BAD BUDDY SERIES (Hanya Teman)

Od diadjani

24.7K 1.5K 35

"Kisah tentang dua orang yang tidak pernah bisa menjadi teman, menjadi dua orang yang tidak pernah bisa menja... Více

EP.1 | Part 1
EP.1 | Part 2
EP.1 | Part 3
EP.1 | Part 4
EP.2 | Part 1
EP.2 | Part 2
EP.2 | Part 3
EP.2 | Part 4
EP.3 | Part 1
EP.3 | Part 2
EP.3 | Part 3
EP.3 | Part 4
EP.4 | Part 1
EP.4 | Part 2
EP.4 | Part 3
EP.4 | Part 4
EP.5 | Part 1
EP.5 | Part 2
EP.5 | Part 3
EP.5 | Part 4
EP.6 | Part 1
EP.6 | Part 2
EP.6 | Part 3
EP.6 | Part 4
EP.7 | Part 1
EP.7 | Part 2
EP.7 | Part 3
EP.7 | Part 4
EP.8 | Part 1
EP.8 | Part 2
EP.8 | Part 3
EP.8 | Part 4
EP.9 | Part 1
EP.9 | Part 2
EP.9 | Part 3
EP.9 | Part 4
EP.10 | Part 1
EP.10 | Part 2
EP.10 | Part 3
EP.10 | Part 4
EP.11 | Part 1
EP.11 | Part 2
EP.11 | Part 3
EP.11 | Part 4
EP.12 | Part 1
EP.12 | Part 2
EP.12 | Part 4

EP.12 | Part 3

472 21 0
Od diadjani

Pat berbaring di atas tempat tidur dengan kedua tangannya diangkat ke atas. Senyum miring terukir di bibirnya, matanya tak lepas dari menatap Pran yang juga sudah mandi dan mengenakan kaos oblong dengan celana boxer seperti dirinya.

"Daerah ini masih dipenuhi asap dan debu seperti dulu, ya. Aku baru saja kembali dan kulitku kusam lagi." Pran mendudukkan dirinya di atas tempat tidur dengan membawa sebotol pembersih wajah dan kapas di tangannya.

Pat bangkit dan duduk sambil masih tersenyum melihat kekasihnya yang terus mengomel tanpa memperhatikannya.

"Kamu juga masih cerewet seperti dulu." Pat duduk di hadapan Pran sekarang. "Kalau kamu mau aku yang membersihkan wajahmu, katakan saja baik-baik padaku."

"Masih ingat caranya?"

"Nanti juga kamu tahu."

Pran hanya mencebik dan mulai menuangkan cairan pembersih wajah ke selembar kapas.

"Itu kebanyakan lah."

"Memangnya kenapa? Ini bukan punyaku kok."

Pran seolah tidak peduli, tapi ia menyerahkan kapas dengan cairan pembersih wajah itu ke tangan Pat yang dengan senang hati mulai membersihkan wajah putih Pran.

Pran mengangguk-angguk melihat hasil kerja Pat pada wajahnya. "Boleh, lah."

"Terus... Kamu masih marah sama aku ya, karena nggak jemput ke Bandara?"

"Aku tidak marah. Aku hanya sedang menunggu pacarku di Bandara Svarnabhumi, tapi pacarku di Bandara Don Mueang!"

Pat terkekeh. "Ya, kamu kan terbang dari Don Mueang nggak sih?"

Pran mengerutkan keningnya dan mengangguk-angguk lagi. "Oh, tentu lah! Kita sudah terlalu lama bersama. Kamu tidak peduli lagi denganku. Manis-manisnya kita sekarang telah hilang."

"Wuih. Awalnya kamu bilang Na Mong tapi sekarang kamu tetap yang paling Narak." Pat meletakkan telapak tangannya di bawah dagu Pran tapi kekasihnya itu berpaling dengan wajah kesal manja. "Coba letakkan dagumu ke telapak tanganku."

*Na Mong (Kusam), Narak (Lucu/imut)

"Ah, tidak mau! Sialan kamu!" Pran menepis tangan Pat lalu meraih Nong Nao untuk dibawanya berbaring ke atas tempat tidur. Ia lalu memiringkan badannya dan menyangga sisi kepalanya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memeluk Nong Nao. "Di pesta reunian itu, kita harus berpura-pura tidak berteman. Tapi aku masih ingat semua orang yang diam-diam kamu senyumin, ya." Pran menunjuk wajah Pat dengan geram.

