With Luv, Ana [TAMAT]

By leefe_

288K 45.8K 18.2K

TAMAT & PART MASIH LENGKAP Lelah bertahun-tahun sekolah, ujung-ujungnya pencapaian dibandingkan dengan anak t... More

With Luv, Ana
P R O L O G
Part 1 | Suramness
Part 2 | Kerja, Kerja, Tipes
Part 3 | Rhodeo 'Berewok' Algavian
Part 4 | Bukan Perusahaan Nenek Moyang
Part 5 | Mampus to the Bone
Part 6 | Investopedia
Part 7 | Jurik
Part 8 | Lima Meter Apart
Part 9 | Investasi Itu Buat Apa?
Part 10 | Capek Batin
Part 11 | Gema Sentimen
Part 12 | Tutankhamun
Part 13 | Skema Pertanggungjawaban
Part 14 | Ngarepmology
Part 15 | Love-Life Balance
Part 16 | No Actions, Talk Only
Part 17 | Lukacita
Part 18 | Beautifool
Part 19 | Sirius dalam Elegi
Part 20 | Song of Despair
Part 21 | The Art of Broken Heart
Part 22 | Hari-maumu
Part 23 | Memanusiakan Manusia, Bukan Mendewakan Manusia
Part 24 | Ana Bondowoso
Part 25 | Sinner
Part 26 | Seni Membunuh Tanpa Menyentuh
Part 27 | Abyss
Part 28 | 50 Shades of Lie
Part 29 | Rasa Sakit Itu Membuat Kamu Hidup
Part 30 | Akankah Semuanya Lebih Baik Jika Aku Bicara?
Part 31 | Yang Mengerti Diriku Hanyalah Aku
Part 32 | Now or Never
Part 34 - END | Forevermore
E P I L O G

Part 33 | Live Your Own Happiness

6.8K 1.2K 965
By leefe_

Kita bisa berjalan setelah berkali-kali jatuh. Kita bisa naik sepeda setelah berkali-kali jatuh. Lalu, kita pergi ke sekolah dan diajarkan supaya tidak jatuh. Yang jatuh berarti bodoh. Kita pergi ke dunia orang dewasa dan dilarang jatuh juga. Yang jatuh berarti gagal. Padahal jatuh hanyalah bagian dari fase menuju satu tujuan akhir: bisa.

_______________________________________














DAFTAR hal-hal yang bisa Ana kendalikan dan tidak bisa dikendalikan, yakni dikendalikan: lama main medsos, inventarisasi waktu luang, dan cara mengurus perasaan sendiri yang ambyar. Tidak bisa dikendalikan dan wajib dimasabodohkan: kelakuan orang lain, keputusan orang lain, dan bacotannya Satria.

"Ada yang tega tapi bukan Glenn Fredly. Ada yang jahat tapi bukan setan. Ada yang menghilang tapi bukan jin. Ada yang baru patah hati tapi bukan gue." Satria mengucapkannya selancar intensi julidnya. Tak berhenti di sana, ia juga memutar lagu dari ponsel lalu teriak-teriak bernyanyi, "Kumenangis membayangkan betapa kejamnya si Deo atas diriku."

Topeng kalem Ana rontok. Ia melempar sendok dan menggetok Satria tepat di jidat.

"Hadeh." Erangan tobat Arfan berbarengan dengan jeritan Satria. Ana cengengesan. "Dek, itu seblaknya di makan. Satria, lo juga. Ngomong sambil makan, mau gue lakban?"

Ahihihi... karma instan. Ana pura-pura menunduk sembari terkikik diam-diam. Omelan Arfan lanjut menguliahi Satria. Ia menekuri kembali catatannya.




Langkah menyelesaikan urusan dengan diri sendiri: satu, kenali diri lebih jauh.




"Dek, sini biar Abang aja. Kamu kan perempuan, jangan angkat yang berat-berat."

Arfan menghentikan gerakan membungkuk Ana. Selesai makan siang, mereka sama-sama ke garasi untuk melihat paket yang teronggok di sana. Besarnya ukuran paket mendorong kakaknya turun tangan.

Ana menegakkan punggung. Matanya melotot. "Emang kenapa perempuan angkat yang berat-berat?" Dipikir cuma laki-laki yang bisa? Dih! "Enggak usah! Aku bisa sendiri!"

Menepis bantuan abangnya, Ana mengerahkan segenap tenaga dalam mengusung paketnya ke ruang bersantai di lantai dua. Satu, dua, tiga... hiya, berat.

Ia mencoba lagi. Kali ini dari sudut yang berbeda. Woi, ini paket atau gajah, sih? Isinya cuma jaket dan hoodie, beratnya bukan main.

