Nirkapala

Da ThrillingMysteryClub

3.7K 779 72

Polisi muda bernama Rambu Bentara bekerjasama dengan seorang gadis informan bernama Gamar Ismael. Keduanya me... Altro

[1] Dua Puluh Tiga
[2] Empat Puluh
[3] Tiket Kulit
[4] Kelebatan Masa Lalu
[5] 5 Itu Empat, 4 Itu Lima?
[6] Aku, Rambu Bentara!
[7] Bukan Akhir Penyelidikan
[8] Sang Legenda
[9] Drama Babak Ketiga
[10] Takdir
[11] Lingkaran Merah
[12] Predator Apex
[13] Titik Temu Pertama
[14] Benang Merah
[15] The Man Who Sold the World
[16] Rahasia Masa Lalu
[17] P.I.N.K.U.
[18] Alasan
[19] Lahirnya Sang Iblis
[20] Pemburu
[21] Sepadan
[22] Cincin Emas
[23] Babak Baru
[24] Reuni Bahagia
[25] Wanita Yang Hilang
[26] Latent Fingerprint
[27] Semoga Harimu Menyenangkan
[28] Kertas Dewa
[29] Lalu Siapa?
[32] The Ghost

[31] Selamat Malam

71 23 0
Da ThrillingMysteryClub

[31] Selamat Malam

Oleh: M. Fadli


Langkahnya terasa berat ketika memasuki ruangan itu. Laki-laki itu memiliki nama tersendiri untuk tempat yang tiap hari menjadi tempatnya menerima hukuman. Sebuah ruangan pengap dengan penerangan minim yang dipenuhi dengan tumpukan kertas yang tersebar di seluruh penjuru ruangan. Ada tumpukan yang dijejerkan di lima rak besi di hadapannya. Ada juga yang disematkan seenaknya di kotak kontainer plastik dan ditumpuk sedemikian rupa. Semua berita acara, berkas kasus, ini membuat ruangan ini terlihat suram meskipun dindingnya dibalur warna krem dengan lampu neon berdaya besar.

Dengan langkah gontai, laki-laki itu menghempaskan tumpukan map ke meja kecilnya sebelum merebahkan dirinya ke kursi kayu tanpa busa. Ia tak sendirian di ruangan itu. Dua pegawai sipil kepolisian di depannya tengah sibuk bercengkrama dengan topik acak, mulai dari masalah politik sampai cerita sinetron yang tak penting mencuat dari percakapan itu. Meski suaranya meramaikan ruangan kecil ini, laki-laki itu merasa dia sendiri. Rasa kesepian dan bosan mengisi sepertiga hatinya. Sisanya adalah rasa amarah karena berakhir di tempat ini.

Sudah hampir tiga bulan dirinya dipindahkan di tempat ini. Tempat yang tidak pernah ia bayangkan selama dirinya berkarir mengabdi kepada negara ini. Ia pun terkenang dengan hari itu.

"Tunggu dulu, Pak. Kenapa saya dihukum? Saya tak membuat kesalahan."

"Tak membuat kesalahan? Kalau kau bisa tegas, polisi terbaik seperti Sam tidak akan tewas. Buat apa pistol itu kalau tidak digunakan."

"Tapi Pak..."

"Sudah..sudah. Keputusan kami sudah bulat. Beruntung, atasan hanya memutasi kamu ke Polda. Banyak yang lain dimutasi ke daerah terpencil. Bahkan banyak lagi yang diberhentikan tidak hormat. Jadi terima saja."

Nasi sudah menjadi tahi sapi. Tak bisa lagi dimakan. Kendati sudah berulang kali ia membantu menangkap penjahat terbusuk di kota ini, tak pernah ada apresiasi buat dirinya. Semua medali diberikan kepada rekannya yang selalu dielukan sebagai polisi terbaik.

"Ketika seorang polisi terbaik tewas karena ulah polisi culun, maka harga yang pantas untuknya adalah neraka."

