BAD BUDDY SERIES (Hanya Teman)

Bởi diadjani

24.7K 1.5K 35

"Kisah tentang dua orang yang tidak pernah bisa menjadi teman, menjadi dua orang yang tidak pernah bisa menja... Xem Thêm

EP.1 | Part 1
EP.1 | Part 2
EP.1 | Part 3
EP.1 | Part 4
EP.2 | Part 1
EP.2 | Part 2
EP.2 | Part 3
EP.2 | Part 4
EP.3 | Part 1
EP.3 | Part 2
EP.3 | Part 3
EP.3 | Part 4
EP.4 | Part 1
EP.4 | Part 2
EP.4 | Part 3
EP.4 | Part 4
EP.5 | Part 1
EP.5 | Part 2
EP.5 | Part 3
EP.5 | Part 4
EP.6 | Part 1
EP.6 | Part 2
EP.6 | Part 3
EP.6 | Part 4
EP.7 | Part 1
EP.7 | Part 2
EP.7 | Part 3
EP.7 | Part 4
EP.8 | Part 1
EP.8 | Part 2
EP.8 | Part 3
EP.8 | Part 4
EP.9 | Part 1
EP.9 | Part 2
EP.9 | Part 3
EP.9 | Part 4
EP.10 | Part 1
EP.10 | Part 3
EP.10 | Part 4
EP.11 | Part 1
EP.11 | Part 2
EP.11 | Part 3
EP.11 | Part 4
EP.12 | Part 1
EP.12 | Part 2
EP.12 | Part 3
EP.12 | Part 4

EP.10 | Part 2

250 21 0
Bởi diadjani

Malam hari di asrama, saatnya Pat dan Pha curhat sebelum tidur. Pat duduk bersila di tempat tidur bagian bawah, sementara Pha memeluk bantal ke dadanya di tempat tidur bagian atas.

"Kak, bagaimana kakak tahu seseorang benar-benar menyukai kita, bukan hanya karena itu adalah tugas mereka?"

"Siapa lagi yang kamu bicarakan?" Kali ini Pat sedang mendengarkan curahan hati adiknya di kamar mereka. "Ada seseorang yang sedang mendekatimu, ya?"

"Uh. Entahlah. Pha bahkan tidak tahu apakah Pha sedang didekati atau tidak."

"Kalau begitu gunakan saja empat tandamu itu untuk mengujinya seperti yang pernah kamu katakan kepada kakak. Empat tanda yang kita uji ke Ink itu."

Pha menaikkan alisnya. "Empat tanda?"

"Iya."

"Iya juga, ya. Kak Ink tidak menunjukkan pertanda apapun itu, dan kak Ink tidak menyukai kakak seperti itu. Tanda-tanda itu benar-benar berfungsi."

Pat menyeringai mengingat saat-saat Ink sama sekali tidak menghiraukan perasaannya saat itu.

"Iya, ya. Kalau begitu Pha akan mengujinya." Pha beranjak pergi meninggalkan kakaknya.

"Tunggu! Bagaimana dengan cerita kakak? Ini tentang orang tuamu loh."

***

Setelah perbincangan dengan kakaknya tadi malam, pagi ini Pha benar-benar akan menguji tanda-tanda apakah seseorang memiliki perasaan untuk kita atau tidak. Mereka sedang duduk di atas tikar di area taman samping lapangan kampus.

"Maaf, ya. Pha tiba-tiba menghubungi kakak."

"Tidak apa-apa. Kakak selalu ingin melatih Pha cara menggunakan kamera film, tapi tidak pernah mendapat kesempatan."

"Iya, ya."

"Oke. Pertama, kita buka dulu ini. Lalu tekan ini untuk membuka dan melepasnya." Ink membuka tutup pada satu sisi kamera untuk memasang gulungan film. "Bisakah Pha mengambilkan kakak gulungan film-nya?"

Pha memberikan gulungan film dengan tangannya. Ketika Ink mengambilnya, kulit mereka bersentuhan.