"Kan, udah Abang bilangin." Arfan berkacak pinggang. Ngeyel, sih, jadi susah sendiri. "Maafin Abang kalau nada bicara Abang barusan terkesan ngeremehin kamu. Tapi beneran enggak gitu maksudnya, Ana. Abang murni nawarin bantuan. Laki-laki itu dikasih kelebihan fisik, makanya lebih kuat angkat-angkat beginian. Kamu enggak perlu benci itu dengan berusaha buktiin sebaliknya. You also have excessive that I don't have."

Dalam satu gerakan simpel, Arfan memanggul beban hidup Ana semudah mengangkat gorengan. Bobotnya seakan bukan halangan langkah cepat Arfan. Ana cemberut.

Iya, sih, kakaknya benar. Ana ingin mandiri, tetapi bukan berarti melampaui batasnya. Hal-hal yang sanggup ia tanggung, apa yang membuatnya terluka, mau jadi apa dirinya, kelebihannya, kekurangannya... harus ditelaah lagi. Rangkul semuanya dalam upaya mengenali diri sendiri. Tujuannya adalah menjadi manusia independen, bukan robot independen.

Ada kata "manusia"-nya, maka berlakulah selayaknya manusia pada umumnya. Manusia yang punya kelebihan dan kekurangan serta tidak memaksakan diri melewati batasannya.



Langkah kedua, self acceptance.




"Jualan kayak gini untung berapa, sih, An?"

Mata Satria meneliti boks packing yang baru dilapisi plastik hitam. Arfan bagian quality control, Ana mengemas, sedangkan Satria finishing. Kerja rodi dengan upah traktiran makan malam, Satria jadi penasaran laba yang adiknya peroleh.

"Enggak banyak, Bang. Per barang empat puluh ribu karena aku ngambil jumlah grosir. Tapi belum fixed karena entar dipotong biaya admin Sellaza," terang Ana singkat.

Bibir Satria langsung mencebik. Lah, kirain berapa. "Capek-capek ngurusin kebawelan pembeli, bungkusin paket rapi... cuih! Duit yang didapet masih kalah dari uang lemburan gue!"

"Iya, iya, aku mah kentank kalau dibandingin sama Bang Sat," rengut Ana. Tangannya masih sibuk membungkus pesanan sembari pura-pura menangis. Dasar abang julid! "Hiks, tanpa uang ayah, aku emang miskin. Kerja keras begini, rekeningku tetep enggak segendut Abang. Makanya, Bang Satria sama Bang Arfan kudu ngasih aku jatah lima ratus juta sebulan, dong. Wahai orang kaya, berbagilah pada kentank ini."

Tangan Arfan dan Satria serentak mengibas. Mata mereka melotot dengan seruan kompak. "Najong! Cari duit sendirilah!"

Awokwokwok, kicep.

Ana tertawa tertahan. Suruh siapa mengatainya miskin. Giliran sudah diiyakan malah tidak mau tahu. Ia jadi menyayangkan mengapa waktu itu tidak menjawab begini saja ya saat diejek miskin? Eh, Ana malah balik menantang semiliar setahun. Menyusahkan diri sendiri.

Perkara kodrat sumur, dapur, kasur juga Ana hanya perlu menempeleng mereka. Diskusi dan komunikasi lebih manjur untuk menyelesaikan masalah. Sayangnya, saat itu Ana masih menganggap kekurangannya sebagai aib sehingga langsung bantai orang yang menyinggungnya.

"Ini lagi cari duit, Bang. Yah, aku emang masih miskin dibandingin sama kalian, tapi enggak selamanya, kok," ujar Ana kalem. Jaket yang lolos sortiran Arfan ditatanya dalam boks. "Soal semiliar setahun, karena aku udah janji... aku juga bakal penuhin. Don't worry. Kalian cukup lihatin aja, enggak perlu komentarin prosesku, hehehe."

Kekurangan Ana bukanlah aib. Standar orang lain bukan standarnya. Ekspektasi orang lain juga bukan ekspektasinya. Jadi, berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Manusia melewati rintangan yang berbeda-beda, starting point yang berbeda, struggles yang berbeda, privilese yang berbeda, maka garis finisnya pun nanti beda.

Not everything applies to anyone. People should start with their own definition of success and achievements. Pengertian mapan menurut Ana dan abangnya juga tak sama. Maka, tidak perlu minder ketika mereka mengumbar pencapaian mereka.

She's doing great with her efforts. Sejauh ini sudah keren kok, jadi berdamailah dengan apa yang ia miliki.



Langkah ketiga, stabil secara mental.




