BAD BUDDY SERIES (Hanya Teman)

diadjani tarafından

24.7K 1.5K 35

"Kisah tentang dua orang yang tidak pernah bisa menjadi teman, menjadi dua orang yang tidak pernah bisa menja... Daha Fazla

EP.1 | Part 1
EP.1 | Part 2
EP.1 | Part 3
EP.1 | Part 4
EP.2 | Part 1
EP.2 | Part 2
EP.2 | Part 3
EP.2 | Part 4
EP.3 | Part 1
EP.3 | Part 2
EP.3 | Part 3
EP.3 | Part 4
EP.4 | Part 1
EP.4 | Part 2
EP.4 | Part 3
EP.5 | Part 1
EP.5 | Part 2
EP.5 | Part 3
EP.5 | Part 4
EP.6 | Part 1
EP.6 | Part 2
EP.6 | Part 3
EP.6 | Part 4
EP.7 | Part 1
EP.7 | Part 2
EP.7 | Part 3
EP.7 | Part 4
EP.8 | Part 1
EP.8 | Part 2
EP.8 | Part 3
EP.8 | Part 4
EP.9 | Part 1
EP.9 | Part 2
EP.9 | Part 3
EP.9 | Part 4
EP.10 | Part 1
EP.10 | Part 2
EP.10 | Part 3
EP.10 | Part 4
EP.11 | Part 1
EP.11 | Part 2
EP.11 | Part 3
EP.11 | Part 4
EP.12 | Part 1
EP.12 | Part 2
EP.12 | Part 3
EP.12 | Part 4

EP.4 | Part 4

359 29 0
diadjani tarafından


Hari pertandingan Rugby tradisional antara tim Fakultas Teknik melawan Fakultas Arsitektur telah tiba. Pran sedang memasukkan kaos kaki hitam ke kakinya saat Pat berjalan mendekat dan duduk di tangga tribun satu tingkat lebih tinggi darinya. Mereka saling mencuri pandang lewat sudut mata sebelum Pat memulai percakapan dengan seringainya yang biasa.

"Kau yakin sudah fit untuk bertanding?"

"Kenapa kau tidak sekalian saja duduk di sebelahku?" Bukannya menjawab pertanyaan Pat, Pran justru menantangnya.

"Apa yang kau takutkan? Kau bisa memberitahu orang-orang kalau kita sedang membicarakan soal halte bus." Pat yang menyilangkan kedua tangannya di atas paha menanggapi dengan santai. "Kau takut orang-orang akan berpikir kalau aku sedang mendekatimu, ya?"

Pran tidak menjawab, ia hanya meneruskan aktifitasnya memasang kaos kaki dengan benar. Tapi pat tidak puas, ia lalu mengusap kepala Pran tapi si empunya menepis dengan keras.

"Hei! Kau benar-benar telah pulih sekarang." Pat berhenti menggodanya, tapi hanya bertahan selama beberapa detik. Dibelainya lagi kepala Pran meski ditepis berulang kali.

"Berhentilah bermain." Pat tidak menghentikan tangannya sama sekali. "Orang-orang bisa melihatnya, bangsat!" Pran berbisik dengan tegas sambil menangkis tangan Pat yang berusaha menyentuhnya berulang kali.

Cekrek!

"Oh, lihat kalian berdua." Kedatangan Ink membuat kedua pemuda yang tadinya saling mencolek dan menepis benar-benar berhenti. "Aku tidak berhasil menangkap momen manis itu. Bisakah kalian melakukannya lagi?"

Ink telah bersiap untuk melakukan sekali jepretan lagi, tentu saja Pat dan Pran tidak akan melakukannya.

"Kau kembali sana ke tempatmu." Pran sudah selesai mengenakan kaos kaki dan sepatu saat mengusir Pat untuk pergi. Tanpa basa basi Pat menarik tas di sampingnya dengan keras dan pergi meninggalkan tribun tim Arsitektur dengan wajah kesal.

