Sejak awal, dia merasa ada yang ganjil dalam hidupnya. Hingga menemukan sebuah foto kakaknya yang sama sekali tak bisa diingat. "Jadi, cerita jika ak...
1.5M 124K 158
"You do not speak English?" (Kamu tidak bisa bahasa Inggris?) Tanya pria bule itu. "Ini dia bilang apa lagi??" Batin Ruby. "I...i...i...love you" uca...
14.7K 2K 9
**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Si tokoh yang sakit selalu menjadi pemeran utama, yang selalu mendapat perhatian lebih: lebih disayang, lebih...
1.2M 2.9K 18
🔞 Bluesy area, mengandung 21+ 🔞 - oneshoot ! ranked; #1 Karina 24/6/2023 #1 Bluesy 25/6/2023 #1 Karinajeno 7/9/2023