BAD BUDDY SERIES (Hanya Teman)

By diadjani

24.8K 1.5K 35

"Kisah tentang dua orang yang tidak pernah bisa menjadi teman, menjadi dua orang yang tidak pernah bisa menja... More

EP.1 | Part 1
EP.1 | Part 2
EP.1 | Part 3
EP.1 | Part 4
EP.2 | Part 1
EP.2 | Part 2
EP.2 | Part 3
EP.2 | Part 4
EP.3 | Part 1
EP.3 | Part 2
EP.3 | Part 3
EP.4 | Part 1
EP.4 | Part 2
EP.4 | Part 3
EP.4 | Part 4
EP.5 | Part 1
EP.5 | Part 2
EP.5 | Part 3
EP.5 | Part 4
EP.6 | Part 1
EP.6 | Part 2
EP.6 | Part 3
EP.6 | Part 4
EP.7 | Part 1
EP.7 | Part 2
EP.7 | Part 3
EP.7 | Part 4
EP.8 | Part 1
EP.8 | Part 2
EP.8 | Part 3
EP.8 | Part 4
EP.9 | Part 1
EP.9 | Part 2
EP.9 | Part 3
EP.9 | Part 4
EP.10 | Part 1
EP.10 | Part 2
EP.10 | Part 3
EP.10 | Part 4
EP.11 | Part 1
EP.11 | Part 2
EP.11 | Part 3
EP.11 | Part 4
EP.12 | Part 1
EP.12 | Part 2
EP.12 | Part 3
EP.12 | Part 4

EP.3 | Part 4

323 32 0
By diadjani

"Hei, kau pergi ke tengah." Kata Chang bersemangat.

"Aku sekarat." Jawab Korn dengan mata terfokus pada ponsel di tangannya.

"Korn!" Panggilan Pat sama sekali tak digubris karena ketiga temannya sedang asik bermain game online bersama di kantin Fakultas Teknik.

"Biarkan dia pergi, Korn. Aku mundur." Chang mulai menyerah.

"Aku juga." Sahut Korn masih terfokus pada ponsel di tangannya.

"Biarkan Mo bertarung sendirian, Korn." Chang benar-benar menyerah.

"Jangan lakukan itu, nanti aku mati." Protes Mo tak ingin main sendirian.

BRUAK!

Pat melemparkan tas punggungnya ke kepala Korn.

"Aduh! Sialan, siapa sih?" Korn menoleh dengan marah. "Sial, Pat. Astaga, aku mati nih, Pat!" Protes Korn sambil mengerutkan alisnya dengan kesal.

"Kalian pantas mendapatkan lebih dari itu." Celoteh Pat yang kini duduk di atas meja memandangi ketiga temannya yang duduk di kursi satu per satu.

"Kenapa kau nge-bully kami?" Tanya Chang tidak mengerti.

"Kalian masih juga bertanya? Kenapa kau memposting video itu?" Keseriusan di raut wajah Pat membuat ketiga temannya kemudian saling berpandangan.

"Ya, terus?" Korn tidak mengerti dimana salahnya mereka memposting video saat mereka menggoda Wai di bar tempo hari.

"Ya, terus? Ya, terus masalah mengikutinya. Mahasiswa Arsitektur jadinya harus membayar biaya pembangunan kembali halte bus itu gara-gara kalian." Celoteh Pat panjang lebar.

"Ya, terus?" Korn mengulangi pertanyaannya tanpa mengindahkan penjelasan Pat.

"Ya, terus apa?" Pat balik bertanya.

"Ya, terus kenapa kau sebegitu frustasinya karena mereka?"

"Iya."

"Iya."

Pertanyaan terakhir Korn didukung oleh ketidakpahaman dari Mo dan Chang.

"Kau seorang mahasiswa Teknik loh, sob. Kalau kau lupa." Celetuk Chang mengingatkan. "Kau bertingkah aneh."

Pat terdiam memikirkan pertanyaan teman-temannya. Itu benar. Mengapa ia harus sefrustasi ini hanya karena anak-anak Arsitektur itu harus menanggung kesulitan akibat perkelahian yang mereka lakukan? Mengapa ia harus sekhawatir ini ketika Pran belum berhasil mendapatkan bantuan dana sponsor untuk pembangunan halte bus baru? Pat pun mulai tak mengerti dirinya sendiri.

ENGINEERING. 

I'm not arguing, I'm just explaining why I'm right. 