"Pat bilang kalau Pran lagi sakit." Gadis dengan kamera di tangannya itu berbicara dengan sangat sopan kepada Pran.

"Oh, iya. Tapi sekarang sudah mendingan."

"Bagus kalau begitu. Semangat, ya. Aku sudah menyiapkan hadiah kemenangan untukmu jika kamu menang."

Pran hanya menyunggingkan senyum canggung menanggapi kalimat Ink. Ink menyiapkan hadiah untuknya? Pran tidak pernah memikirkan itu akan terjadi.

"Lakukanlah yang terbaik!" Ink mengangkat kedua tangannya yang terkepal ke atas, memberi semangat untuk Pran. "Sampai ketemu lagi."

Pran mengiringi kepergian Ink dengan senyum sopan di bibirnya. Setelah gadis itu tak lagi terlihat, Pran bisa melihat Pat yang berdiri di depan tribun tim Teknik sedang menoleh ke arahnya. Dan dia memberikan senyuman itu lagi!

***

Pertandingan akan segera dimulai. Kedua tim sudah mulai berlari memasuki lapangan. Tim Teknik mengenakan seragam lengan panjang berwarna merah. Sementara tim Arsitektur mengenakan seragam garis-garis hijau-putih. Seikat bandana putih melingkar di kepala Pran.

Di barisan paling depan, Pat berhadapan dengan Pran. Lalu disusul dengan Korn-Wai, Chang-Louis, dan seterusnya. Kedua tim lalu berpencar, masing-masing saling membentuk lingkaran dan meneriakkan yel-yel penyemangat. Wasit sudah bersiap dengan bola di tangannya.

Permainan telah dimulai. Pran adalah pemain pertama yang menendang bola. Suara teriakan dari tim Cheerleaders menyatu dengan suara teriakan lain di tribun penonton. Tak jauh dari tribun, pelatih mulai meneriakkan strategi kepada para pemain dari sisi lapangan. Bola masih bertahan di tangan tim Arsitektur. Setelah tiga kali operan, bola berakhir ke tangan Pran. Ia berlari sangat cepat dan sempat melewati tiga kali perebutan sebelum akhirnya bola berpindah ke tim Teknik. Kali ini giliran Pat yang menendang bola. Tim Teknik berhasil terus memeluk bola dan membawanya sampai ke gawang.

Gol! Tim Teknik mencetak 1 angka.

Bola mulai ditendang lagi. Pran berhasil merebutnya lagi, tapi Korn memeluknya dari belakang dan membanting badan ke samping. Keduanya terjatuh dan bola berhasil direbut tim Teknik kembali. Saat bola berada di tangan Pat, giliran Pran yang memeluk dan membawanya terjatuh ke rumput. Bola lalu dikuasai tim Arsitektur hingga ke tengah gawang.

Skor 1-1.

Pertandingan berlangsung semakin sengit. Bola berpindah berulang kali. Pemain saling memeluk, menghadang, mendorong, dan terjatuh berulang kali. Saat bola berada di tangan Pat, Pran memeluknya sangat erat dari belakang, pelukan yang bertahan bahkan ketika bola sudah direbut oleh Korn. Butuh waktu beberapa detik bagi Pran untuk menyadari tindakannya dan segera melepaskan tangannya yang melingkari tubuh Pat.

Pat yang menyadari hal itu tak mau kehilangan kesempatan untuk menggoda Pran. "Jika kau memelukku seerat ini, kau seperti menganggapku sebagai kekasihmu." Pat mengedipkan satu matanya lalu berlari menjauh.

Sial. Pran tak bisa melakukan serangan balik. Ia hanya menggelengkan kepalanya sambil terengah-engah.

