Bukan Hana tidak menyadari kalau diamnya Hans sepanjang perjalanan pulang yang memakan waktu satu jam lebih adalah bom waktu yang akan meledak sewaktu-waktu.
Benar saja, baru saja mereka menutup pintu, Hans sudah mendesis penuh kemarahan menanyakan kewarasannya.
"What was that for, Na? Have you lost your mind?"
Hana mengernyit tak terima. "Nope, I'm perfectly fine...."
"Kamu minta bertemu Tristan lagi? What for?" sembur Hans marah.
"Karena aku memang harus menemui dia. Ada banyak hal yang harus kami bicarakan, Hans...."
Dibilang seperti itu membuat Hans semakin berang, mulutnya membulat tak percaya dengan apa yang dia dengar.
"Whattt???? Are you fuckin' kidding me? Untuk apa, Na? Mau memberi dia harapan lagi? Is this just a game to you? Oh, aku lupa... Kamu kan memang paling ahli dalam hal ini."
"Hey!!! Maksud kamu apa?" Balas Hana berang, dia kehilangan kendali mendengar tuduhan tak berdasar dari Hans.
"He's still into you!!" teriak Hans meluapkan seluruh emosinya. Dan dia tahu dia benar. Dari cara Tristan menatap kekasihnya, dia yakin kalau mantan kekasih Hana itu belum melupakannya sama sekali.
"So what??? Kenapa harus aku yang bertanggung jawab atas perasaan Tristan?" balas Hana dengan pekikan yang sama nyaringnya.
Mata Hans menyipit menatap tajam Hana. "You'd knew...." desisnya tak terima. "Dan kamu malah meminta untuk terus bertemu dia...."
Hans mengusap wajahnya kasar, memandang Hana dengan tatapan gusar. "Kamu sangat menyukai hal ini ya, Na...." ucapnya dengan nada dingin. "Memberi harapan ke orang-orang yang mencintai kamu... Membuat mereka berpikir kalau ada kesempatan untuk bisa jadi satu-satunya orang yang kamu cinta?"
Wajah Hana merah padam, tangannya bergetar menahan emosi yang memuncak. "Itu yang sebetulnya ada di pikiran kamu tentang aku, Hans?" desis Hana yang suaranya bergetar karena menahan air mata kemarahan agar tidak keluar.
"I've been in that situation for years... FOR YEARS, NA!!" teriak Hans.
Tak terasa air mata Hana mengalir turun di pipinya. "I'm sorry for what you've been through, Hans... I really am. Dan aku meminta maaf kalau ternyata sampai detik ini kamu masih merasakan hal yang sama...." ucap Hana lirih.
Mereka sama-sama hanya bisa saling menatap dalam diam. Sampai akhirnya Hans mengambil Cireng dalam pelukannya dan memasukkannya ke pet carrier. Bergumam pelan kalau hari ini adalah jadwalnya dia merawat kucing mereka.
Hans berbalik pergi tanpa lambaian tangan dan kecupan mesra dari Hana yang biasa. Hana hanya mengantarkan dia ke mobilnya dalam diam, mengawasinya menjauh sampai mobil Hans tidak ada dalam jarak pandangnya. Ketika dia berbalik menutup pintu, Hana tak kuasa lagi menahan tangis. Dia terduduk lesu, bersender pasrah di pintu dan menangis tersedu-sedu.
--------------
Hana membolak-balik buku menu, memikirkan makanan apa yang cocok untuk dirinya yang sedang bad mood. Yang jelas dia tahu dia harus makan three full course meal agar setidaknya suasana hatinya bisa sedikit membaik.
Saat sedang asyik memikirkan apakah dia perlu memesan parfait juga setelah choco lava-nya datang, tiba-tiba ada suara berat yang menegurnya. "Am I late?"
Hana mendongak dan melihat Tristan yang berdiri dengan senyum lebar di wajahnya. Terlihat tampan dengan jeans dan T-shirt putih dibalik kemeja warna biru muda yang lengannya digulung sampai sebatas siku.
Tersenyum, Hana melirik ke jam di ponselnya. "Nope, aku memang datang 20 menit lebih awal. No worries, Tan, kamu masih kecepetan 5 menit."
Tristan mengambil kursi dan duduk di hadapan Hana yang langsung menyerahkan buku menu ke dia. Tak butuh waktu lama sampai akhirnya Tristan memutuskan menu yang dipilih. Mereka memanggil pelayan, Tristan menyebutkan satu menu dan juga satu minuman sementara Hana memesan tiga jenis makanan yang berbeda ditambah dengan minuman dan juga parfait yang dia minta dikirimkan setelah makanannya habis.