Rabu siang ketika matahari sedang terik-teriknya, Ana ngadem di resto bersama Sia cs. Jam istirahat kantor meramaikan tempat itu sehingga mereka tidak kebagian kursi dan terpaksa bergabung dengan meja orang-orang HRD Verizon.

Ana baru memesan makanan ketika Lila tiba-tiba menyinggung, "Ini Ana, junior akuntan yang waktu itu saya ceritain. Penampilannya enggak sesuai sama performanya, kan?"

Dear lampir, gue belum makan. Lo udah pengin makan gue aja. Ana tersenyum canggung saat orang-orang di seberang meja menyapanya.

"Halo, Ana. Nice to have you here. Gimana kesan kamu selama di Verizon? Enggak ada masalah, kan?"

Sikap Mas-mas HRD ini tetap formal, meski barusan diprovokasi Lila. Karakter medio tiga puluhan mereka pun memunculkan sikap hormat Ana.

"Senang juga bertemu kembali. Saya ingat dulu Bapak yang meng-interview saya." Impresif. Mereka dulu pernah memujinya demikian kala Ana diminta menceritakan alasan mengapa Verizon harus menerimanya. "Sejauh ini, bekerja di Verizon sesuai dengan skill saya, Pak. Meski masih ada beberapa hal yang perlu saya tingkatkan dan beradaptasi lagi, performa saya bisa Bapak amati sendiri. Semuanya sesuai dengan apa yang saya janjikan di interview. Jika menurut Bapak kualitas pekerjaan saya masih kurang memuaskan juga, Bapak bisa memecat saya atau mengecek ulang kontak referensi saya di nama yang terdapat dalam CV. Terima kasih sudah bertanya, Pak."

Tanggap tanpa mengedepankan emosi. Sopan sekaligus mengunggulkan objektivitas. Ana sudah berjanji takkan termakan omongan jelek orang lain, jadi tinggal laksanakan.

Jika ia menyukai sesuatu, ya katakan suka. Lemah ya akui saja lemah, kan bukan wonder woman. Tidak sempurna ya wajar, kan bukan Tuhan. Sedih ya nangis, jangan sok-sokan kuat. Dizalimi ya jangan sabar-sabar melulu. Sesekali lawan balik kek supaya penjahatnya tahu diri.

Bila kekesalannya terhadap dunia terasa memuncak, jangan cuma pasrah. Sekali-kali jujurlah dengan berteriak, "Jancoook! Wong lia ae uripe iso uwu-uwu, ngopo uripku kok uwasu!" dari atap gedung.

Sayangi mentalnya. Berhenti cosplay jadi robot yang tak punya titik terendah. Selalu dan selalu prioritaskan diri sendiri, baru setelah itu orang lain. Itu bukan bentuk keegoisan kok.

Manusia memang tanggung jawab utamanya terhadap diri sendiri. Mati pun nanti yang ditanya jelas dosanya, bukan dosa orang lain. Maka, perasaan dan kebahagiaan orang lain bukanlah tanggung jawabnya.

Get used to it. Don't try to change them, but change you. Be your better self.




Langkah keempat, stabil secara finansial.




Cottage bergaya coastal merupakan spot bersantai favorit Ana di rumah ayahnya di Menteng. Ruangan dengan jendela besar yang mengarah langsung ke kolam renang biru mampu menciptakan suasana khas pantai yang menenangkan.

Sambil tiduran di sofa empuk, ia biasanya menggulir-gulir layar ponsel. Jempolnya mengetik kalimat promosi sekalian menyimak berita terkini dari warganet.

"Wuidih, iPon baru udah rilis. Memorinya sampai satu terabyte," gumam Ana membaca-baca cuitan netizen.

Ada yang berkomentar harganya sangat tak berperikemiskinan, minta diskon sembilan puluh persen, belinya nunggu malam Jumat dulu buat ngepet, atau pamer langsung beli.

Ana manggut-manggut. "Emm... ponsel gue masih bagus, tapi model iPon ini selera gue banget, deh. Beli enggak, ya?"

Profit hasil usahanya memang boleh dikatakan mampu untuk jajan gadget. Setelah dua bulan ini toko WithLuvAna viral di media sosial, penjualannya melonjak drastis. Closing bulan lalu bahkan mencapai angka 1,1 miliar rupiah.



Ditambah Ana menganut semboyan "product is king, marketing is queen", pelanggan setia pun berduyun-duyun mendatangi tokonya. Jadi begitu orderan mengalir seperti air hujan, Ana langsung mempekerjakan orang untuk membantunya menghandel usaha.

Kini, ia bisa tetap bekerja di Verizon, freelance di Picstock, menyalurkan bakat desainnya, juga pelan-pelan nyemplung ke investasi saham. Cuan everywhere and everytime.