Sebuah tulisan yang ditempel di pintu kamar Pat bergerak terbuka. Pat pulang dalam keadaan bimbang akan emosi rasa frustasi, khawatir, dan gelisah. Semuanya ia rasakan bersamaan. Pat melepaskan tas dari pundaknya lalu membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah gitar yang terbungkus kain hitam dari sana.

"Kau pun bukannya sudah memiliki gitar?"

"Aku punya satu tapi sudah hilang. Mungkin sudah dimakan rayap."

"Kenapa kau tidak coba mencarinya dulu? Mungkin saja masih ada di suatu tempat."

Kilasan percakapan Pat dan Pran di toko musik kemarin kembali terngiang di kepalanya. Ia mengeluarkan gitar dari tempatnya dan memeriksa keadaan gitar itu dengan memutar ke bagian depan dan belakangnya. Gitar ini masih terlihat sangat bagus.

***

Keesokan harinya Pran dan teman-temannya masih disibukkan oleh perhitungan anggaran halte bus baru. Mereka sedang duduk di kantin Fakultas Arsitektur.

"Berapa banyak lagi yang kita butuhkan?" Tanya Safe sambil memegangi selembar kertas di tangannya.

"Sekitar 10.000 baht lagi." Jawab Pran sambil memainkan pensil di atas meja. "Kecuali kitab isa mendapatkan pekerjaan konstruksinya gratis."

"Bisakah kita meminjam uang dari Ikatan Mahasiswa dulu? Aku akan menyicil membayarnya nanti." Wai mencoba mengajukan solusi atas rasa bersalah dalam hatinya.

Pran menghela nafas. "Aku sudah menanyakannya. Mereka bilang, mereka perlu menyimpannya untuk Prom Senior."

"Kalau begitu bisakah kita meminta bantuan teman-teman kita?" Entah teman-teman siapa yang Louis pikirkan kali ini.

"Siapa yang akan membantu? Tak ada yang peduli. Kita butuh uang untuk membayar Insinyurnya juga." Wai benar-benar tak bisa menutupi rasa frustasi yang tergambar begitu jelas di wajahnya.

Mereka berempat terjebak dalam keheningan selama beberapa detik sebelum akhirnya Pran mengusulkan hal baru yang harus dilakukan. "Ayo kita periksa halte busnya dulu. Mungkin ada sesuatu yang tersisa untuk dijual."

Ketiga temannya pun setuju. Mereka lalu bergegas menuju halte bus yang sudah hancur.

"Dari apa yang aku lihat, ini hanya bisa menutupi dua kali makan siang babi panggang." Kata Safe frustasi ketika melihat apa yang bisa mereka temukan di sana.

"Sukur-sukur bisa dapat dua kali." Celetuk Pran semakin menambah frustasi.

"1, 2, 3, 4." Wai mulai menghitung jumlah mereka satu per satu dengan jari telunjuknya. "Berapa lama waktu yang kita butuhkan jika hanya kita berempat yang membangun ini?"

"Itu dia. Kita tidak akan sanggup." Pran mulai menggeleng-gelengkan kepalanya, semakin kehilangan harapan. "Bagaimanapun kita perlu mencari orang untuk membantu."

"Kalian sedang membicarakan tentang kami, ya?" Terdengar teriakan seorang pemuda diiringi suara beberapa derap langkah yang datang. Pat diikuti lima orang temannya sedang menghampiri dengan memanggul sebuah tiang papan di bahunya.

"Kau mau kami membantu mahasiswa Arsitektur untuk membangun kembali halte itu?" masih teringat bagaimana terkejutnya Korn mendengar permintaan sahabatnya kemarin.

"Iya." Jawab Pat mantap.

"Tunggu dulu. Kau benar-benar mahasiswa Teknik bukan, sih? Kenapa kita harus bersimpati pada mereka?" Chang sama terkejutnya dengan Korn.

"Kalian dengarkan aku dulu, ya. Para senior dari kedua fakultas membangun halte bus ini. Itu aset kedua fakultas. Tapi coba kalian pikirkan itu baik-baik. Jika kita membiarkan mahasiswa Arsitektur membangunnya sendiri..."

BRAK.

Belum selesai Pat bicara, Mo sudah menggebrak meja tak terima. "Maka itu akan menjadi asetnya Arsitektur." Katanya menyelesaikan persis apa yang akan Pat katakan.