Tanda nomor satu : Saat kalian berdua bersentuhan, respon fisik akan memberi petunjuk.

"Oke, ketika Pha sudah selesai mengambil fotonya, Pha harus memutar yang di sini ini. Nih, lalu Pha bisa melanjutkannya."

"Oke, kha."

"Bisa kita mulai?"

"Tentu." Kamera sudah berada di tangan Pha. "Kalau begitu, Pha mau mengambil beberapa foto mode potret. Bisakah P'Ink menjadi modelnya?"

"Apa kamu yakin?" Ink masih duduk di atas tikar melihat Pha yang sudah bangkir berdiri lebih dulu.

"Iya, ayo."

"Baiklah, kakak berdiri di sini."

Pha mulai merapikan rambut Ink dengan kedua tangannya.

Jika masih belum yakin, mari kita beralih ke tanda nomor dua. Mata tidak bisa berbohong, lihatlah ke dalam matanya.

Pha menatap Ink tepat di matanya. Aksi ini sukses membuatnya mulai tersipu malu.

"Oke, ayo mulai." Ink membuyarkan tatapan itu. "Mundur sedikit."

"Oke, kha." Pha mulai memotret.

Sementara itu di sisi lain taman, Pat dan Wai sedang lari pagi untuk melihat Pha.

"Dimana Nong Pha? Apa kau yakin dia akan berada di sini?"

"Ya, Pat memberi tahuku kalau Pha ada di sini. Jika kau tidak percaya padaku, kita bisa pergi saja." Pran berhenti berlari dan bertolah pinggang.

"1, 2, 3..."

Pran bisa mendengar suara Pha yang familiar di telinganya. "Itu dia."

"Hei. Dia mengambil foto seperti yang dikatakan Pat." Wai sangat bersemangat.

"Bisakah aku pergi sekarang?" Pran sudah siap hendak berbalik tapi Wai menahannya.

"Tunggu, tunggu. Tetaplah bersamaku dulu."

Wai lalu merapikan jaket olahraganya, menghembuskan napas ke tangan dan menghirupnya.

"Kau terlalu berlebihan." Pran berkomentar dengan kedua tangan bersembunyi di balik saku jaket olahraganya.

"Aku siap."

Tepat setelah mengatakannya, Wai berlari kecil menghampiri Pha yang sedang memotret Ink.

"Nong Pha..."

Ink sontak melipat kedua tangannya di dada melihat kehadiran Wai.

"Hei, apa yang kalian lakukan di sini?"

"Oh, kakak lagi jogging bareng." Jelas Wai disambut anggukan oleh Pran di belakangnya. "Kalau Nong Pha?"

"Pha lagi belajar fotografi dengan P'Ink."

"Oh, kakak bisa membantumu juga jika kamu mau." Wai menawarkan diri. "Apakah kamu membutuhkan model?"

"Oh, kami baik-baik saja."

"Dimana? Haruskah kakak berdiri di sini?"

"Baiklah kalau begitu."

"Bagus juga. Jadi kakak bisa mengajari Pha lebih santai." Sahut Ink menghampiri tempat Pha berdiri. "Mari kita mulai. Siapkan modelnya seperti yang pernah kakak katakan."

Saat kalian berdua bersentuhan, respon fisik akan memberi petunjuk.

Kalimat tanda itu terngiang di kepala Pha saat tangannya membenarkan jaket Wai dan kulit mereka tanpa sengaja bersentuhan. Tapi Pha tidak merasakan apa-apa, ia lalu berbalik dan kembali ke samping Ink.

"Apa kita siap?"

"Tentu." Wai mejawab dengan malu-malu.

"Silakan melangkah sedikit maju ke depan." Pha memberikan arahan. "1, 2, 3."

Pha berhenti memotret setelah dua kali jepretan.

"Oke, terima kasih."

"Kalau begitu ayo kita foto-foto di sana." Ink berjalan lebih dulu dan Pha mengikuti di belakangnya.

Di sela langkahnya, Pha menoleh sekali ke belakang dan melihat Wai.

