BAD BUDDY SERIES (Hanya Teman)

By diadjani

24.7K 1.5K 35

"Kisah tentang dua orang yang tidak pernah bisa menjadi teman, menjadi dua orang yang tidak pernah bisa menja... More

EP.1 | Part 1
EP.1 | Part 2
EP.1 | Part 3
EP.1 | Part 4
EP.2 | Part 1
EP.2 | Part 2
EP.2 | Part 3
EP.2 | Part 4
EP.3 | Part 1
EP.3 | Part 2
EP.3 | Part 3
EP.3 | Part 4
EP.4 | Part 1
EP.4 | Part 2
EP.4 | Part 3
EP.4 | Part 4
EP.5 | Part 1
EP.5 | Part 2
EP.5 | Part 3
EP.5 | Part 4
EP.6 | Part 1
EP.6 | Part 2
EP.6 | Part 3
EP.6 | Part 4
EP.7 | Part 2
EP.7 | Part 3
EP.7 | Part 4
EP.8 | Part 1
EP.8 | Part 2
EP.8 | Part 3
EP.8 | Part 4
EP.9 | Part 1
EP.9 | Part 2
EP.9 | Part 3
EP.9 | Part 4
EP.10 | Part 1
EP.10 | Part 2
EP.10 | Part 3
EP.10 | Part 4
EP.11 | Part 1
EP.11 | Part 2
EP.11 | Part 3
EP.11 | Part 4
EP.12 | Part 1
EP.12 | Part 2
EP.12 | Part 3
EP.12 | Part 4

EP.7 | Part 1

450 32 0
By diadjani

Memasuki tahun kedua, Pat mendapatkan hadiah mobil Toyota CHR berwarna merah dari Ayahnya. Hari ini adalah hari pertamanya mengendarai mobil sendiri ke kampus. Melenggang santai memasuki mobil baru, Pat segera meletakkan tas kuliahnya dan mengangkat ponsel untuk melakukan selfie. Ia lalu mengirimkan fotonya di bangku kemudi itu untuk Pran.

Pat : Mau duduk di kursi penumpang mobil barunya kakak nggak, sayang?

Uhuk! Uhuk!

Pran hampir tersedak ketika membuka pesan dengan foto selfie dari Pat saat sarapan. Ia segera meraih segelas air mineral dan menelan beberapa tegukan.

"Ada apa, Pran?" Ibu bertanya.

"Ini panas, bu." Jawab Pran beralasan. Ia meneguk segelas air ditangannya sekali lagi sebelum menepuk-nepuk dadanya.

"Ibu sudah menyuruhmu untuk meniupnya terlebih dahulu. Jangan terburu-buru saat makan." Ujar Ibu menasehatinya dengan sayang. "Udang ini sangat segar."

"Ayah sepertinya mau satu lagi," kata Ayah menimpali.

"Boleh, Ibu membuat banyak."

Selagi kedua orang tuanya berbincang sambil menikmati sarapan pagi, Pran diam-diam memotret ayahnya untuk membalas Line Pat.

Pran : Bagaimana kalau kakak bertanya kepada supirku dulu, kak?

Pat sedang tersenyum membaca balasan dari Pran ketika pintu mobil terbuka. Pha muncul dengan penampilan yang sangat berbeda, ia melepas kacamatanya, serta kuncir kuda yang biasanya ia kenakan.

"Tutupnya pelan-pelan." Kata Pat setelah adiknya masuk dan duduk di sebelahnya.

"Apa?"

"Jangan tinggalkan goresan di mobil kakak."

"Astaga! Kakak terlalu terobsesi dengan mobil kakak. Sangat menyenangkan menjadi seorang putra. Kamu selalu mendapatkan segalanya lebih dulu." Penampilan Pha boleh berubah, tapi caranya mengomeli kakaknya masih sama.

"Ayolah. Kamu anak kuliahan sekarang. Menurut kakak, sebaiknya kamu berhenti menjadi tukang ngeluh!"

"Apa yang kakak bicarakan? Trus tadi kakak chattingan sama siapa? Mana, biar aku lihat." Pha mulai menggoda kakaknya.

"Tidak ada." Pat menepuk tangan adiknya yang hendak mengambil ponselnya. "Dan kapan kamu melihat itu?"

"Aku melihatnya dalam perjalanan ke mobil."