Pat lalu tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke wajah Pran. "Ya, kan mereka duluan yang senyum padaku." Pat lalu menyangga sisi kepalanya dengan tangan seperti Pran di hadapannya. "Seorang pria dengan lesung pipi mana sih yang menyuhku untuk berpura-pura? Hah? Aku harus menurutinya biar semua orang tertipu, kan?"

"Dan apakah itu berhasil?"

"Sangat. Teman-temanku benar-benar tertipu. Aku yakin mereka pikir kita masih saling membenci satu sama lainnya."

"Loh, mereka benar kok. Aku memang masih mem-ben-ci-mu..." Pran menekankan tubuh Nong Nao ke wajah Pat yang berjengit mundur.

"Aku tidak percaya padamu." Pat merebut Nong Nao dari tangan Pran dan melakukan hal yang sama ke wajahnya. "Orang yang saling membenci tidak akan melakukan apa yang kita lakukan."

"Melakukan apa?" Pran mendudukkan dirinya untuk memukuli Pat seperti anak kecil tidak dibelikan mainan. "Melakukan apa?"

"Kemarilah." Tapi Pat justru meraih tangannya ke dalam genggaman.

"Apa?"

"Ikut saja denganku."

"Kemarilah dulu, aku akan membawamu."

"Ke mana?"

"Kemarilah."

Mau tidak mau Pran bangkit dan mengikuti langkah Pat yang sedikit menyeretnya.

"Ke sini."

"Apa sih?"

Pat membawa Pran ke depan meja kerja lengkap dengan perangkat komputer. Namun bukan itu yang ingin ia tunjukkan. Tepat di belakang meja, terdapat hiasan artistik yang menempel di dinding. Itu adalah rangkaian foto-foto kebersamaan Pat dan Pran sejak mereka masih kecil hingga dewasa. Beberapa bukti fisik yang menjadi kenangan selama perjalanan mereka bersama juga ada di sana. Kartu panitia saat Pran dan Pat terlibat dalam pementasan drama Arsitektur Kwan & Riam, pic gitar yang Pran buatkan untuk Pran dari kartu pelajarnya semasa sekolah dulu, beberapa catatan permintaan maaf Pran saat Pat ngambek, serta beberapa postcard yang dikirim saat mereka menjalani hubungan jarak jauh antara Bangkok dan Singapore.

Pran dan Pat saling beradu pandang dan melempar senyum.


Pran Talk : Pria dengan mata garang ini namanya Pat. Dia terlahir untuk menjadi sainganku.

Pat Talk : Pria dengan lesung pipi ini adalah Pran. Aku selalu dilarang untuk berteman dengannya.

Pran Talk : Tapi ya, begitulah. Kami bukanlah anak yang penurut. Tanpa sadar, dari dua orang yang bahkan untuk berteman saja tidak bisa, kami menjadi dua orang yang lebih dari sekedar teman.

Pat Talk : Malam itu, kami menyadari kalau hubungan kami membuat beberapa orang merasa tidak baik-baik saja. Jadi, inilah yang kami putuskan.

Flashback

Setelah pergi dari rumah selama beberapa hari dan menetap di desa tanpa sampah bersama Paman Tong, Pat dan Pran memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing.

"Pat dan dia sudah putus. Maafkan Pat ya Ma, Pa."

"Tidak apa-apa, nak." Sang Ibu mengelus pundak Pat yang merunduk dengan senyum miring yang ditahan agar tidak ketahuan.

Sementara itu di rumah sebelah, Pran juga mengatakan hal yang sama pada kedua orang tuanya.

"Kembalilah ke keluargamu. Ibu yakin kamu akan bertemu banyak orang hebat nantinya, nak." Sang Ibu memeluk dan menenangkan putra semata wayangnya. "Yang kuat ya, nak. Jadinya kamu tetap punya tenaga meskipun sudah banyak menangis."

Tanpa Ibunya tahu, Pran hanya lah berpura-pura menangis dalam pelukannya.

Pran Talk : Khrap. Kami putus secara resmi.

"Aku dan Pat sudah putus."

"Shia."

"Kenapa?"