Rutinitasnya sepulang kantor juga begitu membosankan. Yang ditemui hanya anak itu, anak yang harusnya dirawat Sam. Agak menyulitkan buat bujangan sepertinya merawat remaja ABG di rumah. APa kata tetangga nanti. Daripada ia yang diusir, anak itu harus disingkirkan. Entah ke sekolah asrama atau pesantren, nggak ada bedanya.

Kebosanan itu kini menjadi rutinitas. Hanya amarah yang tetap tetanam, tumbuh dan berbuah. Tinggal menunggu kapan untuk dipetik.

Tak terasa sudah memasuki tahun kedelapan. Rasa bosan itu seiring waktu ia bisa kuasai. Bahkan tak menyangka apa yang ia temukan setiap hari di ruangan berkas kasus itu memberinya inspirasi.

Khususnya pagi itu. Tak sengaja matanya melihat map berkas kasus yang tercecer di dekat kakinya sementara telinganya mendengarkan percakapan gosip dari kedua pegawai di hadapannya. Multitasking adalah salah satu kemampuannya selain persuasif yang ia miliki. Ia melihat ada sedikit cahaya dari dua hal yang ia tangkap.

Merasakan ada informasi berguna untuk membangkitkan amarahnya, sebuah suara muncul di kepalanya sendiri.

"Rencana lama atau rencana baru? Mengapa tidak?"

***

"Nggak usah berlagak dramatis deh," kata Rambu saat menatap laki-laki yang ia kenal bernama Indra. "Sok pengen kelihatan kayak penjahat-penjahat komik. Nggak malu sama umur apa?"

Senyum Indra menghilang. Berbeda dengan Gamar yang justru mengembang begitu mendengar suaranya. Rambu pun menyambut senyum perempuan itu sambil berkata pada dirinya sendiri untuk membawa keluar perempuan itu dengan selamat. Namun urusan di depan mata harus segera diselesaikan.

"Narsismu itu membuatku muak. Nggak nyangka gue harus menangkap orang yang menginspirasi gue menjadi polisi."

Ingatan Rambu berkelana kepada saat dirinya masih belia. Namun bayangan itu mendadak kabur terhenti pada Bianca. Ia ingat pernah menceritakan hal itu kepadanya sebelum dirinya tewas. Dan hal itulah yang membuatnya mendidih, apalagi setelah Indra kembali menyeringai.

"Ini bukan saatnya untuk jadi jagoan. Lihat posisi siapa yang untung dan rugi."

Mata Rambu menyapu semua yang ada di hadapannya, termasuk seisi ruangan. Baik mata dan moncong Glock-nya diarahkan ke orang-orang di hadapannya. Seorang laki-laki tua dengan sergap membekap leher Gamar dan menjadikannya sendera. Sementara seorang pria lain terduduk di bawah dengan keadaan lunglai.

"Letakkan senjatamu. Posisimu dan temanmu itu tak menguntungkan," ucap Indra sambil matanya ke arah T-Rex. "Bagaimana lukanya?"

Rambu dan T-Rex saling menatap. Rasa nyeri tiba-tiba menyerang bagian lukanya. Namun T-Rex enggan berkomentar seraya menahannya. Rambu memaki dalam hati sambil meletakkan senjatanya secara perlahan.

"Jadi, semua bajingan berkumpul semua di sini," ucap Rambu. "Dua pembunuh dengan dua incaran yang berbeda. Namun disetir oleh satu orang."

Indra kembali menyeringai. "Kenapa lama sekali nalarnya? Seandainya lebih awal, tak perlu teman-teman seprofesimu ikut terbunuh. Kayaknya kamu perlu belajar lebih serius biar punya rasioniasi matang."

Tangan Rambu terkepal dengan erat. Namun ia terpaksa melemaskannya setelah melihat Gamar.

"Sorry, Mar. Gue terlambat sadar," kata Rambu.

"Rambu, dia yang bertanggung jawab sama semua kejadian. Termasuk yang menimpa kakakmu."

Rambu menatap Indra. Meski berhasil mengontrol rasa terkejutnya tentang kematian kakaknya di masa lalu, namun ia harus menjaga mentalnya. Mentalnya tak boleh turun agar tak terbius kata-katanya yang manipulatif.