"Uh, tapi itu bukan berarti lo bisa semena-mena sama duit, Na." Nyarinya setengah mati, menghabiskannya setengah sadar. Ana merenungkan kembali keputusannya. "Ponsel gue belum ada setahun umurnya. Masih bisa dipake. Terus apa tujuan gue beli iPon coba?"

Untuk barang tersebut, apakah ia punya uang untuk membeli dua? Jika tidak punya, artinya termasuk kategori barang yang tidak mampu ia beli alias hanya nafsu sesaat. Terus jika mampu, ia sebenarnya butuh tidak?

Cengiran Ana terbit. He-he, akhirnya ia tahu jawabannya! Ajaran Deo memang top markotop dalam membantunya menimbang keputusan.

Mendadak saja, senyum Ana lenyap. Ia spontan bangkit dari tidur-tidurannya.

Sebentar. Kenapa jadi mikir Deo, sih? Ini sudah masuk bulan ketiga dari pertemuan terakhir mereka. Laki-laki itu nyaman bersama dunianya. Tidak sepatutnya Ana mengungkit-ungkitnya lagi.

"Haish! Berhenti inget si Berewok. Gue harus fokus sama urusan diri sendiri dulu. Kelarin semuanya, stabilin segala hal, baru abis itu masukkin orang lain ke dalam kisah gue." Tangan Ana mengetuk-ngetuk keningnya, mengingatkan lagi dan lagi. "Lo harus bahagia sama diri sendiri dulu ya, Na. Pokoknya jangan ulangin kebegoan lo kayak pas sama Radean. Lo cakep, punya duit, bisa masak, enggak suka bersandar sama mimpi orang lain... siapa yang mau sia-siain lo coba? Enggak usah khawatir soal pendamping hidup sekarang."

Memang tidak semua orang punya pacar, tapi semua orang punya jodoh. Jung-kook dan Ji Chang-wook saja masih available, kenapa Ana mesti memusingkan satu lelaki?

"Bener. Udah berewokan, enggak percayaan, sinis, kalah ganteng dari Jungkook... ngapain dipikirin?" Ana berjalan ke luar cottage. Melewati area kolam renang, salon, tempat gym, teras belakang, ia mendumal sendiri. Langkahnya terarah menuju pintu yang membawanya ke ruang makan baroque style. Lurus memburu lift, ia menghentikan laju kakinya.

"Iya, sih, jeleknya Deo emang banyak. Tapi dia juga perhatian, masakannya enak, loyal, suka mendadak ngasih surprise pas gue lagi badmood, selalu nanya dulu gue pengin apa bukannya langsung mutusin sendirian, dan laki-laki yang jelas punya tujuan."

Ia tercenung lama. "Di belahan bumi mana lagi gue nemu orang seberkualitas itu? Bang Arfan aja suka ngelarang macem-macem, tapi Deo justru bimbing gue selama nyoba hal-hal penuh risiko."

Kepala Ana sudah penuh dengan hal-hal rumit. Dunianya, apalagi. Ia butuh seseorang yang mampu mengimbanginya. Ana tipe yang terlalu perasa, Deo tipe logis realistis. Hobi Ana kadang sambat, Deo suka menampolnya agar lekas keluar dari zona yang tidak diinginkan.

His character is a proof that he isn't an angel. Bertahun-tahun hidup keras di Jakarta telah membentuk karakter sinisnya. Yang begitu saja masih dijahati setan macam Radean, apalagi terlalu ramah coba? Deo memang mengesankan dirinya tak mudah tersentuh, namun setelah mengenalnya akan berbeda lagi kesannya. Lelaki itu tulus dengan caranya sendiri.

"Ruang bersantai ada di sayap timur?"

Lamunan Ana terbelah. Suara tersebut tidak bernada tinggi maupun rendah, tetapi menyengat kesadarannya setengah mati. Ana tersentak kemudian menoleh ke balik pundak.

"Saya sudah ada janji dengan Pak Zeyhan." Sosok itu menyapa dengan senyum tipis. Dua lesung pipit kecil di sudut bibirnya mengambyarkan akal sehat Ana. "Asisten beliau bilang akan menjemput saya di depan, tapi saya benci menunggu. Kata penjaga, saya tinggal naik lift ini, cuma saya buta arah. Bisa tolong antarkan?"

Ya Tuhan, iki malaikat kang planet ndi yo? Walah, mata gembel Ana terpesona.

Dengan jas hitam, celana hitam, tubuh tinggi, rambut yang ditata sedemikian rupa hingga memperlihatkan keningnya, rahang tegas, dan tatapan lembut... Ana seketika tergagap.