Pertandingan terus berlangsung hingga Pat melihat Pran yang baru saja dihantam oleh pemain tim Teknik sampai terjatuh dan tak segera kembali bangun. Dengan wajah khawatir Pat berlari mendekat untuk melihat keadaan Pran. Tapi saat ia sampai dan mengulurkan tangan untuk membantunya bangun, pemuda itu malah duduk dan bangkit sendiri dengan wajah menantang. Pran berjalan menjauh meninggalkan tangan Pat yang terjulur ke udara. Kekhawatiran di wajah Pat belum hilang saat Pran yang berjalan memunggunginya mulai memegangi bahu kirinya. Pat masih ingat, itu adalah titik memar yang didapat Pran dari hasil latihan Rugby terakhir bersama tim Arsitektur. Pat bahkan sempat membantu Pran mengusapkan salep ke bagian itu dengan tangannya sendiri.

Pat mulai menoleh dan menemukan Korn. "Biar aku yang menghalangi Pran," katanya sambil merangkul dan berbisik ke telinga sahabatnya itu. "Kau kasih tahu ke yang lain, aku yang akan menanganinya."

"Oke." Korn lalu berlari ke posisinya setelah melakukan tos dengan Pat. Sementara Pat, tak sedikitpun melepaskan pengawasan matanya dari Pran.

Pran sedang berlari bersama bola dalam lengannya. Pat bersiap menghalangi di depannya dengan hati-hati. Tapi sahabatnya yang tak bisa diajak kompromi itu berlari dari belakang melewati Pat dan menghantam Pran hingga terjatuh di atas rumput.

Bola terlepas dari tangan Pran, tapi ia tidak bangkit kembali. Matanya terpejam kesakitan, tangannya memeluk bahu yang masih memiliki luka memar di dalamnya. Permainan terhenti sesaat. Semua mata tertuju padanya.

"Pran. Sakit, nggak?" Wai berlari menghampiri sahabatnya.

Tak jauh dari tempat Pran tergeletak, Pat berdiri mematung memandangi Pran yang tergeletak kesakitan.

"Bahunya? Apakah kamu sanggup?" Wai membungkuk lalu memegangi tangan. "Biarkan aku membantumu berdiri."

Pran akhirnya dapat kembali berdiri dan mulai melangkah pergi.

"Hei. Apa yang baru saja kau lakukan?" Pat segera menghampiri dan mendorong bahu Korn.

"Apa yang salah denganmu? Kau memiliki kesempatan untuk menjegalnya tapi kau tidak melakukannya." Korn protes.

"Tapi kan sudah kubilang aku yang akan menanganinya."

"Kau kerasukan apa sih, Pat? Hah?"

Pat tidak menanggapi pertanyaan terakhir Korn. Ia meninggalkan sahabatnya yang bingung dan kelelahan itu untuk mengejar Pran. "Hei, kau."

Pat hanya ingin menanyakan kondisi Pran, tapi si monyet albino itu menghalangi jalannya. Pat menatap matanya, tapi Wai memberinya tatapan yang lebih tajam dan mengancam. Akhirnya Pat hanya membuang napas dan berbalik pergi.

Pertandingan tetap dilanjutkan. Dan karena kondisi Pran yang cidera, ia tak bisa ikut bertanding sampai akhir. Pertandingan dimenangkan oleh tim Teknik.

***

"Terima kasih." Pran baru saja berpisah dengan pelatih tim Arsitektur dan teman-temannya. "Sampai ketemu lagi." Semua orang telah pergi menyisakan dirinya sendiri yang masih merasakan nyeri di bahunya.

"Bagaimana kabarmu?" Ink datang dengan sebotol air mineral ditangannya untuk diberikan kepada Pran.

"Terima kasih, ya." Katanya dengan senyum.

"Bagaimana keadaanmu? Apakah bahumu masih terasa sakit?"

"Ya, sedikit. Tapi sekarang sudah lebih mendingan." Jawab Pran sambil memegangi bahunya lalu meneguk air dari dalam botol.

"Jika Pran berada dalam pertandingan sampai akhir, tim Pran pasti akan menjadi pemenangnya."

Pran tertawa kecil sambil menutup botol minumannya. "Kamu tidak perlu menghiburku."