Mata tidak bisa berbohong. Lihatlah ke dalam matanya.

Ketika Pha menemukan matanya, Wai justru melirik ke arah lain dengan salah tingkah. Pha lalu segera mengejar langkah Ink ke sisi lain taman.

"Kau sangat ekspresif juga, ya." Pran muncul dari belakang.

Wai menarik bahu Pran ke dalam rangkulannya dan berbisik. "Aku ingin tahu apakah adik itu berkencan dengan seseorang."

"Kau tanya saja sama dia sana."

"Bukankah itu terlalu berlebihan?"

Pran menghela napas dan mulai berteriak. "Pha, kenapa tidak meminta pacarnya Pha saja untuk menjadi modelnya, Pha?"

"Kenapa?" Bukannya Pha, justru Ink yang merespon lebih dulu. "Apa temannya Pran mau mendekati adikku?" Ink melingkarkan lengannya ke bahu Pha.

"Ya ampun, tidak. Kami hanya bertanya saja." Wai mulai terbata-bata. "Umm. Kakak punya urusan lain yang harus dilakukan. Kami akan pergi sekarang. Oh iya, kasih tahu kakak juga setelah kamu memcuci filmnya. Kakak ingin melihatnya."

"Oh, tentu saja." Jawab Pha sopan. "Terima kasih dan sampai jumpa."

"Sampai ketemu lagi." Pran pun pamit.

"Sampai jumpa, Pran." Ink melambaikan tangan ke arah Pran.

"Hei, kenapa kau menyerah begitu mudahnya?" Pran segera menepuk punggung Wai ketika mereka sudah berbalik dan mulai melangkah pergi.

"Apa kau ingat ketika Pat berkata kalau Pha sedang dekat dengan seseorang?"

"Umm." Pran mengangguk.

"Menurutku itu Ink."

Mereka berdua menoleh ke arah Ink dan Pha sejenak sebelum melanjutkan percakapan.

"Bagaimana kau tahu?" Tanya Pran kemudian.

"Ohh. Lihatlah mata pembunuh yang dia berikan padaku. Pat dulu selalu menatapku dengan tatapan yang sama setiap kali aku bersamamu."

Wai dan Pran menoleh sekali lagi ke arah Ink, dan gadis itu memberikan tatapan yang baru saja digambarkan oleh Wai. Keduanya lalu mengernyit.

"Hei, sepertinya aku baru saja patah hati. Traktir aku minum dong." Wai menjatuhkan kepalanya ke pundah Pran yang lebih tinggi darinya.

"Ohh.. Ya ampun, tak apa, tak apa." Pran menepuk-nepuk pipi Wai menenangkan sahabatnya yang meringkuk sedih. "Oi, jangan menangis. Lupakan gadis itu. Yuk, yuk, yuk."

Wai berjalan dengan gontai, tubuhnya terasa lunglai.

"O. O. Oh. Jangan mati dulu." Pran menarik Wai kembali dalam rangkulannya agar pemuda itu bisa berjalan dengan benar. "Kau bereaksi berlebihan." Pran kemudian terbahak-bahak.

***

"Jadi apa jawabanmu?" Ink menembak Pha dengan pertanyaan yang sedari tadi mengganggu pikirannya.

"Ya?" Pha balik bertanya, tidak mengerti maksudnya.

"Soal pacarmu. Sudah punya atau belum?"

Pha tersenyum manis dan menjawab. "Belum, kha. Tapi Pha punya seseorang yang Pha suka."

"Kakak ingin tahu, siapa itu?"

"Haruskah kita pergi berfoto ke sebelah sana?" Pha mengalihkan topik pembicaraan.

"Tentu, ayo pergi." Ink tidak memaksa.

***

"Prof. Profesor sudah mengenal Papa saya sejak di Universitas, kan? Bisakah saya bertanya sesuatu?" Pat menghadap Profesor Pichai untuk memulai penyelidikan tentang sumber masalah yang membuat keluarganya dan keluarga Pran saling membenci sampai ke tulang dan daging.