"Gue sudah dengar dari T-Rex lewat arsip-arsip lama yang dibuka dari database kepolisian. Semuanya terjelaskan," kata Rambu dalam upaya mengalihkan perasaannya.

"Tiga rangkaian pembunuhan berantai. Satu di masa lalu, dua di masa sekarang. Kuakui kau cukup lihai dan licin. Tanpa perlu turun tangan."

"Ah, saya pengen dengar analisamu," ucap Indra. "Bila benar, kamu layak jadi reserse hebat, bahkan lebih hebat dari kakakmu yang tak menyadari rencana sempurna di masa lalu."

"Persetan dengan penilaian," timpalnya dengan nada tinggi. "Sebuah rangkaian pembunuhan yang dikreasikan dengan cara gila. Mulai dari sepuluh tahun lalu, pembunuhan Nirkapala pertama. Kau menciptakan para aktornya. Mulai dari pembunuh dan korban. Kau menemukan profil yang cocok dan masalah yang cocok untuk pembunuhan berseri. Prama Musa. Seorang laki-laki yang terluka karena kekasih hatinya terbunuh. Dan kau tahu para pelakunya. Namun bukannya ditangkap sesuai dengan permintaan Prama Musa saat melapor polisi, kau hasut Prama Musa untuk membunuh mereka. Tak sekedar membunuh, tapi juga meminta dirinya untuk memutilasi. Entah apa yang kau masukkan ke pikirannya, tapi dengan kemampuan persuasi, kau membuat orang terpikat. Hal itu juga pernah kau lakukan kepadaku pada peristiwa copet itu. Karena kata-katamu, membuatku terbuai sampai aku tertarik masuk ke kepolisian."

"Lalu pembunuhan itu terhenti setelah adegan penggerebekan itu. Peristiwa yang menewaskan Prama Musa dan Sam. Dengan harapan kau bisa mendapatkan penghargaan dari kepolisian. Tapi sayang, yang mendapatkan penghormatan justru mendiang kakak, sementara kau malah dihukum dan dipindahkan karena ketidaksukaanmu menggunakan senjata."

Rambu menghela nafas sebelum melanjutkan ceritanya. "Itulah yang membuat kau dendam dan marah. Sampai akhirnya beberapa tahun berlalu, kau menemukan rencana berikutnya. Mungkin kau menemukan kenyataan bila Prama Musa memiliki saudara kembar yang terpisah dan tinggal di panti asuhan dan yayasan. Seperti kembarannya yang tewas, Musa kedua ini lebih mudah dikendalikan karena penyakit mental yang ia miliki. Kau tanamkan semua ilusi tentang pembalasan dendam yang pernah dilakukan kembarannya yang perlu dilanjutkan. Sayangnya, kau tak tahu pelaku siapa lagi yang harus diincar. Sehingga kau mencari tumbal, para korban yang tak tahu apa-apa. Tiga orang PSK. Sayangnya PSK pertama tidak ada yang menggubris kasus tersebut, karena hanya aku yang peduli, sementara yang lain tidak. Sehingga di pembunuhan kedua, kau membuat banyak improvisasi agar lebih mendapat perhatian polisi dan media. Tak hanya mengirimkan kode pesan, kau meminta Musa kedua ini membuat video dan membakar jemarinya agar terlihat unik dan sadis. Semuanya agar dapat perhatian. Langkah yang cukup berhasil."

Tiba-tiba Musa kedua angkat suara. "Jadi... jadi... korban.... yang kubunuh...."

"Sayang sekali begitu. Mereka tak ada hubungan dengan dendam kakakmu. Karena semua korban sudah terbunuh oleh kembaranmu seratus tahun lalu."

Suara isak pembunuh itu mengalun dari volume terendah dan tertinggi.

"Memang bagaimana cara dia bisa mudah memanipulasi pikiran orang?" tanya T-Rex.

"Mudah buat polisi memiliki kemampuan persuasi, apalagi belajar ilmu psikologi cara mempengaruhi orang lain," kata Rambu sambil memperhatikan Indra. "Aku pun waktu masih SMP bisa terpengaruh olehnya."