"Eh, serius. Menurutku kamu lah MVP dalam pertandingan ini." Ink mengucapkannya dengan penuh semangat. "Sudah merasa lebih baik sekarang?"

*MVP (Most Valuable Player) = Pemain yang paling berharga.

Pran hanya tersenyum dan mengangguk mendengar pujian Ink untuk menghiburnya.

"Ini." Ink mengeluarkan sebuah gelang berwarna hijau dan memberikannya kepada Pran. "Apakah kamu menyukainya?"

"Itu lucu."

"Aku ingin memberikannya kepadamu di kelas 10 tapi kamu sudah keduluan pindah."

Pran menerima gelang itu dari tangan Ink. Ada inisial P berwarna perak tergantung di bagian tengah gelang. Persis seperti milik Pat. "Ini bagus."

"Kemarilah. Biar aku pasangkan."

Pran memberikan tangannya untuk dipasangkan gelang pemberian Ink. Ia memandang gadis di sampingnya itu dengan ragu-ragu.

"Ini terlihat keren untukmu. Apakah kamu menyukainya?"

"Iya."

"Bagaimana?"

Ink melihat keragu-raguan di wajah Pran yang sedari tadi ia coba sembunyikan.

"Ada apa?"

"Um. Ink..."

"Ya?"

"Ink menyukai Pat?" Pertanyaan yang terus mengganggunya itu akhirnya keluar.

"Aku?" Ink terlihat sama sekali tidak menduga pertanyaan itu akan terlontar untuknya. "Ayolah. Pat adalah temanku, sama seperti Pran."

Pran memberikan senyum tipis lalu merundukkan kepala.

"Kenapa kamu bertanya? Kamu mau mendekatiku, ya?"

Kali ini Pran yang sama sekali tidak menduga pertanyaan itu akan ditujukan kepadanya. Ia sama sekali belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan ini. Pran mulai menggaruk telinganya, memicingkan mata, mengatupkan bibir hingga memperlihatkan lesung pipinya, tapi sama sekali tidak mengatakan apapun untuk Ink.

"Oh. Oke. Kamu membuatku merasa sangat jelek sekarang."

"Eh, bukan begitu." Pran berkata dengan terbata-bata. "Ink imut dengan cara Ink sendiri."

"Kau mencoba menghiburku sekarang?"

"Sedikit."

Ink tertawa, sementara Pran belum bisa menyembunyikan canggung di wajahnya.

"Biar kulihat." Ink meraih tangan Pran sekali lagi dan memandangi gelang hijau berinisial P pemberiannya. "Teman."

*Inisial P = Pheuan (Bahasa Thailan yang berarti Teman).

"Hanya teman." Ink menegaskan sambil menunjuk Pran.

"Thank you." Pran memperlihatkan lesung pipinya lagi.

"190 Baht." Ink mengulurkan tangannya kepada Pran.

*190 Baht = Rp 83.000,-

"Ini aku jual di IG. Apakah menurutmu orang-orang akan menyukainya?"

"Beraninya kau menjual ini."

"Bagaimana kamu bisa mengatakan itu?" Ink mulai mendorong bahu Pran yang baru saja menggodanya.

"Aku hanya bercanda. Maaf. Maaf."

"Eh, aku tidak melukai bahumu kan?"

"Tidak. Bahu yang ini yang sakit." Ink duduk di sebelah kanan Pran, sementara bahunya yang memar adalah bahu sebelah kiri.

Pran dan Ink terus bercanda dan saling menggoda, tidak menyadari keberadaan Pat yang memperhatikan mereka dari ujung tribun.

***

Tok. Tok. Tok. Tok.

Pran sangat mengenal tempo ketukan pintu seperti ini. Meski sudah bisa menebak siapa yang datang, tapi Pran tetap mengintip melalui lubang cat eye sebelum membukakan pintu.

Cat eye : lubang intip yang biasanya ada di pintu untuk melihat keluar.

Sesuai dugaan Pran. Pemuda gagah dengan kaos olahraga lengan panjang berwarna merah berdiri di depan pintunya.