"Dan hak dan kebebasan kita untuk menggunakannya akan dirampas." Chang mulai mengerti maksud Pat ingin mereka ikut andil dalam pembangunan halte bus baru.

"Tepat sekali. Ini seperti menyerahkan wilayah kita, loh. Wilayah yang para senior kita korbankan darah dan daging mereka untuk dilindungi." Sedikit lagi Pat akan berhasil, teman-temannya mulai mempercayainya. "Serius aku tanya. Bisakah kalian benar-benar memberikannya kepada mahasiswa Arsitektur?"

"Tentu saja tidak." Sahut Chang cepat.

"Di neraka sekalipun aku tidak mungkin menyerahkannya." Imbuh Korn dengan semangat berapi-api.

"Oleh sebab itu, sebagai ketua kelas, inilah yang aku sarankan." Ujar Pat menyeringai.

[Tempat Perdamaian]

[Oleh mahasiswa Teknik-Arsitektur]

Tulisan itu tertera pada tiang papan yang baru saja Pat tancapkan di lahan halte.

"Jika kita semua saling membantu membangunnya, aku rasa kita tidak perlu mempekerjakan lebih banyak pekerja." Kata-kata Pat didukung dengan anggukan oleh sahabarnya, Korn. "Kami akan mengawasi proyeknya untuk kalian. Kami sudah mendiskusikan ini dengan Profesor kami. Aku pikir kita sudah tidak masalah untuk memulainya."

Pat mengulurkan tangan kanannya ke arah Pran.

"Senang bekerja sama dengan anda, Tuan Ketua Kelas Arsitektur." Katanya lantang, semua kelompok Arsitektur dan Teknik yang berada di sana bisa mendengarnya dengan jelas.

Pran baru saja akan mengangkat tangannya ketika Wai menyela. "Pran!"

"Hei, Wai! Kau ada pilihan lain, nggak?" Safe buru-buru ikut menyela sebelum Wai bisa bicara lebih banyak.

Wai tidak bisa menjawab. Pran melihat teman-temannya satu per satu. Ia lalu berbalik melihat Pat kembali usai mendapat anggukan setuju dari Louis.

Pat dan Pran saling berjabat tangan tepat di depan papan perdamaian antar kedua fakultas. Pat menyunggingkan senyum miring khas miliknya dengan puas.

***

Malam hari di asrama, Pran berniat untuk menemui Pat di kamarnya. Tapi sudah sekian detik berlalu, ia tak juga mantap untuk mengetuk pintu kamar Pat. Sesekali ia berbalik dan berhenti di depan pintu kamarnya sendiri, tapi tak pula melangkah masuk. Ia lalu berbalik ke arah kamar Pat lagi ketika si empunya kamar membuka pintu.

"Ada apa?" Katanya dengan wajah senang, melihat Pran seperti orang yang sedang tertangkap basah. "Aku lihat kau sudah melihat-lihat ke pintuku sejak tadi."

"E..." Pran bingung bagaimana memulainya.

"Hmm?" Pat bertanya lagi dengan menggerakkan kepalanya.

"E... Soal halte busnya. Terima kasih."

Pat mengangguk dan tersenyum mendengar ucapan terima kasih Pran. "Sebenarnya itu salah kami juga karena sudah memposting video itu. Bisakah kita menyebutnya impas sekarang?"

"Um." Kali ini giliran Pran yang mengangguk dan tersenyum.

"Selamat tinggal." Pat kemudian berbalik hendak kembali masuk ke kamar ketika Pran masih ingin bicara.

"Hei!"

"Hmm?" Pat mengurungkan niatnya. "Apa?"

"Kau sudah makan?"

"Sudah." Pat mengangguk dan tersenyum sekali lagi.

"Oke. Kalau begitu sampai jumpa." Kata Pran kemudian. Ada sedikit kecanggungan di wajahnya.

"Hei!" Kali ini giliran Pat yang membuat Pran mengurungkan niatnya untuk kembali ke kamarnya. "Tunggu sebentar."

Pat kemudian masuk ke kamarnya dan kembali dengan sebuah gitar di tangannya. Ia lalu menyerahkannya kepada Pran, atau lebih tepatnya mengembalikan.

"Hei!!" Seru Pran menerima gitar yang dibungkus dari tangan Pat. Senyum mulai mengembang di bibirnya. Tertera nama Pran di bagian atas bungkus gitarnya. Tak salah lagi, ini gitar miliknya yang dulu hilang.