Sang dosen mengangguk sambil membubuhkan tanda tangan di atas makalah.

"Apa konflik antara Papa saya dan tetangga sebelah rumahnya?"

"Ya, persoalan bisnis lah, Bapak rasa."

"Bisnis? Itu saja? Apakah Profesor yakin tidak ada yang lain?"

"Ya, sepertinya tidak ada. Tapi saat di sekolah bahkan mereka sepertinya tidak pernah ada konflik apa-apa."

"Sekolah? Jadi Papa dan tetangga sebelah rumah itu dulunya pernah bersekolah di sekolah yang sama?"

"Iya."

"Kenapa Papa tidak pernah memberitahu saya apapun soal ini, ya?"

"Profesor tidak akan mencampuri urusan siapapun. Kamu bisa pergi sekarang."

"Profesor, tolonglah. Ceritakan lebih banyak kepada saya." Pat memohon. "Bagaimana ceritanya?"

"Jika kau ingin tahu, tanyakan saja pada Ayahmu sana."

"Ayolah, Prof." Pat masih berusaha dengan memohon.

"Ah, berikan saya teleponmu. Saya akan meneleponkan Ayahmu untukmu."

"Terima kasih." Pat nyengir dan segera berhambur keluar ruangan.

***

Sesampainya di rumah, Pat segera melaporkan hasil pembicaraannya dengan Profesor Pichai tadi di kampus melalui sambungan telepon.

"Hah? Kamu salah dengar nggak, sih? Ayahku dan Papamu dulu pernah berteman?"

[Iya. Profesor mengatakannya sendiri.]

"Tapi sejauh yang kuingat, Ayahku bersekolah di sekolah Internasional. Dan Ibuku sekolah di sekitaran sini." Pran menarik kursi belajar dan mulai membuka laci meja kerja sang Ayah.

[Mereka mungkin saja membohongimu. Mereka tidak ingin kamu tahu kalau mereka saling mengenal.]

"Terus kamu tahu dari mana kalau Papamu tidak membohongimu?"

[Ya, karena Papaku benar-benar lulus dari sekolah yang sama dengan kita. Aku sudah melihat ijazahnya. Kamu temukan punya Ayahmu.]

"Iya, aku tahu. Aku sedang mencarinya sekarang. Kalau mau cepat ketemu, kenapa kau tidak datang saja untuk membantuku mencarinya? Orang tuaku tidak ada di rumah." Tantang Pran.

[Jangan tantang aku. Kita mungkin akan melakukan sesuatu hal yang lain sebagai gantinya.]

"Melakukan apa?"

Tidak ada jawaban.

"Halo?"

Masih tidak ada jawaban.

"Halo, Ai'Pat?!"

Pran pergi ke jendela dan mengintip rumah sebelah dari balik tirai.

"Pat? Halo?"

"Melakukan ini!!" Pat mendekap erat tubuh kekasihnya dari belakang.

"Apa yang kamu lakukan." Pran memukuli lengan Pat yang melingkari perutnya.

"Kan sudah kubilang, jangan menantangku."

"Brengsek, lepasin."

Pran berusaha melepaskan diri dan Pat pun menurutinya. Pat terkekeh melihat wajah panik Pran yang justru terlihat imut.

"Bantu aku menemukannya sebelum orang tuaku kembali."

"Di mana aku harus mencarinya?"

"Di sana, tuh. Bisakah kamu meelihatnya?"

"Oke." Pat segera menghampiri rak dengan empat susuk berisi buku-buku.

"Tapi aku rasa, jika kita bisa menemukan bukti ini, kita akan tahu apa sebenarnya penyebab mereka bertengkar." Pran memeriksa berkas-berkas di dalam laci meja kerja Ayahnya.

Pat mengangguk dan segera menyusuri setiap rak di depannya. Ia menemukan sebuah buku kuning yang merupakan rapor sekolah Pran. Pat membuka dan menemukan foto Pran kecil yang membuatnya terkekeh.

"Kamu lagi ngapain?"

