BAD BUDDY SERIES (Hanya Teman)

By diadjani

24.7K 1.5K 35

"Kisah tentang dua orang yang tidak pernah bisa menjadi teman, menjadi dua orang yang tidak pernah bisa menja... More

EP.1 | Part 1
EP.1 | Part 2
EP.1 | Part 3
EP.1 | Part 4
EP.2 | Part 1
EP.2 | Part 2
EP.2 | Part 3
EP.2 | Part 4
EP.3 | Part 1
EP.3 | Part 2
EP.3 | Part 3
EP.3 | Part 4
EP.4 | Part 2
EP.4 | Part 3
EP.4 | Part 4
EP.5 | Part 1
EP.5 | Part 2
EP.5 | Part 3
EP.5 | Part 4
EP.6 | Part 1
EP.6 | Part 2
EP.6 | Part 3
EP.6 | Part 4
EP.7 | Part 1
EP.7 | Part 2
EP.7 | Part 3
EP.7 | Part 4
EP.8 | Part 1
EP.8 | Part 2
EP.8 | Part 3
EP.8 | Part 4
EP.9 | Part 1
EP.9 | Part 2
EP.9 | Part 3
EP.9 | Part 4
EP.10 | Part 1
EP.10 | Part 2
EP.10 | Part 3
EP.10 | Part 4
EP.11 | Part 1
EP.11 | Part 2
EP.11 | Part 3
EP.11 | Part 4
EP.12 | Part 1
EP.12 | Part 2
EP.12 | Part 3
EP.12 | Part 4

EP.4 | Part 1

398 36 0
By diadjani

Setelah saling setuju untuk mengerjakan halte bus baru bersama, tim Teknik dan Arsitektur harus sering bertemu untuk membahas proses pembangunannya.

"Kami sudah memesan bahan untuk atapnya. Mereka memiliki timeline untuk proses pengirimannya. Kau tidak masalah dengan itu?" Pran dan Pat sedang duduk berhadapan di atas meja kantin, didampingi oleh teman-teman kelompoknya masing-masing.

"Tidak masalah. Aku sudah bicara dengan Profesor yang mengawasi proyek. Dia akan memeriksa kita dua kali seminggu." Kata Pat lalu mengalihkan tatapannya dari Pran ke teman-teman yang lain. "Kalian semua tidak masalah dengan itu?"

"Tidak, kalau begitu kita sudah siap. Mari kita bagi-bagi pekerjaannya." Kata Pran sambil berdiri.

"Kita harus membentuk tim yang terdiri dari Arsitektur dan Teknik, untuk memastikan tidak ada kesalahan."

"Apa maksudmu dengan kesalahan?" Wai tidak terima dengan yang baru saja Pat katakan. Ia sudah bersiap akan menghampiri Pat. "Kalian tidak percaya pada kami?"

"Halah. Kenapa kalian tidak melakukannya sendiri saja jika kalian sangat pintar?" Korn yang tak mau kalah segera mendekati Wai.

"Tidak ada yang meminta bantuan kalian. Kalian saja yang ikut campur dalam urusan kami." Wai mulai berdiri menghadap Korn sekarang.

"Apa katamu?" Korn dan Wai sama-sama saling menantang.

"Baiklah, tenang. Tenanglah." Pat langsung menarik Korn sementara Pran menarik Wai.

"Kau serius meminta kami untuk bekerja sama dengan mereka?" Protes Wai pada Pran yang masih memegang pundaknya.

Pran memandangi raut wajah para pemuda Arsitektur dan Teknik yang sama-sama tegang. Sepertinya mereka memang tidak akan bisa disatukan. "Tidak." Jawab Pran akhirnya. "Arsitektur dan Teknik tidak akan berada di tim yang sama." Tegasnya menutup perjumpaan siang itu.

***

"Mana? Waktu itu kau bilang teman-temanmu tak masalah untuk bekerja sama dengan kami." Protes Pat kepada Pran ketika mereka bicara malam harinya di asrama.