Mendengar penuturan itu, Indra bertepuk tangan. Sepertinya ia sedang menikmati momen pengungkapan itu.

"Saya tak tahu ini benar atau tidak, baru dugaanku semata. Sepertinya pembunuhan Nirkapala sepuluh tahun lalu dan sekarang didasari motif yang sama. Motif dari sang manipulatif. Sikap narsis dalam dirinya ingin menjadi polisi atau detektif yang diakui kejeniusannya. Sehingga ia menciptakan pelaku dan pembunuhan, menanamkan motif dan amarh kepada mereka, lalu menggerakan sebagai boneka. Tujuannya agar kau yang nantinya memecahkan kasus tersebut, lalu dapat pujian. Tak ada artinya detektif tanpa kasus besar. Hal itu juga yang membuatmu menyarankan potong kepala kepada para aktor pilihanmu. Biar bombastis dan terlihat sebagai pembunuhan berantai."

Gamar yang tadi masih terdiam karena mendengar semua percakapan itu tertarik untuk turut bergabung dalam percakapan. Ia tahu dirinya sedang diambang maut karena ayahnya– entah benaran ayah kandung atau bukan–namun mulutnya gatal untuk tidak berteori.

"Sayangnya," kata Gamar sambil menatap Indra, "rencanamu sedikit meleset karena justru rekanmu yang menemukan lokasi. Sehingga, kau pun berencana meledakkan lokasi penggerebekan itu. Tapi hasilnya, tetap Sam yang mendapat medali. Dan kemungkinan untuk kasus kali ini, Rambu yang akan mendapat medali karena kau akan dibunuh."

"Tunggu," serga T-Rex. "Lalu pembunuhan Bianca, Niur, dan teman-teman kita bagaimana? Mereka bukan incaran kembaran Musa ini kan?"

"Jelas berbeda," kata Rambu. "Selain membangkitkan Nirkapala jilid dua, orang ini juga menciptakan pembunuh bayaran yang tujuannya menghancurkan orang-orang yang membuatnya dimutasi. Yaitu para polisi yang terlibat di masa lalu serta para polisi muda yang hampir menemukan kebenaran ini. Dan sosok pembunuh ayah dari Gamar. Mantan preman yang diduga membunuh istrinya."

"Berkat kesaksiannya kepada kejaksaan, Indra bisa mengeluarkan sang pembunuh dari penjara dengan persyaratan tertentu. Ia harus menghabisi AKP Novan dan Darius, orang yang dianggap membuat pimpinannya di masa lalu memindahkan dirinya kebagian arsip. Sementara Bianca dan Niur, dibunuh karena hampir menemukan kejanggalan kasus ini. Termasuk Bu Maria dan kau, T-Rex. Kau juga hampir tewas kan."

"Bianca sebenarnya tak terlalu tahu banyak, namun Niur tahu mengenai keterlibatan Alina yang menjadi mata-mata Indra untuk mengawasi situasi Polres Jakarta Utara. Sayangnya, kejadian penggerebekan itu menjadi sedikit bencana yang menewaskan Jendra dan membuat Alina terpaksa bunuh diri."

"Dasar biadab!" ucap T-Rex dengan lantang.

Indra pun beraksi. Telunjuknya diletakkan vertikal di tengah bibirnya.

"Ssst... jangan terlalu kasar begitu. Yang perlu kamu marahin sebenarnya Rambu karena masih belum tepat analisanya. Yang bunuh Niur itu Musa. Dan dia tidak ada hubungannya dengan dendamku kepada kepolisian. Niur dibungkam sebagai peringatan untuk T-Rex. Selain itu, keputusanku AKP Yovan dan Darius lantaran mereka adalah korupsi korup. Kalau tak percaya tanya saja T-Rex yang jago IT. Selain itu... Bianca... ah... Bianca.."

Semua terdiam.