"Aku membelikanmu beberapa obat." Pat menyodorkan kantong plastik berisi obat-obatan untuk Pran.

"Oh, tidak perlu. Terima kasih. Aku sudah membelinya sendiri."

"Ambil saja."

"Aku sudah punya milikku sendiri."

"Ambil saja." Pat memaksa.

"Tidak perlu."

"Kalau kau mau membalas budi, biarkan aku menginap di sini malam ini."

"Kau ngelucu."

"Aku lupa kunci kamarku."

"Jika kau benar-benar melupakan kuncimu, telepon saja Pha dan suruh dia membawakan kunci cadangan."

"Ya, karena itu. Aku sudah meneleponnya tapi Pha tidak mengangkatnya. Kurasa Pha sudah tidur."

"Aku pun sudah mau tidur juga. Kau teruskan saja menelepon Pha." Pran sudah bersiap akan menutup pintu.

"Aku serius." Pat memohon.

"Sampai ketemu lagi." Pran benar-benar akan menutup pintunya.

"Kau tidak percaya padaku?"

Pintu benar-benar ditutup. Pran tidak mengizinkan Pat masuk. Beberapa menit telah berlalu sebelum Pran kembali mengintip dari lubang pintu. Pat masi duduk di sana, di depan pintu kamarnya. Pemuda itu masi mengenakan seragam Rugby tadi sore. Ia sedang menggaruk-garuk kepalanya karena frustasi berulang kali menelepon adiknya tapi tetap tidak ada jawaban. Pran tidak tega. Ia menimbang-nimbang sesaat dan menghela napas, sebelum akhirnya membukakakn pintunya untuk Pat.

Pat tampat sedikit terkejut melihat Pran kembali membukakan pintu. Kepalanya mengedik tanda mempersilakan Pat untuk masuk. Tapi Pat terlalu tidak percaya dengan kebaikan Pran sehingga ia tidak bergeming dari tempat duduknya.

"Satu..." Pran mulai menghitung. Pat buru-buru meraih tas dari bawah pahanya. "Dua..." Pat bergegas masuk ke pintu Pran.

***

Pran menyiapkan selembar kasur lipat berwarna cokelat untuk Pat yang dibentangkan di lantai, tepat di samping tempat tidurnya.

"Bisakah aku tidur tanpa pakaian?" Pat yang sudah bertelanjang dada usai mandi hanya mengenakan boxer, ia bertanya sambil menduduki kasur di atas lantai.

"Tidak usah." Pran mengambilkan selembar kaos abu-abu tua miliknya dan melemparkannya ke badan Pat. "Ambil ini. Tapi aku belum mencucinya."

Pat yang menangkap kaos itu di tangannya segera mengendus dengan hidungnya dua kali. "Baunya masih enak."

Pran merespon Pat hanya dengan mengerutkan dahi. Sementara Pat mulai mengangkat kaos bertuliskan FRIEND di bagian depan, lalu membaliknya dan membaca tulisan UNFRIEND di bagian belakang.

"Teman. Tidak berteman." Pat bergumam sambil mulai memasukkan lengannya ke baju Pran. "Aku akan mencucinya dengan sangat baik sebelum mengembalikannya."

"Tidak perlu. Aku sudah membuangnya."

"Oh. Bagus kalau begitu. Ini jadi milikku."

"Bisakah kita tidur sekarang?"

"Sebenarnya aku harus memeluk boneka Nong Nao-ku dulu sebelum tidur. Kalau tidak, itu akan terlalu dingin dan aku tidak bisa tidur." Pat mulai merengek sambil meletakkan lengannya ke sisi tempat tidur Pran.

"Jangan...pernah memikirkannya." Pran menghentikan aksi Pat dengan jari telunjuknya.

"Tapi itu serius." Pat mulai memegangi jarinya sendiri.

Pran membuang pandangannya ke mana saja asalkan tidak memandang Pat. Tapi Pat yang tak manja mulai memegangi ujung selimut Pran sekarang.

"Apa?"