"Kau seriusan?" Louis mulai mengusap pundak Pran.

"Tidak apa-apa, kau masih memiliki kami." Sementara Safe mengusap punggung Pran.

Satu-satunya yang tidak berusaha menenangkannya adalah Wai. Pemuda itu hanya diam melihat sahabatnya sedang berpura-pura sedih di hadapannya.

"Kami ada di sini untukmu." Louis berusaha menenangkan.

Pran Talk : Kami harus kembali menjadi musuh.

Pat Talk : Tapi di penghujung hari, kami kembali menjadi sepasang kekasih.

Pat masih diam-diam berpindah tidur ke kamar Pran saat malam tiba. Atau sekedar menemani Pran mengerjakan tugas akhir meskipun hanya dengan berbaring di sofa.

"Pat, bantuin aku dong. Katanya tadi kamu janji mau bantuin aku." Celoteh Pran sembari memotongi bahan untuk membuat maket. "Sialan, Pat!"

Sementara itu yang diajak bicara justru berpura-pura tidur di sofa. Ia bahkan bergeming ketika Pran melemparkan potongan kertas ke wajahnya. Tapi ketika Pran dengan usil mencoba memasukkan potongan kertas panjang ke hidungnya, Pat dengan cekatan menarik Pran ke dalam pelukannya.

"Pat! Oiiiii..."

Pran Talk : Untuk memastikan skema ini akan berhasil, kami hanya mengizinkan Wai, Korn, Pha, dan Ink sebagai orang yang mengetahui kebenarannya.

Pat dan Pran bahkan sempat kembali berkunjung ke desa tanpa sampah untuk menemui Junior dan Paman Tong setelah kelulusan. Mereka mengabadikan pertemuan itu dengan beberapa jepretan foto di dermaga.

Pat Talk : Sedangkan orang tua kami, mereka mulai sedikit lebih santai. Kemarahan mereka mereda, dan mereka perlahan kembali melanjutkan persahabatan mereka.

Pran Talk : Tapi pada kenyataannya, terkadang tidak setiap cerita memiliki akhir yang bahagia.

Pat Talk : Yang kami bisa lakukan hanyalah melupakannya dan melakukan segala hal dengan diam-diam.

Pat masih sering kali diam-diam melompat dan masuk ke kamar Pran melalui jendela untuk melepas rindu. Meskipun sering kali Pat mengalami kesulitan untuk kembali ke kamarnya.

"Pergi lah, sebelum Ibuku kembali." Pran mendorong tubuh Pat keluar jendela kamar.

"Aku tidak bisa pergi, kakiku tersangkut." Tentu saja itu hanyalah akal-akalan Pat.

"Pergi saja sana."

"Satu ciuman dan aku akan pergi." Pat segera menarik kepala Pran dan mendekatkan pipi putih pemuda itu ke bibirnya. "Mmmmmuah."

"Sialan, nanti Ibuku pulang." Pran mulai Panik.

"Pipi satunya juga dong." Tapi Pat bukanlah pria yang kenal takut. Ditariknya kepala Pran kembali untuk mengecup pipi yang tersisa. "Mmmmmuah."

"Pergilah sekarang!" Pran masih berusaha mendoroh tubuh Pat keluar jendela.

"Kakiku." Pat masih beralasan karena satu kakinya belum keluar dari jendela.

Pran yang sudah tidak ingin meladeni keusilan Pat segera mengangkat kaki Pat yang tersisa untuk dikeluarkan, membuat Pat terkekeh dan mengatur keseimbangan tubuhnya yang besar dan tinggi itu di atas balkon.

Pat Talk : Tapi pada akhirnya, kehidupan kami sebagai pasangan yang bahagia berakhir ketika dia ingin meninggalkanku menjadi seorang Arsitek di Singapore.

Pat Talk : Itu cuma untuk dua tahun, loh. Aku pun harus melakukan sesuatu untuk mencari nafkah juga. Itu adalah kesempatan yang lebih baik dan uangnya pun lebih baik di sana.

"Itu kopermu, apa lagi yang kamu lupakan?" Tanya Pat menyandarkan sebelah lengannya di bagian belakang bagasi mobil.

"Tidak ada. Passport-ku sudah ada di sini." Pran menepuk sisi tas pundaknya yang sudah tertutup rapi.