"Sial! Siapa yang tahu kalau mereka benar-benar tidak bisa mengendalikan emosinya hari ini?"

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

***

"Arsitek bekerja pada tanggal genap. Teknik bekerja pada tanggal ganjil. Bagaimanapun kita tidak akan bertemu dengan mereka. Kalian bisa tenang sekarang." Pran menyampaikan kabar baik pada teman-temannya keesokan harinya di lokasi pembangungan halte baru.

Safe mencibir sementara Wai mengangkat bahu. "Kita bisa melakukannya seperti itu?" Tanya Louis tidak yakin.

"Tapi aku tidak berpikir mereka benar-benar akan bekerja. Bisakah kita mempercayai mereka?" Safe yang sedang melipat kedua tangannya di dada tak percaya pada konsistensi tim Teknik.

"Sial. Sekarang apa lagi? Kau terlalu memikirkannya." Entah bagaimana caranya Pran meyakinkan teman-temannya untuk menaruh kepercayaan pada tim Teknik.

"Iya. Mereka mungkin saja akan mengulur-ulur waktu dan tidak akan menyelesaikan apapun. Aku tidak mempercayai mereka sama sekali. Terutama dia!" Wai sedang membicarakan si ketua geng Teknik.

"Hei. Pat adalah pemuda yang bermartabat. Percayalah padaku!" Kata Pran berusaha memberikan citra baik tentang Pat di mata teman-temannya yang di kemudian hari tak bisa dibuktikan. Tim Teknik tidak datang saat giliran mereka yang mengerjakan pembangunan halte.

***

"Hei, aku minta maaf." Kata Pat penuh penyesalan dengan menangkupkan kedua tangannya dan merunduk di hadapan Pran. "Ada konser di Fakultas Sains hari ini. Teman-temanku mau datang sebentar."

"Dan kenapa kau tidak menghentikan mereka?" Protes Pran.

"Aku sibuk menari di depan panggungnya." Jelas Pat sambil terkekeh. "Kan sudah kubilang, kita harus memilih tim campuran. Jadi kita bisa saling menghentikan jika ada yang mengulur-ulur waktu."

Pran menghela nafas kesal. "Jika kita melakukannya, kita harus menghentikan mereka dari keributan juga."

"Jika teman-temanku sebegitu inginnya bekerja seperti mereka melawan teman-temanmu, halte bus itu seharusnya sudah selesai sekarang."

Kata-kata Pat justru membuat Pran menemukan ide cemerlang yang bisa memacu semangat teman-teman mereka untuk menyelesaikan proyek pembangunan halte bus itu. "Mereka sangat suka ribut kan, ya?" Pran tersenyum menunjukkan lesung pipinya.

***

[Strukturnya sudah selesai + membersihkan tanda-tanda elektronik yang ditinggalkan anak Teknik]

"Aku pikir mereka bermaksud mengejek kita." Pat menunjuk tulisan yang tertera pada salah satu sisi struktur bangunan halte yang dikerjakan lebih dulu oleh tim Arsitektur.

Korn sontak kepanasan mendengarnya. Ia melangkah mendekat dan mengamati hasil kerja tim Arsitektur. "Oh! Hanya ini yang bisa mereka lakukan? Kalian perhatikan aku. Aku akan memperbaiki semua yang telah mereka lakukan. Ya?" Korn menoleh ke teman-temannya.

"Ayo, lakukan. Lanjutkan!" Pat berhasil membakar semangat teman-temannya untuk bekerja dengan motivasi untuk mengalahkan tim Arsitektur.

[Membangun atap + memperbaiki lantainya untuk kalian agar terlihat bagus]

Tulisan tim Arsitektur telah dicoret dan digantikan dengan tulisan hasil kerja tim Teknik. Wai yang membacanya paling depan. "Jadi ini yang mereka inginkan? Oke! Mari kita tunjukkan ke mereka. Ayo teman-teman!"