"Oh... eh, iya. Bisa." Ia berusaha menormalkan ekspresinya sembari mempersilakan sosok itu mengikuti langkahnya. Lift serasa berjalan lambat. Dunia seperti berkonspirasi menjebaknya sekian sekon lebih lama dengan laki-laki ini.

"Terima kasih banyak, Ana." Anggukan ramah diimbuhi senyum ekstra manis mengakhiri jerih payah Ana. Laki-laki itu melambai singkat sebelum masuk ke pintu yang setengah terbuka dengan terlebih dahulu mengetuknya.

Desahan kagum Ana terurai. Tampang oke, attitude oke, sikap jempolan... cakep sekali tamu ayahnya ini. Lumayan untuk asupan nutrisi jiwa jomlonya.

Ana bersiap melanjutkan langkah ketika suara ramah Zeyhan Malik mengudara. "Ah, silakan duduk, Deo. Kopi atau teh?"

Sempat loading lama, Ana mematung tak percaya. Ayahnya bilang siapa?

"Teh saja, Pak Zeyhan. Terima kasih."

Ana makin cengo. Anjir, itu betulan Deo? Demi langit dan bumi, kok beda sekali waktu berewok sapu ijuknya dicukur? Bikin pangling.

Rada merinding sekaligus penasaran, tubuhnya lekas ditempelkan ke dinding. Ana memberi isyarat pada pramuwisma yang baru membuatkan minuman agar mengabaikannya. Percakapan ayahnya dengan sang tamu masih berlangsung. Mereka berbasa-basi sejenak soal cuaca, lalu masuk ke pembicaraan utama.

"Kenapa Pak Zeyhan menjadi investor di El!te Indonesia? Karena Arfan atau hal lain?" Ekspresi Deo penuh senyum, namun tersirat kehati-hatian dalam setiap patah kata yang ia haturkan. "Saya pikir Anda tertarik dengan proposal yang saya ajukan tapi setelah menelaah lebih jauh, rasanya sangat janggal."

Tawa renyah Zeyhan Malik menanggapi.

"Deo, Deo... kamu terlalu merendah." Analisis yang konyol. Sejak Deo mengontak asistennya tiga bulan yang lalu, Zeyhan Malik sebenarnya tahu apa yang ingin dibicarakan partnernya ini. "Saya pragmatis, tidak mungkin semurah hati itu. Hanya karena anak saya? Ck! Kamu pikir berapa banyak orang yang tidak mengetahui Rhodeo Algavian sebagai salah satu key person kesuksesan Verizon? Saya tidak bodoh, Deo."

Teorema kejayaan suatu usaha erat kaitannya dengan orang-orang penting di dalamnya. Rahasia semacam ini bukan hal baru lagi di dunia bisnis. Jika tidak bisa merekrutnya, lebih baik amati saja pergerakannya.

"Begitukah?"

"Ya." Zeyhan Malik mengangkat cangkir tehnya. "Saya bisa dibilang mengawasi kamu semenjak dekat dengan Arfan. Sepak terjang kamu, latar belakang kamu... saya tahu semuanya. Orang lain mungkin menyebut kamu gegabah karena memilih berbisnis tekstil di Indonesia yang mana persaingan pasarnya sulit karena didominasi oleh produk Tiongkok dan India, tapi saya mengenal kamu. Itulah alasan saya berinvestasi di El!te."

Berikan kail, maka ia akan membawakan ikan untuknya. Pertumbuhan perusahaan Deo tecermin dari imbal hasil tinggi yang diterima para investornya.

Mata Deo menyipit saat mencerna satu hal. "Anda mengawasi saya? Berarti Anda juga tahu apa yang menimpa Ana?"

"Tentu. Kamu pikir siapa yang mem-back up kamu setelah peristiwa itu?" Zeyhan Malik melenggut. Bahasa tubuhnya merileks saat mereka bersitatap. "Waktu itu, beritanya sangat heboh, kan? Saya memberi gencetan yang luar biasa pada media. Tekanan dari dua sisi terang saja memberikan hasil sesuai ekspektasi saya. Sayangnya, itu saja belum cukup."

"Apa maksud Anda?" Kebingungan memancar dari Deo. Desain kontemporer ruang bersantai ini lama-kelamaan terasa mencekik. Pola geometris pada elemen dekorasi tampaknya selaras dengan pemiliknya yang gemar berteka-teki. "Bukankah orang-orang itu hanya dipenjara? Itu pun tidak lebih dari formalitas untuk meredam kemarahan publik."

