BAD BUDDY SERIES (Hanya Teman)

By diadjani

24.7K 1.5K 35

"Kisah tentang dua orang yang tidak pernah bisa menjadi teman, menjadi dua orang yang tidak pernah bisa menja... More

EP.1 | Part 1
EP.1 | Part 2
EP.1 | Part 3
EP.1 | Part 4
EP.2 | Part 1
EP.2 | Part 2
EP.2 | Part 3
EP.2 | Part 4
EP.3 | Part 1
EP.3 | Part 2
EP.3 | Part 3
EP.3 | Part 4
EP.4 | Part 1
EP.4 | Part 2
EP.4 | Part 3
EP.4 | Part 4
EP.5 | Part 1
EP.5 | Part 2
EP.5 | Part 3
EP.5 | Part 4
EP.6 | Part 1
EP.6 | Part 2
EP.6 | Part 3
EP.6 | Part 4
EP.7 | Part 1
EP.7 | Part 2
EP.7 | Part 3
EP.7 | Part 4
EP.8 | Part 1
EP.8 | Part 2
EP.8 | Part 3
EP.8 | Part 4
EP.9 | Part 1
EP.9 | Part 2
EP.9 | Part 3
EP.9 | Part 4
EP.10 | Part 1
EP.10 | Part 2
EP.10 | Part 3
EP.11 | Part 1
EP.11 | Part 2
EP.11 | Part 3
EP.11 | Part 4
EP.12 | Part 1
EP.12 | Part 2
EP.12 | Part 3
EP.12 | Part 4

EP.10 | Part 4

332 21 2
By diadjani

"Ai'Pat!"

Pat dan Pran menoleh ke arah sumber suara yang baru saja berseru dengan begitu lantang. Seseorang yang dijadikan objek candaan benar-benar muncul sekarang. Ayah Pat berjalan mendekat dengan tatapan tajam diikuti sang istri di belakangnya.

"Apa yang terjadi di antara kalian berdua?" Tanya Ayah Pat tanpa basa-basi.

Pat membasahi bibir dengan lidahnya. "Oh... Kami berteman, Pa. Kami hanya berteman. Kami hanya bermain."

"Teman macam apa yang bermain seperti itu?" Ayah Pat tampak tidak puas dengan jawaban putranya. "Hah?! Kapan kau akan berhenti berbohong sama Papa?!"

Pat melirik Ibunya sesaat sebelum menjawab lagi. "Pat tidak berbohong, Pa. Ya... Kami hanya bermain-main saja."

"Apa kau pikir Papa sebegitu bodohnya?" Ayah Pat mendorong dada putranya.

"Om, tolong tenang dulu." Pran menyela di antara Pat dan Ayahnya, tapi Ayah Pat justru mendorongnya hingga terhuyung jatuh ke lantai.

Pat segera memeriksa keadaan Pran yang terduduk di lantai, punggungnya menghantam dinding pembatas. Ia bahkan tidak bisa segera bangkit saat Pat membantunya untuk berdiri.

"Pa, berhenti. Mari kita bicarakan di rumah." Ibu Pat mulai menarik lengan suaminya agar berhenti menyerang Pran. "Pa, tenanglah."

Ayah Pat memalingkan wajahnya dengan keras dan berbalik bersiap meninggalkan kerumunan yang menyaksikan ketegangan yang terjadi.

"Pa!" Pat menghentikan langkah orang tuanya.

"Apa?!!" Ayah Pat berbalik dan kembali menghampiri putranya dengan wajah marah.

"Papa mau tahu kebenarannya, kan?"

Ayah Pat tidak menjawab, ia menunggu putranya menyelesaikan kalimatnya. Kalimat jawaban dari sesuatu yang ia pertanyakan, namun sebenarnya sama sekali tak ingin ia dengarkan.

"Pat dan Pran pacaran."

Pran membelalakkan matanya, tak percaya Pat baru saja mengakui hubungan mereka di depan orang tuanya.

"Pat!" Ibu Pat mengernyit tak percaya dengan apa yang dikatakan putranya.

"Kami berpacaran! Dengan itu?!" Pat menaikkan nada bicaranya.

"Sial! Kau pun tahu cerita antara keluarganya dan keluarga kita bagaimana, Pat." Ayah Pat mendorong bahu bidang putranya dengan geram.

"Pa, Pat tahu. Tapi Pat tahu lebih dari yang Papa ceritakan."

"Apa? Apa yang kamu tahu?"

"Papa mau Pat mengatakannya? Tentang Papa dan Ibunya-"

"Apa yang kau katakan Pat? Hah?!" Belum selesai Pat bicara, Ayahnya sudah menarik kerah bajunya dengan marah.