"Tentu! Kita tidak bisa membiarkan mereka menang. Ayo!" Safe segera bertindak diikuti oleh yang lainnya.

[Mengecat dindingnya + memperbaiki lantainya]

[Menyelesaikan bagian atas atapnya]

[Memperbaiki atapnya yang tidak lurus!!]

[Akhirnya menyelesaikan bagian atas atap + memperbaiki lantai]

***

Dua lengan tangan dua pemuda sedang berpegangan bak adu panco selama beberapa detik sebelum menyadari bahwa yang mereka lakukan terasa canggung dan buru-buru melepaskannya. Rencana mereka membakar semangat teman-temannya untuk bekerja saling mengalahkan telah berhasil. Sejauh ini progres pengerjaan halte bus berjalan dengan lancar. Malam itu Pat dan Pran sedang berada di sisi tangga darurat asrama ketika mendengar sebuah suara dari arah tangga. Pat menepuk dada dengan tinjunya pelan memberi tanda bahwa ia yang akan melangkah lebih dulu. Perlahan-lahan mulai menaiki anak tangga sambil melihat ke atas diikuti Pran di belakangnya.

Bug!!

"Hei!" Pat refleks berlari dan bersembunyi di belakang Pran karena mendengar suara gedebug dari arah tangga lantai atas.

Pran menoleh dengan sangat perlahan melihat tinggah pemuda berotot yang ketakutan di belakangnya itu. Formasi kemudian berubah menjadi Pran yang berjalan di depan sementara Pat mengikuti di belakangnya. Namun setelah beberapa detik tak terdengar suara apapun lagi, Pat mulai usil mengagetkan Pran dari belakang.

"Baaa!"

"Sialan!" Pran berjingkat kaget.

"Hahahaha."

"Sialan kau!" Pran lalu melanjutkan langkahnya lagi diikuti Pat menuju lantai atas ketika sebuah suara kemudian terdengar.

Miaow.

Seekor kucing abu-abu tua sedang berada di tangga lebih atas tak jauh dari tempat mereka mengendap-endap.

Pat lalu terkekeh dan mendorong Pran menjauh darinya. "Kau sangat penakut."

"Sialan. Kau yang bersembunyi di belakangku." Kata Pran mengutarakan fakta.

"Kau."

"Kau."

"Itu cuma seekor kucing."

"Dan kau seorang pengecut." Pran mulai menendang Pat, Pat juga balas menendang. "Sialan, kau menendangku?" Pran menendangnya sekali lagi dan kali ini tepat mengenai dada Pat.

"Kau ngajak ribut?" Pat melepas satu sandalnya dan mengejar Pran yang sudah lari lebih dulu.

***

Pembangunan halte bus baru telah berjalan dengan sangat baik. Hasil kerja bersama tim Arsitektur dan Teknik mulai membuahkan hasil. Hari ini mereka akan melakukan pemotretan sekaligus wawancara untuk majalah kampus.

"Wow, kita terlihat sangat keren hari ini." Korn sedang merapikan rambutnya sambil mengangkat ponsel ke atas untuk berkaca melalui kamera.

"Lihat aku, aku sangat keren." Chang yang sedang merapikan dasi hitamnya tak mau kalah.

"Ada apa sih dengan kalian? Berlebihan banget." Celetuk Pat yang berdiri agak terpisah dari ketiga temannya. "Apakah kita perlu berdandan seperti kita sedang mengikuti audisi untuk sebuah film? Ini hanya wawancara untuk majalah Universitas loh."

Sangat berbeda dengan kelompok Teknik yang mengenakan setelan rapi hitam putih, kelompok Arsitektur hanya mengenakan kemeja bebas rapi.

"Ini tuh penampilan normal kita, loh." Korn meletakkan tangannya di dagu ketika mereka tiba di depan halte bus baru. Pran dan kelompoknya sudah tiba di sana lebih dulu.