"Tidak ada, mari kita bicarakan tentangmu. Tidak mau lagi pakai kacamata?" Pha mengangguk dengan memasang senyum genit di wajahnya. "Memakai contact lens juga sekarang?"

"Um."

"Menurut kakak nih, ya. Segerombolan cowok-cowok akan mengantre hanya untuk mendekatimu. Bersiaplah untuk menangani itu."

"Apa? Kakak pun juga memakai lensa kontak. Berapa banyak cowok yang mendekatimu?"

"Tidak. Kakak baru saja melakukan lasik."

"Tunggu sampai Pha seusia kakak dan Pha akan melakukannya juga."

"Jangan menyentuh itu, kamu membuatnya basah." Pat tidak menghiraukan kata-kata adiknya, ia justru memperhatikan mobil barunya. Pha terus menggosokkan tagannya ke bagian yang Pat maksud untuk menggoda kakaknya. "Pha....!"

***

"Pran."

Pran sedang asik dengan ponselnya sampai-sampai tidak bisa mendengar panggilan Ibunya di meja makan.

"Pran."

"Khrap."

"Kamu lagi chatting sama siapa?" Sang Ibu mulai curiga melihat tingkah anaknya yang tidak seperti biasanya. "Kenapa kamu harus senyum-senyum juga?"

"Cuma teman, bu."

"Teman? Kamu menjawabnya seperti seorang bintang di TV." Sang Ayah menyahut. "Kamu seorang mahasiswa tahun kedua sekarang. Kami tidak keberatan jika kamu berkencan. Saat Ayah masih di tahun kedua, Ayah mengirimi Ibumu pesan-pesan genit sepanjang malam."

Pran tak bisa berhenti senyum mendengar cerita Ayahnya.

"Hentikan itu," sang Ibu mulai malu-malu.

"Ya, itu benar." Kata Ayah Pran bersemangat.

"Terus, itu kamu lagi chatting dengan teman fakultasmu? Apakah itu seseorang yang Ibu kenal?"

"Kami benar-benar cuma berteman." Pran mulai terkekeh.

"Cuma teman?" Ayahnya mulai menggoda.

"Iya..." Pran mulai tersipu.

"Terus kenapa kamu memerah?" Ayah Pran terus menggoda putranya.

"Tidak memerah, Ayah. Kami benar-benar cuma berteman. Tidak ada apa-apa."

"Kami tidak seperti orang tua di drama TV. Kami tidak perlu memeriksa siapa yang kamu kencani, nak. Kencan saja dengan siapapun yang kamu mau. Ibu serius. Kita sudah memasuki era baru, benar kan Ayah?"

"Bu, tunggu sebentar. Bagaimana jika putra kita membawa seorang pria pulang?"

"Ya, terus kenapa Ayah? Itu pacarnya, bukan pacar kita. Jika kamu senang bersama orang itu, silakan saja, nak. Ibu serius."

Pran tak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia tak menyangka akan mendengar ini dari orang tuanya.

"Tapi Ibu hanya punya satu permintaan." Ternyata Ibunya belum selesai bicara. "Tolong jangan sama anak tetangga."

Senyum Pran sirna seketika. Sandungan inilah yang selalu ia takutkan jika terus berhubungan dengan Pat. Orang tua mereka saling membenci. Bagaimana bisa ia menjalani hubungan yang sudah pasti akan berakhir?

"Makan yang banyak, nak." Pran hanya mengangguk mendengar kata-kata Ibunya.

***

"Saya mau kalian lebih fokus lagi. Saya melihat banyak dari kalian meninggalkan kertas kalian di meja setelah kelas selesai."

Drrrrt. Drrrrt. Ponsel Pran bergetar di tengah-tengah Dosen menjelaskan saat mata kuliah umum.

Pat : Apakah aku imut?

Pat mengirimkan foto dirinya yang penuh dengan sticker hati. Pran melirik pemuda yang duduk di barisan sebelah sedang menyunggingkan senyum miringnya. Ia lalu membalas dengan sticker muntah. Pran baru saja akan melanjutkan menyimak pelajaran ketika ponselnya bergetar lagi.

Pat : Yah, baiklah. Siapa yang bisa lebih imut dari orang ini?

Pran melihat ke arah Pat lagi, pemuda itu kemudian meunjuk dengan matanya ke arah screen projektor di depan kelas.

"Wuihhh.."

Seisi kelas mulai riuh melihat foto yang terpampang di layar projektor. Itu adalah foto dirinya! Pran sedang tersenyum menunjukkan lesung pipinya.