"Penjara? Hah! Kamu pikir dikurung di jeruji besi sudah cukup bagi keparat yang berani menyentuh anak saya?" Senyum miring memoles kemisteriusan Zeyhan Malik. Teka-tekinya tak berlangsung lama karena di detik selanjutnya, penjelasan yang memuat tindakan "ikut campur" dibeberkan panjang lebar.

Ganjaran bagi para bajingan yang berniat buruk pada Ana dilakukan secara rapi. Ada satu perusahaan yang menjadi mitra bisnisnya. Pengelolanya masih berstatus keluarga salah satu pelaku pelecehan Ana. Zeyhan Malik menggunakan tangan orang lain untuk menyuntik dana besar ke perusahaan A, kemudian menariknya secara mendadak dan mengubah kesepakatan mengenai aturan pengembalian.

Saat perusahaan mulai limbung, serangan ditambah dengan membesarkan berita di semua media nasional tentang kasus narkoba. Akibatnya, harga saham perusahaan tersebut pun terjun bebas.

Di lain pihak, Zeyhan Malik juga menyuruh kaki tangannya untuk menggulingkan kontainer bahan baku perusahaan B ke laut di tengah perjalanan, kemudian baru diantarkan ke tujuan. Alibi sempurna agar pihak perusahaan B tak bisa protes karena alasan sudah rusak dari sananya. Kerugian dalam jumlah besar tentu mengguncang perusahaan tersebut sejadi-jadinya.

Imbasnya bukan hanya satu orang, melainkan satu keluarga bahkan tujuh turunan. Begitulah konsep "campur tangan" ala Zeyhan Malik.

Sendi-sendi di tubuh Deo mendadak kaku saat ayah Ana menceritakan sekilas tentang kedekatan beliau dengan pihak penguasa di Singapura dan Indonesia. The power of money sungguh nyata adanya.

"Anda tadi berkata telah mengutus orang untuk mengawasi Ana. Mengapa Anda tidak menyuruh mereka memberi pelajaran secara langsung?" tanya Deo. Teringat dosanya, ia juga bertanya-tanya mengapa Zeyhan Malik terkesan membiarkan.

"Pelajaran langsung? Bukankah itu artinya saya menyingkap semuanya sebelum waktunya?" That's a big no. Ayah tiga anak itu tertawa. "Ah, saya benci mengotori tangan saya, Deo. Kamu pikir kenapa saya membiarkan Ana berkeliaran di Indonesia dengan lima pengawal bayangan yang tetap bergeming saat Ana disakiti, bahkan kamu pelakunya? Semua itu usaha saya dalam menghancurkan idealis dan kenaifan Ana."

Sudut bibir Deo berkedut. "Idealis?"

"Kamu pasti tahu apa yang saya maksudkan." Lelaki setengah baya itu menggeleng geli. Disuruh kerja di Axon tidak mau, malah repot-repot bekerja di kantor orang. "Persamaan new beginner di mana-mana selalu satu: idealis. Ketiga anak saya lulusan kampus ternama, pintar, dan baik. Tapi mereka idealis. Memegang teguh prinsip dan lebih suka hidup susah asal punya harga diri. Enggan cekcok, saya biarkan saja mereka mengalami sendiri kerasnya dunia luar. Ana meminta saya tidak mengenalinya di luar rumah, saya menurutinya."

Deo mengamini dalam hati. Ya, idealis dan kenaifan Ana memang sempat membuatnya darah tinggi. Sudah punya privilese sebagus ini, masih saja mengesot dari nol. Hadeh.

Zeyhan Malik menangkap raut frustrasi Deo. Ia menahan tawa. "Akan saya kisahkan satu hal yang menarik. Ini terjadi persis sebelum Arfan mengenal kamu."

Aib Arfan kemudian mengalir bak air bah. Idealisme sempat membuat Zeyhan Malik fobia menekan Arfan berkecimpung di sesuatu yang tidak sesuai keinginannya.

Saat remaja, Arfan pernah dipasrahi mengelola kebun sawit. Ada beberapa warga sekitar perkebunan yang sering mengambil sawit tanpa izin atau aparat setempat yang rutin menodong uang "keamanan".

Arfan yang notabene "lurus" pun otomatis melarang warga mencuri dan menolak tegas memberikan uang keamanan karena merasa itu praktik korupsi.

"Hukum harus ditegakkan, Yah, biar enggak semakin parah." Begitu ujarnya.

Arfan ingin melakukan perubahan sehingga dibuatlah tuntutan bagi warga yang berani mengambil sesuatu di teritorinya. Akibatnya, terjadilah aksi bakar-bakaran perkebunan yang dipelopori warga setempat dan aparat pura-pura tidak tahu.