"Coba dipikirkan lagi baik-baik."

"Tidak ada yang aku lupakan. Aku sudah memeriksanya."

Pat menghela napas dan mengeluarkan sepetak bungkus earphone dan mengalungkan tali tasnya ke leher Pran.

"Hmmm. Coba pikirkan lagi." Pat menekan tengkuk Pran dengan gemas. "Baru begini saja kamu sudah melupakan earphone-mu, bagaimana nanti ketika kamu bertemu pria bule bermata biru? Kamu mungkin akan melupakan seseorang dengan mata garang di sini."

"Hmmm." Pran mencebik dan meraih sesuatu dari dalam tas pundaknya. "Oke, nih. Aku harap ini bisa membuatmu berhenti ngambek padaku."

Pran membentangkan selembar kaos Friend-Unfriend miliknya yang segera disambar oleh tangan Pat. "Apakah kamu benar-benar berpikir ini bisa membuatku berhenti ngambek?"

"Baiklah." Pran mengangguk dan merebut kaos itu kembali untuk diusapkan ke dua sisi lehernya, ketiaknya, dan bagian bawahnya. "Mau di sini juga? Nih."

Pat menerima uluran kaos itu kembali dan segera mengendusnya dengan keras. "Kita baikan sekarang. Terima kasih, ya."

"Ayo." Pran merangkul pundak Pat yang mengendus kaos Pran sekali lagi dan segera melangkah masuk ke bandara.

Pran Talk : Tidak peduli seberapa jauh kami, dunia kami masih tetap dekat seperti biasanya.

Saat mereka menjalani LDR, Pat membiarkan Nong Nao mengenakan kaos peninggalan Pran untuk bisa merasakan kehadiran Pran saat ia tidur.

Ketika Pat melewati depan pintu asrama Pran yang memiliki keset berbentuk kaset di depan pintunya, Pat memotret dan mengirimkannya kepada Pran dengan pesan, 'Aku rindu sarang cinta kita'.

Pran Talk : Seperti yang dikatakan Paman Tong, kita mungkin tidak bisa mengubah dunia, yang bisa kami lakukan hanyalah menyesuaikan diri kami, dan hidup bahagia.

Pat Talk : Kami berdua mungkin tidak bisa mengubah orang-orang di sekitar kami, tapi mereka juga tidak bisa mengubah kami berdua.


Pat menempelkan satu foto tambahan. Foto polaroid saat mereka berdua menghadiri reuni alumni SMA beberapa saat lalu. Keduanya tersenyum mengingat bagaimana mereka diam-diam saling mengaitkan kelingking saat teman-temannya yang lain asik berpose saat pengambilan foto itu.

"Meung."

"Hmmm?"

"Aku lapar." Kata Pran singkat.

"Loh, yang sebelumnya belum kenyang juga?"

"Aku menunggu lebih dari satu tahun, kamu melayaniku hanya 5 menit. Apa kamu pikir itu sudah membuatku kenyang?"

"Hmmm." Pat mengertakkan giginya gemas. "Berhenti menghina seperti ini. Aku hanya sedikit tegang tadi itu."

"Kamu payah."

Keduanya jelas membahas 'lapar' dan 'makan' yang berbeda dari arti sebenarnya.

"Ayolah, mari kita makan sesuatu dan menenangkan ketegangannya." Pran mulai memelankan tempo bicaranya. "Malam ini, akan menjadi malam yang panjang. Ayo. Ayo pergi."

***

"Aku bilang kalau aku lapar akan makanan berat, kenapa kamu malah membawaku ke bar?" Protes Pran ketika mereka sudah duduk di meja bar bersama Pha dan Ink di sana.

"Kita di sini untuk mendukung teman-teman kita. Bar mereka mungkin akan segera bangkrut." Pat sedikit terkekeh sambil menunjuk Korn dan Wai yang mulai melangkah mendekat.

"Mulut kau ya, brengsek! Awas kau, ya!" Korn membawakan beberapa gelas bir untuk mereka diikuti dengan Wai yang lalu duduk bersama.

"Bersulang..."

"Siapa yang akan percaya, kalau dua orang musuh besar seperti kalian berdua ini malah menjalankan bar bersama?" Pran menunjuk wajah Wai dan Korn setelah meletakkan gelas bir kembali ke mega. "Izinkan aku menanyakan pertanyaan yang serius, apakah kalian berdua benar-benar pernah membenci satu sama lainnya?"