Tertawa kecil, Tristan bertanya. "Starving?"
Hana menyerahkan buku menunya kembali ke pelayan yang menunggu dan menjawab. "Always!"
Mereka bercakap-cakap ringan sepanjang acara makan siang, saling bertukar kabar soal pekerjaan, keluarga, Hana juga memberitahu soal kepergian Cusco dan juga Cireng yang sekarang jadi peliharaannya bersama Hans. Menceritakan soal Ratna yang baru hamil empat bulan dan Bayu yang kemungkinan besar akan dikirim dinas luar tahun depan. Sementara Tristan bercerita soal penelitiannya, perjalanannya ke Kutub Selatan, dan papanya yang sekarang pensiun dan ngotot minta dimasukkan ke panti jompo saja.
Tak terasa mereka sudah berbincang seru selama dua jam lebih tanpa pernah kehabisan bahan pembicaraan sampai akhirnya Hana memerhatikan jam di ponselnya.
"Going somewhere?" tegur Tristan.
Hana menggeleng. "Home...."
"Mau kuantar?" tanya Tristan lagi.
Lagi-lagi Hana menggeleng. "Thanks, tetapi lebih baik tidak usah. Aku bisa pulang sendiri."
Tersenyum, Tristan kembali bertanya. "Gak dijemput Hans?"
Wajah Hana mengernyit lucu. "You have no idea, kesulitan apa yang harus aku lalui cuma untuk ketemu kamu sekarang."
Tawa Tristan pecah. "Ah, he get mad...."
Menggeleng, Hana menjawab. "Furious!" serunya berapi-api.
"I want to say sorry, tapi sayangnya aku tidak menyesal. Aku senang bisa ketemu kamu lagi, Na.... You're still... You ... Hana yang sama yang kukenal dulu."
Hana tersenyum tipis. "People change, Tan... Begitu pun dengan aku."
Hana membungkuk, mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan meletakkannya di meja.
"Alasan aku mengajak kamu bertemu... Adalah untuk ini," ucapnya sambil mendorong kotak kecil itu ke depan Tristan. "Aku mau mengembalikannya ke kamu, Tan. Karena kalung ini terlalu berharga untukku. It belongs to your mom, right? Aku merasa tak pantas untuk menerima pusaka yang punya arti penting untuk kamu."
Tersenyum walau ekspresinya agak sedih, Tristan menerima kotak itu di tangannya. Lalu dia menatap Hana dengan pandangan yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Sorot matanya menatap penuh kerinduan, cinta, dan juga kesedihan.
"Aku ingin meminta kamu menyimpannya karena kamu memang sepenting itu bagiku, Na... Tapi, kurasa kamu akan menolaknya. Jadi, aku hanya bisa berterima kasih ke kamu sekarang. Terima kasih sudah menjaganya dengan sangat baik, Raihana...."
"Maaf...." gumam Hana lirih.
Lagi-lagi Tristan tersenyum tipis. "Tak perlu meminta maaf karena sudah memilih dia ...."
Tristan memanggil pelayan, meminta tagihan dan bersikeras membayarnya walau Hana sempat menolak. "Sepertinya ini adalah acara makan kita berdua yang terakhir kalinya. Biarkan aku yang membayar semuanya, Na...."
Setelah pelayan membawakan kembalian dan Tristan memberi tip di dalamnya. Mereka berdua bangkit dan berjalan dalam diam menuju tempat menunggu taksi.
Saat taksinya hendak datang, Hana berbalik menghadap Tristan, mereka-reka ucapan perpisahan apa yang pantas untuk dia sebutkan ke pria rupawan di hadapannya, namun ternyata Tristan mendahuluinya. "Kurasa ini artinya sebenar-benarnya perpisahan dengan kamu, Na...." ucap Tristan sementara tangannya membelai pipi Hana lembut.
Tersenyum, Hana menjawab. "Kita masih bisa berteman, Tan...."
"I know.... Tapi, bagiku ini adalah akhir dari aku yang selalu mengharapkan kamu, Na... Dan jujur saja, buat aku... Kamu akan selalu jadi yang terindah dalam hidupku," ucap Tristan yang membungkuk dan mengecup pipi Hana, membelai lembut pipinya sekali lagi, tersenyum, dan berbalik pergi.
-----------------
Cuma bisa nulis sedikit karena kelewat baper. 😭😭😭
Apalagi tadi nulisnya sambil dengerin Sammy Simorangkir nyanyi kesedihanku bolak-balik. Hatiku auto ambyar!! 💔💔💔
See ya soon!
Luv,
NengUtie