Zeyhan Malik menepuk jidat, lantas tertawa. "Padahal tidak usah terlalu idealis. Toh, profit perusahaan juga tidak akan berkurang drastis jika memberi," gelengnya. "Tapi akhirnya saya bisa bernapas lega. Sejak berteman dengan kamu, idealisme Arfan tidak sekental dulu. Deo, inilah alasan saya membiarkan kamu dekat dengan anak-anak saya. Saya membutuhkan keberadaan kamu untuk mengguncang idealisme mereka."

Udara seakan digedor dari paru-paru Deo. Tanggapan Zeyhan Malik sungguh di luar perkiraannya. "Meski saya melukai Ana?"

"Sudah saya katakan jika saya mendidik anak-anak saya sebagai manusia, Deo." Tak tersirat sedikit pun kemarahan dari wajah Zeyhan Malik yang penuh senyum. "Itu bukan masalah. Mereka harus merasakan menjadi manusia seutuhnya. Dikhianati, disakiti... pada kadar yang tepat. Tugas saya hanyalah mengawasi kadar itu sendiri. Well, saya orang tua. Bukan keputusan yang bijak jika saya selalu melindungi putra-putri saya. Mereka wajib bisa menguasai medan pertempuran sendiri sebab saya tidak selamanya ada di sisi mereka."

Beliau tahu Deo telah menyakiti Ana dengan cara yang paling buruk. Hal itu pulalah yang mendasari kepulangan abang dan ayah Ana ke Jakarta tiga bulan lalu dan bolak-balik ke Indonesia sampai sekarang.

"Apakah pendapat Pak Zeyhan masih sama jika saya katakan... saya menginginkan Ana sebagai pasangan saya?"

Dari balik dinding, Ana tertohok. Telinganya kembali terpasang tatkala Deo mengoper tanya. What the... dia cari mati?

Selera humor ayah Ana langsung terjengkang. "Menginginkan putri saya? Memangnya apa yang bisa kamu tawarkan?"

Woo... bentar. Gue butuh jongkok sebelum pingsan. Aduh, Lord Berewok abis cukur berewok kok rada gemblung gini?

Ana meraba-raba lantai. Astaganaga, manuver diskusi macam apa itu?

"Saya anti-miskin, Pak Zeyhan." Jawaban Deo datang dengan ketenangan terlatih. Kening ayah Ana sukses mengerut. "Anda pasti paham masa lalu saya. Ayah saya nelayan, ibu saya sudah meninggal. Dengan mata kepala saya sendiri, saya menjadi saksi bagaimana kemiskinan nyaris merenggut nyawa adik saya. Merantau ke Jakarta dan ditipu teman baik, saya putus sekolah sebelum ditangkap satpol PP ketika mengamen di jalan. Mereka memasukkan saya ke panti asuhan, lalu menyuruh saya lanjut sekolah lagi."

Senyum asimetris Deo mengetat. Aliran darahnya bergolak kala kelebatan sejarah kelamnya membayang. Menyesakkan.

"Tapi saya keras kepala. Saya sekolah sekalian mencari nafkah. Guru-guru berkata saya istimewa sehingga lompat kelas berkali-kali dan berhasil memperoleh beasiswa studi ke Cambridge." Lalu, bertemu Ana di Chatscape.

Sorot mata Deo melembut. "Saya laki-laki yang tahu tujuan saya. Kemiskinan bukan salah satunya. Pak Zeyhan juga memulai dari bawah, kan? Bapak jelas berusaha sekuat tenaga agar anak-anak Bapak tidak mengalami hal serupa. Maka, saya pun demikian. Tujuan saya menikah bukan untuk mencari kebahagiaan melalui pasangan, melainkan membahagiakan pasangan saya. Membahagiakan Ana."

"Memang ada bedanya?" timpal Zeyhan Malik muram.

Mata Deo melekuk membentuk sabit saat tawanya terumbar pelan. "Sangat berbeda." Ia belajar banyak dari hubungannya dan Vivian. Fundamental relationship harusnya bukan tentang keegoisan. "Jika saya mencari kebahagiaan dengan berpasangan, artinya saya menaruh ekspektasi pasangan saya akan selalu membuat saya bahagia, padahal kehidupan penuh dengan pasang-surut. Tidak bisa selalu bahagia, apalagi tertawa terus-menerus.

"Ekspektasi itulah yang kemudian menimbulkan saling tuntut kebahagiaan; siapa yang paling lemah akan makin tertindas, yang lebih dulu meminta maaf akan semakin menderita, yang suka mengancam akan merasa paling hebat karena selalu berhasil."

Seperti dia tidak begitu saja nantinya. Zeyhan Malik mencemooh. "Dan kamu tidak?"