"Foto siapa ini?" Bu Dosen menunjuk foto dengan caption 'Lesung pipi yang imut'. "Siapa pria 'lesung pipi imut' ini?"

Pran sangat ingin menyembunyikan dirinya, tapi postur tubuhnya terlalu besar untuk tenggelam di bawah meja. Pat mulai tergelak di tempat duduknya. Sementara Pran mau tak mau mulai mengangkat tangannya ke udara.

"Kamu?" Bu Dosen melihat ke arah Pran.

"Khrap." Pran hanya bisa mengangguk.

"Lesung pipi yang imut? Mana? Coba tunjukkan senyummu, lesung pipi."

Pran mulai mengembangkan senyumnya dengan terpaksa.

"Iya. Kamu benar-benar memiliki lesung pipi yang sangat imut." Dosen itu sekarang tersenyum kepada Pran yang merasa sangat malu. Seluruh kelas bahkan mulai menyorakinya saat Bu Dosen mengirimkan mini heart dengan tangannya untuk Pran.

"Terima kasih." Pran berkata sangat pelan nyaris tidak terdengar dengan menangkupkan kedua tangannya.

"Baiklah, mari kita kembali ke pelajaran kita. Tolong perhatikan."

Pran melirik ke arah Pat yang meletakkan telunjuknya di pipi untuk menggoda Pran dari jauh.

***

Pha sedang menyusuri koridor fakultasnya mencari soft lens yang terjatuh. Seseorang menabraknya hingga terduduk.

"Maafkan saya." Kata orang itu sambil lalu, Pha hanya bisa mengangguk dan meneruskan kegiatannya mencari soft lens.

"Tolong hati-hati. Jangan injak kontak lensa saya." Kata Pha sopan saat sepasang sepatu mulai berjalan mendekat ke arahnya.

"Kamu mungkin perlu membiarkannya saja hilang."

Samar-samar Pha seperti mengenal sosok yang merunduk di hadapannya. Ia lalu bangkit berdiri dan melihatnya lebih dekat, "Kak Ink!"

"Ya, ini kakak. Loh, mahasiswa baru bukankah seharusnya berkumpul di bundaran? Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Benar. Tapi Pha tidak tahu jalan mana yang harus Pha lewati. Petanya membuat Pha bingung. Dan sekarang kontak lensa Pha hilang."

"Mana coba biar kakak lihat." Ink mendekat ke layar ponsel milik Pha dan membantu membaca peta yang tertera di sana.

"Pha tidak tahu di mana."

"Astaga. Peta ini bukan yang terbaru."

"Lalu bagaiman caranya Pha bisa sampai di sana."

"Ya sudah, kakak akan mengantarmu." Ink mengulurkan tangannya pada Pha. "Ayo."

"Terima kasih," dengan senang hati Pha menerima uluran tangan Ink. Keduanya lalu mulai melangkah pergi menuju ke bundaran. "Benar-benar hari yang buruk."

"Kamu terlihat jauh lebih cantik." Ink baru menyadari penampilan Pha telah berubah. "Wah ini versi baru Pha, ya."

"Terima kasih atas pujiannya. Ya, karena Pha anak kuliahan sekarang. Jadi Pha melakukan sedikit perubahan."

"Jadi bagaimana kehidupanmu sebagai anak kuliahan? Apakah kamu siap untuk menjadi liar?"

"Pha sangat siap. Siap yang benar-benar sangat siap."

"Hemm, nakal yaa..."

"Dikiiiit, hehe." Adik Pat memberikan senyum centilnya. "Jadi, apa yang harus Pha lakukan dalam upacara penyambutan?"

***

Di ruang pertunjukan gedung Arsitektur, seorang angkatan senior sedang memberikan pengarahan tentang pementasan drama.

"Sudah merupakan tradisi tahunan bagi Fakultas Arsitektur untuk mengadakan pementasan drama untuk mengumpulkan uang bagi fakultas kita. Dan sutradara drama tahun ini adalah..."

"Adalah..." para mahasiswa Arsitektur yang duduk di bangku penonton menyahut.

"Aku!" Kak Toto menunjuk dirinya sendiri dengan penuh semangat. "Beri aku tepuk tangan yang meriah. Tepuk tanganmu!"

Pran dan Wai yang duduk berdampingan tertawa melihat tingkah seniornya, tapi tetap ikut memberikan tepuk tangan yang meriah.