"Kau menggoda teman-temanmu, tapi kau sendiri memakai sepatu yang mengkilap, loh." Pran menyindir Pat yang kini berdiri dekat dengannya. Menyapukan pandangannya dari ujung kaki hingga ujung rambut.

Pat menghirup mendekat dan menggelengkan kepalanya. "Ya ampun, tapi aku bukanlah orang yang menggunakan parfum yang aromanya bisa tercium sampai ke rumah tetangga."

"Hanya anjing yang bisa memiliki indera penciuman yang kuat." Kata Pran sinis.

Percakapan tidak bersahabat antara Pat dan Pran itu tidak berlanjut sejak seorang gadis berlari terengah-engah ke arah mereka.

"Permisi." Kata Gadis itu sambil memegang kamera yang talinya melingkar di lehernya. "Apakah kalian kelompok mahasiswa Teknik-Arsitektur yang mengurus proyek halte busnya?"

Flashback

"Kita memiliki teman baru yang akan bergabung dengan kelas kita juga di semester ini." Kata bu Guru mengumumkan di depan kelas.

"Laki-laki atau perempuan, bu?" Seorang siswa mengangkat tangan dan bertanya.

"Menurutmu perempuan atau laki-laki?" Sang Guru balik bertanya.

"Perempuan!" Sorak sorai serempak para siswa dan siswi menggema di ruang kelas.

"Mari kita bertemu teman baru kita, masuklah!" Kata bu Guru diikuti oleh seorang gadis yang masuk ke kelas.

"Wow!"

"Bidadari."

"Yasudah, tolong tenang dulu." Bu Guru berusaha mengendalikan keriuhan. "Silakan perkenalkan dirimu pada teman-temanmu."

"Hai. Nama saya Ink. Saya dari Utara. Saya sangat suka mengambil foto. Jika kalian ingin menjadi model, kalian bisa mempekerjakan saya sebagai fotografer kalian."

Keriuhan kembali terjadi usai gadis bernama Ink itu memperkenalkan diri. "Cuku. Cukup. Silakan duduk." Sekali lagi bu Guru berusaha menenangkan muridnya.

Namun keriuhan kembali terjadi saat Ink tanpa sengaja terjungkal hampir mencium ujung meja karena tersandung kakinya sendiri saat berjalan.

"Silakan duduk," kata seorang siswa teman sebangku Pat yang duduk tepat di belakang bangku Ink.

"Benar-benar penjaga yang baik." Goda bu Guru. "Kamu tidak bisa menolak gadis-gadis manis, kan?"

Ink mulai melambai-lambaikan tangannya tanda salam perkenalan kepada teman-teman sekelasnya termasuk Pat yang juga balas melambai kepadanya. Sementara Pran hanya menyunggingkan senyum tipis, memandang dari jauh.

Gadis Bernama Ink itu lah yang kini sedang berdiri di depan mereka, siap melakukan pemotretan untuk kebutuhan majalah kampus. Matanya tertuju pada Pat dan Pran yang berdiri tak jauh darinya. Tangannya mulai terangkat hendak menunjuk Pat dan Pran. "Kamu!"

"Ohhh. Anda di sini untuk membahas tentang halte bus, kan?" Pat segera berlari membawa Ink menjauh dari kelompok Teknik dan Arsitektur. "Saya dapat memberikan informasinya kepada anda. Anda dapat membahasnya dengan saya."

***

"Apa? Kalian berpura-pura tidak mengenal satu sama lain?" Ink setengah berteriak setelah mendengar penjelasan Pat tentang dirinya dan Pran.

"Benar. Karena Fakultas kami adalah musuh abadi." Ujar Pat dengan kedua tangan terlipat di dadanya. "Jika teman-teman kami tahu kalau kami saling mengenal, mereka akan menggila. Sudah cukup buruk apa yang kami alami sekarang."