"Beruntungnya bekerja di bagian arsip, selain bisa membaca berkas kasus dan laporan polisi, gosip-gosip tentang kebobrokan lembaga ini tercium. Kebetulan sekali aku menemukan hubungan beberapa polisi elit dengan kasus atas skandal. Mulai dari main uang sampai urusan lendir. Bianca tidak sepolos dan seanggun yang kau kira. Polwan yang jadi wanita bergilir para pimpinan bejat."

"Brengsek!" maki Rambu.

Gamar yang mendengar itu langsung menyadari orang yang menyanderanya saat ini bisa membuatnya bernasib seperti Bianca.

"Semua kode itu, pemecahan kode PT EDI, itu berasal dari Om Indra sendiri," ucap Gamar yang mulai merasa geli dan jijik memanggilnya dengan sebutan Om.

"Sayang sekali itu benar, Nak. Semua surat dan kode itu memang sengaja dibuat. Tapi Polisi-polisi tolol ini malah nggak gubris. Apalagi kode tentang PT EDI. Rambu saja sampai terkecoh. Terpaksa aku yang ungkapkan kode yang kukirim itu sendiri."

"Termasuk kata-kata 'Temukan Indra' di tiket kulit itu?" tanya Rambu. "Narsisnya sudah keterlaluan."

Senyuman Indra mendadak hilang. Matanya memicing, sementara keningnya mengkerut.

"Tiket kulit? Saya..."

Rambu tetap waspada dengan jawaban Indra. Sementara Indra menatap Prama Musa dan ayahnya Rama. "Kalian mengirim tiket kulit atau apapun itu?"

Kedua pembunuh yang ditanya kebingungan, lalu menggeleng. Kini semua orang terdiam dan mematung, sampai akhirnya lampu di ruangan itu mendadak padam.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan pistol dan suara orang mengerang dan bunyi besi jatuh ke lantai.

Rambu dan T-Rex menoleh mencari sumber suara. Jendela di belakang mereka bolong.

Suara Gamar berteriak membuat seisi ruangan waspada. Dalam kegelapan, satu satunya perempuan di ruangan itu membuat gerakan cepat menyikut ulu hati sang ayah begitu ia menjatuhkan parang itu. Ia pun membebaskan diri dan berkumpul dengan Rambu dan T-Rex. Namun mereka masih bingung dengan apa yang telah terjadi, sampai suara pintu di belakang mereka terbanting dan hingga daun pintunya menghantam keras dinding di sekitarnya.

"Siapa itu?" Suara Indra terdengar lantang.

Saat itulah sesosok bayangan masuk dengan derap yang kokoh masuk keruangan. Cahaya dari penerangan dari lampu teras memperlihatkan bentuk wujud itu. Semua orang mengarahkan pandangan kepada sepatu bot yang ia kenakan, lalu ke celana kulit dan pakaian aneh yang dikenakan sosok itu. Lebih aneh lagi adalah bagian wajahnya. Ditutup topeng layaknya ninja yang pada bagian matanya ditutup google tebal. Di tangannya ia memegang sesuatu yang bersinar dan menyorot ke arah Indra.

Semua orang bertanya siapa sosoknya. Termasuk Indra, sampai akhirnya ia berkata.

"Selamat malam, Ndra. Lama tak bersua."

Untuk pertama kalinya semenjak masuk di ruangan itu, semua orang yang hadir melihat wajah Indra yang disinari ketakutan. Seperti mendengar suara panggilan dari alam baka.

Continua a leggere

Ti piacerà anche

32.1K 5.6K 55
[BOOK #2 OF THE JOURNAL SERIES] Andrew Stanley tidak pernah menulis jurnal sebelumnya, dia benci membaca dan menulis karena menurutnya membosankan. H...
2.1K 1.1K 34
Dalam dunia Ayarikha, imajinasi dan kenyataan berbaur sedih. Ayarikha dikuasai dongeng dan terus bergantung pada seorang anak laki-laki yang sama sej...
18.5K 7.6K 106
Panggil dia Anak Setan. Dia manusia miskin dengan uang saku lima ratus perak, dengan otak lebih ke licik ketimbang cerdik, pengidap sindrom antibetin...
273 156 28
Banyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat de...