"Dan tema drama kita untuk tahun ini adalah 'Drama Periode'. Ini adalah kisah cinta yang semua orang pasti tahu. Kita akan menampilkan Kwan & Riam, alias The Scar."

"Ohoooo." Sorak sorai mulai terdengar di bangku penonton.

"Lawas banget," kata Pran menggaruk-garuk kepalanya.

"Aku pikir kita akan melakukan sesuatu yang baru tahun ini." Bisik Wai menanggapi komentar Pran.

"Benar-benar lawas." Pran mentertawakannya.

"Kalian terlihat kecewa. Apa kalian pikir ini akan jadi biasa-biasa saja? Ini tuh drama Arsitektur. Ini harus istimewa. Aku akan membuatnya lebih modern dengan mengubah pemeran utama wanita, si Riam, menjadi seorang pria. Mari kita buat ini mejadi drama BL." Kali ini para mahasiswa di bangku penonton mulai manggut-manggut. "Tepuk tangan yang meriah dong!"

BL = Boys Love.

"Keren. Kita akan memiliki versi BL dari Kwan & Riam." Safe yang duduk di bangku belakang Pran mulai berbisik ke depan. "Menurutku ini akan benar-benar menjadi epik."

"Sial. Tapi menurutku, kita benar-benar dapat merencanakan FanMeet setelah ini selesai." Louis mulai berapi-api.

"Kau seius?" Pran menimpali.

"Kalian semua, bisa mendaftar ke Ice untuk posisi yang kalian ingin lakukan. Silakan Ice, catat nama mereka." Suara Kak Toto terdengar dari arah panggung.

"Hei, Kak Toto memintaku untuk menjadi kepala tim produksi suara. Mau bergabung denganku, nggak?" Wai memberi tawaran untuk Pran.

"Tidak mau, "jawabnya singkat.

"Hmm. Aku paham. Menjadi aktor pasti jauh lebih keren."

"Bukan begitu. Sudah kubilang kalau Kontes Musik Freshy adalah acara terakhirku."

"Ayolah, sob. Yang terakhir kalinya." Wai berusaha membujuk.

"Ah, tidak. Tidak lagi. Tanya orang lain. Aku akan mengurus latar belakang." Pran lalu setengah memutar tubuhnya ke belakang. "Eh, kalian mau bantu membuat latar belakang nggak?"

"Membosankan. Ada yang lain nggak?" Sahut Safe.

"Apa yang mau kau lakukan?" Tanya Pran.

"Bergabunglah dengan tim suaraku." Wai menimpali.

"Suara? Apakah ada tugas yang kerjaannya cuma tidur-tiduran saja? Louis dan aku siap untuk melakukan itu."

Pran dan Wai hanya bisa mengerucutkan bibirnya mendengar celoteh Safe.

***

Malam hari di asrama, Pha sedang melakukan video call dengan orang tuanya. Maklum, malam ini adalah malam pertamanya menginap di asrama sebagai mahasiswa universitas.

"Berbagi kamar dengan kakak tidak terlalu buruk, Ma. Jadi, Pha di sisi sini. Dan kakak ada di sisi itu." Pha mengarahkan layar ponselnya pada Pat yang sedang berbaring di kasurnya dan melambaikan tangan pada orang tuanya di panggilan video. "Pha bisa hidup dengannya, Ma. Jangan khawatir.

"Oke," sahut sang Mama. "Pat, Papamu mau bicara denganmu juga."

"Oke." Pha kemudian memberikan ponselnya pada kakaknya. "Kak, Papa mau bicara denganmu juga."

"Wadee, Pa." Sapa Pat sopan.

"Pat. Uji coba Rugby untuk tim universitas sudah terlaksana belum?"

"Kata mereka uji cobanya minggu depan, Pa. Tapi Pat pikir Pat akan memainkan sesuatu yang lain tahun ini. Pat sudah bergabung dengan tim fakultas tahun lalu."

"Rugby adalah olahraga paling keren. Tetaplah dengan itu. Dapatkan gelar MVP untuk dirimu sendiri. Jangan rusak reputasi Papa, paham nggak?"

"Paham."

"Oh iya, sekalian pulanglah. Makanan di rumah gratis lho. Kembalilah dan makan bersama kami ketika kalian punya waktu. Kalian sudah menghilang semua."

"Iya. Pha, kamu dengar apa yang Papa katakan?"