"Aku mengerti. Orang yang berada di tengah pasti sangat sulit." Kata-kata Ink membuat Pat menyunggingkan senyum miringnya. "Kalau begitu aku tidak akan memberitahu siapapun. Tapi, dengan satu syarat."

"Apa?"

***

"Pertandingan Rugby tradisional melawan Arsitektur akan berlangsung dalam dua minggu lagi." Suara pelatih Rugby tim Teknik menggema di tengah lapangan kampus. "Ini satu-satunya waktu yang kita punya dalam setahun. Kita bisa mengalahkan mereka tanpa melanggar peraturan universitas. Berlatihlah dengan keras dan taruh semua amarah kalian di dalam permainan ini. Apa kalian mengerti?"

Sementara itu di salah satu sisi barisan, Pat dan Korn asik membahas sesuatu.

"Kalian lagi ngobrolin apa sih? Beri aku 10 set pop pass." Kata si pelatih tegas.

"Sialan. Aku dimarahi karena kau." Pat mulai menjalankan hukuman si pelatih sambil mengomeli sahabatnya.

"Sial! Jangan ganti topiknya. Kenapa kau bicara berdua saja dengannya tadi pagi? Kalian saling kenal?" Ternyata Korn sangat ingin tahu tentang Ink.

"Apaan sih? Tidak. Dia imut, jadi aku pikir aku harus memanfaatkan kesempatan itu."

"Mana? Katanya kau menyukai seseorang di Arsitektur, ya? Bangsat."

"Kau benar-benar seorang anak Teknik nggak, sih?" Pat menepuk kepala Korn gemas dengan bola Rugby di tangannya.

"Sial!" Korn mengumpat.

"Kenapa kau membela anak Arsitektur sekarang?"

"Bukan begitu. Jika kau benar-benar ingin mendekati Ink, aku mundur." Kata Korn kemudian sambil melanjutkan pop pass kembali.

"Akankah kalian berdua berhenti mengobrol?" Sang pelatih ternyata kembali memperhatikan tingkah Pat dan Korn yang terus mengobrol sejak latihan dimulai. "Beri aku 100 shuttle run sana."

"Astaga, Pat. Ini salahmu." Korn mulai menggerutu.

"Kalian berdua! Sekarang, pergi!" Sang pelatih berteriak cukup kencang, membuat Pat dan Korn segera melempar bola Rugby ke temannya yang lain dan mulai berlari.

"Korn, brengsek! Kau selalu menempatkanku dalam situasi buruk!" Suara Pat mengumpat mulai terdengar menjauh.

"Lanjutkan latihan kalian." Kata sang pelatih kepada pemain yang lain.

***

Di sudut lain kampus tepat di bawah pohon, Pran sedang menyusuri rumput mencari sesuatu.

"Kamu ada di mana?" Katanya bicara pada dirinya sendiri. Ia sedikit merunduk dan berjalan mundur ketika merasakan tubuhnya menabrak seseorang. "Saya minta maaf." Kata Pran segera berbalik sembari menangkupkan kedua tangannya.

Begitu menemukan bahwa seseorang yang bertabrakan dengannya adalah Pat, sikap sopan santun Pran mendadak hilang. "Minggir!" Katanya ketus.

"Astaga! Kau baru saja mengatakan 'saya minta maaf' dengan suara sopan seperti itu."

Pran hanya menggelengkan kepalanya dengan malas lalu melanjutkan menyusuri dedaunan kering di atas rerumputan.

"Terus, kau lagi cari apa?"

"Earphone-ku." Jawab Pran sambil merunduk.

"Warna apa? Biar aku bantuin." Ujar Pat menawarkan bantuan.

"Tidak perlu. Aku bisa mencarinya sendiri." Tolak Pran masih sambil merunduk.