Korn yang sedang merangkul pundak Wai mulai terkekeh.

"Sial. Jika kalian berdua tidak punya pacar, aku benar-benar berpikir ada sesuatu di antara kalian." Imbuh Pat curiga.

"Haruskan kita memberi tahu mereka?" Tanya Korn pada Wai yang sedang mengunyah camilan. "Mau nggal?"

Heiiiii..." Suara protes dari yang lainnya semakin nyaring ketika Korn mendekatkan wajahnya ke wajah Wai bak hendak berciuman. Tapi tentu saja itu hanya pura-pura, mereka benar-benar hanya berteman.

"Cukup, sialan." Wai mendorong jidat Korn menjauh dari wajahnya. Yang lainnya sontak tergelak bersama.

"Oh iya. Jadi Pran kembali ke sini untuk selamanya?" Tanya Ink memecar tawa.

"Tidak, ini hanya dua minggu liburku. Aku masih harus kembali bekerja."

"Kembali apaan sih? Tidak mungkin!" Pat menyela. "Yang kamu lakukan hanyalah bekerja. Korn akan memberikan undangan pernikahannya sebelum kita nih."

"Benarkah?" Pran membelalakkan matanya."

"Tidak."

"Oalah, itu sebabnya timeline Facebook-mu tampak begitu manis." Goda Pran.

"Tenang dulu, pacarku ingin melanjutkan gelar masternya. Kami baru saja bertunangan untuk saat ini, itu saja. Kalian jangan mengada-ada." Jelas Korn.

"Hei, kakak takut akan dicampakkan, kan?" Kali ini Pha yang menyela. "Seseorang di sini sedang mengejar gelar masternya juga dan tidak ada yang mendekatinya. Atau jangan-jangan ada, tapi Pha yang tidak tahu tentang itu."

"Astaga, siapa yang berani untuk mendekatiku? Kamu membuatku memposting foto pasangan kita setiap kali ada kesempatan. Hmm? Aku tidak akan berani mengambil resiko. Nih, biarkan aku menyuapimu." Ink segera menyuapkan camilan ke mulut Pha, diikuti oleh Korn yang menyuapkan camilan ke mulut Wai.

"Adik Arsitektur yang di sana, apakah kamu sudah punya pacar? Teman kakak mau tahu."

Terdengar suara seorang pemuda sedang menggoda mahasiswi di meja yang belainan.

"Belum punya kak, saya punyanya suami. Itu ayahnya!"

"Wooooo..."

Korn dengan sigap berdiri untuk melerai dua kelompok yang mulai bertengkar di dekat panggung. Sementara Pat dan Pran hanya menertawakan sahabatnya yang tampak kuwalahan itu.

"Apakah ini terjadi setiap saat?" Bisik Pran pada Wai yang tidak berannjak. "Kamu tidak akan membantunya?"

"Dia bajingan juga," jawab Wai enteng.

"Kedua fakultas ini lagi, mereka merusak banyak meja bar ini terakhir kali. Aku sudah muak." Korn mengomel saat kembali ke tempat duduknya.

"Iya, sialan. Kami seperti membeli tempat ini hanya untuk menebus dosa." Imbuh Wai.

"Hei, dek." Pat mulai berteriak sekarang. "Kakak tidak masalah jika kalian mau berantem. Tapi setelah kalian selesai berantem, kalian harus mendapatkan seorang pacar seperti kakak." Pat merangkul pundah Pran yang baru saja meneguk bir.

"Eh, dek. Jangan dengarkan dia. Percayalah sama kakak, tidak ada gunanya mencoba jika adek berakhir dengan pacar seperti dia." Pran ikut menyela.

"Pran..." Panggil Pat dengan lembut sembari merangkul pundak kekasihnya.

"Ya, Pak. Ada apa?" Pran berusaha menahan tawanya lalu mencolek dagu Pat yang malah balas mencium pipinya.

"Mereka mesra-mesraan lagi." Protes Ink sembari merekam momen dengan ponselnya. "Mari pindah ke pasangan ini."

"Coba minum dengan gaya minuman penuh cinta sama dia." Pran memberi saran.

"Aku mulai menganggapnya serius loh, sekarang." Wai mulai mengaitkan lengannya ke lengan Korn.