"Apa?" Sahut Pha.

"Papa menyuruh kita untuk makan di rumah sesekali saat tidak sibuk."

"Tentu."

"Pat akan membawa Pha bersama Pat juga. Bye-bye." Pat melambaikan tangannya sambil tersenyum hingga matanya menyipit.

"Bye-bye." Terdengar suara sang Mama dari seberang telepon.

"Ucapkan sampai jumpa pada Papa." Pat mengembalikan ponsel adiknya.

"Sampai jumpa, Papa." Pha segera memutus panggilan video. "Kak, kenapa kakak tidak memberitahu Papa langsung kalau kakak tidak ingin bermain Rugby lagi?"

"Bukannya kakak tidak mau, kakak cuma malas."

"Oh iya, kak. Di fakultas Pha, kakak mentornya memberikan makanan ringan kepada adik mentor mereka. Sekarang Pha harus menebak siapa kakak mentor Pha. Masalahnya adalah, Pha tidak bisa menebaknya. Pha tidak tahu dari tulisan tangannya, apakah dia perempuan atau laki-laki. Kakak bantu Pha mencari tahu dong."

Pat menggerakkan jari telunjuknya agar Pha memberikan kertas catatan dari kakak mentornya pada Pat. Ia segera membaca tulisan tangan itu.

Nikmati cemilannya ya :)

"Ini pasti laki-laki." Pat berkata sangat yakin.

"Bagaimana kamu tahu?"

"Ini adalah kertas catatan berkualitas bagus. Eh," Pat menempelkan kertas itu ke hidungnya dan mengendusnya. "Baunya juga enak. Coba lihat apa yang kamu dapatkan." Pat merebahkan setengah badan bagian atasnya ke kasur Pha.

"Cupcake." Pha menunjukkan sebungkus cupcake berwarna biru muda.

"Owww, kamu juga mendapatkan beberapa berlian."

"Lebay!"

"Berlian palsu."

"Betul."

Kakak beradik itu sedang memandangi cupcake dengan beberapa hiasan berlian di atasnya.

"Tapi kakak sudah pernah makan kue dari toko ini sebelumnya. Ini sangat mahal. Menurut kakak, ya. Dia pasti lagi mendekati Pha."

"Permisi ya, kak. Beraninya kakak memberikan saran tentang pendekatan? Pha bahkan belum pernah melihat kakak berhasil mendekati seorangpun."

"Nan. Seorang pemandu sorak dari kelas 8." Pat meletakkan jari telunjuk dan jempolnya yang terbuka ke dagu dan mengedipkan mata bangga.

"Oh, orang yang menipu kakak untuk membeli itemnya di game online itu? Ohhh..."

Pat menepuk lutut adiknya. Pha lalu balas memukul kakaknya dengan bantal.

"Ih, sakit."

"Kembalilah ke zona kakak sana." Pha mulai mengusir kakaknya.

Di tempat tidur masing-masing, Pha sedang memandangi kertas catatan dari kakak mentornya. Sementara Pat membaca pesan Line di ponselnya. Melihat senyum mengembang di bibir kakaknya, Pha penasaran.

"Siapa yang mengirimi kakak chat?"

"Cuma teman, kakak akan segera kembal, ya." jawab Pat cepat lalu bangkit berdiri dan membuka lemari pakaian. Disemprotkannya pewangi ke badannya dan segera pergi meninggalkan kamar.

"Kakak mau pergi ke mana?"

"Anak-anak tidak boleh tahu."

***

Tok. Tok. Tok. Tok.

Pat mengetuk pintu orang yang tadi mengiriminya pesan Line. Tidak lama setelah pintu diketuk, pemilik kamar muncul.

"Apakah benar seseorang di ruangan ini mengirimi saya pesan yang mengatakan, 'aku sangat kesepian, bisakah kamu datang?'"

*Di Thailand, kalimat ini seperti kode untuk melakukan aktivitas seksual.

"Kalau begitu anda pasti datang ke ruangan yang salah. Aku hanya bertanya apakah kamu sibuk atau tidak."

"Ya, tergantung pada apa yang kamu minta untuk aku lakukan."

Pran membawa Pat masuk ke kamarnya untuk mengetahui apa keinginannya, Pat pun mengikutinya.

"Kamu tahu cara mengganti cartridge printer nggak? Tintanya tidak keluar dengan baik. Aku terlalu malas untuk pergi ke toko servis." Pran bicara sambil melipat kedua tangannya di dada.