"Papa. Papa! Pulang ke rumah!" Tegas Ibu Pat menarik lengan suaminya mundur. "Pat, kamu juga pulang!"

Perintah Ibunya begitu jelas terdengar, tapi Pat masih berdiri mematung. Orang-orang yang berkerumun menyaksikan pertengkaran keluarga itu mulai pergi satu per satu. Pat menghampiri Pran dan membantu memungut buah-buahan yang jatuh berserakan.

"Tidak perlu. Pergi selesaikan dengan Ayahmu." Pran menarik Pat berdiri tanpa memandang wajah kekasihnya itu. "Tidak perlu membantuku."

"Apakah kamu baik-baik saja?"

"Kamu harus membereskan semuanya dengan Ayahmu." Pran masih menunduk, tidak melihat wajah Pat.

"Tidak, aku baik-baik saja." Pat meraih tangan Pran ke dalam genggamannya.

"Aku bilang pergilah selesaikan dengan Ayahmu."

"Aku tidak apa-apa." Pat memegang lembut lengan Pran dengan kedua tangannya.

"Aku bilang selesaikan dengan Ayahmu!!" Pran mendorong tubuh Pat ke belakang dan memandang wajah kekasihnya itu dengan marah. "Pergi sana!"

Pat mematung. Pran membentaknya. Ia tak pernah terlihat semarah ini selama Pat mengenalnya. Pat masih ingin bersamanya, tapi yang bisa ia lakukan hanya menuruti keinginan Pran. Ia melangkah dengan gontai menyusul kedua orang tuanya.

Pran mendesah, air mata keluar dari sudut matanya. Ia menyekanya dengan cepat lalu memungut buah-buahan yang berserakan di lantai. Setelah semuanya dibereskan, Pran mendorong troli belanjaan pergi dari sana.

***

Baru saja melangkah memasuki rumah, Ibu Pat meraih lengan anaknya dan bicara.

"Pat, cepat minta maaf sama Papamu sekarang."

"Seharusnya Papa lah yang meminta maaf sama Pat." Jawab Pat tanpa takut.

"Apa yang baru saja kau katakan?!" Ayah Pat melotot dengan marah.

"Papa sudah tahu semua tentang kebohongan yang Papa katakan kepada kami."

"Kapan Papa pernah berbohong kepadamu, Pat?"

"Sebenarnya Papa dan Ibunya Pran dulu pernah berteman, kan?"

"Siapa yang memberitahumu soal ini?"

"Itu tidak penting, Pa. Tapi Papa tidak bisa melampiaskannya kepada Pat loh. Papa dan Ibu Pran tidak berakhir dengan baik, tapi Papa tidak bisa menghentikan Pat untuk bersama dengan Pran."

"Pat? Apa yang kamu katakan?"

"Papa dan Ibunya Pran pernah bersama, kan?" Pat terus bicara tanpa mempedulikan pertanyaan sang Ibu.

Dari rumah sebelah, samar-samar Bang Chai bisa mendengar pertengkaran yang terjadi di rumah tetangga. Ia melihat Pran yang baru saja pulang dan memasuki pintu pagar rumahnya.

"Ibumu ada di dalam. Apakah kamu mau kakak untuk menemanimu?"

Mendengar maksud baik Bang Chai, Pran terdiam sedih. Ia lalu menggeleng dan berkata lemah, "Tidak perlu kak."

"Kalau begitu, tetaplah tenang, oke? Cobalah untuk berbicara baik-baik dengan Ibumu."

"Khrap."

Hanya itu yang Pran katakan sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah setelah Bang Chai menepuk pundaknya dua kali sebagai bahasa ganti mengatakan 'tabah' untuk Pran.

Ibu Pran sudah menunggu di ruang tamu ketika Pran membuka pintu. Sepertinya Ibu Pran pun sudah mendengar pembahasan yang terjadi dalam pertengkaran di rumah tetangga sebelah. Pran baru saja menutup pintu saat Ibunya berbalik melihatnya, tapi Pran hanya melangkah melewatinya dan mulai menaiki tangga.

"Pran." Jelas sang Ibu menghentikan langkahnya. "Apa yang terjadi antara kamu dan tetangga sebelah itu?"

"Tidak ada apa-apa, Bu." Pran menjawab dengan memunggungi Ibunya.

"Pran. Pran jadi akrab dengan mereka, kan?"

Pran berbalik perlahan sebelum menjawab. "Ibu sudah tahu itu. Lalu kenapa Ibu malah bertanya?"