"Iya. Aku tahu kau bisa, tapi aku mau bantuin." Kata Pat bersikeras. "Warna apa?" Pat meletakkan tasnya di atas trotoar dan mulai membantu Pran mencari.

"Hitam," jawab Pran singkat.

"Wah, itu tidak mudah." Pat berkata sambil berpindah tepat ke hadapan Pran.

"Hoi, aku sedang mencarinya di sini." Pran menghentikan aktivitas merunduknya.

"Ya, aku membantumu untuk mencarinya di sini juga."

"Kalau kamu mau bantu, carilah di tempat lain yang tidak aku lihat."

"Banyak omong." Kata Pat sambil berpindah ke sisi lain yang agak jauh dari Pran.

"Kau mau bantuin atau ngobrol?" Pran masih mengomel mengikuti arah pergerakan Pat.

"Banyak omong." Kata Pat berbisik sehingga tak bisa didengar Pran.

Mereka kemudian tak lagi bersuara karena fokus pada pencarian selama beberapa saat sebelum Pat memulai lagi.

"Kau pergilah lihat ke sana."

"Aku sudah melihatnya."

"Di sini." Pat menunjuk satu titik.

"Aku melihatnya dan tidak menemukan apa-apa." Jelas Pran setengah berteriak. Pat lalu berpindah ke sisi lain lagi. "Kau tidak membantu."

Pat komat kamit tanpa mengeluarkan suara dari mulutnya hingga merasakan kakinya sedang menginjak sesuatu. Krek!

"Sial!"

Pran segera menoleh ke arahnya.

"Ini tak mungkin yang sedang kau cari lah, kan?" Pat mulai mengangkat kakinya dan benar saja, ia telah menginjak earphone Pran hingga patah. Ia merunduk dan mengambilnya perlahan lalu mengulurkannya pada Pran. "Maaf, ya."

Pran hanya menghela nafas kesal dan menerima earphone dari tangan Pat. Tapi Pat sama sekali tidak melepaskan tangannya. "Lepas!"

Bukannya segera menyerahkan, Pat justru menariknya kembali. Jadilah mereka berpegangan tangan dan saling tarik menarik.

"Lihat kan? Kita tidak boleh dekat satu sama lain."

Pat akhirnya melepaskan earphone beserta tangan Pran dari genggamannya. "Maafkan aku."

Pran tidak menjawab, ia hanya melengos dan meninggalkan Pat di sana.

***

Tok. Tok. Tok.

Terdengar suara ketukan pintu kamar Pran saat dirinya sedang duduk memandangi earphone-nya yang patah karna ulah si Pat sialan. Dengan malas ia membuka pintu dan menemukan si biang kerok datang.

"Apa lagi sekarang?" Tanya Pran ingin langsung ingin ke intinya.

"Kau bisa menggunakan ini dulu untuk saat ini." Pat memberikan earphone miliknya untuk dipinjamkan kepada Pran.

"Tidak mau."

"Ambil saja. Kau membutuhkannya untuk lagu barumu."

"Tidak masalah. Aku tidak mau." Pran tetap menolak.

"Ambil." Pat meraih salah satu tangan Pran dan meletakkan earphone miliknya dalam genggaman Pran. "Jika nanti kau kalah, kau tidak punya alasan karena kau tidak memiliki earphone."

Pran menahan senyum di bibirnya. "Um." Katanya kemudian telah setuju.

Tapi bukannya pergi, Pat justru melangkah masuk ke kamar Pran tanpa ijin.

"Hei, Pat!" Pran menutup pintu kamarnya dan menyusul langkah Pat. "Pat, aku tidak mengizinkanmu masuk. Pat!"

"Wah, kamarmu luas juga, ya." Ia memutar tubuhnya memandang sekeliling ruangan Pran.

"Pat, kau tidak diizinkan masuk ke sini. Punya sedikit sopan santun, kek. Aku tidak memintamu untuk masuk." Protes Pran.