Pat menoleh ke arah printer sejenak sebelum balik bertanya. "Kamu memintaku datang hanya untuk hal ini? Kamu tidak membutuhkanku untuk ini."

Pran maju selangkah, agar bisa berbicara lebih dekat dengan wajah Pat. "Tapi aku ingin kamu melakukannya untukku. Bisa nggak?"

Sial. Pran bicara dengan nada sangat manis. Mana mungkin Pat menolaknya.

"Tentu saja." Pat membalas dengan nada yang lembut.

Mereka saling bertatapan sesaat sebelum Pat mulai memeriksa tinta printernya.

"Kamu beruntung, cartridge printer untuk model ini dapat diganti dengan mudah. Kamu tidak perlu membawanya ke toko servis." Pat lalu membuka penutup printer dan segera mengganti katrid printernya.

Pran datang dengan sepiring makanan yang diletakkan di atas meja ketika Pat menyelesaikan pekerjaannya.

"Selesai. Aku mekanik legendaris." Pat mengangkat satu jari kelingkingnya dan berkata, "Saya sudah besar loh."

*Dialog ini berdasarkan lelucon porno Thailand.

"Baiklah anak besar. Kamu hebat." Pran memujinya lalu merunduk dan mulai menyendokkan kuah kari buatannya ke piring yang sudah berisi nasi putih.

"Apa itu?" Pat yang penasaran menghampirinya. "Wow kamu membuatku lapar."

"Hidangan kari. Apakah baunya enak?"

"Enak."

"Aku selalu ingin memasak hidangan favorit untuk seseorang yang kusukai."

Pran melanjutkan aktifitasnya menyendok kuah kari dan meletakkannya ke piring nasi. Sementara Pat mendudukkan dirinya ke kursi makan.

"Apakah kamu suka kari?"

"Suka." Jawab Pat jujur, sesungguhnya ia sangat tak sabar ingin mencicipinya.

Pran menyendok nasi kari dan meletakkannya di depan mulut Pat. Namun ketika Pat membuka mulurnya, Pran menarik mundur sendok berisi makanan itu. Wajah mereka berjarak sangat dekat sekarang. "Lalu, apakah kamu menyukaiku?" Tanya Pran lembut.

Mata mereka saling mengunci. Pran mulai mendekatkan sesendok nasi kari ke mulut Pat lagi, tapi Pat tidak mau membuka mulutnya. "Tidak ah. Aku baru saja makan. Maaf, ya." Pat meraih tangan Pran yang memegang sesendok nasi kari lalu memutarnya ke arah mulut Pran. Satu tangan Pat yang lain memegang kedua pipi Pran agar mulutnya terbuka lalu menyuapkan sesendok nasi kari itu ke mulutnya. "Pinter..." Pat menepuk-nepuk satu sisi pipi Pran kemudian pergi kembali ke kamarnya.

Pran mengunyah nasi kari dalam mulutnya dan mengangguk-angguk menahan senyum.

***

Sesampainya di kamar, Pat segera berlari dan meluncur tengkurap ke atas tempat tidurnya.

"Hiiiii. Jadi begini caramu bermain, ya? Grrrrrr..!!!" Pat memukul-mukul bantalnya lalu meraih Nong Nao dan meremasnya berulang kali dengan gemas sebelum kemudian membenamkan wajahnya di atas bantal.

"Kakak sudah gila, ya?" Ternyata Pha belum tidur.

"Latihan tinju," jawab Pat asal. "Mmmh. Mmmh. Mmmh." Pat meninju Nong Nao sebanyak tiga kali.

"Benar-benar sudah gila." Pha kemudian menutup tirai pembatas yang memisahkan tempat tidur dirinya dengan Pat.

Masih tengkurap, Pat lalu memeluk Nong Nao dan tidak berhenti tersenyum gemas sambil mengingat Pran.

Bersambung...

Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 47.3K 31
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
986K 146K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
3.1K 328 15
"kau masih mencintaiku kan?" "Aku memang masih mencintaimu, tapi rasa itu tidak sama seperti dulu." "maaf karena telah menyakiti hatimu" "tidak apa...
223K 9.5K 23
Rakasta alexander adalah seorang ceo tampan yang berumur 23 tahun, Rakasta memilki wajah tampan yang setiap kali para wanita tertarik kepadanya tetap...