"Ketemu. Buku Siswa Parakul. Dia adalah anak yang serius dan pekerja keras. Tapi dia tidak punya banyak teman."

"Kembalikan." Pran yang sudah berdiri di belakang Pat yang sedang jongkok merebut buku kuning itu dari tangan Pat. "Atau kamu bisa pulang saja sana." Pran memukul kepala Pat dengan buku siswa di tangannya. "Tetap cari sana."

"Oke, oke. Aku akan berhenti bercanda."

Pran selesai menyusuri laci meja kerja, sekarang ia berpindah ke sisi kanan Pat dan membuka lemari pada rak bagian paling bawah sebelah kanan. Pat sudah selesai menyusuri lemari bagian kiri, sekarang ia berpindah ke tengah. Tinggal dua lemari itu yang tersisa belum diperiksa.

Pat menemukan selembar kertas sertifikat dari dalam kotak abu-abu di dalamnya.

Sekolah Menengah Prasertslip

Sertifikat Untuk Kontestan Ratu Kecantikan, 1994

"Hei, kamu pernah mengikuti Kontes Ratu Kecantikan juga, ya?"

"Kamu masih mau bercanda?" Pran bertolak pinggang.

"Aku sedang tidak bercanda, ini loh." Mereka berdiri berdampingan sekarang, sama-sama melihat sertifikat Kontes Ratu Kecantikan tahun 1994 di tangan Pat.

"Jika bukan milikmu, lalu milik siapa?"

"Kontestan Ratu Kecantikan 1994." Pran membaca ulang tulisan yang tertera pada sertifikat itu, ia mengambilnya dari tangan Pat. "Atau mungkin ini milik Ibuku?"

"Jadi, Papaku dan Ibumu pernah bersekolah di sekolah yang sama?"

CEKLEK.

Suara pintu rumah terbuka. Ayah dan Ibu Pran sudah pulang.

"Sial! Ayah Ibuku pulang." Ujar Pran.

"Apa yang akan kita lakukan?" Pat mulai panik.

"Kembalikan semua barnag-barangnya lah."

Keduanya lalu bergegas membereskan dokumen-dokumen yang tercecer keluar dari tempat asalnya.

"Di mana kamu menemukan ini?" Pran mengembalikan buku siswanya ke tangan Pat. "Cepatlah."

Setelah semua sudah tersusun rapi ke tempat semula, Pran segera mengantarkan Pat pulang melalui jendela kamarnya.

"Kenapa kamu cuma berdiri diam? Pergi sana."

Pat segera melompat turun melalui jendela kamar Pran dan menimbulkan suara gedebam pelan.

"Pelan-pelan!" Pran berbisik sambil meletakkan jari telunjuknya di bibir. "Kita hampir ketahuan."

"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? Haruskah kita bertanya langsung saja pada mereka?"

"Jika merka ingin memberi tahu kita, mereka sudah melakukannya bertahun-tahun yang lalu." Kata Pran lemah. "Jika kita benar-benar ingin mengetahuinya, hanya ada satu cara yang tersisa. Tapi sekarang, kamu harus kembali ke rumahmu dulu."

"Ikutlah denganku."

"Tidak mau. Pergi sana."


Bersambung...

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

2.1K 222 15
Bepergian ke game Danmei yang baru saja Anda selesaikan, dan dapatkan sistem jari emas. Yun Chuchu yakin ini adalah rute Dianjialong Aotian! Menjadi...
223K 9.5K 23
Rakasta alexander adalah seorang ceo tampan yang berumur 23 tahun, Rakasta memilki wajah tampan yang setiap kali para wanita tertarik kepadanya tetap...
15.3K 1.7K 35
[LENGKAP] VOTE-KOMEN WALAUPUN LENGKAP Punya kakak cowok yang sayang banget sama kita, perhatian, selalu ngejagain kita dari apapun emang bahagia. Awa...
77.3K 7.9K 40
Lucu ya kehidupan ini. Aku yang berusaha agar kamu cinta sama aku tapi banyak orang yang menangin hati kamu. Sebenarnya aku yang bodoh atau kamu yang...