"Kau membaca buku komik juga?" Pat sama sekali tidak mengindahkan perkataan Pran, ia malah jongkok dan mengambil buku komik milik Pran yang telah disusun begitu rapi dari rak buku.

"Pat."

"Kau punya yang ini juga?" Buku komik bersampul hijau itu diangkat tinggi-tinggi oleh Pat agar Pran yang berdiri bisa melihatnya. "Bisakah aku meminjamnya?"

"Tidak mau. Tidak boleh."

"Ah. Aku akan duduk dan membacanya di sini kalau begitu." Pat langsung menjatuhkan dirinya ke sofa dan mulai membuka buku komik di tangannya.

"Pat! Oke, kau bisa memilikinya. Kembalilah ke kamarmu sana."

"Apa yang membuatmu berubah pikiran?" Tanya Pat akhirnya.

"Oh, apakah kau perlu bertanya? Kau sebau ini. Kembalilah ke kamarmu dan mandi sana."

"Bau apa sih?" Pat menarik baju olahraga di bagian dadanya dan mulai mengendus ke hidungnya sendiri.

"Kau baru saja selesai latihan, loh. Sialan. Kau duduk di sofaku dan meninggalkan keringat di sofaku."

Pat mengangkat kedua lengannya bergantian dan mengendus ketiaknya dengan keras. "Aku tidak mencium bau seburuk itu."

"Sialan, Pat! Aku bisa menciumnya dari sini. Pergi sana!"

"Kau jangan berlebihan."

"Bangun dan pergi sana." Pran kini sudah menarik salah satu lengan Pat.

"Tidak bisakah aku duduk sebentar?"

"Tidak mau! Bangun dan pergi. Kembalilah dan membaca di kamarmu sana." Pran terus menarik lengan Pat hingga tanpa sengaja menyentuh baju Pat yang basah oleh keringat dan segera mengibaskan tangannya.

"Apaan sih? Ini tidak terlalu buruk."

"Kau keluar di tengah hujan, ya? Kau basah kuyup seperti ini."

"Aku seorang pemain olahraga." Kata Pat sambil bersandar ke sofa Pran.

"Pergi. Jangan buat sofaku jadi kotor. Pergi!" Pran mulai menarik tangan Pat lagi.

"Sebentar saja." Pat masih tidak bergerak.

"Tidak mau, pergi sana!" Pran mulai duduk dan mendorong Pat dari samping.

"Aku tidak mau pergi."

"Bawa sana buku komik itu ke kamarmu. Bawalah buku itu bersamamu."

"Ini cuma keringat setelah olahraga."

"Pergi."

"Ini tidak seburuk itu."

"Itu bau."

"Tidak bau."

"Itu bau. Pergi sana!"

"Tidak bau."

"Bau."

"Tidak."

"Bau!"

"Aku bau sekali, ya?" Pat lalu mengangkat bagian bawah kaos olahraganya dan menutupi kepala Pran. "Cium itu."

"Pat!" Seluruh kepala Pran kini berada di dalam kaos olahraga Pat.

"Hirup aromaku." Pat semakin menekan kepala Pran ke perutnya.

"Pat, brengsek! Kau bau!" Pran akhirnya bisa melepaskan diri dan segera menendang Pat. "Bangun. Kembali sana ke kamarmu. Bawa itu bersamamu."

Pat yang akhirnya berdiri terus didorong oleh Pran ke arah pintu.

"Pergi. Tinggalkan kamarku!" Pran tidak berhenti mengomel sampai mereka tiba di depan pintu. "Tunggu, tunggu." Pran mengambil sepasang sepatu Pat dengan tangannya. "Pergi sana."

"Biarkan aku memakai sepatuku dulu."

"Buka pintunya. Pergi sana!" Begitu Pat membuka pintu, Pran segera melempar sepasang sepatu Pat keluar dan menutup pintu kamarnya kembali.