"Bagus, aku sudah menganggapmu serius sejak lama." Celetuk Korn santai.

"Oiiiiiii.."

"Tadi sudah Ink rekam kan videonya?" Pran menunjuk ponsel Ink yang sudah dikembalikan ke atas meja.

"Sudah."

"Oke, kirimkan ke aku."

"Hei, hapus, hapus." Korn mulai panik, diikuti oleh gelak tawa dari yang lainnya.

"Hei, meung." Panggil Pran menoleh ke wajah Pat.

"Ya?"

"Aku mau pergi ke satu tempat lagi."

Pat hanya mengangguk menyetujui.

***

Satu tempat lagi yang ingn Pran kunjungi adalah kedai mie yang pernah mereka kunjungi bersama secara tidak sengaja saat kuliah dulu.

"Aku sangat merindukan tempat ini."

"Bukannya kamu selalu memesan tiga pangsit? Kenapa empat kali ini?"

"Aku mau memsan tiga pangsit seperti biasanya, tapi aku tahu ada anjing yang selalu mencuri makananku."

Pat terkekeh. "Nah, itu dia saingan sepanjang hidupku."

SLUUURPPP.

"Mari kita bicarakan tentangmu. Kapan kamu akan berhenti makan dengan sebegitu berisiknya? Aku bisa mendengarnya di Singapore saat kamu menyeruput supnya. Kamu tahu nggak?"

"Dan berapa kali kamu kehilangan earphonemu? Apa kamu masih memiliki earphonenya?"

"Hei, meung. Sialan!" Pran mulai meraba kantong celananya dengan wajah paniknya. Tapi dua detik kemudian ia mengangkat tas berinisial PP dari tangannya ke udara dan mulai terkekeh. "Berhentilah mengingatkanku."

Pat hanya tersenyum melihat kekasihnya mengalungkan tali tas earphone pemberiannya dan melanjutkan makan malammya. "Jadi, apakah kamu akan pulang ke rumah?"

"Tentu, aku akan pulang. Ibuku bilang dia sudah sangat amat merindukanku. Kamu gimana?"

"Aku akan pulang. Aku sudah lama tidak pulang ke rumah."

"Oh iya, aku juga membelikan sebotol minuman untuk Papamu. Berikan padanya untukku, ya?"

"Umm." Pat hanya mengangguk dengan seulas senyum di bibirnya.

"Ayo, makan."

***

Keesokan paginya, Pran dan Pat sudah berdiri di depan gerbang rumah mereka masing-masing. Lagi-lagi mereka harus pura-pura berpisah. Ini melelahkan, tapi sekaligus membahagiakan.

"Mari kita pulang."

"Semoga berhasil, ya, teman."

"Hei, tunggu dulu." Pat berjalan mendekat saat Pran baru saja hendak masuk rumah.

Mereka berdiri di depan tong sampah merah dan kuning yang terletak pada perbatasan rumah mereka berdua.

"Apa?" Tanya Pran dan CUP. Pat mengecup pipinya dengan gemas. "Apaan sih? Papamu mungkin bisa melihatnya."

"Aku membutuhkannya." Ujar Pat santai.

"Apaan sih? Kamu nggak lihat ada CCTV di sini?" Pran yang mulai panik menunjuk kamera CCTV yang terpasang pada tiang listrik di belakang sampah. "Pergi sana, masuk ke rumahmu."

Mmmuah. Mmmuah. Mmmuah.

Pat memberikan beberapa kali kecup jauh dengan tangannya.

"Pergi sana." Pran tidak peduli.

"Bye-bye!" Pat bahkan masih sempat meneriakkan kata selamat tinggalnya ketika keduanya sudah benar-benar siap untuk memasuki pintu gerbang rumah masing-masing.


Bersambung...

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

1.8M 8K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
992K 146K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
86.7K 10.1K 60
"Find it, before somebody got killed." Setiap awal bulan di tahun ajaran pertama, Universitas GMM selalu mengadakan kegiatan untuk mahasiswa baru dan...
15.3K 1.7K 35
[LENGKAP] VOTE-KOMEN WALAUPUN LENGKAP Punya kakak cowok yang sayang banget sama kita, perhatian, selalu ngejagain kita dari apapun emang bahagia. Awa...