"Tidak." Balasan Deo meluncur tanpa keraguan. "Saya mengatakan ini bukan untuk meminta izin menikahi Ana besok. Saya akan menunggu sampai kami berdua sama-sama siap. Hal yang ingin saya beri tahu Pak Zeyhan sekarang adalah...."

Melalui jendela kaca yang membentang, cahaya pagi menyorot ketulusan di mata Deo. Tangan lelaki itu terkepal. "Saya tidak yakin ada laki-laki yang bisa membahagiakan Ana. Saya tidak yakin ada laki-laki yang rela mengepak isi lemarinya tengah malam demi menjaga Ana. Saya tidak yakin ada laki-laki yang mau rutin bangun pagi-pagi buta demi browsing resep makanan enak untuk membuatkan Ana sarapan.

"Saya tidak yakin ada laki-laki yang ikhlas mengantar Ana berkencan dengan orang lain, padahal hatinya sakit sekali. Saya tidak yakin ada laki-laki yang sigap berlari seperti orang kesurupan saat tahu Ana mengirim pesan SOS. Saya tidak yakin ada laki-laki yang mati-matian melawan traumanya demi meminta Ana pada ayahnya seperti ini. Jadi..." sudut bibir Deo terangkat membentuk senyuman tulus, "karena saya tidak yakin, biarkan saya memastikannya sendiri... seumur hidup saya."

Pemberani bukanlah orang yang tidak merasa takut sama sekali, melainkan orang yang berjalan dengan rasa takut itu sendiri. Deo menyadarinya di detik Ana pergi dari hadapannya.

Ketakutannya terhadap pengkhianatan, dibohongi, ditinggalkan, terasa bukan apa-apa. Rasa takut menjalani hidup penuh kesendirian, tanpa Ana, selamanya menjadi orang luar bagi Ana, itu jauh lebih mengerikan.

Tersua keheningan yang panjang hingga Zeyhan Malik berkata, "Wow, kalimat persuasi yang bagus! Tidak heran kamu menjadi key person kesuksesan Verizon." Orang tua lain mungkin akan menitikkan air mata haru mengetahui anaknya dicintai sedalam ini, namun tidak dengan ayah Ana.

Beliau justru tertawa sinis. "Saya tekankan sekali lagi, Deo. Saya pragmatis. Kata dan janji-janji hanyalah omong kosong di mata saya. Tidak ada gunanya. Manusia berubah secepat kilat. Apa yang bisa menjamin kata-kata kamu tidak akan berubah suatu saat nanti? Saya perlu sesuatu yang lebih dari itu."

Pandangan Deo seketika menajam. "Lalu, apa yang Anda inginkan?"

Kali ini Zeyhan Malik menyeringai licik. "Akuisisi El!te Indonesia. Biarkan Axon Group yang kepemilikan saham terbesarnya adalah Tessa Ariananda menaungi perusahaan kamu. Resign dari jabatan CEO, lalu jadilah kamu tangan kanan saya. Baru setelah itu, saya akan pertimbangkan kamu menjadi bagian hidup Ana."

Dengan kata lain, Deo akan mengulangi sejarah seperti saat dirinya menjadi kacung Danu Killian Samosir. Bisa ditendang sewaktu-waktu, orang lain menyedot kemampuannya seperti lintah, dan membuangnya bak sampah jika dirinya tak lagi berguna.

Deo membatu. Bagaimana mungkin ia mau memilih jalan itu lagi?















_._._._._





To Be Continued







Kamu punya trauma dimanfaatin habis-habisan sama orang lain, bangun segala sesuatunya sendiri, bertekad jijay dimanfaatin lagi, nanggung semua kesulitan sendiri, usaha pakai tangan sendiri... lalu, suatu hari orang lain minta hasil usahamu seluruhnya.



Menurutmu, kamu mau?




Jadi, apa kira-kira jawaban Deo?















Vote kalau suka.
Share cerita inI kalau menurutmu asyik dibaca.
Terima kasih.









Ditulis oleh :
Wattpad : leefe_
• Instagram : by.leefe

Continue Reading

You'll Also Like

864K 75.7K 24
Rumi seorang manajer di sebuah restoran Prancis bernama Prada, sama seperti nama pemiliknya. Gadis kaku dan tak peka yang menjunjung tinggi kerpofesi...
1M 47.3K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
157K 24.2K 45
Bestari punya banyak keinginan, yang hampir seluruhnya sudah tercapai. Keinginan Bestari yang terakhir sekaligus yang paling penting, tinggal satu;...
167K 20.9K 38
[Pemenang Watty Awards 2022 kategori New Adult] "People often forget that you'll always reap what you sow. " • • • • • • • • • • Kisah Pertama dari F...