"Aku tidak bisa tidur."

Pran tidak tega melihat wajah Pat yang memelas. Dan inilah yang pasti terjadi bila ia menatap mata Pat dan menemukan ekspresi memohon di sana, hati Pran melemah. "Geser." Pran mulai bergeser dan menarik selimutnya agar Pat bisa mendapatkannya. "Itu saja yang bisa kau dapatkan. Hanya segitu."

Pat mendapatkan 25% bagian selimut, sementara sisanya masih menutupi setengah tubuh Pran di atas tempat tidur.

Pat mulai mengendus bau selimut di tangannya. Lalu kembali mengendus baju Pran yang ia kenakan. "Hmmm. Baunya sangat harum seperti kaosmu."

Pran bersiap akan menarik kembali selimutnya ketika Pat menyerah dan berhenti menggodanya. "Siap, Tuan. Aku akan berhenti bermain. Bisakah kau berbagi sedikit lagi?"

"Tidak! Hanya segitu yang bisa kau dapatkan."

"Benar-benar cowok yang pelit."

Beberapa menit setelah perdebatan tentang berbagi selimut, Pat dan Pran masih sama-sama terjaga meskipun keduanya sudah berbaring di kasur masing-masing. Di bawah, Pat meletakkan kepalanya di atas kedua tangan yang terlipat di atas bantal. Di atas tempat tidur, Pran menyangga kepalanya dengan satu tangan di atas bantal, sementara satu tangannya yang lain memeluk selimut yang menutupi sampai ke dadanya.

Pat melirik ke atas tapi tak bisa melihat apakah si pemilik kamar sudah tidur atau belum. Maka ia memutuskan untuk bertanya. "Kau sudah tidur?"

Hampir lima detik kemudian Pran menjawab, "Sudah."

Pat tidak menerimanya sebagai candaan, tapi tetap melanjutkan percakapan. "Lalu, apakah bahumu masih sakit?"

"Um. Sudah mendingan sekarang."

"Ink memberikanmu gelang, ya?"

Pran mengangkat kedua tangannya dan meletakkan di bawah kepalanya di atas bantal, melirik sejenak ke arah Pat, lalu kembali memandangi langit-langit kamar. "Um. Ya. Seperti punyamu."

"Aku tahu."

Keduanya hening sesaat sebelum Pran melanjutkan.

"Hei."

"Hah?"

"Bisakah aku bertanya sesuatu?"

Kali ini Pat melirik ke arah Pran di atas tempat tidur. "Akupun juga punya pertanyaan untukmu."

"Kalau begitu kau duluan saja."

Pat tak langsung menjawab. Keduanya seperti memiliki berjuta pertanyaan yang membutuhkan jawaban di kepala mereka masing-masing.

"Kau. Kau suka Ink, ya?"

"Kalau kau?"

"Tck. Aku yang bertanya duluan." Kata Pat berdecak.

"Ya, terus?" Pran tak mau kalah.

"Kalau gitu begini saja. Dalam hitungan ketiga, kita menjawabnya bersamaan."

Pran tidak menjawab. Di satu sisi, ia ingin tahu jawaban Pat, tapi di sisi lain ia takut mendengarnya. Tapi Pat sudah mulai menghitung.

"1...2...3," sedetik menunggu, keduanya lalu menjawab bersamaan. "Suka."

"Tidak."

Pat menjawab suka. Pran menjawab tidak.

Pat menghela napas panjang, "Melegakan," katanya.

Sementara di atas tempat tidur, Pran merasakan matanya mulai berair. "Lalu, kalau kau menyukainya apa kau sudah menyatakan perasaanmu padanya?"

"Belum. Apa menurutmu Ink menyukaiku?"

Pran menyunggingkan senyum canggung. "Bagaimana aku bisa tahu itu?"

"Serius." Pat bangkit dari tidurnya. Ia meletakkan satu tangannya di sisi tempat tidur dan duduk menghadap wajah Pran. "Jika kau jadi Ink, apakah kau akan menyukaiku?"