"Ini gitarmu. Itu tidak enak, jadi tidak dimakan rayap." Kata Pat bercanda.

"Astaga! Kau menyimpannya untukku?" Tanya Pran tak percaya. Ia lalu mengeluarkan gitarnya sambil mulai duduk di lantai.

"Ruang klub musik dibersihkan." Kata Pat sambil ikut duduk di hadapan Pran. "Aku mencoba menjualnya secara online, tapi tidak ada seorangpun yang tertarik. Itu memakan ruang di kamarku, jadi kau ambil saja itu lagi."

"Terima kasih, ya." Kata Pran membungkam celoteh panjang Pat. Ia mulai memutar dan menyetel senar gitar di tangannya sambil memainkan beberapa nada.

Pat menyunggingkan senyum Bahagia melihat kebahagiaan Pran di hadapannya.

"Sial! Sayang sekali, ya. Kita tidak bisa bersaing di kontes musik Freshy."

Pat mengerutkan alisnya. "Kita sudah kembali dalam kompetisinya, loh."

Pran melongo tak mengerti. "Bagaimana bisa?"

"Entah, lah." Pran sedang menutupi kenyataan bahwa ia lah yang menemui Dosen dan memohon agar mereka diperbolehkan untuk mengikuti kontes. "Profesor, bisakah anda mempertimbangkan kembali hukuman kami? Kedua fakultas akan saling membantu membangun halte itu. Selain itu, bergabung dengan aktifitas yang sama mungkin akan membuat hubungan kita lebih baik."

Dosen yang bertanggung jawab sempat tak mengindahkan permintaan Pat, tapi dia terus memohon. "Profesor? Ayo, lah. Saya sudah memberitahu Papa saya kalau saya akan membawakannya piala. Profesor pun tahu betapa seriusnya Papa saya soal ini. Tolong, ya, Prof?" Pintanya memelas.

"Ya sudah. Jika halte bus itu belum selesai, saya akan berbicara dengan Dewan lagi." Pat hanya diam dan mengangguk kegirangan sambil mendengarkan. "Tapi jika ada perkelahian lagi selama pengerjaan itu, semuanya berakhir, ya." Pat tak bisa berhenti tersenyum meskipun Dosen di hadapannya sedang menunjuk-nunjuk dirinya. "Saya memperingatkanmu, loh, ya."

"Terima kasih," jawab Pat akhirnya bersuara. Ia benar-benar tak bisa menyembunyikan betapa bahagia dirinya saat itu. Bahagia yang ia rasakan kembali malam ini karena pemuda di hadapannya juga bahagia.

"Itu bagus." Kata Pran sambil memainkan gitar di tangannya.

Mereka berdua duduk berhadapan di lantai koridor asrama. Bisa melihat Pran memainkan gitar miliknya lagi seperti ini, cukup menghilangkan rasa frustasi Pat yang sedari kemarin mengikutinya.

"Hei. Berlatihlah dengan keras, ya. Tidak ada alasan lagi jika kau dikalahkan oleh Teknik kali ini."

Pran berhenti memainkan gitarnya dan terfokus pada pemuda di hadapannya. "Kau tampak sangat senang, ya, ketika kau bisa bersaing denganku."

"Kau pun juga sama, kan?" Pat mendekatkan dirinya kepada Pran. "Dan juga, aku suka melihat wajahmu."

Ada jeda pada kalimat Pat yang membuat Pran terdiam sejenak mendengarnya, sebelum kemudian melanjutkan dengan raut menyebalkan.

"Ketika kau kalah dariku." Pat mencolek dagu Pran sekali, mengusap kepalanya, lalu terkekeh dan bangkit berdiri. "Berlatihlah dengan serius, ya."

Pemuda jangkung itu lalu masuk ke kamarnya, meninggalkan Pran dengan seulas senyum di bibirnya. Ia tetap di sana selama beberapa saat sebelum akhirnya kembali ke kamar. Ada hal-hal yang tak begitu ia pahami antara dirinya dan Pat. Kecuali satu rasa, bahagia. Rasa itulah yang ia tunjukkan pada gantungan pintu kamarnya. Pran membuka pintunya lagi, membalik emoji bersedih ke atas menjadi emoji bahagia, lalu menutup kembali pintu kamarnya.


Bersambung...

Continue Reading

You'll Also Like

1M 147K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
1.9M 91K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
3.5M 36.8K 32
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
1.3K 105 9
πŸ’œπŸ’œ gak bisa bikin deskripsi...