Pran mulai mengatur nafasnya yang terengah-engah di balik pintu. Ia lalu mengintip ke luar dan menemukan Pat masih berdiri di depan pintu kamarnya. "Bagaimana? Aku tahu kau mau membiarkanku masuk." Kata Pat dengan nada menggoda.

Pran lalu menendang pintu kamarnya dari dalam dengan geram, barulah Pat kembali ke kamarnya. Pran lalu berjalan dengan gontai menuju sofa, ia merasa sangat kelelahan menghadapi pemuda bau itu.

Begitu menjatuhkan diri ke sofa, senyum mulai mengembang di bibir Pran. Ia memandangi earphone milik Pat di tangannya.

***

Pagi hari di kelas kuliah umum, Wai menangkap salah satu tangan Pran yang baru saja melepas earphone dari telinganya. "Wuih, earphone baru?"

"Oh. Iya. Yang lama hilang." Jawabnya buru-buru menyimpan kembali earphone milik Pat ke tempatnya.

Buk. Buk. Buk.

Terdengar langkah seseorang baru memasuki kelas ketika perkuliahan baru dimulai. Itu adalah langkah milik Pat yang baru datang. Ia masuk dengan santainya dan segera duduk di antara teman-teman Tekniknya. Matanya bertemu dengan mata Pran ketika ponsel di sakunya bergetar.

Drrrrt. Drrrrt.

Pra : Kau berhasil sampai ke kelas tepat pada waktunya. Tapi jangan terlambat untuk proyek halte bus sore ini.

Pat hanya memberikan seringai andalannya tanpa membalas pesan Pran. Ia membisikkan sesuatu ke teman-temannya lalu mengendap-endap keluar kelas. Hal itu sangat menarik perhatian Pran yang kebingungan ingin tahu kemana Pat pergi. Ia mengintip ponselnya dan memastikan pesannya terkirim dan telah dibaca oleh Pat. Tapi tidak ada balasan, dia malah pergi meninggalkan kelas.

"Parakul."

"Iya." Pran segera membenarkan posisi duduknya ketika bu Dosen memanggil namanya.

"Ini kelas buat belajar, bukan kelas untuk kamu duduk dan main handphone."

Pran segera mengatupkan kedua tangannya membentuk tanda maaf.

"Mari kita lanjutkan." Kata bu Dosen kemudian. "Buka halaman lima."

***

"Wai, bisakah kau membuat salinan checklist ini untukku? Aku mau membeli kopi." Pran memberikan selembar catatan kepada sahabatnya usai perkuliahan. Kebetulan mereka sedang melewati café kampus.

"Oke. Sampai jumpa di lantai bawah." Wai mengambil selembar kertas dari tangan Pran dan segeri pergi.

Baru saja Pran maju selangkah dan tiba di depan pintu café saat matanya melihat Pat sedang duduk di salah satu meja di dalam.

"Ini dia. Tidak terlalu manis." Seorang gadis sedang membawa dua gelas Es Teh Susu dan memberikan salah satunya kepada Pat.

"Tidak terlalu manis?" Tanya Pat mengulangi.

"Iya." Gadis itu adalah Ink. "Bagaimana hari ini?" Ia sedang duduk di hadapan Pat sekarang.

"Oh, ini masih manis." Kata Pat setelah menelan seteguk Es Teh Susu di atas meja. Keduanya lalu tertawa bersama.

Pran sampai lupa akan niatnya untuk membeli kopi di sana. Ia hanya berdiri mematung di ambang pintu. Ada kecewa di matanya.

Bersambung...

Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 47.3K 31
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
771K 74.8K 51
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
21.9K 1.9K 24
First pikir dia tidak akan jatuh cinta pada Khaotung, dan Khaotung pun berpikir demikian.
3.1K 328 15
"kau masih mencintaiku kan?" "Aku memang masih mencintaimu, tapi rasa itu tidak sama seperti dulu." "maaf karena telah menyakiti hatimu" "tidak apa...