Pran melirik wajah pemuda itu dan menyunggingkan senyum tipisnya lagi. "Seseorang sepertimu? Apa yang bisa disukai?"

Pat menghela napas lagi. "Banyak. Kau pikirkan dulu baik-baik. Aku adalah drummer­-mu di band. Aku membantumu dari dipukuli Korn dan teman-temannya. Baiklah, aku tidak akan menghitung insiden pangsit itu."

Pat terus bicara tanpa menyadari Pran mulai menahan air matanya yang terasa menggenang di ujung mata.

"Aku membantumu mendapatkan sponsor. Aku menyimpan gitarmu untukmu. Banyak hal."

Suara Pat begitu lembut saat mengatakannya. Melembutkan hati Pran yang berdebar mengingat kebersamaan yang telah mereka lewati sejak di bangku sekolah. Bagaimana Pat membuatkan pick gitar dari kartu pelajarnya agar tangan Pran tidak sakit saat memainkan gitarnya. Bagaimana Pat menyelamatkan presentasi Pran dengan mengajukan ide eco green untuk pembangunan halte bus yang teman-teman mereka hancurkan. Bagaimana Pat membantunya menemukan ide desain halte bus dengan memainkan peran sebagai gadis seksi Fakultas Teknik yang berteduh dari hujan dan panas bersama kekasihnya. Bagaimana Pat menyimpan gitar Pran yang ia beli dengan uang tabungannya sendiri dari sejak ia dipindahkan dari sekolah menengah hingga masuk universitas dan mengembalikannya dalam keadaan utuh dan terawat.

"Pran." Pat membuyarkan lamunannya tentang semua itu. "Apakah kau akan menyukaiku?"

Lihat. Pat memberikan nada itu lagi. Hati Pran rasanya ingin meledak. Tapi Pran cukup lihai dalam mengendalikan dirinya. Dipandanginya pemuda di dekatnya itu lekat-lekat dan berkata, "Aku...membencimu."

"Huh." Pat mengeluh dan melihat Pran berbalik memunggunginya. "Apa-apaan. Aku memiliki begitu banyak kualitas baik. Aku bahkan menyukai diriku sendiri." Pat mengatakannya dengan sangat percaya diri. "Apa kau bisa menemukan pacar yang bisa setengahnya sebaik aku?"

Tak ada jawaban dari Pran sama sekali. Pat membuang napas dan kembali merebahkan dirinya di kasur lipat dengan kedua tangannya menyangga kepala di atas bantal lagi. Ia lalu menarik jatah selimut yang Pran berikan sebagai ganti Nong Nao yang tidak berada di pelukannya dan menemani tidurnya malam ini.

Sekian menit setelah tak lagi terdengar suara Pat, Pran lalu berbalik memandang pemuda itu dari atas tempat tidur. Pat sudah memajamkan mata. Namun ketika Pat tiba-tiba bergerak ke arahnya, Pran segera berbalik membuang pandangannya ke arah lain. Ia memunggungi Pat sementara sampai dirinya yakin bawa Pat benar-benar sudah tidur. Air mata yang sedari tadi menggenang di sudut mata akhirnya jatuh juga. Pran memandangi wajah Pat yang tertidur lelap di bawah. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Ia menggeleng seperti tak percaya pada perasaannya sendiri. Diusapnya dengan kasar pipinya yang basah. Lalu sekuat tenaga menarik selimut yang menutupi sebagian tubuh Pat dan berbalik untuk tidur.


Bersambung...

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

1.9K 74 9
kenapa hubungan gue begitu rumit? ini tentang seorang anak laki laki yang menyukai anak dari musuh orang tua mereka, anak laki laki yang terus berjua...
3.4M 35K 31
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
2.1K 222 15
Bepergian ke game Danmei yang baru saja Anda selesaikan, dan dapatkan sistem jari emas. Yun Chuchu yakin ini adalah rute Dianjialong Aotian! Menjadi...
1.8M 8K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...