"Pran. Ibu bertanya karena Ibu mau mendengarnya langsung dari mulut Pran. Pran kembali berteman dengan anak tetangga sebelah, kan?"

"Kami tidak berteman." Pran segera bebalik setelah mengatakannya, bersiap untuk naik ke kamarnya.

"Pran. Jangan pergi dari Ibu seperti ini, ya! Kita harus membicarakan persoalan ini."

Pran berusaha mengatur napasnya yang mulai memburu. Ia merasakan air kesedihan dan kemarahan sudah menggenang di pelupuk matanya. Sekali lagi ia berbalik perlahan untuk memandang Ibunya dan mengatakan kenyataan dengan tegas tepat di depan mata Ibunya.

"Kami berpacaran."

"Hei, Pran! Bagaimana bisa hal itu terjadi?"

"Kenapa, Bu? Bukannya semua orang menginginkan kebenarannya? Lalu kenapa sekarang setelah semua orang sudah tahu kebenarannya, tidak ada satupun orang yang bisa menerimanya?"

"Tapi Pran tahu keluarga kita dengan keluarga itu-"

"Tahu. Pran tahu mereka menjijikkan. Mereka adalah penipu. Mereka melakukan ini dan itu kepada kita. Bagaimana bisa Pran tidak tahu itu? Ibu telah menanamkan itu di kepala Pran sejak Pran masih kecil."

"Kalau Pran sudah tahu, kenapa Pran masih melakukannya? Apakah Pran lupa untuk menyelamatkan reputasi Ibu? Hah?!"

"Bu. Bukan kewajiban Pran untuk melakukannya. Ibu dan Ayah Pat pernah bersama dan kalian mengakhirinya. Apakah itu menjadi tugas Pran untuk bertanggung jawab atas perasaan Ibu?"

"Pran. Apa yang kamu bicarakan? Dari mana Pran mendengar semua itu?"

Pran melangkah lebih dekat dengan Ibunya. "Setidaknya, Pran mengatakan yang sebenarnya. Tidak seperti Ibu."

"Pran. Apa Ibu membesarkan Pran agar Pran bisa bicara seperti ini kepada Ibu?"

"Karena Ibu membesarkan Pran seperti itu." Jawab Pran lirih tapi tegas. "Itu sebabnya Pran tidak seperti anak-anak lainnya."

"Pran..."

PLAK!!

Satu tamparan mendarat di pipi Pran. Membuat Pran terdiam sementara Ibunya menunduk dan mulai menangis. Pran menatap mata Ibunya dengan marah.

"Ibu..."

Pran tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Ia membawa barang-barang di tangannya dan segera pergi keluar dari rumah, tidak mempedulikan Ibunya yang berulang kali meneriakkan namanya.

BRAK!!

Suara pintu ditutup dengan keras bersama dengan kepergian Pran, meninggalkan sang Ibu yang menangis tersedu-sedu.

"Ming!!"

Tak membuang waktu lagi, Ibu Pran berjalan dengan setengah berlari menuju rumah seseorang yang namanya baru saja ia serukan.

"Ai'Ming!!" Ibu Pran masuk ke rumah tetangga sebelah tanpa permisi. "Apa yang kau katakan kepada Pran?!"

"Kenapa kau datang kemari?"

Pat menyingkir dari hadapan Ayahnya dan memberi ruang untuk Ibu Pran yang tiba-tiba saja masuk ke dalam rumah mereka dan menghardik Ayahnya. Bersama Ibunya, Pran hanya bisa mendengarkan pertengkaran.

"Memangnya kenapa aku tidak bisa datang kemari saat kau berani-beraninya mencuci otak anakku? Jika kau ingin mengatakannya, bagaimana kalau kau mengatakan semua hal jahat yang kau lakukan?"

"Apa yang Papa saya lakukan?" Pat tidak bisa menahan diri untuk ingin tahu.

Ibu Pran menghela napas dan melirik Ayah Pat sesaat sebelum menjawab. "Ayahmu itu mencuri beasiswaku. Dia adalah alasan kenapa aku tidak bisa lanjut kuliah."

"Hei." Ayah Pat mencoba menginterupsi namun Ibu Pran masih melanjutkan bicara.

"Kau pikir aku tidak tahu, hah? Guru Dang sudah mengatakan kepadaku semuanya, kalau kau membohonginya, kau mengatakan aku tidak mau lanjut kuliah. Jadinya kau bisa menjadi orang yang mengambilnya. Aku bahkan tidak ingin mengingat ini, tapi kau duluan yang ikut campur dengan anakku. Karena itu, tidak ada lagi yang menyembunyikan dan menyelamatkan wajah siapa pun."

"Pa, apakah itu benar?" Pat bertanya lirih, semburat kekecewaan tergambar di matanya.

"Pat." Sang Ibu mencoba menenangkan anaknya.

"Papa?!"

"Kamu bukan satu-satunya orang yang ingin membuat Papanya bangga." Ayah Pat akhirnya bicara.

"Lalu apakah kau begitu bangganya menghancurkan hidup seseorang?"

"Hei, tapi aku membiarkanmu menjalankan bisnis dan mengambil karyawanku. Tidak bisakah kita menyebutnya impas?"

"Impas katamu? Apakah kau benar-benar berpikir itu bisa mengimbangi apa yang kau lakukan? Itu adalah seluruh masa depanku, loh!"

Ayah Pat terdiam. Sementara Pat menggelengkan kepalanya, penyebab pertengkaran dua keluarga ini ternyata bersumber dari Ayahnya sendiri.

"Dan kau tahu apa yang paling menyakitkan bagiku? Yaitu saat kamu memilih untuk melanjutkan bisnis Ayahmu. Jika kamu hanya ingin menjalankan bisnis keluarga seperti ini, kenapa kau harus mengambil beasiswaku?!"

Ayah Pat hanya bisa merunduk, tidak mengatakan apapun.

"Mulai sekarang, jangan menyuruh anakmu untuk membenci orang di rumahku." Pat melihat Ibu Pran berpaling dan memandang wajahnya sekarang. "Karena orang yang paling menjijikkan di sini adalah Papamu."

Ibu Pran melangkah pergi tepat setelah mengatakannya dan menunjuk wajah Ayah Pat.

"Papa. Jika saat Pat harus membenci Pran, untuk selalu bersaing dengannya, itu karena Papa sendiri?" Pat merasakan air kekecewaan mulai menggenang di pelupuk matanya. "Itukah alasannya, Pa?"

Ayah Pat tidak menjawab, ia justru berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Pat dengan air mata yang tumpah membasahi pipinya.

"Papa." Ibu Pat tidak bisa menahan kepergian suaminya.

Sementara itu Pat menjatuhkan dirinya duduk di sofa, sang Ibu segera menghampiri putranya.

"Pat. Saat itu kakekmu memberi begitu banyak tekanan pada Papamu. Dan Papamu masih sangat muda. Kita semua memiliki sesuatu hal yang ingin kita kembalikan dan perbaiki."

"Tapi Papa tidak bisa memperbaiki masa lalunya, jadinya Pat lah yang harus menjadi orang yang menanggungnya, begitu? Astaga, Ma!"

"Pat..."

Kali ini Ibunya tak bisa menahan kepergian putranya.

***

Pran memutuskan untuk kembali ke asrama sebagai tempat paling aman, setidaknya untuk saat ini. Ia sedang memandangi kerlap kerlip lampu kota Bangkok malam dari atas rooftop sambil mengingat kejadian demi kejadian yang dialaminya bersama Pat. Perselisihan orang tua mereka di masa lalu yang berujung pada penanaman kebencian pada mereka.

Pran meraih ponsel dari saku celananya dan menekan tombol nomor telepon seseorang yang paling ia butuhkan saat ini. Tapi tak ada suara yang menjawab dari seberang telepon, melainkan suara derap langkah yang terdengar semakin mendekat dari balik punggung. Pran menoleh dan menemukan Pat menghampirinya. Orang yang paling ia butuhkan telah berdiri di depan mata.

Pran menangis. Pat menangkap tubuh kekasihnya itu dan dipeluknya erat-erat. Pran semakin terisak. Pat membelai lembut pucuk kepala Pran, air mata turut jatuh ke pipinya.

Pran melepas pelukannya. "Aku sudah tidak sanggup lagi."

Pat melingkarkan kedua tangannya ke leher Pran. "Ayo pergi dari sini."

Pran semakin tersedu. Pat lalu menariknya ke dalam pelukan sekali lagi, membiarkan kekasihnya menangis selama yang dia butuhkan.

Bersambung...

Continue Reading

You'll Also Like

77.3K 7.9K 40
Lucu ya kehidupan ini. Aku yang berusaha agar kamu cinta sama aku tapi banyak orang yang menangin hati kamu. Sebenarnya aku yang bodoh atau kamu yang...
GUITALOVA By geet

Fanfiction

258K 24.2K 7
jaemin si mahasiswa apatis tiba-tiba keliatan di birthday party kampus sebelah, ngapain? ⛔NOMIN⛔
21.9K 1.9K 24
First pikir dia tidak akan jatuh cinta pada Khaotung, dan Khaotung pun berpikir demikian.
3.3M 48.2K 31
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...